Martir Kasih: Kisah St. Maximilian Kolbe
Pada tahun 1939, pasukan Nazi menginjakkan kaki di tanah Polandia, membawa gelombang ketakutan dan penindasan. Di tengah kekacauan ini, di sebuah biara di Niepokalanów, seorang imam Fransiskan bernama Maximilian Kolbe dan para saudara biarawan lainnya terus melayani Tuhan melalui media evangelisasi. Namun, keberanian mereka dalam menyuarakan kebenaran membawa konsekuensi berat. Pasukan Nazi menangkap mereka, merampas segala sesuatu yang berharga di biara, dan meninggalkan sisa biarawan untuk merawat para pengungsi yang tak memiliki tempat berlindung. Setelah berbulan-bulan dalam tahanan, Maximilian dan para biarawan lainnya dibebaskan, tetapi larangan terhadap publikasi mereka tetap ditegakkan.
Maximilian tidak menyerah. Dengan kecerdikan dan semangat yang tak tergoyahkan, ia berhasil membujuk Nazi untuk mengizinkan pencetakan edisi terakhir majalahnya pada tahun 1940. Dalam masa-masa gelap ini, para biarawan beralih kepada Adorasi Ekaristi sebagai kekuatan utama mereka. Namun, pengorbanan Maximilian tidak berhenti di sini. Pada Februari 1941, Nazi menangkapnya kembali dan mengirimnya ke kamp konsentrasi Auschwitz. Sebuah nomor identifikasi tertulis di tubuhnya: 16670.
Pada akhir Juli 1941, sebuah peristiwa mengubah segalanya. Seorang tahanan melarikan diri dari barak tempat Maximilian ditahan. Sebagai balasan, para penjaga Nazi memilih sepuluh orang secara acak untuk dihukum mati melalui kelaparan di bunker blok 13. Di antara mereka, seorang sersan Polandia bernama Franciszek Gajowniczek menangis, meratap tentang nasib keluarganya yang akan kehilangan seorang ayah.
Saat itulah Maximilian melangkah maju.
"Apa yang diinginkan babi Polandia ini?" tanya komandan Nazi dengan sinis.
Dengan tenang, Maximilian menjawab, "Saya seorang imam Katolik. Izinkan saya menggantikannya. Ia memiliki istri dan anak-anak."
Keheningan menyelimuti sejenak. Para tahanan menahan napas, sementara para penjaga Nazi menatap tak percaya. Namun, komandan akhirnya menyetujui permintaan itu. Gajowniczek dikembalikan ke barak, sementara Maximilian berjalan menuju nasibnya dengan kepala tegak.
Hari-hari berikutnya dalam bunker kelaparan menjadi saksi keagungan kasih seorang martir. Di dalam kegelapan, Maximilian membimbing sembilan pria lainnya dalam doa dan nyanyian pujian kepada Tuhan. Meski tubuh mereka melemah, semangat mereka tetap menyala. Ia mengubah tempat kematian menjadi kapel, dan jeritan kesakitan menjadi kidung penyerahan diri.
Pada tanggal 14 Agustus 1941, menjelang perayaan Maria Diangkat ke Surga, hanya empat tahanan yang masih bernapas. Para algojo, yang sudah tak sabar menunggu ajal mereka, menyuntikkan carbolic acid ke dalam tubuh Maximilian. Dalam keheningan suci, imam itu menyerahkan nyawanya kepada Tuhan. Tubuhnya kemudian dimusnahkan di krematorium, tetapi jiwanya hidup abadi dalam kemuliaan.
Empat puluh satu tahun kemudian, pada 10 Oktober 1982, seorang pria tua berdiri di Lapangan Santo Petrus, Roma, menyaksikan momen bersejarah. Ia adalah Franciszek Gajowniczek, orang yang diselamatkan oleh Maximilian. Matanya basah saat Paus Yohanes Paulus II menyatakan Maximilian Kolbe sebagai seorang martir kasih dan pelindung abad yang penuh penderitaan ini.
Sersan Gajowniczek menjalani sisa hidupnya dengan mengenang pria yang telah menggantikannya. Ia berkeliling dunia, bersaksi tentang pengorbanan tak ternilai itu, hingga akhirnya ia menghembuskan napas terakhir pada tahun 1995.
Namun, kisah ini tidak berakhir di sana. Hingga hari ini, nama St. Maximilian Kolbe tetap hidup dalam hati orang-orang yang mencari makna sejati dari cinta dan pengorbanan. Setiap 14 Agustus, dunia mengenang seorang pria yang mengajarkan bahwa kasih adalah pemberian diri—tanpa pamrih, tanpa batas, hingga kematian sekalipun.
Dalam periode konflik fisik, bagaimana nasib jiwa para prajurit Katolik pra konferensi jenewa? Pasti ada, kalo nggak mau disebut banyak, prajurit2 Katolik yang maju ke medan perang, mengetahui mereka akan menyakiti dan mungkin membunuh orang lain dan kemungkinan terbunuh sebelum rekonsiliasi.
BalasHapusBagaimana nasib jiwa mereka, stor?
Apakah praktek pemberkatan sebelum bertempur adalah sarana pengampunan dosa atau berkat untuk kemenangan?
Mohon pencerahannya, stor. Salve