Bagaimana Media Sekuler menggambarkan Gereja Katolik? Catatan Kritis terhadap Film Conclave Perspektif Filsafat Thomistik
"Conclave", yang berdasarkan novel Robert Harris, sedang dibentuk untuk menjadi film thriller politik yang menarik yang sama seperti novelnya, berlatar di Vatikan, dengan fokus pada proses rahasia pemilihan paus baru. Dengan penyutradaraan Edward Berger (dikenal dengan All Quiet on the Western Front), film ini kemungkinan dimaksudkan untuk menekankan ketegangan psikologis dan dilema moral yang dihadapi oleh para kardinal.
Mari kita lihat bagaimana dengan Novel darinya Film ini didasarkan.
Cerita dalam Conclave karya Robert Harris mengikuti Kardinal Lomeli, Dekan Dewan Kardinal, yang mengawasi pemilihan setelah kematian mendadak paus. Saat konklaf berlangsung, manuver politik, ambisi tersembunyi, dan rahasia pribadi muncul di antara para kandidat.
Lomeli, seorang pria yang taat dan serius secara moral, berjuang dengan keraguannya sendiri sambil menavigasi persaingan sengit antara pesaing terkemuka: seorang kardinal Afrika konservatif, seorang Italia karismatik, seorang Kanada progresif, dan seorang kandidat misterius yang datang terlambat yang kehadirannya mengancam untuk menjungkirbalikkan seluruh pemilihan. Seiring berjalannya pemungutan suara, pengungkapan mengejutkan tentang paus sebelumnya dan beberapa kardinal memaksa Lomeli untuk menghadapi taruhan spiritual dan politik yang lebih dalam dari konklaf tersebut.
Novel ini memuncak dalam twist mengejutkan mengenai paus yang baru terpilih, menantang harapan pembaca dan menyoroti tema kekuasaan, iman, dan kehendak ilahi dalam pemerintahan Gereja.
Nah bagaimana ulasan-ulasan seputar Film Conclave?
Film ini unggul dalam penyutradaraan, sinematografi, dan penampilannya, memberikan pengalaman yang mencolok secara visual. Jubah merah para kardinal menonjol dengan jelas melawan palet warna yang diredam, menciptakan kontras yang mencolok dan tak terlupakan. Aktingnya patut dipuji secara keseluruhan, dengan Ralph Fiennes memberikan penampilan yang sangat kuat dalam peran utama. Film ini membangkitkan suasana drama ruang sidang klasik, mengingatkan pada 12 Angry Men dan film serupa dari pertengahan abad ke-20. Skor memperkuat suasana ini, dengan isyarat musiknya yang menegangkan dan halus. Seandainya Conclave hanya berfokus pada elemen misteri dan penceritaan dramatisnya, kemungkinan besar akan berhasil hanya pada kelebihan-kelebihan itu. Namun, ia memilih untuk melampaui itu, membuat pernyataan ideologis yang lebih luas.
Film ini mengadopsi sikap kritis dan skeptis terhadap Katolik, menggambarkan Gereja sebagai lembaga yang tidak memiliki kepastian. Narasi menunjukkan bahwa keraguan tidak hanya tak terhindarkan tetapi juga diinginkan. Setiap kardinal digambarkan didorong oleh ambisi pribadi daripada iman atau pengabdian yang tulus, memperkuat visi Gereja sebagai tempat manuver politik daripada integritas spiritual.
Inti dari pesan film ini adalah gagasan bahwa kepastian mutlak bermasalah, bahkan berbahaya. Ini mempromosikan gagasan bahwa Gereja harus menyelaraskan dirinya dengan relativisme masyarakat sekuler yang berlaku daripada tetap didasarkan pada tradisi. Kemungkinan berpegang teguh pada doktrin Katolik sambil juga mempraktikkan kebaikan dan inklusivitas bahkan tidak dipertimbangkan dalam cerita. Sebaliknya, para kardinal tampaknya termakan oleh intrik politik mereka, tidak terlalu memikirkan Kitab Suci atau ajaran Gereja.
Seperti yang diamati oleh Uskup Robert Barron, film ini menyajikan kaum konservatif sebagai ekstremis yang didorong oleh ketakutan dan progresif sebagai manipulator arogan, tidak menyisakan ruang untuk penebusan dalam penggambarannya tentang para pendeta. Sementara beberapa orang mungkin memilih untuk menghindari film sama sekali, terlibat dengannya dapat melayani tujuan yang berbeda—ini memberikan wawasan tentang kesalahpahaman yang dimiliki budaya modern tentang Gereja Katolik. Menonton dan mendiskusikan film pada akhirnya dapat menegaskan kembali kebenaran utama: kepastian ada dalam iman, tradisi memiliki nilai suci, dan cara untuk terlibat dengan dunia yang rusak bukan melalui kompromi tetapi melalui ketabahan dalam cinta, kerendahan hati, dan kebenaran.
Poin-poin Penting dari Review:
1. Strong Artistic Execution – Film ini secara visual menarik, disutradarai dengan baik, dan berakting dengan baik, dengan penggunaan warna dan suasana yang mencolok.
1. Classic Courtroom Drama Feel – Ini mengambil inspirasi dari drama hukum abad pertengahan, meningkatkan ketegangannya melalui musik dan dialog.
1. Cynical Portrayal of Catholicism – Gereja digambarkan penuh dengan korupsi, kepentingan pribadi, dan rencana politik.
1. Relativist Message – Film ini menolak gagasan kepastian dalam iman, mengadvokasi keselarasan dengan relativisme sekuler daripada kepatuhan pada tradisi.
1. Lack of Balanced Representation – Tidak ada karakter yang benar-benar mewujudkan kemungkinan kesetiaan doktrin dan penjangkauan welas asih.
1. Potential for Discussion – Meskipun cacat dalam penggambaran doktrin Katolik, film ini dapat berfungsi sebagai titik awal untuk diskusi tentang kesalahpahaman budaya tentang Gereja.
Analisa Filosofis:
1. The Nature of Certainty in Faith – Apakah kepastian merupakan komponen penting dari keyakinan agama, atau apakah iman secara inheren melibatkan keraguan? Bagaimana pemahaman Aquinas tentang akal dan wahyu mengatasi hal ini?
1. Tradition vs. Progress – Apa hubungan yang tepat antara kesinambungan sejarah dan adaptasi dalam lembaga-lembaga keagamaan? Haruskah tradisi dipandang sebagai pembatasan atau sebagai landasan panduan?
1. Depictions of Religion in Media – Sejauh mana film-film seperti Konklaf membentuk persepsi publik tentang Gereja? Bagaimana seharusnya umat Katolik terlibat dengan narasi budaya yang salah mengartikan iman mereka?
1. The Role of the Church in a Secular Society – Bagaimana Gereja dapat menanggapi meningkatnya sekularisasi sambil tetap setia pada ajarannya? Apakah mungkin untuk terlibat dengan nilai-nilai modern tanpa mengorbankan keyakinan inti?
Philosophical Inquiry Expanded Through Thomistic Thought
1. The Nature of Certainty in Faith
Tema sentral dalam Konklaf adalah gagasan bahwa kepastian dalam keyakinan agama tidak dapat dicapai atau tidak diinginkan. Pemikiran Thomistik, bagaimanapun, berpendapat bahwa iman dan akal tidak bertentangan tetapi saling melengkapi.
Aquinas, dalam Summa Theologiae (I, q.1, a.1), menegaskan bahwa teologi adalah ilmu karena berakar pada wahyu ilahi, yang memberikan kepastian di luar apa yang dapat dicapai oleh akal manusia saja. Iman (fides) bukan sekadar pendapat tetapi persetujuan terhadap kebenaran ilahi yang didasarkan pada otoritas Tuhan, yang tidak dapat menipu. Namun, Aquinas juga mengakui bahwa kecerdasan manusia berjuang dengan misteri ilahi, yang dapat menyebabkan keraguan—bukan sebagai kebajikan, tetapi sebagai tantangan yang harus diatasi melalui pemahaman yang lebih dalam (Summa Theologiae, II-II, q.2, a.10).
Sebaliknya, Konklaf tampaknya merangkul skeptisisme yang menunjukkan kebenaran agama pada akhirnya cair. Dari perspektif Thomistik, ini adalah kesalahpahaman tentang sifat iman. Iman mencari pemahaman (fides quaerens intellectum), tetapi tidak bergantung pada preferensi pribadi atau ketidakpastian relativistik. Hati nurani yang terbentuk dengan benar, diterangi oleh kasih karunia dan akal, menegaskan kepastian dalam kebenaran teologis—seperti keberadaan Allah, keilahian Kristus, dan hukum moral—tanpa mereduksi iman menjadi konstruksi sosial politik belaka.
Pertanyaan Kunci: Bagaimana orang percaya bisa menavigasi keraguan tanpa menyerah pada skeptisisme? Bagaimana Thomisme memberikan jalan tengah antara fideisme buta dan ketidakpastian radikal?
2. Tradition vs. Progress: The Proper Relationship Between Continuity and Adaptation
Film ini tampaknya menunjukkan bahwa Gereja harus meninggalkan tradisi agar tetap relevan, kritik modern yang umum. Namun, Aquinas menawarkan perspektif yang lebih bernuansa tentang kontinuitas dan adaptasi.
Bagi Aquinas, kebenaran abadi dan berakar pada hukum abadi (lex aeterna)—tatanan ilahi yang ditetapkan oleh Tuhan (Summa Theologiae, I-II, q.91, a.1). Hukum manusia dan tradisi gerejawi (lex humana) berkembang dari waktu ke waktu tetapi harus selalu selaras dengan hukum abadi. Gereja, kemudian, tidak terikat pada stasis yang tidak kritis, tetapi juga tidak dapat mengkompromikan kebenaran ilahi demi tren budaya.
Aquinas juga membedakan antara prinsip-prinsip yang tidak dapat diubah (misalnya, hukum moral, sakramen) dan adat istiadat yang dapat diubah (misalnya, praktik disiplin). Perkembangan otentik di dalam Gereja terjadi ketika tradisi semakin dalam ekspresinya tanpa bertentangan dengan kebenaran dasarnya (Summa Theologiae, I-II, q.97, a.2).
Pertanyaan Kunci: Bagaimana Gereja dapat membedakan dengan benar antara perkembangan organik yang sah dan perubahan yang merusak integritas doktrinal?
3. Depictions of Religion in Media and the Challenge of Misrepresentation
Aquinas tidak terlibat dengan media modern, tetapi pemahamannya tentang peran kecerdasan dan imajinasi manusia dapat menginformasikan bagaimana kita menganalisis penggambaran iman dalam film. Dia berpendapat bahwa pengetahuan manusia datang melalui indera dan dibentuk oleh gambar (phantasmata), yang berarti bahwa representasi budaya iman memengaruhi bagaimana orang melihatnya (Summa Theologiae, I, q.84, a.7).
Jika media secara konsisten menggambarkan Gereja sebagai korup dan mementingkan diri sendiri, imajinasi publik akan dibentuk sesuai dengan itu. Tanggapan Thomistik terhadap ini bukan hanya kemarahan tetapi keterlibatan. Sama seperti Aquinas berusaha mengklarifikasi kesalahpahaman tentang Kekristenan dengan terlibat dengan pemikiran Aristoteles dan Islam, umat Katolik harus secara kritis menganalisis narasi media dan menanggapi dengan argumen yang masuk akal.
Lebih lanjut, Aquinas mengajarkan bahwa keindahan (pulchrum) adalah sifat transendental dari keberadaan, terkait erat dengan kebenaran dan kebaikan (Summa Theologiae, I, q.5, a.4). Sebuah film yang mendistorsi kebenaran merusak integritas estetikanya sendiri. Tantangan bagi keterlibatan Katolik dengan media, kemudian, adalah untuk menumbuhkan narasi yang mencerminkan realitas dengan lebih setia sambil menangani isu-isu nyata di dalam Gereja.
Pertanyaan Kunci: Bagaimana seharusnya umat Katolik terlibat dengan narasi budaya yang salah mengartikan iman? Bagaimana keindahan dan kebenaran dapat dipulihkan dalam bernarasi/storytelling?
4. The Role of the Church in a Secular Society
Film ini menyiratkan bahwa Gereja harus menyesuaikan diri dengan sekularisme modern agar tetap relevan. Aquinas berpendapat bahwa misi Gereja bukanlah untuk beradaptasi dengan perubahan mode moral dunia tetapi untuk memanggil dunia pada kebaikan tertingginya—persatuan dengan Allah.
Aquinas mendefinisikan hukum sebagai tata cara akal untuk kebaikan bersama (Summa Theologiae, I-II, q.90, a.4). Hukum ilahi, seperti yang diungkapkan dalam Kristus dan dipelihara oleh Gereja, adalah bentuk tertinggi dari hukum ini, membimbing umat manusia menuju tujuan akhirnya. Jika Gereja meninggalkan hukum ilahi demi relativisme, itu tidak akan lagi melayani kebaikan bersama tetapi hanya menggemakan preferensi sementara zaman itu.
Konon, Aquinas tidak menganjurkan isolasi. Gereja dipanggil untuk melibatkan dunia melalui akal, kebajikan, dan kesaksian (Summa Contra Gentiles, I, bab 2). Evangelisasi membutuhkan kesabaran, dialog, dan kasih amal, tetapi itu tidak memerlukan kompromi doktrinal. Sebaliknya, Gereja harus mencontohkan kekudusan yang bertentangan dengan kebingungan moral sekularisme, bertindak sebagai ragi di dunia daripada larut ke dalamnya.
Pertanyaan Kunci: Bagaimana Gereja dapat mempertahankan integritas doktrinalnya sambil terlibat secara bermakna dengan budaya sekuler?
Conclusion
Melalui lensa Thomistik, Konklaf menyajikan visi Gereja yang terdistorsi, mereduksinya menjadi intrik politik dan relativisme moral. Aquinas menyediakan kerangka kerja untuk menanggapi tema-tema ini dengan jelas:
1. Iman tidak bertentangan dengan akal tetapi didasarkan pada kepastian ilahi.
2. Tradisi tidak statis tetapi berkembang secara organik tanpa bertentangan dengan kebenaran fundamental.
3. Representasi budaya membentuk persepsi, dan umat Katolik harus terlibat secara kritis dengan media.
4. Gereja tidak menyesuaikan diri dengan sekularisme tetapi memanggil dunia kepada kebenaran yang lebih tinggi.
Terlibat dengan film-film seperti Conclave dapat menjadi kesempatan untuk mendiskusikan isu-isu filosofis dan teologis yang lebih dalam ini.
Mari kita lihat bagaimana dengan Novel darinya Film ini didasarkan.
Cerita dalam Conclave karya Robert Harris mengikuti Kardinal Lomeli, Dekan Dewan Kardinal, yang mengawasi pemilihan setelah kematian mendadak paus. Saat konklaf berlangsung, manuver politik, ambisi tersembunyi, dan rahasia pribadi muncul di antara para kandidat.
Lomeli, seorang pria yang taat dan serius secara moral, berjuang dengan keraguannya sendiri sambil menavigasi persaingan sengit antara pesaing terkemuka: seorang kardinal Afrika konservatif, seorang Italia karismatik, seorang Kanada progresif, dan seorang kandidat misterius yang datang terlambat yang kehadirannya mengancam untuk menjungkirbalikkan seluruh pemilihan. Seiring berjalannya pemungutan suara, pengungkapan mengejutkan tentang paus sebelumnya dan beberapa kardinal memaksa Lomeli untuk menghadapi taruhan spiritual dan politik yang lebih dalam dari konklaf tersebut.
Novel ini memuncak dalam twist mengejutkan mengenai paus yang baru terpilih, menantang harapan pembaca dan menyoroti tema kekuasaan, iman, dan kehendak ilahi dalam pemerintahan Gereja.
Nah bagaimana ulasan-ulasan seputar Film Conclave?
Film ini unggul dalam penyutradaraan, sinematografi, dan penampilannya, memberikan pengalaman yang mencolok secara visual. Jubah merah para kardinal menonjol dengan jelas melawan palet warna yang diredam, menciptakan kontras yang mencolok dan tak terlupakan. Aktingnya patut dipuji secara keseluruhan, dengan Ralph Fiennes memberikan penampilan yang sangat kuat dalam peran utama. Film ini membangkitkan suasana drama ruang sidang klasik, mengingatkan pada 12 Angry Men dan film serupa dari pertengahan abad ke-20. Skor memperkuat suasana ini, dengan isyarat musiknya yang menegangkan dan halus. Seandainya Conclave hanya berfokus pada elemen misteri dan penceritaan dramatisnya, kemungkinan besar akan berhasil hanya pada kelebihan-kelebihan itu. Namun, ia memilih untuk melampaui itu, membuat pernyataan ideologis yang lebih luas.
Film ini mengadopsi sikap kritis dan skeptis terhadap Katolik, menggambarkan Gereja sebagai lembaga yang tidak memiliki kepastian. Narasi menunjukkan bahwa keraguan tidak hanya tak terhindarkan tetapi juga diinginkan. Setiap kardinal digambarkan didorong oleh ambisi pribadi daripada iman atau pengabdian yang tulus, memperkuat visi Gereja sebagai tempat manuver politik daripada integritas spiritual.
Inti dari pesan film ini adalah gagasan bahwa kepastian mutlak bermasalah, bahkan berbahaya. Ini mempromosikan gagasan bahwa Gereja harus menyelaraskan dirinya dengan relativisme masyarakat sekuler yang berlaku daripada tetap didasarkan pada tradisi. Kemungkinan berpegang teguh pada doktrin Katolik sambil juga mempraktikkan kebaikan dan inklusivitas bahkan tidak dipertimbangkan dalam cerita. Sebaliknya, para kardinal tampaknya termakan oleh intrik politik mereka, tidak terlalu memikirkan Kitab Suci atau ajaran Gereja.
Seperti yang diamati oleh Uskup Robert Barron, film ini menyajikan kaum konservatif sebagai ekstremis yang didorong oleh ketakutan dan progresif sebagai manipulator arogan, tidak menyisakan ruang untuk penebusan dalam penggambarannya tentang para pendeta. Sementara beberapa orang mungkin memilih untuk menghindari film sama sekali, terlibat dengannya dapat melayani tujuan yang berbeda—ini memberikan wawasan tentang kesalahpahaman yang dimiliki budaya modern tentang Gereja Katolik. Menonton dan mendiskusikan film pada akhirnya dapat menegaskan kembali kebenaran utama: kepastian ada dalam iman, tradisi memiliki nilai suci, dan cara untuk terlibat dengan dunia yang rusak bukan melalui kompromi tetapi melalui ketabahan dalam cinta, kerendahan hati, dan kebenaran.
Poin-poin Penting dari Review:
1. Strong Artistic Execution – Film ini secara visual menarik, disutradarai dengan baik, dan berakting dengan baik, dengan penggunaan warna dan suasana yang mencolok.
1. Classic Courtroom Drama Feel – Ini mengambil inspirasi dari drama hukum abad pertengahan, meningkatkan ketegangannya melalui musik dan dialog.
1. Cynical Portrayal of Catholicism – Gereja digambarkan penuh dengan korupsi, kepentingan pribadi, dan rencana politik.
1. Relativist Message – Film ini menolak gagasan kepastian dalam iman, mengadvokasi keselarasan dengan relativisme sekuler daripada kepatuhan pada tradisi.
1. Lack of Balanced Representation – Tidak ada karakter yang benar-benar mewujudkan kemungkinan kesetiaan doktrin dan penjangkauan welas asih.
1. Potential for Discussion – Meskipun cacat dalam penggambaran doktrin Katolik, film ini dapat berfungsi sebagai titik awal untuk diskusi tentang kesalahpahaman budaya tentang Gereja.
Analisa Filosofis:
1. The Nature of Certainty in Faith – Apakah kepastian merupakan komponen penting dari keyakinan agama, atau apakah iman secara inheren melibatkan keraguan? Bagaimana pemahaman Aquinas tentang akal dan wahyu mengatasi hal ini?
1. Tradition vs. Progress – Apa hubungan yang tepat antara kesinambungan sejarah dan adaptasi dalam lembaga-lembaga keagamaan? Haruskah tradisi dipandang sebagai pembatasan atau sebagai landasan panduan?
1. Depictions of Religion in Media – Sejauh mana film-film seperti Konklaf membentuk persepsi publik tentang Gereja? Bagaimana seharusnya umat Katolik terlibat dengan narasi budaya yang salah mengartikan iman mereka?
1. The Role of the Church in a Secular Society – Bagaimana Gereja dapat menanggapi meningkatnya sekularisasi sambil tetap setia pada ajarannya? Apakah mungkin untuk terlibat dengan nilai-nilai modern tanpa mengorbankan keyakinan inti?
Philosophical Inquiry Expanded Through Thomistic Thought
1. The Nature of Certainty in Faith
Tema sentral dalam Konklaf adalah gagasan bahwa kepastian dalam keyakinan agama tidak dapat dicapai atau tidak diinginkan. Pemikiran Thomistik, bagaimanapun, berpendapat bahwa iman dan akal tidak bertentangan tetapi saling melengkapi.
Aquinas, dalam Summa Theologiae (I, q.1, a.1), menegaskan bahwa teologi adalah ilmu karena berakar pada wahyu ilahi, yang memberikan kepastian di luar apa yang dapat dicapai oleh akal manusia saja. Iman (fides) bukan sekadar pendapat tetapi persetujuan terhadap kebenaran ilahi yang didasarkan pada otoritas Tuhan, yang tidak dapat menipu. Namun, Aquinas juga mengakui bahwa kecerdasan manusia berjuang dengan misteri ilahi, yang dapat menyebabkan keraguan—bukan sebagai kebajikan, tetapi sebagai tantangan yang harus diatasi melalui pemahaman yang lebih dalam (Summa Theologiae, II-II, q.2, a.10).
Sebaliknya, Konklaf tampaknya merangkul skeptisisme yang menunjukkan kebenaran agama pada akhirnya cair. Dari perspektif Thomistik, ini adalah kesalahpahaman tentang sifat iman. Iman mencari pemahaman (fides quaerens intellectum), tetapi tidak bergantung pada preferensi pribadi atau ketidakpastian relativistik. Hati nurani yang terbentuk dengan benar, diterangi oleh kasih karunia dan akal, menegaskan kepastian dalam kebenaran teologis—seperti keberadaan Allah, keilahian Kristus, dan hukum moral—tanpa mereduksi iman menjadi konstruksi sosial politik belaka.
Pertanyaan Kunci: Bagaimana orang percaya bisa menavigasi keraguan tanpa menyerah pada skeptisisme? Bagaimana Thomisme memberikan jalan tengah antara fideisme buta dan ketidakpastian radikal?
2. Tradition vs. Progress: The Proper Relationship Between Continuity and Adaptation
Film ini tampaknya menunjukkan bahwa Gereja harus meninggalkan tradisi agar tetap relevan, kritik modern yang umum. Namun, Aquinas menawarkan perspektif yang lebih bernuansa tentang kontinuitas dan adaptasi.
Bagi Aquinas, kebenaran abadi dan berakar pada hukum abadi (lex aeterna)—tatanan ilahi yang ditetapkan oleh Tuhan (Summa Theologiae, I-II, q.91, a.1). Hukum manusia dan tradisi gerejawi (lex humana) berkembang dari waktu ke waktu tetapi harus selalu selaras dengan hukum abadi. Gereja, kemudian, tidak terikat pada stasis yang tidak kritis, tetapi juga tidak dapat mengkompromikan kebenaran ilahi demi tren budaya.
Aquinas juga membedakan antara prinsip-prinsip yang tidak dapat diubah (misalnya, hukum moral, sakramen) dan adat istiadat yang dapat diubah (misalnya, praktik disiplin). Perkembangan otentik di dalam Gereja terjadi ketika tradisi semakin dalam ekspresinya tanpa bertentangan dengan kebenaran dasarnya (Summa Theologiae, I-II, q.97, a.2).
Pertanyaan Kunci: Bagaimana Gereja dapat membedakan dengan benar antara perkembangan organik yang sah dan perubahan yang merusak integritas doktrinal?
3. Depictions of Religion in Media and the Challenge of Misrepresentation
Aquinas tidak terlibat dengan media modern, tetapi pemahamannya tentang peran kecerdasan dan imajinasi manusia dapat menginformasikan bagaimana kita menganalisis penggambaran iman dalam film. Dia berpendapat bahwa pengetahuan manusia datang melalui indera dan dibentuk oleh gambar (phantasmata), yang berarti bahwa representasi budaya iman memengaruhi bagaimana orang melihatnya (Summa Theologiae, I, q.84, a.7).
Jika media secara konsisten menggambarkan Gereja sebagai korup dan mementingkan diri sendiri, imajinasi publik akan dibentuk sesuai dengan itu. Tanggapan Thomistik terhadap ini bukan hanya kemarahan tetapi keterlibatan. Sama seperti Aquinas berusaha mengklarifikasi kesalahpahaman tentang Kekristenan dengan terlibat dengan pemikiran Aristoteles dan Islam, umat Katolik harus secara kritis menganalisis narasi media dan menanggapi dengan argumen yang masuk akal.
Lebih lanjut, Aquinas mengajarkan bahwa keindahan (pulchrum) adalah sifat transendental dari keberadaan, terkait erat dengan kebenaran dan kebaikan (Summa Theologiae, I, q.5, a.4). Sebuah film yang mendistorsi kebenaran merusak integritas estetikanya sendiri. Tantangan bagi keterlibatan Katolik dengan media, kemudian, adalah untuk menumbuhkan narasi yang mencerminkan realitas dengan lebih setia sambil menangani isu-isu nyata di dalam Gereja.
Pertanyaan Kunci: Bagaimana seharusnya umat Katolik terlibat dengan narasi budaya yang salah mengartikan iman? Bagaimana keindahan dan kebenaran dapat dipulihkan dalam bernarasi/storytelling?
4. The Role of the Church in a Secular Society
Film ini menyiratkan bahwa Gereja harus menyesuaikan diri dengan sekularisme modern agar tetap relevan. Aquinas berpendapat bahwa misi Gereja bukanlah untuk beradaptasi dengan perubahan mode moral dunia tetapi untuk memanggil dunia pada kebaikan tertingginya—persatuan dengan Allah.
Aquinas mendefinisikan hukum sebagai tata cara akal untuk kebaikan bersama (Summa Theologiae, I-II, q.90, a.4). Hukum ilahi, seperti yang diungkapkan dalam Kristus dan dipelihara oleh Gereja, adalah bentuk tertinggi dari hukum ini, membimbing umat manusia menuju tujuan akhirnya. Jika Gereja meninggalkan hukum ilahi demi relativisme, itu tidak akan lagi melayani kebaikan bersama tetapi hanya menggemakan preferensi sementara zaman itu.
Konon, Aquinas tidak menganjurkan isolasi. Gereja dipanggil untuk melibatkan dunia melalui akal, kebajikan, dan kesaksian (Summa Contra Gentiles, I, bab 2). Evangelisasi membutuhkan kesabaran, dialog, dan kasih amal, tetapi itu tidak memerlukan kompromi doktrinal. Sebaliknya, Gereja harus mencontohkan kekudusan yang bertentangan dengan kebingungan moral sekularisme, bertindak sebagai ragi di dunia daripada larut ke dalamnya.
Pertanyaan Kunci: Bagaimana Gereja dapat mempertahankan integritas doktrinalnya sambil terlibat secara bermakna dengan budaya sekuler?
Conclusion
Melalui lensa Thomistik, Konklaf menyajikan visi Gereja yang terdistorsi, mereduksinya menjadi intrik politik dan relativisme moral. Aquinas menyediakan kerangka kerja untuk menanggapi tema-tema ini dengan jelas:
1. Iman tidak bertentangan dengan akal tetapi didasarkan pada kepastian ilahi.
2. Tradisi tidak statis tetapi berkembang secara organik tanpa bertentangan dengan kebenaran fundamental.
3. Representasi budaya membentuk persepsi, dan umat Katolik harus terlibat secara kritis dengan media.
4. Gereja tidak menyesuaikan diri dengan sekularisme tetapi memanggil dunia kepada kebenaran yang lebih tinggi.
Terlibat dengan film-film seperti Conclave dapat menjadi kesempatan untuk mendiskusikan isu-isu filosofis dan teologis yang lebih dalam ini.
0 komentar:
Posting Komentar