Akhir dari Keberadaan Manusia: Sebuah Renungan Filosofis dan Teologis
Pertanyaan tentang Eksistensi Manusia
Setiap manusia, pada suatu titik dalam hidupnya, pasti merenungkan keberadaannya. Mengapa kita ada? Apa tujuan kita? Apakah keberadaan kita hanyalah hasil dari proses evolusi yang kebetulan? Atau, apakah kita lebih dari sekadar debu kosmik yang sementara?
Katekismus Gereja Katolik (KGK) sejak awal menegaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam rencana kasih-Nya yang sempurna, dengan tujuan agar manusia dapat berpartisipasi dalam kebahagiaan-Nya (KGK, 1). Dengan kata lain, keberadaan manusia bukanlah suatu kebetulan, melainkan bagian dari rencana ilahi yang memiliki makna mendalam.
Tujuan Penciptaan Manusia
Ketika kita bertanya, "Apa yang telah Allah lakukan bagi kita?", ada dua perspektif yang dapat diambil: perspektif Allah dan perspektif manusia. Dari sisi Allah, manusia diciptakan untuk memperlihatkan kebaikan-Nya. Ini bukan berarti Allah ingin "memamerkan" diri-Nya, tetapi karena Dia adalah keberadaan yang sempurna, maka segala sesuatu yang dilakukan-Nya juga harus sempurna dan mencerminkan kebaikan-Nya. Keberadaan kita sendiri adalah bukti dari kekuasaan dan kasih-Nya yang tak terbatas.
Di sisi lain, dari perspektif manusia, tujuan penciptaan kita adalah untuk berpartisipasi dalam kehidupan Ilahi. Tuhan menghendaki kita mengalami kebahagiaan yang sejati dan abadi—sebuah kebahagiaan yang jauh melampaui kesenangan duniawi. Inilah sebabnya mengapa filsuf besar seperti Aristoteles dan Santo Thomas Aquinas berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir manusia. Hanya dalam Tuhanlah kebahagiaan sejati dapat ditemukan.
Jalan Menuju Kebahagiaan Abadi
Banyak orang berpikir bahwa surga adalah sekadar tempat pertemuan kembali dengan orang-orang yang kita cintai. Sebenarnya, surga lebih dari itu. Kebahagiaan surga terletak dalam persekutuan penuh dengan Allah, yang dalam kehidupan ini hanya dapat kita kasihi dengan terbatas. Agar kita dapat mencapai tujuan ini, kita harus mulai mengasihi Tuhan dalam hidup sekarang.
Jika seseorang meninggalkan dunia ini tanpa cinta kepada Tuhan, ia akan kehilangan kesempatan untuk melihat-Nya dalam kekekalan. Bukan karena Tuhan menolak dia, tetapi karena orang tersebut telah memilih untuk hidup tanpa kasih Ilahi. Seperti seorang buta yang tidak dapat melihat cahaya matahari, demikian pula seseorang yang hatinya tertutup terhadap kasih Allah tidak akan mampu melihat Dia dalam kehidupan kekal.
Menemukan dan Mengenal Allah
Kita tidak bisa mencintai apa yang tidak kita kenal. Oleh karena itu, tugas kita adalah untuk terus belajar tentang Tuhan agar dapat mengasihi-Nya dengan lebih dalam. Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa Allah selalu dekat dengan manusia, memanggil mereka untuk mencari, mengenal, dan mengasihi-Nya (KGK, 1).
Tetapi bagaimana kita dapat mengenal Allah? Jawabannya ada dalam wahyu ilahi. Allah tidak hanya memberikan manusia sebuah buku untuk dipelajari, tetapi Dia sendiri datang ke dunia dalam pribadi Yesus Kristus. Melalui Yesus, kita belajar tentang kebenaran yang membawa kita kepada Allah dan tentang bagaimana kita dapat menjalani hidup dalam kasih kepada-Nya.
Gereja sebagai Sarana Keselamatan
Meskipun Yesus telah naik ke surga, Dia tetap hadir melalui Gereja-Nya. Gereja, sebagai Tubuh Mistik Kristus, menjadi sarana utama bagi manusia untuk memahami kebenaran iman dan bertumbuh dalam kasih kepada Allah. Pengajaran Gereja telah dirangkum dalam Pengakuan Iman, yang berisi kebenaran-kebenaran mendasar bagi kehidupan Kristen.
Wahyu Ilahi disampaikan melalui tiga sumber utama: Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium Gereja. Ketiganya membentuk dasar bagi iman kita, membimbing kita dalam mencari kebenaran, dan meneguhkan kita dalam perjalanan menuju kehidupan kekal.
Kesimpulan
Keberadaan manusia tidaklah sia-sia. Kita diciptakan dengan tujuan yang mulia: untuk mengenal, mengasihi, dan berpartisipasi dalam kebahagiaan Ilahi. Namun, untuk mencapai tujuan ini, kita harus secara sadar memilih untuk mengasihi Allah dan menjalani hidup sesuai dengan kehendak-Nya.
Sebagaimana Allah telah menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui wahyu, kita dipanggil untuk merespons dengan iman, pengharapan, dan kasih. Dengan demikian, perjalanan hidup kita bukan hanya sekadar melewati waktu, tetapi sebuah persiapan menuju kebahagiaan kekal yang telah disediakan bagi kita dalam kasih Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar