Kebangkitan Seorang Imam Muda: Karol Wojtyla dan Panggilan untuk Membela Cinta
Di tengah kegelapan pendudukan Nazi di Kraków, seorang pemuda bernama Karol Wojtyla menemukan dirinya tertarik pada seorang pria luar biasa—Jan Tyranowski, seorang penjahit yang memiliki jiwa mistikus. Ketika para imam setempat ditangkap atau dibunuh, Tyranowski melangkah maju, bukan dengan pendidikan teologi formal, tetapi dengan spiritualitas yang dalam, berakar pada mistisisme Karmelit. Dialah yang memberikan Wojtyla sebuah buku yang kelak mengubah cara berpikirnya: Pendakian Gunung Karmel karya St. Yohanes dari Salib.
Bagi Wojtyla, yang sudah
menjadi penyair dan pencari makna, pertemuan ini seperti kunci yang membuka
jalan tersembunyi. Tulisan Yohanes dari Salib begitu menggema dalam jiwanya,
membentuk spiritualitasnya seumur hidup. Tetapi Wojtyla tidak puas hanya merenungkan
misteri iman dalam kesunyian. Begitu ditahbiskan sebagai imam, ia mendapati
dirinya dikelilingi oleh anak-anak muda—mahasiswa, pasangan yang bersiap untuk
menikah, teman-teman yang bergumul dengan makna cinta dan komitmen. Mereka
tidak bertanya tentang teologi secara abstrak; mereka ingin bimbingan tentang
bagaimana mencintai, bagaimana membangun hubungan yang langgeng, bagaimana
menavigasi kompleksitas hasrat dan tanggung jawab.
Dalam perjumpaan-perjumpaan
inilah Wojtyla mulai menyadari sesuatu yang mengusik hatinya. Ini adalah awal
tahun 1950-an, masa ketika dunia berubah dengan cepat, bukan hanya secara
politik di bawah bayang-bayang komunisme, tetapi juga secara budaya. Anak-anak
muda berbicara tentang cinta dengan cara yang terasa... berbeda. Ada sesuatu
yang bergeser. Wojtyla merasakan bahwa pemikiran modern mulai mendistorsi
hakikat cinta manusia itu sendiri. Ini bukan sekadar persoalan ideologi yang
dipaksakan oleh negara—ada sesuatu yang lebih dalam sedang terjadi dalam
filsafat Barat, dalam budaya, dalam cara orang memandang diri mereka sendiri
dan satu sama lain.
Dengan tekad untuk memahami
fenomena ini, Wojtyla mendalami karya para filsuf modern—Scheler, Husserl,
Kant. Ia menyerap gagasan-gagasan mereka tetapi tidak menerimanya begitu saja.
Sebaliknya, ia memulai misi besar: membangun kembali visi tentang cinta manusia
yang sejati, holistik, dan berakar dalam martabat pribadi manusia.
Pendekatannya tergolong tidak
biasa. Di Universitas Katolik Lublin, tempat ia mengajar, (dan tempat di mana
saya pernah sekolah --) Thomisme adalah arus utama. Sebagian besar akademisi di
sana memandang filsafat modern dengan curiga, meyakini bahwa segala sesuatu
setelah Descartes adalah serangkaian kesalahan yang menyesatkan manusia dari
kebenaran. Namun, Wojtyla memiliki pandangan berbeda. Ia tidak takut untuk
berdialog dengan gagasan-gagasan kontemporer, meskipun hal itu membuatnya
menghadapi skeptisisme dari rekan-rekannya. Bukunya Cinta dan Tanggung Jawab,
yang diterbitkan pada tahun 1958, mengejutkan banyak orang—terutama karena
pembahasannya yang panjang tentang seksologi. Ia berpendapat bahwa wawasan
ilmiah modern sebenarnya dapat memperkaya pemahaman Gereja tentang seksualitas,
asalkan ditempatkan dalam kerangka moral yang benar.
Beberapa orang bercanda bahwa
jika Wojtyla menerbitkan karyanya di Roma alih-alih di balik Tirai Besi, ia
mungkin sudah masuk daftar larangan seperti banyak teolog progresif pada
masanya. Tetapi tersembunyi di Polandia, ia bebas mengembangkan pemikirannya
tanpa gangguan.
Bertahun-tahun kemudian,
ketika ia menjadi Paus Yohanes Paulus II, refleksinya tentang cinta,
pernikahan, dan tubuh manusia berkembang menjadi apa yang sekarang dikenal
sebagai Teologi Tubuh. Namun bahkan saat itu, ia menghadapi dunia yang
semakin dibentuk oleh cara berpikir baru—di mana kesenangan harus segera
diperoleh, perasaan menjadi segalanya, dan “menjadi diri sendiri” adalah nilai
tertinggi. Wojtyla melihat bahaya dalam hal ini. Memang, kesenangan, emosi, dan
keaslian memiliki tempatnya, tetapi jika dibawa ke ekstrem, hal-hal ini bisa
mereduksi hubungan manusia menjadi sekadar pengalaman sesaat daripada komitmen
seumur hidup.
Tantangannya terhadap dunia
modern sederhana namun mendalam: Cinta bukan hanya soal perasaan atau
keinginan—tetapi tentang pemberian diri. Dan dalam pemberian diri itulah,
kebebasan dan kebahagiaan sejati ditemukan.
0 komentar:
Posting Komentar