Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Selasa, 04 Maret 2025

Kebangkitan Seorang Imam Muda: Karol Wojtyla dan Panggilan untuk Membela Cinta

 

Di tengah kegelapan pendudukan Nazi di Kraków, seorang pemuda bernama Karol Wojtyla menemukan dirinya tertarik pada seorang pria luar biasa—Jan Tyranowski, seorang penjahit yang memiliki jiwa mistikus. Ketika para imam setempat ditangkap atau dibunuh, Tyranowski melangkah maju, bukan dengan pendidikan teologi formal, tetapi dengan spiritualitas yang dalam, berakar pada mistisisme Karmelit. Dialah yang memberikan Wojtyla sebuah buku yang kelak mengubah cara berpikirnya: Pendakian Gunung Karmel karya St. Yohanes dari Salib.

 

Bagi Wojtyla, yang sudah menjadi penyair dan pencari makna, pertemuan ini seperti kunci yang membuka jalan tersembunyi. Tulisan Yohanes dari Salib begitu menggema dalam jiwanya, membentuk spiritualitasnya seumur hidup. Tetapi Wojtyla tidak puas hanya merenungkan misteri iman dalam kesunyian. Begitu ditahbiskan sebagai imam, ia mendapati dirinya dikelilingi oleh anak-anak muda—mahasiswa, pasangan yang bersiap untuk menikah, teman-teman yang bergumul dengan makna cinta dan komitmen. Mereka tidak bertanya tentang teologi secara abstrak; mereka ingin bimbingan tentang bagaimana mencintai, bagaimana membangun hubungan yang langgeng, bagaimana menavigasi kompleksitas hasrat dan tanggung jawab.

 

Dalam perjumpaan-perjumpaan inilah Wojtyla mulai menyadari sesuatu yang mengusik hatinya. Ini adalah awal tahun 1950-an, masa ketika dunia berubah dengan cepat, bukan hanya secara politik di bawah bayang-bayang komunisme, tetapi juga secara budaya. Anak-anak muda berbicara tentang cinta dengan cara yang terasa... berbeda. Ada sesuatu yang bergeser. Wojtyla merasakan bahwa pemikiran modern mulai mendistorsi hakikat cinta manusia itu sendiri. Ini bukan sekadar persoalan ideologi yang dipaksakan oleh negara—ada sesuatu yang lebih dalam sedang terjadi dalam filsafat Barat, dalam budaya, dalam cara orang memandang diri mereka sendiri dan satu sama lain.

 

Dengan tekad untuk memahami fenomena ini, Wojtyla mendalami karya para filsuf modern—Scheler, Husserl, Kant. Ia menyerap gagasan-gagasan mereka tetapi tidak menerimanya begitu saja. Sebaliknya, ia memulai misi besar: membangun kembali visi tentang cinta manusia yang sejati, holistik, dan berakar dalam martabat pribadi manusia.

 

Pendekatannya tergolong tidak biasa. Di Universitas Katolik Lublin, tempat ia mengajar, (dan tempat di mana saya pernah sekolah --) Thomisme adalah arus utama. Sebagian besar akademisi di sana memandang filsafat modern dengan curiga, meyakini bahwa segala sesuatu setelah Descartes adalah serangkaian kesalahan yang menyesatkan manusia dari kebenaran. Namun, Wojtyla memiliki pandangan berbeda. Ia tidak takut untuk berdialog dengan gagasan-gagasan kontemporer, meskipun hal itu membuatnya menghadapi skeptisisme dari rekan-rekannya. Bukunya Cinta dan Tanggung Jawab, yang diterbitkan pada tahun 1958, mengejutkan banyak orang—terutama karena pembahasannya yang panjang tentang seksologi. Ia berpendapat bahwa wawasan ilmiah modern sebenarnya dapat memperkaya pemahaman Gereja tentang seksualitas, asalkan ditempatkan dalam kerangka moral yang benar.

 

Beberapa orang bercanda bahwa jika Wojtyla menerbitkan karyanya di Roma alih-alih di balik Tirai Besi, ia mungkin sudah masuk daftar larangan seperti banyak teolog progresif pada masanya. Tetapi tersembunyi di Polandia, ia bebas mengembangkan pemikirannya tanpa gangguan.

Bertahun-tahun kemudian, ketika ia menjadi Paus Yohanes Paulus II, refleksinya tentang cinta, pernikahan, dan tubuh manusia berkembang menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai Teologi Tubuh. Namun bahkan saat itu, ia menghadapi dunia yang semakin dibentuk oleh cara berpikir baru—di mana kesenangan harus segera diperoleh, perasaan menjadi segalanya, dan “menjadi diri sendiri” adalah nilai tertinggi. Wojtyla melihat bahaya dalam hal ini. Memang, kesenangan, emosi, dan keaslian memiliki tempatnya, tetapi jika dibawa ke ekstrem, hal-hal ini bisa mereduksi hubungan manusia menjadi sekadar pengalaman sesaat daripada komitmen seumur hidup.

 

Tantangannya terhadap dunia modern sederhana namun mendalam: Cinta bukan hanya soal perasaan atau keinginan—tetapi tentang pemberian diri. Dan dalam pemberian diri itulah, kebebasan dan kebahagiaan sejati ditemukan.

 

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive