MENGAPA UMAT KATOLIK MENERIMA ABU DI AWAL PRAPASKAH?
Niech bedze….
Salve fratres,
Di sebuah pagi yang tenang, di awal masa Prapaskah, diringi
kicau burung dan kokok ayam pagi yang merdu, umat Katolik dari berbagai penjuru
dunia berkumpul di gereja. Hari itu adalah Rabu Abu, sebuah tradisi tua yang
sarat makna, menandai dimulainya perjalanan rohani selama 40 hari menuju
Paskah. Satu per satu, mereka maju ke depan altar, dan seorang imam dengan
lembut menorehkan abu di dahi mereka, sambil mengucapkan, "Ingatlah
bahwa engkau adalah debu, dan kepada debu engkau akan kembali."
Ternyata, Ada Jejak Sejarah dalam Debu dan Abu
Tradisi ini bukanlah hal baru.
Jauh sebelum kekristenan berkembang, abu telah lama menjadi simbol pertobatan
dan kerendahan hati dalam tradisi Yahudi. Kitab Suci mencatat bagaimana
tokoh-tokoh besar seperti Ayub duduk di atas abu dalam penderitaan dan doa
(Ayub 2:8), dan bagaimana Daniel mengenakan kain kabung serta menaburkan abu
sebagai tanda permohonan kepada Tuhan (Daniel 9:3).
Ketika agama Kristen mulai
berkembang, praktik ini diadopsi sebagai tanda penyesalan atas dosa. Bahkan
dalam Kitab Yehezkiel (Yehezkiel 9:4), Tuhan memerintahkan agar tanda
khusus—huruf "Thau" yang menyerupai salib—dibuat di dahi mereka yang
berduka atas dosa. Kemudian, dalam Wahyu 7:3, para hamba Tuhan disebut menerima
tanda di dahi mereka, sebuah gambaran yang oleh Gereja dipahami sebagai
pemenuhan janji keselamatan dalam baptisan.
Seiring berjalannya waktu,
sekitar abad ke-10 atau ke-11, kebiasaan menerima abu pada Rabu Abu berkembang
menjadi tradisi universal bagi seluruh umat Katolik, bukan hanya bagi mereka
yang melakukan penitensi publik. Konsili Benevento tahun 1091 menjadi salah
satu momen penting yang memperkuat praktik ini di Gereja Barat.
Abu yang digunakan pun memiliki
makna yang mendalam. Ia berasal dari daun palma yang telah diberkati pada
Minggu Palma tahun sebelumnya, yang kemudian dibakar dan kadang dicampur dengan
air suci atau minyak. Dengan demikian, abu itu menghubungkan kemuliaan
kemenangan Yesus saat memasuki Yerusalem dengan kerendahan hati pertobatan di
masa Prapaskah.
Kita juga bisa menyimak Makna
Simbolik pada perayaan pagi yang hening terebut: Abu, Salib, dan Kehidupan yang
Sementara
Ketika abu ditorehkan di dahi
dalam bentuk salib, ia membawa dua pesan penting: kesementaraan hidup
manusia dan ajakan untuk bertobat. Kata-kata yang diucapkan imam
mengingatkan bahwa manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu
(Kejadian 3:19). Ini adalah realitas yang tak terelakkan—hidup di dunia ini
bersifat fana, namun ada harapan akan kehidupan kekal.
Prapaskah sendiri adalah
perjalanan spiritual yang mengikuti jejak Yesus saat berpuasa selama 40 hari di
padang gurun (Matius 4:1-11). Abu di dahi adalah tanda dimulainya perjalanan
ini—sebuah undangan untuk kembali kepada Tuhan, meninggalkan dosa, dan mempersiapkan
hati bagi kebangkitan Kristus di Paskah. Selain itu, abu yang tampak jelas di
dahi menjadi bentuk kesaksian iman, meski tidak dimaksudkan untuk dipamerkan
secara berlebihan (Matius 6:1).
Bertolak
lebih ke dalam mari kita menangkap Dimensi Teologisnya: Dosa, Kasih Karunia,
dan Keselamatan
Dalam pandangan teologi
Katolik, Rabu Abu berkaitan erat dengan realitas dosa, kasih karunia, dan
keselamatan. Abu melambangkan dampak Kejatuhan Manusia setelah dosa Adam dan
Hawa (Kejadian 3), tetapi bentuk salib di dahi mengingatkan pada kemenangan Kristus
atas dosa melalui sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya. Ini adalah paradoks:
manusia memang rapuh dan berdosa, tetapi juga ditebus dan dipanggil menuju
kekudusan.
Penerimaan abu bukanlah
sakramen yang menghapus dosa seperti Sakramen Tobat, tetapi ia adalah sakramentali—sebuah
tanda lahiriah yang membantu membuka hati untuk pertobatan sejati. Dalam
semangat Prapaskah, praktik ini sejalan dengan tiga pilar utama: doa,
puasa, dan amal kasih. Semua ini bukan sekadar ritual, tetapi sarana untuk
semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dan sesama.
Dan demikianlah, di hari itu,
dengan abu di dahi dan hati yang merenung, umat Katolik melangkah pulang.
Mereka memasuki Prapaskah bukan hanya dengan tanda di wajah, tetapi juga dengan
tekad di hati—untuk berubah, bertumbuh, dan kembali kepada Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar