Kapal yang Tidak Pernah Tenggelam: Visi Thomistik tentang Kesempurnaan (Indefectibilitas) Gereja
Bayangkan sebuah kapal, tidak dibuat oleh tangan manusia, tetapi dirancang oleh Arsitek Ilahi itu sendiri. Kapal ini, yang dibangun untuk keselamatan jiwa, berlayar melintasi lautan sejarah yang luas dan penuh badai. Perairan di bawahnya tidak dapat diprediksi—terkadang tenang, terkadang mengamuk—tetapi kapal itu sendiri, meskipun babak belur dan lapuk, tidak akan pernah tenggelam. Mengapa? Karena fondasinya bukan hanya kayu dan besi, juga tidak ditentukan oleh navigasi manusia belaka. Itu ditopang oleh kekuatan yang jauh lebih besar daripada awaknya, sebuah janji yang tak tergoyahkan dari pembangunnya: "Gerbang neraka tidak akan menang melawannya" (Mat 16:18).
Beginilah cara St. Thomas Aquinas memahami Gereja Katolik. Ini bukan hanya sebuah lembaga yang dibangun oleh manusia; itu adalah realitas ilahi, sesuatu yang tidak ada dengan sendirinya tetapi berpartisipasi dalam kehidupan Kristus, yang Berada Sendiri (Ipsum Esse Subsistens). Aquinas, mengikuti prinsip-prinsip metafisik yang ia warisi dari Aristoteles dan wahyu Kristen, melihat semua makhluk ciptaan menerima keberadaannya dari Tuhan, yang adalah satu-satunya kepenuhan Keberadaan. Jika Gereja benar-benar adalah Tubuh Mistik Kristus, maka ia juga mengambil bagian dalam realitas ilahi ini. Jika Kristus kekal, maka Gereja—Tubuh-Nya—juga harus tidak cacat.
Tapi apa yang dimaksud dengan ketidakcacatan ? Itu tidak berarti bahwa anggota individu Gereja—baik itu paus, uskup, imam, atau awam—tidak mampu melakukan kesalahan atau dosa. Sejarah, seperti yang diketahui Aquinas dengan baik, penuh dengan kegagalan, korupsi, dan kelemahan moral di dalam jajaran Gereja. Namun, terlepas dari kegagalan ini, sesuatu yang luar biasa telah terjadi: Gereja tidak pernah berhenti menjadi Gereja.
Peran Penyelenggaraan Ilahi: Mengapa Gereja Tidak Bisa Gagal
Aquinas mengajarkan bahwa providentia Dei pemeliharaan Allah mengarahkan segala sesuatu ke tujuan yang tepat (ST I, q. 22, a. 1). Setiap realitas yang diciptakan, dari sehelai rumput terkecil hingga malaikat terbesar, ada dan beroperasi sesuai dengan rencana kekal Allah. Tetapi jika pemeliharaan Allah mengatur segala sesuatu, apalagi itu harus mengatur Gereja-Nya sendiri, sarana yang Dia tetapkan untuk keselamatan umat manusia?
Jika Gereja bisa gagal—jika bisa jatuh ke dalam bidaah total, dihancurkan, atau kehilangan sifat esensialnya—ini akan menyiratkan bahwa:
1. Pemeliharaan Tuhan tidak efektif, yang berarti bahwa Dia menghendaki Gereja untuk bertahan tetapi tidak dapat memastikannya.
2. Tuhan mengubah pikiran-Nya, membiarkan Gereja runtuh meskipun telah menetapkannya sebagai alat keselamatan.
Keduanya tidak mungkin. Tuhan, seperti yang dijelaskan Aquinas, tidak berubah (immutabilis) dan kehendak-Nya selalu efektif (ST I, q. 19, a. 3). Apa yang Allah tetapkan, Dia menggenapinya. Jika Kristus sendiri mendirikan Gereja dan memberinya janji-Nya, maka itu harus bertahan, bukan dengan kekuatan manusia, tetapi dengan kausalitas ilahi.
Inilah sebabnya mengapa ketidakcacatan Gereja bukan hanya harapan teologis – itu adalah kebutuhan logis. Tuhan yang sama yang menopang kosmos dan memastikan bahwa matahari terbit setiap hari telah menghendaki agar Gereja menjadi sarana keselamatan sampai akhir zaman.
Visibilitas Gereja dan Ordo Sakramental
Aquinas jelas bahwa kasih karunia dibangun di atas natura (ST I, q. 1, a. 8; I-II, q. 110, a. 2). Tuhan tidak menghancurkan tatanan alami tetapi menyempurnakannya. Ini berarti bahwa Gereja bukan hanya realitas tak terlihat yang hanya diketahui oleh Allah—itu adalah masyarakat historis yang terlihat yang harus bertahan sepanjang waktu.
Jika Gereja menghilang atau menjadi realitas yang sepenuhnya tersembunyi, apa yang akan terjadi pada sakramen-sakramen, yang merupakan sarana yang dengannya Kristus membagikan rahmat? Sakramen-sakramen—baptisan, Ekaristi, pengakuan, dan sisanya—membutuhkan Gereja yang terlihat dan terstruktur untuk menyelenggarakannya. Jika Gereja dapat berhenti ada, ini berarti bahwa pekerjaan pengudusan Kristus akan terganggu, yang bertentangan dengan alasan Inkarnasi-Nya.
Oleh karena itu, ketidakcacatan Gereja menuntut tidak hanya bahwa Gereja tidak pernah jatuh, tetapi juga bahwa Gereja selalu terlihat dan beroperasi secara sakramental. Kapal mungkin bertahan dalam badai, tetapi akan selalu mengapung, membimbing jiwa-jiwa ke tujuan akhir mereka.
Kristus sebagai Kepala Gereja: Sumber Kesempurnaan
Aquinas berbicara secara luas tentang Kristus sebagai Kepala Gereja (ST III, q. 8, a. 1). Sama seperti tubuh yang hidup menerima kehidupan dan arahan dari kepalanya, demikian pula Gereja menerima bimbingan, kekuatan, dan kekudusannya dari Kristus.
Ini berarti bahwa bahkan ketika anggota Gereja tertentu—paus, uskup, atau orang awam—gagal dalam tugas mereka, Gereja secara keseluruhan tidak dapat dirusak. Mengapa? Karena kehidupannya yang sejati bukan berasal dari anggota manusianya, tetapi dari Kristus sendiri.
Bayangkan sebuah pohon dengan cabang-cabang yang sakit. Beberapa bagian pohon mungkin layu, tetapi selama akarnya tetap hidup, pohon itu sendiri tidak akan pernah mati. Hal yang sama berlaku untuk Gereja. Anggota-anggotanya mungkin jatuh, para pemimpinnya mungkin salah, tetapi Kristus tetap menjadi akarnya dan sumber kehidupannya.
Krisis, Bidaah, dan Pemurnian Gereja
Sejarah dipenuhi dengan saat-saat krisis besar dalam Gereja—saat-saat ketika bidaah tampaknya mengejar umat beriman, ketika korupsi dalam hierarki merajalela, ketika bahkan paus gagal dalam tugas moral dan teologis mereka.
Selama krisis Arian, sebagian besar uskup menerima doktrin yang menyangkal keilahian Kristus. Namun, iman yang benar dipelihara dan akhirnya menang.
Selama Skisma Barat Besar, beberapa penggugat kepausan menyebabkan kebingungan besar-besaran, tetapi Gereja akhirnya muncul bersatu.
Selama Reformasi, seluruh bangsa memisahkan diri dari Gereja, namun iman Katolik bertahan dan diperbarui melalui Kontra-Reformasi.
Masing-masing krisis ini tampaknya, pada saat itu, seperti ancaman eksistensial bagi Gereja. Namun, dalam setiap kasus, Gereja tidak hanya bertahan tetapi juga muncul lebih kuat.
Aquinas akan mengatakan bahwa inilah tepatnya bagaimana Tuhan mengizinkan kejahatan demi kebaikan yang lebih besar (ST I, q. 22, a. 2). Pencobaan Gereja bukanlah tanda-tanda kehancurannya tetapi pemurniannya. Seperti emas dalam tungku, Gereja dimurnikan oleh penderitaan, tetapi tidak pernah hangus terbakar.
Kesimpulan: Realitas Gereja yang Tak Tergoyahkan
Bagi Aquinas, ketidakcacatan Gereja sama pastinya dengan keberadaan Tuhan itu sendiri. Ini adalah kebutuhan logis, konsekuensi dari pemeliharaan ilahi, dan perpanjangan dari kehidupan Kristus sendiri yang tidak dapat dihancurkan.
Badai akan datang. Kru mungkin goyah. Kapal mungkin dihantam ombak, dan anggota-anggotanya mungkin putus asa. Tetapi kapal itu sendiri tidak akan pernah tenggelam, karena itu dibangun oleh Tuan laut, dan firman-Nya tidak boleh gagal.
Selama Kristus tetap ada, demikian pula Gereja-Nya—mercusuar kebenaran, perlindungan bagi orang-orang berdosa, dan bejana yang akan membawa jiwa-jiwa pulang dengan selamat.
Beginilah cara St. Thomas Aquinas memahami Gereja Katolik. Ini bukan hanya sebuah lembaga yang dibangun oleh manusia; itu adalah realitas ilahi, sesuatu yang tidak ada dengan sendirinya tetapi berpartisipasi dalam kehidupan Kristus, yang Berada Sendiri (Ipsum Esse Subsistens). Aquinas, mengikuti prinsip-prinsip metafisik yang ia warisi dari Aristoteles dan wahyu Kristen, melihat semua makhluk ciptaan menerima keberadaannya dari Tuhan, yang adalah satu-satunya kepenuhan Keberadaan. Jika Gereja benar-benar adalah Tubuh Mistik Kristus, maka ia juga mengambil bagian dalam realitas ilahi ini. Jika Kristus kekal, maka Gereja—Tubuh-Nya—juga harus tidak cacat.
Tapi apa yang dimaksud dengan ketidakcacatan ? Itu tidak berarti bahwa anggota individu Gereja—baik itu paus, uskup, imam, atau awam—tidak mampu melakukan kesalahan atau dosa. Sejarah, seperti yang diketahui Aquinas dengan baik, penuh dengan kegagalan, korupsi, dan kelemahan moral di dalam jajaran Gereja. Namun, terlepas dari kegagalan ini, sesuatu yang luar biasa telah terjadi: Gereja tidak pernah berhenti menjadi Gereja.
Peran Penyelenggaraan Ilahi: Mengapa Gereja Tidak Bisa Gagal
Aquinas mengajarkan bahwa providentia Dei pemeliharaan Allah mengarahkan segala sesuatu ke tujuan yang tepat (ST I, q. 22, a. 1). Setiap realitas yang diciptakan, dari sehelai rumput terkecil hingga malaikat terbesar, ada dan beroperasi sesuai dengan rencana kekal Allah. Tetapi jika pemeliharaan Allah mengatur segala sesuatu, apalagi itu harus mengatur Gereja-Nya sendiri, sarana yang Dia tetapkan untuk keselamatan umat manusia?
Jika Gereja bisa gagal—jika bisa jatuh ke dalam bidaah total, dihancurkan, atau kehilangan sifat esensialnya—ini akan menyiratkan bahwa:
1. Pemeliharaan Tuhan tidak efektif, yang berarti bahwa Dia menghendaki Gereja untuk bertahan tetapi tidak dapat memastikannya.
2. Tuhan mengubah pikiran-Nya, membiarkan Gereja runtuh meskipun telah menetapkannya sebagai alat keselamatan.
Keduanya tidak mungkin. Tuhan, seperti yang dijelaskan Aquinas, tidak berubah (immutabilis) dan kehendak-Nya selalu efektif (ST I, q. 19, a. 3). Apa yang Allah tetapkan, Dia menggenapinya. Jika Kristus sendiri mendirikan Gereja dan memberinya janji-Nya, maka itu harus bertahan, bukan dengan kekuatan manusia, tetapi dengan kausalitas ilahi.
Inilah sebabnya mengapa ketidakcacatan Gereja bukan hanya harapan teologis – itu adalah kebutuhan logis. Tuhan yang sama yang menopang kosmos dan memastikan bahwa matahari terbit setiap hari telah menghendaki agar Gereja menjadi sarana keselamatan sampai akhir zaman.
Visibilitas Gereja dan Ordo Sakramental
Aquinas jelas bahwa kasih karunia dibangun di atas natura (ST I, q. 1, a. 8; I-II, q. 110, a. 2). Tuhan tidak menghancurkan tatanan alami tetapi menyempurnakannya. Ini berarti bahwa Gereja bukan hanya realitas tak terlihat yang hanya diketahui oleh Allah—itu adalah masyarakat historis yang terlihat yang harus bertahan sepanjang waktu.
Jika Gereja menghilang atau menjadi realitas yang sepenuhnya tersembunyi, apa yang akan terjadi pada sakramen-sakramen, yang merupakan sarana yang dengannya Kristus membagikan rahmat? Sakramen-sakramen—baptisan, Ekaristi, pengakuan, dan sisanya—membutuhkan Gereja yang terlihat dan terstruktur untuk menyelenggarakannya. Jika Gereja dapat berhenti ada, ini berarti bahwa pekerjaan pengudusan Kristus akan terganggu, yang bertentangan dengan alasan Inkarnasi-Nya.
Oleh karena itu, ketidakcacatan Gereja menuntut tidak hanya bahwa Gereja tidak pernah jatuh, tetapi juga bahwa Gereja selalu terlihat dan beroperasi secara sakramental. Kapal mungkin bertahan dalam badai, tetapi akan selalu mengapung, membimbing jiwa-jiwa ke tujuan akhir mereka.
Kristus sebagai Kepala Gereja: Sumber Kesempurnaan
Aquinas berbicara secara luas tentang Kristus sebagai Kepala Gereja (ST III, q. 8, a. 1). Sama seperti tubuh yang hidup menerima kehidupan dan arahan dari kepalanya, demikian pula Gereja menerima bimbingan, kekuatan, dan kekudusannya dari Kristus.
Ini berarti bahwa bahkan ketika anggota Gereja tertentu—paus, uskup, atau orang awam—gagal dalam tugas mereka, Gereja secara keseluruhan tidak dapat dirusak. Mengapa? Karena kehidupannya yang sejati bukan berasal dari anggota manusianya, tetapi dari Kristus sendiri.
Bayangkan sebuah pohon dengan cabang-cabang yang sakit. Beberapa bagian pohon mungkin layu, tetapi selama akarnya tetap hidup, pohon itu sendiri tidak akan pernah mati. Hal yang sama berlaku untuk Gereja. Anggota-anggotanya mungkin jatuh, para pemimpinnya mungkin salah, tetapi Kristus tetap menjadi akarnya dan sumber kehidupannya.
Krisis, Bidaah, dan Pemurnian Gereja
Sejarah dipenuhi dengan saat-saat krisis besar dalam Gereja—saat-saat ketika bidaah tampaknya mengejar umat beriman, ketika korupsi dalam hierarki merajalela, ketika bahkan paus gagal dalam tugas moral dan teologis mereka.
Selama krisis Arian, sebagian besar uskup menerima doktrin yang menyangkal keilahian Kristus. Namun, iman yang benar dipelihara dan akhirnya menang.
Selama Skisma Barat Besar, beberapa penggugat kepausan menyebabkan kebingungan besar-besaran, tetapi Gereja akhirnya muncul bersatu.
Selama Reformasi, seluruh bangsa memisahkan diri dari Gereja, namun iman Katolik bertahan dan diperbarui melalui Kontra-Reformasi.
Masing-masing krisis ini tampaknya, pada saat itu, seperti ancaman eksistensial bagi Gereja. Namun, dalam setiap kasus, Gereja tidak hanya bertahan tetapi juga muncul lebih kuat.
Aquinas akan mengatakan bahwa inilah tepatnya bagaimana Tuhan mengizinkan kejahatan demi kebaikan yang lebih besar (ST I, q. 22, a. 2). Pencobaan Gereja bukanlah tanda-tanda kehancurannya tetapi pemurniannya. Seperti emas dalam tungku, Gereja dimurnikan oleh penderitaan, tetapi tidak pernah hangus terbakar.
Kesimpulan: Realitas Gereja yang Tak Tergoyahkan
Bagi Aquinas, ketidakcacatan Gereja sama pastinya dengan keberadaan Tuhan itu sendiri. Ini adalah kebutuhan logis, konsekuensi dari pemeliharaan ilahi, dan perpanjangan dari kehidupan Kristus sendiri yang tidak dapat dihancurkan.
Badai akan datang. Kru mungkin goyah. Kapal mungkin dihantam ombak, dan anggota-anggotanya mungkin putus asa. Tetapi kapal itu sendiri tidak akan pernah tenggelam, karena itu dibangun oleh Tuan laut, dan firman-Nya tidak boleh gagal.
Selama Kristus tetap ada, demikian pula Gereja-Nya—mercusuar kebenaran, perlindungan bagi orang-orang berdosa, dan bejana yang akan membawa jiwa-jiwa pulang dengan selamat.
0 komentar:
Posting Komentar