Kebebasan Sejati, Demokrasi, dan Kearifan Kuno dari Kitab Kejadian
Aaron Schuck | 11 November 2024
Di dunia modern, demokrasi sering dianggap sebagai simbol tertinggi dari kebebasan—sebuah sistem yang menjunjung tinggi otonomi individu, hak asasi manusia, serta pemerintahan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Namun, pertanyaannya adalah: apakah pemahaman kita tentang kebebasan telah bergeser dari sesuatu yang berorientasi pada kebaikan bersama menjadi sekadar pengejaran kepentingan pribadi yang malah memecah belah kita?
Kisah Adam dan Hawa dalam Kitab Kejadian menyajikan sebuah pelajaran abadi. Ketika mereka memakan buah dari Pohon Pengetahuan, mereka tidak sekadar melanggar aturan, tetapi mengambil keputusan untuk mendefinisikan kebaikan dan keburukan menurut kehendak mereka sendiri, menolak bimbingan dari luar, bahkan dari Tuhan. Keputusan ini merusak hubungan mereka dengan Tuhan, satu sama lain, dan dengan dunia di sekitar mereka. Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa kebebasan yang tidak diiringi tanggung jawab justru menjauhkan, bukan menyatukan.
Saat ini, demokrasi dipandang sebagai cerminan dari nilai-nilai luhur kemanusiaan: otonomi, kesetaraan, dan martabat setiap individu. Namun, jika kebebasan hanya dipahami sebagai "melakukan apa pun yang saya inginkan," maka kita telah kehilangan makna sejatinya. Kebebasan bukan hanya soal kemandirian, tetapi juga tanggung jawab terhadap sesama. Seperti lentera tanpa arah yang hanya menghasilkan cahaya berkelap-kelip tanpa tujuan, kebebasan tanpa landasan moral dapat membawa kebingungan, konflik, dan perpecahan.
Demokrasi adalah anugerah, sebuah eksperimen berharga dalam sejarah yang selalu menghadapi ancaman dari ambisi dan kepentingan pribadi. Demokrasi hanya dapat berjalan dengan baik ketika kebebasan dipahami sebagai “kebebasan untuk” mencapai kebaikan bersama, bukan sekadar “kebebasan dari” segala batasan. Demokrasi yang ideal adalah panggilan untuk membangun masyarakat di mana martabat setiap individu dihormati dan setiap orang memiliki peran yang bermakna.
Namun, ada satu hal yang perlu ditegaskan: otonomi individu saja tidak cukup untuk menopang sebuah masyarakat. Jika otonomi dijadikan nilai tertinggi, maka masyarakat hanyalah selubung indah yang menyembunyikan retakan mendalam. Dalam pola pikir ini, kebebasan menjadi perjalanan tanpa akhir menuju kepuasan diri, sebuah kebebasan yang tidak menuntut apa pun dari kita dan tidak memberikan apa pun kembali kepada sesama.
Gejala kehancuran ini sudah terlihat di dunia kita saat ini. Ketika kebebasan terlepas dari tatanan moral, maka yang terjadi adalah polarisasi. Manusia saling berselisih tentang apa yang dianggap “benar” tanpa adanya landasan bersama. Di ruang publik, kebenaran moral objektif sering kali dikalahkan oleh keinginan sesaat atau kehendak mayoritas. Jika kebebasan hanya dimaknai sebagai pemenuhan kepuasan pribadi, maka jaringan sosial yang membentuk komunitas akan perlahan-lahan terurai.
Tetapi kebijaksanaan yang diajarkan dalam Kitab Kejadian menawarkan jalan yang lebih baik. Kebebasan sejati bukanlah tentang berjalan sendiri tanpa arah, melainkan tentang hidup selaras dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita. Sebagaimana mosaik yang membutuhkan setiap kepingannya untuk membentuk sebuah gambar yang utuh, masyarakat akan berkembang ketika kebebasan setiap individu berakar pada tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar kepentingan diri sendiri. Kebebasan sejati adalah anugerah yang membawa martabat dan harus digunakan untuk membangun serta memperkuat komunitas.
Inilah yang dapat ditawarkan oleh demokrasi dalam bentuk terbaiknya: sebuah visi tentang kebebasan yang menghormati hak individu sekaligus menekankan tanggung jawab bersama. Demokrasi yang sejati bukan hanya tentang kemerdekaan, tetapi juga tentang pengelolaan yang bijaksana. Di tengah dunia yang terpecah-belah, perspektif ini memberikan kejelasan dan harapan: kebebasan yang berakar pada saling menghormati dan berorientasi pada kebaikan bersama.
Maka, saat kita menatap masa depan, kita harus bertanya: jenis masyarakat seperti apa yang ingin kita bangun? Apakah kita akan membiarkan kebebasan menjadi alat pemecah-belah, atau kita akan memilih kebebasan yang menyatukan—kebebasan yang menghormati martabat individu dan tanggung jawab bersama, serta menerangi jalan bagi generasi mendatang?
Pilihan ada di tangan kita.
Sumber:
- The Drama of Atheist Humanism – Henri de Lubac
- Democracy in America – Alexis de Tocqueville
- Veritatis Splendor – Paus Yohanes Paulus II
0 komentar:
Posting Komentar