Doa Bersama Para Kudus: Kesaksian Gereja Perdana dan Ajaran Katolik
Salah satu keberatan yang sering diajukan oleh saudara-saudari kita dari kalangan Protestan terhadap iman Katolik adalah praktik memohon doa dari para kudus dan malaikat. Mereka mempertanyakan: Mengapa orang Kristen perlu berdoa kepada orang-orang yang telah meninggal dunia? Apakah ini tidak bertentangan dengan iman kepada Kristus sebagai satu-satunya Pengantara?
Namun, ajaran Gereja Katolik tidak berdiri di luar Kitab Suci
dan Tradisi, melainkan justru berakar kuat pada keduanya. Dalam Mazmur, umat
beriman diajak untuk memuji Tuhan bersama para malaikat dan bala tentara
surgawi:
“Pujilah Tuhan, hai para malaikat-malaikat-Nya, hai
orang-orang perkasa yang melakukan firman-Nya... Pujilah Tuhan, semua bala
tentara-Nya...” (Mzm. 103:20–21)
“Pujilah Dia, semua malaikat-Nya, pujilah Dia, semua bala tentara-Nya!” (Mzm.
148:2)
Dalam Kitab Wahyu, kita melihat bahwa mereka yang telah
dimuliakan di surga tidak hanya menyembah Tuhan, tetapi juga mempersembahkan
doa-doa umat Allah:
“...masing-masing memegang kecapi dan cawan emas penuh dengan
dupa, yaitu doa orang-orang kudus.” (Why. 5:8)
“Dan asap dupa naik dengan doa-doa orang-orang kudus dari tangan malaikat di
hadapan Allah.” (Why. 8:4)
Ini menunjukkan bahwa doa tidak berhenti di batas kematian.
Orang-orang kudus yang kini hidup dalam kemuliaan bersama Kristus, justru
semakin sempurna dalam kasih dan kedekatan dengan Allah, dan karena itu doa-doa
mereka lebih berdaya guna. Yakobus menulis:
“Doa orang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar
kuasanya.” (Yak. 5:16)
Maka permohonan doa kepada para kudus bukanlah pengganti
Yesus Kristus, Pengantara satu-satunya antara Allah dan manusia (1 Tim. 2:5),
tetapi merupakan wujud nyata dari persekutuan para kudus — satu tubuh Kristus
yang tidak terpisahkan oleh kematian. Sebagaimana kita tidak ragu meminta doa
dari sesama umat di bumi, demikian pula kita percaya bahwa para kudus di surga
dapat dan mau berdoa bagi kita, karena kasih Allah yang telah menyempurnakan
mereka.
Para Bapa Gereja perdana mengakui hal ini secara terbuka.
Mereka tidak hanya menerima ajaran Alkitab tentang syafaat para kudus, tetapi
juga mempraktikkannya dalam kehidupan spiritual mereka:
Klemens dari Aleksandria (208 M):
“Ia berdoa dalam persekutuan para malaikat... dan meskipun ia berdoa sendirian,
ia memiliki koor para kudus berdiri bersamanya dalam doa.” (Miscellanies
7:12)
Origenes (233 M):
“Bukan hanya Imam Besar (Kristus) yang berdoa bagi mereka yang berdoa dengan
tulus, tetapi juga para malaikat... dan juga jiwa para kudus yang telah wafat.”
(Prayer 11)
Siprianus dari Kartago (253 M):
“Marilah kita selalu berdoa satu sama lain, di kedua sisi kematian.” (Surat
56)
Yohanes Krisostomus (392 M):
“Orang yang memakai mahkota raja... memohon kepada para kudus agar menjadi
pelindungnya di hadapan Allah.” (Homili atas 2 Korintus 26)
Agustinus dari Hippo (400–416 M):
“Umat Kristen merayakan peringatan para martir agar mereka dibantu oleh doa-doa
para martir.” (Melawan Faustus; Homili atas Yohanes 84)
Ajaran ini juga terangkum dalam liturgi kudus, seperti dalam Liturgi
St. Basil (373 M):
“Dengan perintah Putra-Mu yang tunggal, kami bersekutu dengan
kenangan para kudus-Mu... melalui doa dan permohonan mereka, kasihanilah kami
semua.”
Semua ini menjadi bukti historis bahwa sejak awal, Gereja
mengimani bahwa para kudus berdoa bersama dan bagi kita. Keyakinan ini bukan
devosi pribadi yang terlambat muncul, tetapi bagian integral dari spiritualitas
dan liturgi Kristen perdana.
Untuk Saudara-saudari Seiman
Kami mengajak umat Kristen dari berbagai denominasi untuk
merenungkan realitas spiritual ini dalam terang kasih Kristus yang menyatukan
seluruh umat tebusan — baik yang masih berziarah di bumi maupun yang telah
dimuliakan. Doa bersama para kudus bukanlah bentuk pemisahan dari Kristus,
melainkan ekspresi terdalam dari tubuh Kristus yang satu dan tidak terpecah.
Ia, Sang Kepala, menghidupkan semua anggotanya — dan melalui Dia, kita saling
menopang dalam doa.
Semoga dengan roh kerendahan hati dan cinta kasih yang
mempersatukan, kita semakin mendekatkan hati kita kepada Allah, dengan
menyatukan suara dalam litani surgawi: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah
semesta alam.”
Landasan
FIlosofis dan Teologis Communio Sanctorum
berikut ini adalah elaborasi mendalam mengenai asumsi,
logika, dan metafisika yang mendasari ajaran Katolik tentang persekutuan
para kudus, terutama dalam kaitannya dengan doa bersama dan permohonan
doa kepada para kudus, sebagaimana dikembangkan dalam teologi Katolik dan
diwarisi dari Tradisi Gereja purba.
🧭 1. Asumsi Dasar: Realitas Tubuh Mistik Kristus yang Tak
Terbagi oleh Kematian
Ajaran Katolik tentang persekutuan para kudus berakar pada keyakinan
fundamental bahwa Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus (Corpus Mysticum).
Dalam tubuh ini, semua yang dibaptis — baik yang masih hidup di dunia (Ecclesia
militans), yang disucikan di api pemurnian (Ecclesia patiens),
maupun yang telah dimuliakan di surga (Ecclesia triumphans) — tetap
bersatu sebagai satu komunio:
"Karena kita, sekalipun banyak orang, adalah satu tubuh
di dalam Kristus" (Rm 12:5)
Asumsi ini membentuk dasar spiritual dan ontologis bahwa tidak
ada pemisahan mutlak antara hidup dan mati di dalam Kristus, sebab:
- Kehidupan
kekal bukan sekadar keadaan masa depan, tetapi realitas rohani yang sudah
dimulai sejak baptisan (lih. Yoh 5:24).
- Kematian
jasmani bukanlah akhir dari komunikasi antara anggota tubuh Kristus.
🧠 2. Logika Teologis: Relasi Kasih Tidak Terhenti oleh
Kematian
Logika internal dari ajaran ini berpijak pada dua gagasan
utama:
a. Kasih sebagai ikatan antaranggota tubuh Kristus
Dalam kasih yang menyatukan, orang percaya saling menopang —
termasuk melalui doa dan syafaat. Jika kasih itu tetap hidup setelah kematian
(karena kasih tidak berkesudahan, 1 Kor 13:8), maka persekutuan dalam doa
juga tetap berlanjut.
“Jika satu anggota menderita,
semua anggota turut menderita.” (1 Kor 12:26)
b. Doa tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu
Doa adalah tindakan spiritual,
bukan sekadar verbal. Maka syafaat dapat melampaui batas dunia fisik,
termasuk antara yang hidup dan yang telah meninggal. Orang-orang kudus yang
telah dimuliakan tidak menjadi pasif, tetapi justru lebih hidup dan lebih
bersatu dengan kehendak Allah, sehingga doa-doa mereka menjadi lebih manjur.
🔍 3. Metafisika: Realitas
Transendental dari Komunio Sanctorum
Dari sisi metafisika, ajaran
tentang persekutuan para kudus bergantung pada pemahaman akan ontologi jiwa,
waktu, dan keberadaan dalam Kristus:
a. Keberadaan
jiwa tidak hilang dalam kematian
Gereja mengajarkan bahwa jiwa
manusia bersifat immaterial dan kekal. Maka para kudus tetap eksis
secara personal dan sadar, bukan lenyap ke dalam ketidakadaan.
b. Waktu
dalam kekekalan
Para kudus yang telah masuk
dalam “aionios” — dimensi kekekalan Allah — tidak lagi dibatasi oleh waktu
kronologis seperti kita. Mereka berada dalam “kairos”, waktu Allah, sehingga dapat
berdoa bagi kita yang masih dalam waktu duniawi.
c. Kehadiran
dalam Kristus sebagai dasar komunikasi spiritual
Dalam realitas spiritual,
seluruh umat tebusan bersatu dalam Kristus yang adalah “satu-satunya pengantara
antara Allah dan manusia” (1 Tim 2:5). Tetapi pengantaraan ini tidak menutup
pengantaraan partisipatif, di mana para kudus menjadi alat dalam
pengantaraan Kristus, bukan pesaing-Nya.
Analogi: Seperti sinar
matahari yang menyinari segala sesuatu melalui kaca jendela, demikian pula
rahmat Kristus menjangkau kita melalui doa para kudus, yang telah sepenuhnya
bersatu dengan-Nya.
✝️ 4. Dimensi Kristologis dan Eklesiologis
a. Kristologi: Kristus sebagai Kepala
Segala doa dan syafaat para kudus mengalir dari persatuan
mereka dengan Kristus sebagai Kepala. Mereka tidak memiliki kuasa atas nama
diri sendiri, tetapi sebagai bagian dari tubuh-Nya yang telah dimuliakan.
b. Eklesiologi: Gereja sebagai
komunio kasih
Gereja bukan sekadar organisasi,
melainkan “komunio kasih” yang menyatukan seluruh umat dalam satu relasi
Trinitaris. Karena itu, persekutuan doa tidak terbatas pada umat di dunia,
tetapi juga mereka yang telah menyelesaikan perjalanan iman.
💬 Penutup: Apologetik dalam
Dialog Ekumenis
Dalam dialog ekumenis, penting
untuk menekankan bahwa permohonan doa kepada para kudus bukanlah penyembahan
(latreia), melainkan bentuk penghormatan (dulia) dan permohonan kasih.
Sama seperti kita dengan wajar meminta saudara seiman untuk mendoakan kita,
demikian pula kita percaya bahwa para kudus di surga yang telah mencapai
kesempurnaan kasih terus peduli dan berdoa bagi kita.
Jadi, iman Katolik tentang
persekutuan para kudus adalah penegasan akan kesatuan tubuh Kristus yang
melampaui ruang, waktu, dan bahkan kematian — sebuah kesatuan yang dibangun
dalam cinta kasih, hidup oleh Roh Kudus, dan dipersatukan dalam Kristus Sang
Pengantara tunggal.
Mari kita
lihat Keberatan Protestan dan Refutasi Katolik.
Keberatan paling mendasar dari
sebagian besar kalangan Protestan terhadap praktik Katolik meminta doa dari
para kudus adalah bahwa "hanya ada satu Pengantara antara Allah dan
manusia, yaitu Yesus Kristus" (1 Timotius 2:5). Mereka memahami ayat ini sebagai
larangan total atas segala bentuk perantaraan spiritual selain Kristus, dan
menyamakan permohonan doa kepada para kudus sebagai bentuk "pengantara
tandingan" atau bahkan penyembahan kepada makhluk ciptaan.
Refutasi Katolik terhadap keberatan ini dapat ditegaskan
secara sistematis dan teologis sebagai berikut:
🔥 REFUTASI INTI: Kristus adalah satu-satunya Pengantara secara
absolut dan esensial, tetapi para kudus dapat berperan sebagai pengantara
partisipatif dalam tubuh Kristus.
1. Konteks 1 Timotius 2:5 Tidak Menolak Perantaraan Relatif
Surat 1 Timotius 2:1–5 justru memulai dengan perintah agar umat
saling mendoakan:
“Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa
syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang...” (1 Tim 2:1)
Lalu dalam ayat 5, ditegaskan:
“Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi
pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.”
Ayat ini tidak meniadakan bentuk doa syafaat antarumat,
melainkan menegaskan bahwa semua bentuk syafaat dan doa kita — termasuk doa
para kudus — hanya berdaya karena bersumber dari dan diterima dalam
pengantaraan Kristus.
2. Kitab Suci Menunjukkan Banyak Pengantara Relatif
Alkitab penuh dengan contoh orang beriman yang bertindak
sebagai pengantara:
- Abraham
memohon bagi Sodom (Kej. 18:23–33)
- Musa
berdoa bagi Israel yang berdosa (Kel. 32:11–14)
- Paulus minta didoakan oleh umat (Rm. 15:30; 2
Kor. 1:11)
- Malaikat dan tua-tua di surga menyampaikan
doa-doa umat (Why. 5:8; 8:3–4)
Jika pengantaraan manusia atau
malaikat secara umum dilarang, maka semua bentuk doa syafaat antarumat
pun menjadi tidak sah — padahal inilah praktik alkitabiah dan eklesial sejak
awal.
🧠 LOGIKA IMAN: Meminta doa kepada orang kudus = meminta
bantuan sesama anggota tubuh Kristus
Dalam tubuh Kristus, semua anggota saling menopang. Maka
meminta doa dari para kudus tidak berbeda secara prinsip dari meminta saudara
kita di komunitas untuk mendoakan kita.
"Jika satu anggota
menderita, semua anggota turut menderita..." (1 Kor 12:26)
Perbedaannya hanyalah bahwa
para kudus:
- Sudah
disempurnakan dalam kasih
- Sudah sepenuhnya bersatu dengan kehendak
Allah
- Tidak
lagi terbelenggu oleh kelemahan dan dosa
Maka, permohonan doa kepada mereka lebih berdasar pada
iman kepada kuasa kasih Allah yang menyatukan Gereja di surga dan di bumi.
🛡️ REFUTASI TERHADAP TUDUHAN PENYEMBAHAN
Tuduhan bahwa doa kepada orang kudus adalah bentuk
penyembahan (latreia) kepada makhluk adalah kesalahpahaman terhadap
pembedaan teologis yang mapan dalam Gereja Katolik:
- Latreia = penyembahan sejati yang hanya
diberikan kepada Allah
- Dulia = penghormatan kepada para kudus sebagai hamba Allah
- Hyperdulia = penghormatan khusus kepada
Maria, karena perannya sebagai Bunda Allah
Gereja tidak pernah mengajarkan menyembah orang kudus.
Yang kita lakukan adalah memohon doa mereka, sebagaimana kita mohon doa
sesama umat.
✝️ KESIMPULAN TEOLOGIS:
Praktik memohon doa dari para kudus:
- tidak bertentangan dengan keunikan Kristus sebagai Pengantara satu-satunya,
- tidak menggantikan Kristus, melainkan berakar dalam tubuh-Nya, yaitu Gereja,
- sesuai dengan Kitab Suci dan
Tradisi, serta
- memperdalam
makna persekutuan umat beriman lintas dunia dan surga.
Dengan demikian, keberatan Protestan tentang doa kepada
orang kudus didasarkan pada pembacaan sempit terhadap teks dan pemahaman yang
terputus dari tradisi apostolik. Ajaran Katolik bukan menambahkan
pengantara tandingan, tetapi menegaskan kuasa Kristus yang bekerja melalui
anggota-anggota tubuh-Nya — baik yang hidup maupun yang telah dimuliakan.
0 komentar:
Posting Komentar