Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Senin, 12 Mei 2025

Hieronimus, Maria, dan Protestanisme: Sebuah Catatan Sinis untuk Mereka yang Gemar Memilih-Milih

  patris allegro

 

Ketika berbicara tentang ajaran Katolik mengenai Maria, satu hal yang terus-menerus menjadi bahan perdebatan—dan seringkali diperlakukan secara serampangan oleh sebagian Protestan—adalah doktrin keperawanan abadi Maria (perpetua virginitas Mariae). Ajaran ini, yang secara dogmatis ditegaskan oleh Gereja Katolik dan dijaga sejak para Bapa Gereja perdana, mendapat serangan klasik dari Helvidius, seorang penulis abad ke-4 yang mendalilkan bahwa Maria memiliki anak-anak lain selain Yesus.

Namun sayangnya, seperti yang akan kita lihat, roh Helvidius tampaknya berinkarnasi kembali dalam tafsiran Protestan modern, yang dengan penuh semangat memperlakukan ayat-ayat seperti "saudara-saudara Yesus" secara literalistik, seraya menutup mata terhadap warisan interpretatif Gereja perdana.

 

1. Helvidius Hidup Lagi dalam Tafsiran Protestan

Helvidius, sebagaimana dicatat dan dibantah telak oleh St. Hieronimus dalam traktat Contra Helvidium (383 M), berargumen bahwa ayat-ayat Injil seperti Markus 6:3 ("bukankah Ia ini saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon?") adalah bukti biologis bahwa Maria memiliki anak-anak lain. Hieronimus, dengan kekuatan filologis dan teologis yang sangat mendalam, membantahnya dengan menunjukkan bahwa istilah “saudara” dalam konteks Semitik tidak harus berarti anak kandung satu ibu. Ia menyatakan secara keras bahwa Helvidius tidak hanya keliru, tetapi juga menghina martabat Bunda Allah yang kudus.

Ironisnya, tafsiran Helvidius ini justru dihidupkan kembali oleh sebagian kalangan Protestan, bukan karena munculnya bukti baru atau temuan arkeologis, melainkan karena adanya pergeseran prinsip hermeneutik sejak masa Reformasi. Para Reformator, dengan semboyan sola Scriptura yang mereka agungkan, memutuskan untuk menafsirkan Kitab Suci secara literalistik, terlepas dari konteks linguistik, budaya, atau tradisi apostolik yang mendahuluinya. Maka tidak heran, bagi mereka, saudara berarti saudara, titik. Bahwa Yesus hidup dalam konteks budaya Yahudi—di mana "saudara" mencakup sepupu, kerabat, bahkan sahabat dekat—diabaikan demi metode bacaan yang tampaknya "ilmiah" tetapi ahistoris.

 

2. Devosi kepada Maria? Itu Masalah, Kata Mereka

Bagian yang lebih menggelikan adalah bahwa sebagian Protestan tidak hanya menolak keperawanan abadi Maria karena alasan eksegesis, tetapi juga karena alergi terhadap devosi. Dalam semangat "kembali kepada Kristus", Maria harus didudukkan kembali sebagai "perempuan biasa", bahkan lebih biasa dari ibu baptis lokal. Devosi kepada Maria dianggap sebagai gangguan terhadap Kristosentrisme, padahal, justru Maria yang paling setia mengatakan, “Lakukanlah apa yang dikatakan-Nya.”

Mereka ingin Yesus tanpa Maria, seakan-akan misteri Inkarnasi bisa terjadi tanpa rahim, dan sejarah keselamatan bisa dijalankan tanpa keterlibatan perempuan yang paling diberkati itu. Ini bukan sekadar penolakan devosi, tapi sebuah bentuk pencabutan akar dari batang pohon keselamatan itu sendiri.

 

3. Hieronimus: Dikutip Bila Cocok, Dibuang Bila Mengganggu

Di sinilah kita sampai pada puncak sinisme akademik. Banyak kalangan Protestan bersedia mengutip St. Hieronimus—tokoh Katolik, penerjemah Alkitab Vulgata, seorang rahib yang taat kepada otoritas paus—hanya ketika kutipan-kutipannya bisa dijadikan alat untuk menolak Deuterokanonika. Ya, mereka senang menyoroti bahwa Hieronimus awalnya ragu terhadap kitab-kitab seperti Tobit, Yudit, atau Makabe.

Namun mereka dengan cermat mengabaikan bahwa Hieronimus kemudian tunduk pada otoritas Gereja, menerjemahkan kitab-kitab itu juga ke dalam Vulgata, dan tidak pernah memisahkan diri dari kesatuan Katolik. Ia bukan pemikir bebas yang memilih-milih dogma; ia adalah seorang putra Gereja yang taat, yang ketika berbeda pandangan, tidak memecah Gereja, tapi patuh dalam iman.

Sungguh menarik—dan agak menjengkelkan—melihat bagaimana figur Katolik seperti Hieronimus bisa diklaim oleh kalangan Protestan secara sepihak, tanpa mau menerima keseluruhan tubuh teologi dan spiritualitasnya. Mereka mengutip Hieronimus ketika sesuai dengan argumen mereka, lalu membuangnya ke dalam lemari relik ketika ia berbicara tentang keperawanan Maria, otoritas paus, atau pentingnya tradisi.

 

4. Keperawanan Maria adalah Dogma, Bukan Ide Pribadi

Bagi Gereja Katolik, keperawanan abadi Maria bukan pendapat spekulatif, melainkan dogma iman yang telah ditegaskan dalam Konsili Lateran (649), diteguhkan kembali dalam Konsili Trente (1545–1563), dan dicantumkan secara eksplisit dalam Katekismus (KGK 499–501). Penolakan terhadap dogma ini bukan sekadar beda tafsir, melainkan penolakan terhadap struktur pewahyuan yang mencakup Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium.

Maka ketika Protestan berkata: “Tidak ada di Alkitab bahwa Maria tetap perawan,” jawabannya sederhana: tidak ada pula di Alkitab bahwa hanya Alkitab yang menjadi sumber iman. Prinsip sola Scriptura sendiri tidak ada dalam Kitab Suci. Jadi, jika mereka ingin konsisten dengan logika mereka sendiri, mereka harus berhenti menyebut Hieronimus, karena pria itu hidup dan mati dalam keyakinan bahwa Gereja adalah tiang penopang kebenaran, bukan teks tertulis belaka.

 

Penutup: Kejujuran Intelektual dan Kepatuhan Iman

Apologi ini bukan ditujukan untuk menyakiti rekan-rekan Protestan yang tulus, melainkan untuk mengajak mereka berhenti bermain-main dengan kutipan dan potongan sejarah, serta mengundang mereka untuk melihat bahwa Gereja Katolik tidak takut terhadap Kitab Suci, tetapi membacanya dalam roh yang sama dengan para Bapa Gereja yang mereka kutip sepotong-sepotong.

"Hieronimus bukan milik kubu yang menjadikan Alkitab senjata polemik, melainkan milik Gereja yang menjadikan Alkitab sebagai sabda hidup dalam kesatuan iman."

 

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive