Hieronimus, Maria, dan Protestanisme: Sebuah Catatan Sinis untuk Mereka yang Gemar Memilih-Milih
patris allegro
Ketika berbicara tentang ajaran Katolik mengenai Maria, satu
hal yang terus-menerus menjadi bahan perdebatan—dan seringkali diperlakukan
secara serampangan oleh sebagian Protestan—adalah doktrin keperawanan abadi
Maria (perpetua virginitas Mariae). Ajaran ini, yang secara dogmatis
ditegaskan oleh Gereja Katolik dan dijaga sejak para Bapa Gereja perdana,
mendapat serangan klasik dari Helvidius, seorang penulis abad ke-4 yang
mendalilkan bahwa Maria memiliki anak-anak lain selain Yesus.
Namun sayangnya, seperti yang akan kita lihat, roh
Helvidius tampaknya berinkarnasi kembali dalam tafsiran Protestan modern,
yang dengan penuh semangat memperlakukan ayat-ayat seperti
"saudara-saudara Yesus" secara literalistik, seraya menutup mata
terhadap warisan interpretatif Gereja perdana.
1. Helvidius Hidup Lagi dalam Tafsiran Protestan
Helvidius, sebagaimana dicatat dan dibantah telak oleh St.
Hieronimus dalam traktat Contra Helvidium (383 M), berargumen bahwa
ayat-ayat Injil seperti Markus 6:3 ("bukankah Ia ini saudara Yakobus,
Yoses, Yudas dan Simon?") adalah bukti biologis bahwa Maria memiliki
anak-anak lain. Hieronimus, dengan kekuatan filologis dan teologis yang sangat
mendalam, membantahnya dengan menunjukkan bahwa istilah “saudara” dalam konteks
Semitik tidak harus berarti anak kandung satu ibu. Ia menyatakan secara keras
bahwa Helvidius tidak hanya keliru, tetapi juga menghina martabat Bunda Allah
yang kudus.
Ironisnya, tafsiran Helvidius ini justru dihidupkan
kembali oleh sebagian kalangan Protestan, bukan karena munculnya bukti baru
atau temuan arkeologis, melainkan karena adanya pergeseran prinsip
hermeneutik sejak masa Reformasi. Para Reformator, dengan semboyan sola
Scriptura yang mereka agungkan, memutuskan untuk menafsirkan Kitab Suci
secara literalistik, terlepas dari konteks linguistik, budaya, atau tradisi
apostolik yang mendahuluinya. Maka tidak heran, bagi mereka, saudara berarti
saudara, titik. Bahwa Yesus hidup dalam konteks budaya Yahudi—di mana
"saudara" mencakup sepupu, kerabat, bahkan sahabat dekat—diabaikan
demi metode bacaan yang tampaknya "ilmiah" tetapi ahistoris.
2. Devosi
kepada Maria? Itu Masalah, Kata Mereka
Bagian yang lebih menggelikan
adalah bahwa sebagian Protestan tidak hanya menolak keperawanan abadi Maria
karena alasan eksegesis, tetapi juga karena alergi terhadap devosi.
Dalam semangat "kembali kepada Kristus", Maria harus didudukkan
kembali sebagai "perempuan biasa", bahkan lebih biasa dari ibu baptis
lokal. Devosi kepada Maria dianggap sebagai gangguan terhadap Kristosentrisme,
padahal, justru Maria yang paling setia mengatakan, “Lakukanlah apa yang
dikatakan-Nya.”
Mereka ingin Yesus tanpa
Maria, seakan-akan misteri Inkarnasi bisa terjadi tanpa rahim, dan
sejarah keselamatan bisa dijalankan tanpa keterlibatan perempuan yang paling
diberkati itu. Ini bukan sekadar penolakan devosi, tapi sebuah bentuk pencabutan
akar dari batang pohon keselamatan itu sendiri.
3.
Hieronimus: Dikutip Bila Cocok, Dibuang Bila Mengganggu
Di sinilah kita sampai pada
puncak sinisme akademik. Banyak kalangan Protestan bersedia mengutip St.
Hieronimus—tokoh Katolik, penerjemah Alkitab Vulgata, seorang rahib yang
taat kepada otoritas paus—hanya ketika kutipan-kutipannya bisa dijadikan
alat untuk menolak Deuterokanonika. Ya, mereka senang menyoroti bahwa
Hieronimus awalnya ragu terhadap kitab-kitab seperti Tobit, Yudit, atau Makabe.
Namun mereka dengan cermat mengabaikan
bahwa Hieronimus kemudian tunduk pada otoritas Gereja, menerjemahkan
kitab-kitab itu juga ke dalam Vulgata, dan tidak pernah memisahkan diri dari
kesatuan Katolik. Ia bukan pemikir bebas yang memilih-milih dogma; ia adalah
seorang putra Gereja yang taat, yang ketika berbeda pandangan, tidak
memecah Gereja, tapi patuh dalam iman.
Sungguh menarik—dan agak
menjengkelkan—melihat bagaimana figur Katolik seperti Hieronimus bisa
diklaim oleh kalangan Protestan secara sepihak, tanpa mau menerima
keseluruhan tubuh teologi dan spiritualitasnya. Mereka mengutip Hieronimus
ketika sesuai dengan argumen mereka, lalu membuangnya ke dalam lemari relik
ketika ia berbicara tentang keperawanan Maria, otoritas paus, atau pentingnya
tradisi.
4.
Keperawanan Maria adalah Dogma, Bukan Ide Pribadi
Bagi Gereja Katolik,
keperawanan abadi Maria bukan pendapat spekulatif, melainkan dogma iman
yang telah ditegaskan dalam Konsili Lateran (649), diteguhkan kembali dalam
Konsili Trente (1545–1563), dan dicantumkan secara eksplisit dalam Katekismus
(KGK 499–501). Penolakan terhadap dogma ini bukan sekadar beda tafsir,
melainkan penolakan terhadap struktur pewahyuan yang mencakup Kitab Suci,
Tradisi Suci, dan Magisterium.
Maka ketika Protestan berkata:
“Tidak ada di Alkitab bahwa Maria tetap perawan,” jawabannya sederhana: tidak
ada pula di Alkitab bahwa hanya Alkitab yang menjadi sumber iman. Prinsip sola
Scriptura sendiri tidak ada dalam Kitab Suci. Jadi, jika mereka ingin
konsisten dengan logika mereka sendiri, mereka harus berhenti menyebut
Hieronimus, karena pria itu hidup dan mati dalam keyakinan bahwa Gereja adalah
tiang penopang kebenaran, bukan teks tertulis belaka.
Penutup: Kejujuran Intelektual dan Kepatuhan Iman
Apologi ini bukan ditujukan untuk menyakiti rekan-rekan
Protestan yang tulus, melainkan untuk mengajak mereka berhenti bermain-main
dengan kutipan dan potongan sejarah, serta mengundang mereka untuk melihat
bahwa Gereja Katolik tidak takut terhadap Kitab Suci, tetapi membacanya
dalam roh yang sama dengan para Bapa Gereja yang mereka kutip
sepotong-sepotong.
"Hieronimus bukan milik kubu yang menjadikan Alkitab
senjata polemik, melainkan milik Gereja yang menjadikan Alkitab sebagai sabda
hidup dalam kesatuan iman."
0 komentar:
Posting Komentar