Martin Luther: Nabi Kebebasan atau Tukang Pecah Belah?
—Sebuah Otopsi Kritis atas Pengkultusan Seorang Imam yang Memberontak
Martin Luther adalah imam Katolik. Dan anehnya, di mata banyak umat Protestan, itu adalah satu-satunya fakta historis yang tidak perlu dibahas. Yang penting: ia memberontak. Ia menantang Paus. Ia menulis 95 tesis. Ia menjadi semacam “Musa” baru yang membebaskan umat dari "perbudakan Gereja Katolik." Ironis? Tentu. Tapi yang lebih ironis adalah bagaimana tokoh ini—yang semula cuma ingin mereformasi dari dalam—berakhir menjadi simbol revolusi spiritual yang tak ia rancang.
1. Pahlawan yang Tidak Pernah Berniat Menjadi Pahlawan
Luther tidak ingin menciptakan gereja baru. Tapi umat Protestan menciptakan ratusan dari yang ia mulai. Ia hanya ingin dialog akademik. Tapi umat Protestan menyulapnya menjadi ikon perlawanan. Ia percaya akan Sakramen, liturgi, bahkan kehadiran Kristus dalam Ekaristi. Tapi sebagian besar gereja Protestan hari ini malah mencampakkannya bersama dengan altar.
Kesimpulan sinis pertama: Reformasi dirayakan bukan karena mengikuti Luther, tapi karena menolak apa pun yang bernapas Katolik.
2. Sola Scriptura: Mantra Sakti yang Menjadi Bumerang
Salah satu warisan Luther yang paling diagung-agungkan adalah sola scriptura—Kitab Suci sebagai satu-satunya otoritas iman. Kedengarannya suci dan masuk akal. Tapi ketika diterapkan tanpa filter, hasilnya bukan kebebasan rohani, melainkan tsunami tafsir pribadi.
Hari ini, atas nama Luther, orang bisa menafsirkan Alkitab sesuka hati: satu ayat bisa membenarkan kapitalisme rakus, ayat lain bisa digunakan untuk menjustifikasi perang. Luther bermaksud mengganti otoritas Paus dengan otoritas Firman. Tapi kini, setiap individu menjadi Paus atas tafsirnya sendiri.
Kesimpulan sinis kedua: Dalam membunuh satu paus, Reformasi melahirkan sejuta paus baru—dan semuanya merasa infalibel.
3. Luther Melawan Otoritas, Lalu Mendirikan Otoritas Baru
Luther mengecam Gereja Katolik karena otoritarianisme dogmatis. Tapi dengan segera, ia sendiri menetapkan pengakuan iman baru (Augsburg Confession) dan membangun sistem gereja yang harus tunduk pada otoritas negara. Ia mencerca kurikulum skolastik, tapi lalu memaksakan tafsirnya sendiri sebagai norma.
Bahkan, ketika Zwingli berbeda pendapat dengannya soal Ekaristi, Luther mengutuknya sekeras ia mengutuk Roma. Jadi, reformasi itu untuk siapa?
Kesimpulan sinis ketiga: Luther tidak menyingkirkan dogma; ia hanya menukar dogma lama dengan dogma barunya sendiri.
4. Dari Imam Katolik ke Ikon Pop Protestan
Ironi terbesar adalah bagaimana Protestan modern melupakan bahwa Luther adalah imam Katolik—dididik dalam tradisi Katolik, berakar dalam liturgi Katolik, dan mati tanpa pernah menyangkal seluruh iman Katoliknya. Tapi dalam ingatan publik Protestan, ia dipotong-potong: hanya sisi heroiknya yang dikenang, sisi keimamannya dilenyapkan.
Dan yang lebih gawat: Protestan kontemporer sering kali membenci Katolik lebih keras daripada Luther sendiri. Bahkan Luther—dengan segala retorika pedasnya—masih percaya akan Maria sebagai Bunda Allah dan hormat pada tradisi suci. Tapi Protestan modern lebih suka menyembah "gereja tak berwujud" dan menolak semua yang tidak terlihat di Alkitab.
Kesimpulan sinis keempat: Protestan hari ini menyembah bayang-bayang Luther yang mereka ciptakan sendiri, bukan Luther yang sesungguhnya.
Penutup: Siapa yang Sebenarnya Diselamatkan oleh Luther?
Sejarah tidak bisa dibohongi: Luther membuka pintu perubahan, tapi juga membuka kotak Pandora. Ia adalah imam yang mencari kebenaran, tapi dijadikan bendera oleh mereka yang lebih tertarik pada kebebasan tanpa tanggung jawab.
Luther bukan pahlawan, dan bukan pula penjahat. Tapi ketika ia dipakai sebagai ikon untuk melawan Gereja yang ia sendiri tak pernah ingin tinggalkan, maka yang kita lihat bukan lagi sejarah—melainkan legenda. Dan legenda, seperti semua mitos, bukan untuk dipercaya, tapi untuk dibongkar.
0 komentar:
Posting Komentar