SATU DALAM KRISTUS: PAUS LEO XIV DAN PINTU HARAPAN BAGI EKUMENE
Pemilihan Paus Leo XIV, seorang biarawan Agustinian asal Amerika Serikat, membawa dampak yang mendalam baik secara historis maupun spiritual. Di satu sisi, hal ini mengingatkan kita pada ketegangan masa lalu antara Paus Leo X dan Martin Luther, namun di sisi lain, Paus Leo XIV hadir sebagai simbol rekonsiliasi dalam hubungan Kristen global. Dalam momen penting ini, saya mengundang kita untuk melakukan refleksi dengan pendekatan filsafat realisme thomistik dan personalisme Karol Wojtyła, sembari menempatkannya dalam konteks sosiologi agama kontemporer, khususnya dinamika hubungan antara Protestanisme dan Katolik di Amerika. Sebagai seorang pengajar iman Katolik yang juga terlibat dalam media digital, saya melihat Paus Leo XIV sebagai simbol harapan ekumenis yang relevan dalam dunia Kristen yang semakin terfragmentasi.
Sebuah Momen Teologis dan Kultural
Pemilihan Paus Leo XIV pada Mei 2025 menciptakan resonansi
mendalam dalam lanskap teologi dan relasi ekumenis. Ia bukan hanya Paus pertama
dari Ordo Santo Agustinus sejak zaman Reformasi, tetapi juga berasal dari
Amerika Serikat—sebuah negara yang selama berabad-abad menjadi simbol
kekristenan Protestan dan sering berjarak dengan pusat Katolik dunia, Roma.
Pemilihan nama "Leo" semakin memperdalam resonansi ini, merujuk pada
dua figur penting: Paus Leo X, yang berperan dalam skisma Reformasi, dan Paus
Leo XIII, pembaru intelektual Katolik modern melalui ensiklik Aeterni Patris
1879.
Momen pemilihan Paus Leo XIV mengajak kita untuk merenungkan
peristiwa ini tidak hanya dari segi sejarah, tetapi juga melalui lensa
filosofis dan pastoral. Dalam tulisan ini, saya mengusulkan pembacaan ekumenis
dengan dua pendekatan utama: pertama, realisme thomistik, yang memberikan dasar
ontologis untuk dialog antar iman, dan kedua, personalisme Karol Wojtyła, yang
menekankan pentingnya martabat pribadi sebagai dasar untuk membangun komunikasi
antar denominasi. Kedua perspektif ini menawarkan landasan yang kuat untuk
mempererat hubungan antar umat Kristen, meskipun ada perbedaan di antara
mereka.
Kebenaran dalam Dialog Ekumenis
Realisme
thomistik, yang berpuncak dalam pemikiran Santo Thomas Aquinas, meyakini bahwa
kebenaran adalah korespondensi antara intelek dan realitas (veritas est
adaequatio intellectus et rei). Dalam kerangka ini, dialog ekumenis bukan
relativisme, tetapi kolaborasi rasional untuk mengenali kebenaran yang satu,
yang berasal dari Allah. Aeterni Patris (1879) oleh Paus Leo XIII menegaskan
kembali peran filsafat dalam kehidupan iman dan membuka jalan bagi integrasi
antara iman dan akal budi dalam dunia modern.
Dalam
konteks ekumenisme, realisme thomistik membantu menghindari dua ekstrem:
eksklusivisme dogmatis dan pluralisme relativistik. Ia memberi dasar bahwa
meskipun perbedaan doktrinal tetap nyata, dialog tetap mungkin karena semua
pihak—melalui akal dan iman—menanggapi realitas objektif yang sama, yaitu
pewahyuan Allah dalam Yesus Kristus.
Pribadi
sebagai Jalan Menuju Kesatuan
Karol
Wojtyła, dalam karya-karya filosofisnya seperti The Acting Person (1969),
meletakkan dasar dialog tidak pada sistem teologis, tetapi pada subjek manusia
yang konkret, historis, dan relasional. Baginya, pribadi manusia adalah pusat
pengalaman iman dan dialog; relasi antarpribadi adalah medium etis dan
eksistensial untuk mencapai kebenaran.
Dalam dokumen Ut Unum Sint (1995), Yohanes Paulus II
menegaskan bahwa ekumenisme adalah panggilan spiritual, bukan sekadar
institusional. Maka, pemimpin Gereja harus menjadi saksi kasih, bukan hanya
pelindung doktrin. Paus Leo XIV, dalam gaya personal dan latar Agustiniannya,
tampaknya melanjutkan tradisi ini: menjadi pontifex yang membangun jembatan
bukan hanya antara sistem teologis, tetapi antara hati manusia.
Amerika
dan Katolik: Pulang ke Roma?
Secara
sosiologis, Gereja Katolik di Amerika telah mengalami transformasi. Dari
minoritas imigran yang dicurigai kesetiaannya kepada Paus, kini Katolik menjadi
salah satu kekuatan moral dan intelektual yang dihargai. Fenomena Evangelicals
on the Road to Rome, minat terhadap liturgi tradisional, serta ketertarikan
generasi muda Protestan terhadap warisan Katolik menunjukkan adanya
ressourcement kultural dan spiritual.
Sosiolog
José Casanova (1994) menekankan bahwa agama, khususnya Katolik, di era modern
tidak menghilang, melainkan mengalami privatisasi dan globalisasi. Paus dari
Amerika adalah simbol bahwa Katolik bukan lagi identik dengan Eropa, tetapi
menjadi agama global yang mampu berbicara dalam konteks modern, demokratis, dan
pluralistik.
Refleksi
Pribadi: Digitalitas, Iman, dan Rekonsiliasi
Sebagai
pengajar iman Katolik yang berkarya dalam ruang digital, saya menyambut Paus
Leo XIV sebagai figur yang menjawab kerinduan zaman: dialog, keheningan,
spiritualitas yang manusiawi. Dunia digital menghadirkan umat yang haus akan
makna, tetapi letih dengan ideologisasi iman. Dalam ruang inilah saya mengalami
bahwa teologi bukan hanya wacana, tetapi perjumpaan.
Maka ketika
paus baru berasal dari ranah Protestanisme, dari ordo yang sama dengan Martin
Luther, dan memilih nama yang berat dengan sejarah, saya menangkapnya sebagai
tanda zaman (signum temporis). Bahwa Roh Kudus terus bekerja dalam cara yang
melampaui kalkulasi manusia.
Penutup:
Ekumenisme Sebagai Ziarah Bersama
Pemilihan
Paus Leo XIV menandai momen teologis yang signifikan: Amerika sebagai simbol
dunia Protestan kini memimpin Gereja Katolik; seorang Agustinian menjadi
jembatan antara Reformasi dan Roma; dan nama “Leo” dipakai kembali bukan
sebagai simbol kekuasaan, tetapi rekonsiliasi.
Realisme
thomistik memberi dasar bahwa dialog harus berakar pada kebenaran objektif.
Personalime Wojtyła memberi arah bahwa dialog harus dimulai dari pribadi
manusia. Sosiologi agama menunjukkan bahwa dunia siap menyambut bentuk-bentuk
baru kesatuan yang tidak menghapus perbedaan, tetapi menyatukan dalam kasih.
Dengan
demikian, Paus Leo XIV bukan sekadar figur karismatik, tetapi penanda bahwa
sejarah tidak harus menjadi trauma, melainkan bahan bakar untuk ziarah bersama
menuju kesatuan dalam Kristus.
0 komentar:
Posting Komentar