Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Jumat, 09 Mei 2025

SATU DALAM KRISTUS: PAUS LEO XIV DAN PINTU HARAPAN BAGI EKUMENE

 

Pemilihan Paus Leo XIV, seorang biarawan Agustinian asal Amerika Serikat, membawa dampak yang mendalam baik secara historis maupun spiritual. Di satu sisi, hal ini mengingatkan kita pada ketegangan masa lalu antara Paus Leo X dan Martin Luther, namun di sisi lain, Paus Leo XIV hadir sebagai simbol rekonsiliasi dalam hubungan Kristen global. Dalam momen penting ini, saya mengundang kita untuk melakukan refleksi dengan pendekatan filsafat realisme thomistik dan personalisme Karol Wojtyła, sembari menempatkannya dalam konteks sosiologi agama kontemporer, khususnya dinamika hubungan antara Protestanisme dan Katolik di Amerika. Sebagai seorang pengajar iman Katolik yang juga terlibat dalam media digital, saya melihat Paus Leo XIV sebagai simbol harapan ekumenis yang relevan dalam dunia Kristen yang semakin terfragmentasi.

Sebuah Momen Teologis dan Kultural

Pemilihan Paus Leo XIV pada Mei 2025 menciptakan resonansi mendalam dalam lanskap teologi dan relasi ekumenis. Ia bukan hanya Paus pertama dari Ordo Santo Agustinus sejak zaman Reformasi, tetapi juga berasal dari Amerika Serikat—sebuah negara yang selama berabad-abad menjadi simbol kekristenan Protestan dan sering berjarak dengan pusat Katolik dunia, Roma. Pemilihan nama "Leo" semakin memperdalam resonansi ini, merujuk pada dua figur penting: Paus Leo X, yang berperan dalam skisma Reformasi, dan Paus Leo XIII, pembaru intelektual Katolik modern melalui ensiklik Aeterni Patris 1879.

Momen pemilihan Paus Leo XIV mengajak kita untuk merenungkan peristiwa ini tidak hanya dari segi sejarah, tetapi juga melalui lensa filosofis dan pastoral. Dalam tulisan ini, saya mengusulkan pembacaan ekumenis dengan dua pendekatan utama: pertama, realisme thomistik, yang memberikan dasar ontologis untuk dialog antar iman, dan kedua, personalisme Karol Wojtyła, yang menekankan pentingnya martabat pribadi sebagai dasar untuk membangun komunikasi antar denominasi. Kedua perspektif ini menawarkan landasan yang kuat untuk mempererat hubungan antar umat Kristen, meskipun ada perbedaan di antara mereka.

Kebenaran dalam Dialog Ekumenis

Realisme thomistik, yang berpuncak dalam pemikiran Santo Thomas Aquinas, meyakini bahwa kebenaran adalah korespondensi antara intelek dan realitas (veritas est adaequatio intellectus et rei). Dalam kerangka ini, dialog ekumenis bukan relativisme, tetapi kolaborasi rasional untuk mengenali kebenaran yang satu, yang berasal dari Allah. Aeterni Patris (1879) oleh Paus Leo XIII menegaskan kembali peran filsafat dalam kehidupan iman dan membuka jalan bagi integrasi antara iman dan akal budi dalam dunia modern.

Dalam konteks ekumenisme, realisme thomistik membantu menghindari dua ekstrem: eksklusivisme dogmatis dan pluralisme relativistik. Ia memberi dasar bahwa meskipun perbedaan doktrinal tetap nyata, dialog tetap mungkin karena semua pihak—melalui akal dan iman—menanggapi realitas objektif yang sama, yaitu pewahyuan Allah dalam Yesus Kristus.

Pribadi sebagai Jalan Menuju Kesatuan

Karol Wojtyła, dalam karya-karya filosofisnya seperti The Acting Person (1969), meletakkan dasar dialog tidak pada sistem teologis, tetapi pada subjek manusia yang konkret, historis, dan relasional. Baginya, pribadi manusia adalah pusat pengalaman iman dan dialog; relasi antarpribadi adalah medium etis dan eksistensial untuk mencapai kebenaran.

Dalam dokumen Ut Unum Sint (1995), Yohanes Paulus II menegaskan bahwa ekumenisme adalah panggilan spiritual, bukan sekadar institusional. Maka, pemimpin Gereja harus menjadi saksi kasih, bukan hanya pelindung doktrin. Paus Leo XIV, dalam gaya personal dan latar Agustiniannya, tampaknya melanjutkan tradisi ini: menjadi pontifex yang membangun jembatan bukan hanya antara sistem teologis, tetapi antara hati manusia.

 

Amerika dan Katolik: Pulang ke Roma?

Secara sosiologis, Gereja Katolik di Amerika telah mengalami transformasi. Dari minoritas imigran yang dicurigai kesetiaannya kepada Paus, kini Katolik menjadi salah satu kekuatan moral dan intelektual yang dihargai. Fenomena Evangelicals on the Road to Rome, minat terhadap liturgi tradisional, serta ketertarikan generasi muda Protestan terhadap warisan Katolik menunjukkan adanya ressourcement kultural dan spiritual.

Sosiolog José Casanova (1994) menekankan bahwa agama, khususnya Katolik, di era modern tidak menghilang, melainkan mengalami privatisasi dan globalisasi. Paus dari Amerika adalah simbol bahwa Katolik bukan lagi identik dengan Eropa, tetapi menjadi agama global yang mampu berbicara dalam konteks modern, demokratis, dan pluralistik.

 

Refleksi Pribadi: Digitalitas, Iman, dan Rekonsiliasi

Sebagai pengajar iman Katolik yang berkarya dalam ruang digital, saya menyambut Paus Leo XIV sebagai figur yang menjawab kerinduan zaman: dialog, keheningan, spiritualitas yang manusiawi. Dunia digital menghadirkan umat yang haus akan makna, tetapi letih dengan ideologisasi iman. Dalam ruang inilah saya mengalami bahwa teologi bukan hanya wacana, tetapi perjumpaan.

Maka ketika paus baru berasal dari ranah Protestanisme, dari ordo yang sama dengan Martin Luther, dan memilih nama yang berat dengan sejarah, saya menangkapnya sebagai tanda zaman (signum temporis). Bahwa Roh Kudus terus bekerja dalam cara yang melampaui kalkulasi manusia.

 

Penutup: Ekumenisme Sebagai Ziarah Bersama

Pemilihan Paus Leo XIV menandai momen teologis yang signifikan: Amerika sebagai simbol dunia Protestan kini memimpin Gereja Katolik; seorang Agustinian menjadi jembatan antara Reformasi dan Roma; dan nama “Leo” dipakai kembali bukan sebagai simbol kekuasaan, tetapi rekonsiliasi.

Realisme thomistik memberi dasar bahwa dialog harus berakar pada kebenaran objektif. Personalime Wojtyła memberi arah bahwa dialog harus dimulai dari pribadi manusia. Sosiologi agama menunjukkan bahwa dunia siap menyambut bentuk-bentuk baru kesatuan yang tidak menghapus perbedaan, tetapi menyatukan dalam kasih.

Dengan demikian, Paus Leo XIV bukan sekadar figur karismatik, tetapi penanda bahwa sejarah tidak harus menjadi trauma, melainkan bahan bakar untuk ziarah bersama menuju kesatuan dalam Kristus.

 

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive