Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Senin, 05 Mei 2025

Perjalanan Sunyi, Perjumpaan Sejati: Menapak Kalimantan dalam Terang Iman

 

Part1. Palangkaraya – Buntok

 Saya percaya bahwa setiap perjalanan, betapapun sederhana atau beratnya, selalu membawa pesan ilahi. Dalam Injil, Yesus pertransiit benefaciendo — Ia berjalan keliling sambil berbuat baik — dan itu menjadi inspirasi bagi saya setiap kali kaki ini menapaki tempat baru. Maka ketika undangan dari Pater Yere MSF datang, hati saya tahu: ini bukan sekadar perjalanan pastoral, ini adalah undangan untuk melihat wajah Gereja di tempat yang belum pernah saya datangi sebelumnya — Kalimantan.

Saya berangkat dari Kupang ke Palangkaraya karena diundang oleh Pater Yere, yang dulu adalah murid saya di Seminari St. Rafael Oepoi. Kini ia menjadi imam misionaris MSF yang melayani umat di Paroki Buntok, Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Ia ingin mempertemukan saya dengan umatnya, yang beberapa di antaranya sudah lama mengikuti katekese saya secara daring. Ini adalah ziarah pertama saya ke tanah Kalimantan, dan saya tahu perjalanan ini bukan hanya tentang menyampaikan firman, tetapi juga mendengarkan sabda Tuhan yang berbicara melalui pengalaman baru.

Saya pergi sendirian. Seorang solo traveller sekaligus single fighter dalam ziarah batin. Dalam kesendirian itu saya belajar banyak: tentang refleksi, tentang kebebasan berelasi, dan tentang mendengarkan lebih dalam. Di bandara, dalam penerbangan, dan di ruang tunggu, saya bisa memilih untuk diam atau menyapa, untuk merenung atau berbagi cerita. Ada kesunyian yang menyembuhkan, dan ada juga kebersamaan tak terduga yang menyegarkan.

Saya membawa harapan untuk merayakan Paskah dengan sukacita bersama umat Katolik yang hidup di realitas yang berbeda. Wilayah Kalimantan selama ini menjadi tempat tujuan migrasi banyak orang muda dari NTT, mencari penghidupan yang lebih baik di ladang-ladang kelapa sawit. Saya ingin merasakan langsung "vibes" Kalimantan yang selama ini hanya saya dengar dari kesaksian dan cerita.

Setibanya di Palangkaraya, saya disambut oleh pemandangan yang sangat berbeda dari Timor. Tanah yang datar dan berawa-rawa, jalan-jalan lurus dan lebar, serta udara lembap yang terasa tenang. Dari udara, saya melihat genangan rawa di mana-mana, dan di darat saya menyaksikan kota yang seolah berjalan pelan. Perjalanan belum selesai, karena saya harus melanjutkan empat jam perjalanan darat ke arah pedalaman, menuju Buntok di tepi Sungai Barito.

Saya sempat terkejut: Buntok ternyata cukup ramai, bahkan terasa lebih hidup daripada beberapa kota kabupaten di Timor. Umat Katolik di sini berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke atas: ASN, guru, pedagang, dan pemilik lahan. Mereka hidup berdampingan dengan komunitas Protestan GKE yang cukup dominan, sementara kepercayaan lokal masih terasa dalam ritus dan pandangan hidup sebagian masyarakat. Kehadiran para misionaris MSF, suster, dan katekis menjadi tulang punggung dalam membina iman Katolik yang perlahan bertumbuh subur.

Yang paling menyentuh saya adalah keramahan orang Dayak Manyaan. Mereka sangat terbuka dan murah hati. Watak mereka lembut, sangat berbeda dengan karakter keras orang Timor yang saya kenal. Dalam perjumpaan dengan mereka, saya menemukan wajah Allah yang lembut dan bersahabat. Meski tradisi Katolik belum mengakar dalam, ada kerinduan akan kedalaman iman yang terasa tulus.

Saya dijemput oleh Bapak Gaspar, putra dari seorang koster legendaris asal Bajawa, yang dulu setia mendampingi pastor dengan perahu motor. Kisah hidup keluarganya, hasil perjumpaan budaya Dayak dan NTT, menjadi simbol kecil tentang Gereja yang hidup dalam keberagaman dan cinta. Meski lelah, saya disambut dengan suka cita: makan malam, tawa, dan bahkan tarian. Dalam pelukan umat, saya merasa diterima sebagai saudara. Di sana saya menyadari bahwa Kristus sungguh hadir dalam komunitas ini — pertransiit benefaciendo — lewat keramahan dan kebersamaan.

Sepanjang berada di Buntok, saya juga ditemani oleh seorang penjemput yang luar biasa: Bapak Albert, atau yang akrab dipanggil Bapa Juan. Seorang pria asal Manggarai, Flores, yang dengan setia menjadi pengemudi dan sahabat seperjalanan. Beliau mengantar saya dan beberapa umat menjelajahi berbagai sudut Buntok, termasuk tempat-tempat wisata lokal yang membuka mata dan hati saya akan kekayaan alam Kalimantan. Melihat kegigihan dan kebaikan hatinya, saya teringat ungkapan seloroh yang sudah sering saya dengar: orang Flores ada di mana-mana, kecuali di surga. Atau versi lainnya: di mana ada Gereja Katolik, di situ ada orang Flores. Saya sangat bersyukur atas kehadiran dan pelayanan Bapa Juan, yang mereklakan segala waktu dan tenaga tanpa pamrih demi kelancaran dan kenyamanan selama saya di Buntok. Terima kasih yang mendalam untukmu, Bapa Juan.

Yang juga menguatkan saya selama di pastoran Buntok adalah semangat luar biasa dari orang-orang muda, khususnya kelompok misdinar paroki. Mereka bukan hanya hadir setia dalam liturgi, tetapi juga menjadi penggerak dalam menyemarakkan suasana Paskah. Setiap hari, mereka hadir menemani saya di pastoran, menyapa dengan tawa, dan mengatur dengan sigap berbagai acara informal yang membuat kebersamaan selama Paskah menjadi hidup dan penuh sukacita. Mereka menghidangkan makanan-makanan segar: sayuran hijau hasil alam Kalimantan yang melimpah, ikan segar dari sungai, dan hidangan-hidangan lokal yang menghangatkan perut dan hati. Tanah Kalimantan sungguh kaya, dan kemurahan hati umatnya menambah rasa syukur saya atas segala pengalaman ini.

Perayaan Paskah menjadi puncak pengalaman spiritual saya. Di tengah keterbatasan imam dan fasilitas, umat tetap hadir dengan sukacita. Saya melihat wajah-wajah penuh kerinduan akan sakramen, anak-anak yang mengenakan pakaian terbaik mereka, para ibu yang duduk tenang menyimak homili. Liturgi dijalankan dengan sederhana, namun justru dalam kesederhanaan itu saya merasakan kedalaman yang luar biasa. Veritas liberabit vos — kebenaran akan membebaskan kamu — dan saya percaya, kebenaran iman yang sederhana inilah yang membebaskan umat di sini dari rasa kecil, dan membawa mereka pada kebanggaan sebagai bagian dari Gereja yang satu.

Saya juga bersyukur atas kesempatan berjumpa dengan Pastor Paroki, Pastor Bambang MSF. Dengan ketenangan khas seorang imam senior yang sudah lama makan garam dalam dinamika pastoral Kalimantan, beliau banyak berbagi cerita di meja makan. Diam-diam tapi penuh makna, beliau mengisahkan sejarah panjang misi MSF di Kalimantan, kadang membandingkannya dengan pengalaman di Timor. Perjumpaan dengan beliau membuka perspektif baru bagi saya tentang ketekunan dalam misi dan kesetiaan dalam pelayanan jangka panjang.

Tak lupa, terima kasih untuk Pater Yere. Ia bukan hanya imam muda yang penuh semangat, tetapi juga manajer pastoral yang cermat. Ia memfasilitasi dengan baik seluruh rangkaian pertemuan, menjembatani harapan umat yang sudah lama ingin bertemu saya secara langsung. Setelah sekian lama hanya mengenal saya dari layar digital, kini mereka bisa bersua dan berbagi cerita secara nyata. Ini bukan hanya bentuk kerinduan yang terpenuhi, tapi juga momen penguatan iman yang indah.

Tentu tidak semuanya mudah. Perjalanan panjang, transit berjam-jam, kelelahan fisik, bahkan kesepian adalah bagian dari pengalaman ini. Saya harus melewati semuanya sendiri. Tapi justru dalam keheningan dan kesendirian itu, saya menemukan kembali suara Tuhan yang lembut. Ia hadir dalam desir angin, dalam wajah umat, dan dalam liturgi yang bersahaja.

Saya pulang dengan hati yang baru. Saya belajar bahwa pelayanan sejati tidak selalu gemerlap. Kadang ia hadir dalam sunyi, dalam debu perjalanan, dan dalam meja makan sederhana bersama umat kecil di tepi sungai. Saya belajar bahwa menjadi imam adalah terus berjalan bersama umat, dan dalam setiap langkah itu, pertransiit benefaciendo.

Saya berdoa agar umat di Buntok terus bertumbuh dalam iman, harapan, dan kasih. Semoga kehadiran Gereja Katolik di tanah Barito makin berakar, makin berbuah, dan makin menyala dalam kesaksian. Saya pun ingin kembali suatu hari nanti, entah sebagai imam tamu, sahabat, atau sekadar peziarah yang rindu akan sapaan hangat mereka.

Dan kepada siapa pun yang membaca catatan ini, semoga Anda pun memiliki keberanian untuk berjalan ke tempat baru, mendengar cerita yang berbeda, dan menemukan Tuhan di wajah-wajah yang asing. Karena veritas liberabit vos — kebenaran akan membebaskan kamu. Dan kebenaran itu sering kali hadir bukan dalam jawaban, tetapi dalam perjumpaan.

 

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive