Perjalanan Sunyi, Perjumpaan Sejati: Menapak Kalimantan dalam Terang Iman
Part1. Palangkaraya – Buntok
Saya berangkat dari Kupang ke
Palangkaraya karena diundang oleh Pater Yere, yang dulu adalah murid saya di
Seminari St. Rafael Oepoi. Kini ia menjadi imam misionaris MSF yang melayani
umat di Paroki Buntok, Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Ia ingin mempertemukan
saya dengan umatnya, yang beberapa di antaranya sudah lama mengikuti katekese
saya secara daring. Ini adalah ziarah pertama saya ke tanah Kalimantan, dan
saya tahu perjalanan ini bukan hanya tentang menyampaikan firman, tetapi juga
mendengarkan sabda Tuhan yang berbicara melalui pengalaman baru.
Saya pergi sendirian. Seorang solo
traveller sekaligus single fighter dalam ziarah batin. Dalam
kesendirian itu saya belajar banyak: tentang refleksi, tentang kebebasan
berelasi, dan tentang mendengarkan lebih dalam. Di bandara, dalam penerbangan,
dan di ruang tunggu, saya bisa memilih untuk diam atau menyapa, untuk merenung
atau berbagi cerita. Ada kesunyian yang menyembuhkan, dan ada juga kebersamaan
tak terduga yang menyegarkan.
Saya membawa harapan untuk merayakan
Paskah dengan sukacita bersama umat Katolik yang hidup di realitas yang
berbeda. Wilayah Kalimantan selama ini menjadi tempat tujuan migrasi banyak
orang muda dari NTT, mencari penghidupan yang lebih baik di ladang-ladang
kelapa sawit. Saya ingin merasakan langsung "vibes" Kalimantan yang
selama ini hanya saya dengar dari kesaksian dan cerita.
Setibanya di Palangkaraya, saya
disambut oleh pemandangan yang sangat berbeda dari Timor. Tanah yang datar dan
berawa-rawa, jalan-jalan lurus dan lebar, serta udara lembap yang terasa
tenang. Dari udara, saya melihat genangan rawa di mana-mana, dan di darat saya
menyaksikan kota yang seolah berjalan pelan. Perjalanan belum selesai, karena
saya harus melanjutkan empat jam perjalanan darat ke arah pedalaman, menuju
Buntok di tepi Sungai Barito.
Saya sempat terkejut: Buntok ternyata
cukup ramai, bahkan terasa lebih hidup daripada beberapa kota kabupaten di
Timor. Umat Katolik di sini berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke
atas: ASN, guru, pedagang, dan pemilik lahan. Mereka hidup berdampingan dengan
komunitas Protestan GKE yang cukup dominan, sementara kepercayaan lokal masih
terasa dalam ritus dan pandangan hidup sebagian masyarakat. Kehadiran para
misionaris MSF, suster, dan katekis menjadi tulang punggung dalam membina iman
Katolik yang perlahan bertumbuh subur.
Yang paling menyentuh saya adalah
keramahan orang Dayak Manyaan. Mereka sangat terbuka dan murah hati. Watak
mereka lembut, sangat berbeda dengan karakter keras orang Timor yang saya
kenal. Dalam perjumpaan dengan mereka, saya menemukan wajah Allah yang lembut
dan bersahabat. Meski tradisi Katolik belum mengakar dalam, ada kerinduan akan
kedalaman iman yang terasa tulus.
Saya dijemput oleh Bapak Gaspar,
putra dari seorang koster legendaris asal Bajawa, yang dulu setia mendampingi
pastor dengan perahu motor. Kisah hidup keluarganya, hasil perjumpaan budaya
Dayak dan NTT, menjadi simbol kecil tentang Gereja yang hidup dalam keberagaman
dan cinta. Meski lelah, saya disambut dengan suka cita: makan malam, tawa, dan
bahkan tarian. Dalam pelukan umat, saya merasa diterima sebagai saudara. Di
sana saya menyadari bahwa Kristus sungguh hadir dalam komunitas ini — pertransiit
benefaciendo — lewat keramahan dan kebersamaan.
Sepanjang berada di Buntok, saya juga
ditemani oleh seorang penjemput yang luar biasa: Bapak Albert, atau yang akrab
dipanggil Bapa Juan. Seorang pria asal Manggarai, Flores, yang dengan setia
menjadi pengemudi dan sahabat seperjalanan. Beliau mengantar saya dan beberapa
umat menjelajahi berbagai sudut Buntok, termasuk tempat-tempat wisata lokal
yang membuka mata dan hati saya akan kekayaan alam Kalimantan. Melihat
kegigihan dan kebaikan hatinya, saya teringat ungkapan seloroh yang sudah
sering saya dengar: orang Flores ada di mana-mana, kecuali di surga. Atau versi
lainnya: di mana ada Gereja Katolik, di situ ada orang Flores. Saya sangat
bersyukur atas kehadiran dan pelayanan Bapa Juan, yang mereklakan segala waktu
dan tenaga tanpa pamrih demi kelancaran dan kenyamanan selama saya di Buntok.
Terima kasih yang mendalam untukmu, Bapa Juan.
Yang juga menguatkan saya selama di
pastoran Buntok adalah semangat luar biasa dari orang-orang muda, khususnya
kelompok misdinar paroki. Mereka bukan hanya hadir setia dalam liturgi, tetapi
juga menjadi penggerak dalam menyemarakkan suasana Paskah. Setiap hari, mereka
hadir menemani saya di pastoran, menyapa dengan tawa, dan mengatur dengan sigap
berbagai acara informal yang membuat kebersamaan selama Paskah menjadi hidup
dan penuh sukacita. Mereka menghidangkan makanan-makanan segar: sayuran hijau
hasil alam Kalimantan yang melimpah, ikan segar dari sungai, dan
hidangan-hidangan lokal yang menghangatkan perut dan hati. Tanah Kalimantan
sungguh kaya, dan kemurahan hati umatnya menambah rasa syukur saya atas segala
pengalaman ini.
Perayaan
Paskah menjadi puncak pengalaman spiritual saya. Di tengah keterbatasan imam
dan fasilitas, umat tetap hadir dengan sukacita. Saya melihat wajah-wajah penuh
kerinduan akan sakramen, anak-anak yang mengenakan pakaian terbaik mereka, para
ibu yang duduk tenang menyimak homili. Liturgi dijalankan dengan sederhana,
namun justru dalam kesederhanaan itu saya merasakan kedalaman yang luar biasa. Veritas
liberabit vos — kebenaran akan membebaskan kamu — dan saya percaya,
kebenaran iman yang sederhana inilah yang membebaskan umat di sini dari rasa
kecil, dan membawa mereka pada kebanggaan sebagai bagian dari Gereja yang satu.
Saya
juga bersyukur atas kesempatan berjumpa dengan Pastor Paroki, Pastor Bambang
MSF. Dengan ketenangan khas seorang imam senior yang sudah lama makan garam
dalam dinamika pastoral Kalimantan, beliau banyak berbagi cerita di meja makan.
Diam-diam tapi penuh makna, beliau mengisahkan sejarah panjang misi MSF di
Kalimantan, kadang membandingkannya dengan pengalaman di Timor. Perjumpaan
dengan beliau membuka perspektif baru bagi saya tentang ketekunan dalam misi
dan kesetiaan dalam pelayanan jangka panjang.
Tak
lupa, terima kasih untuk Pater Yere. Ia bukan hanya imam muda yang penuh
semangat, tetapi juga manajer pastoral yang cermat. Ia memfasilitasi dengan
baik seluruh rangkaian pertemuan, menjembatani harapan umat yang sudah lama
ingin bertemu saya secara langsung. Setelah sekian lama hanya mengenal saya
dari layar digital, kini mereka bisa bersua dan berbagi cerita secara nyata.
Ini bukan hanya bentuk kerinduan yang terpenuhi, tapi juga momen penguatan iman
yang indah.
Tentu
tidak semuanya mudah. Perjalanan panjang, transit berjam-jam, kelelahan fisik,
bahkan kesepian adalah bagian dari pengalaman ini. Saya harus melewati semuanya
sendiri. Tapi justru dalam keheningan dan kesendirian itu, saya menemukan
kembali suara Tuhan yang lembut. Ia hadir dalam desir angin, dalam wajah umat,
dan dalam liturgi yang bersahaja.
Saya
pulang dengan hati yang baru. Saya belajar bahwa pelayanan sejati tidak selalu
gemerlap. Kadang ia hadir dalam sunyi, dalam debu perjalanan, dan dalam meja
makan sederhana bersama umat kecil di tepi sungai. Saya belajar bahwa menjadi
imam adalah terus berjalan bersama umat, dan dalam setiap langkah itu, pertransiit
benefaciendo.
Saya
berdoa agar umat di Buntok terus bertumbuh dalam iman, harapan, dan kasih.
Semoga kehadiran Gereja Katolik di tanah Barito makin berakar, makin berbuah,
dan makin menyala dalam kesaksian. Saya pun ingin kembali suatu hari nanti,
entah sebagai imam tamu, sahabat, atau sekadar peziarah yang rindu akan sapaan
hangat mereka.
Dan
kepada siapa pun yang membaca catatan ini, semoga Anda pun memiliki keberanian
untuk berjalan ke tempat baru, mendengar cerita yang berbeda, dan menemukan
Tuhan di wajah-wajah yang asing. Karena veritas liberabit vos —
kebenaran akan membebaskan kamu. Dan kebenaran itu sering kali hadir bukan
dalam jawaban, tetapi dalam perjumpaan.
0 komentar:
Posting Komentar