Pemilihan Paus Leo XIV, seorang Agustinian asal Amerika Serikat, menjadi peristiwa bersejarah dan profetik dalam perjalanan Gereja Katolik. Terpilihnya seorang Paus dari negeri dengan mayoritas Protestan, dari ordo yang pernah melahirkan tokoh Reformasi, dan pada pesta liturgis Bunda Maria dari Pompeii, menjadikan peristiwa ini sarat akan makna spiritual, teologis, dan ekumenis. Nama "Leo" yang dipilihnya pun merupakan peneguhan terhadap warisan teologis dan rasional Paus Leo XIII. Dalam banyak hal, ini adalah tanda bahwa Roh Kudus terus berkarya dalam cara-cara yang mengejutkan.
Dari Amerika ke Roma: Jembatan Iman dan Budaya
Amerika Serikat dikenal luas sebagai tanah Protestan, lahir dari semangat Reformasi dan kebebasan beragama. Namun, selama dua abad terakhir, Gereja Katolik di Amerika mengalami pertumbuhan signifikan. Pemilihan seorang Paus dari negara ini menunjukkan bahwa iman Katolik tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang di tengah budaya plural dan sekuler. Ini menjadi lambang inkulturasi yang berhasil, serta pengakuan terhadap kematangan Gereja lokal dalam menghayati iman secara kontekstual.
Sebagaimana dikatakan oleh Paus Benediktus XVI dalam kunjungannya ke AS (2008):
"The Church in America is called to proclaim with renewed vigor the truth of the Gospel as a source of hope and renewal for society." (Homily at Nationals Park, Washington D.C.)
Seorang Agustinian: Luka Lama Menjadi Jalan Rekonsiliasi
Ordo Santo Agustinus telah memberikan warisan spiritual dan intelektual yang luar biasa bagi Gereja. Namun, tidak dapat diabaikan bahwa Martin Luther, tokoh awal Reformasi Protestan, berasal dari ordo ini. Maka, pemilihan seorang Agustinian sebagai Paus membuka kemungkinan bacaan simbolik: jalan yang dulu membawa perpecahan kini menjadi jalan kesatuan. Paus Leo XIV adalah buah dari proses panjang refleksi, rekonsiliasi, dan keterbukaan terhadap suara Roh dalam sejarah.
Santo Yohanes Paulus II pernah berkata:
"We must not forget that the elements of sanctification and truth are found outside the visible confines of the Catholic Church... these elements, as gifts belonging to the Church of Christ, impel towards Catholic unity." (Ut Unum Sint, 3)
Dengan latar belakang Agustinian, Paus Leo XIV membawa semangat interioritas, kerinduan akan Allah, dan keutamaan kasih yang sangat dibutuhkan dalam dialog ekumenis masa kini.
Nama "Leo": Kembali pada Akar Rasional Iman
Dengan memilih nama Leo XIV, Paus ini secara eksplisit merujuk pada Paus Leo XIII dan warisan intelektualnya, khususnya melalui ensiklik Aeterni Patris (1879). Dalam dokumen tersebut, Leo XIII menyerukan "pembaharuan dalam filsafat Kristen" melalui kembalinya kepada pemikiran Santo Thomas Aquinas.
"The majestic teaching of Thomas, so solid in its principles, so rich in its results... is the surest path to bring back philosophy to its rightful dignity." (Aeterni Patris, 31)
Dalam dunia yang dibanjiri relativisme, kembalinya Gereja pada fondasi intelektual yang kuat menjadi bagian penting dari evangelisasi dan dialog antariman. Paus Leo XIV tampaknya menghidupi semangat ini: menggabungkan iman yang mendalam dengan rasionalitas yang terbuka.
Dipilih pada Hari Bunda Maria dari Pompeii: Doa sebagai Jalan Kesatuan
Tanggal pemilihan Paus ini bertepatan dengan peringatan Bunda Maria dari Pompeii, sebuah devosi yang sangat erat kaitannya dengan doa Rosario dan pertobatan. Gereja di Pompeii sendiri lahir dari semangat misi awam, penginjilan, dan belas kasih kepada kaum miskin—nilai-nilai yang sangat sesuai dengan semangat konsili dan karya ekumenis masa kini.
Paus Fransiskus pernah menegaskan:
"Mary is not only the Mother of the Church, she is also the Mother of unity. She gathers her children and shows them Jesus." (Homily, January 1, 2019)
Melalui simbol Maria dari Pompeii, kepemimpinan Paus Leo XIV membawa harapan akan rekonsiliasi dan pertobatan kolektif, bukan hanya dalam Gereja Katolik, tetapi juga di antara komunitas Kristen yang terpisah.
Ekumenisme sebagai Panggilan Gereja Zaman Ini
Paus Leo XIV muncul sebagai simbol dari apa yang dapat disebut sebagai ekumenisme kedewasaan. Kita kini melampaui fase perdebatan teologis yang kaku, menuju perjumpaan yang didasarkan pada doa, kesaksian hidup, pelayanan bersama, dan pencarian akan kebenaran penuh dalam kasih. Gereja Katolik tetap memegang bahwa "kepenuhan sarana keselamatan" ada dalam dirinya, namun tetap mengakui karya Roh Kudus dalam komunitas Kristen lainnya.
Sebagaimana dinyatakan dalam Unitatis Redintegratio:
"The Holy Spirit does not refuse to make use of other Churches and ecclesial Communities as means of salvation..." (UR, 3)
Dalam terang ini, semakin banyak saudara Protestan yang tertarik kembali kepada kekayaan sakramental, kontinuitas apostolik, dan kesatuan doktrinal Gereja Katolik. Bukan karena dipaksa, tetapi karena tertarik oleh kebenaran, keindahan, dan konsistensi iman.
Penutup: Tanda Zaman dan Harapan Masa Depan
Pemilihan Paus Leo XIV bukanlah kebetulan sejarah, melainkan sebuah kairos—momen rahmat dalam perjalanan umat manusia. Dari tanah Protestan, melalui seorang Agustinian, dengan semangat intelektual Thomistik dan hati Maria, Gereja dipanggil untuk menjadi saksi kesatuan dan harapan.
Semoga kepemimpinan beliau menjadi saluran rahmat bagi persatuan umat Kristiani, dan tanda bahwa Tuhan terus bekerja melalui sejarah untuk menyatukan kembali tubuh Kristus yang terluka.
"Ut unum sint"—semoga mereka semua menjadi satu (Yohanes 17:21).