Dari Debu Semau ke Buah Iman: Nostalgia, Apresiasi, dan Harapan
Pulau Semau, 1 Juni 2015
Setelah lima belas tahun lamanya, akhirnya aku kembali merasakan tiupan angin kering dan tamparan debu dari nusa Bung Tilu—pulau kecil yang mengapung di hadapan Kota Kupang, seolah menatap diam penuh rahasia. Bukan kunjungan wisata yang membawaku ke sini, melainkan pemakaman ayah dari seorang rekan seimamat, RD Dixel Susang. Pemakaman yang menjadi titik temu antara nostalgia dan renungan iman, antara sejarah pribadi dan kisah umat yang terus bertumbuh.
Namanya—Bapak Riklof—masih terngiang dalam memoriku sejak masa pelayanan awal sebagai diakon. Aku ingat, beliau termasuk dalam daftar penerima Sakramen Krisma yang diberikan oleh Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, di Kapela Santo Petrus Uitiuhtuan, di tepi Pantai Liman yang saat itu masih sepi, belum tersentuh dunia Instagram dan wisata digital. Di pantai itulah, dengan kapal POLAIR, Bapak Uskup mendarat langsung, mempersembahkan Ekaristi di bawah naungan langit Semau yang tak pernah berubah: biru, luas, dan menyimpan janji.
Kenangan akan “Dihambat namun Merambat”
Semau adalah tempat pertama pelayananku sebagai diakon dan imam muda. Wilayah yang dulu masuk dalam paroki Kristus Raja Kupang, kini telah berkembang sebagai bagian dari Paroki St. Gregorius Agung Oeleta. Di sinilah kisah heroik iman Katolik tumbuh di tanah yang secara tradisi Protestan. Bapa Melkianus Bela pernah berkisah bagaimana iman Katolik "dihambat namun tetap merambat". Tulisan tentang kisah ini dulu viral, bahkan sebelum viral menjadi gaya hidup.
Kini, lima belas tahun berselang, aku melihat dengan mata kepala sendiri: Gereja telah menghasilkan buah. Tiga imam putra asli Semau telah ditahbiskan. Seorang anak dari pulau ini, meski bukan Katolik, bahkan pernah memimpin provinsi sebagai Gubernur NTT. Lebih dari sekadar statistik, ini adalah buah dari benih iman yang ditabur dalam ketekunan, bukan dengan kekuatan duniawi, tetapi daya Roh Kudus yang bekerja melalui kesetiaan umat kecil.
Iman yang Mengakar di Tanah Bawang dan Rumput Laut
Kapela Santo Petrus kini telah resmi menjadi Kuasi Paroki, dilayani oleh Romo Philips, seorang gembala yang sudah hampir satu dekade mewartakan Injil dari tepi Pantai Liman hingga pelosok tanah yang kaya akan rumput laut dan hasil bumi. Dari hansisi kami menyeberang dengan perahu kecil, berisi sepeda motor dan harapan. Tak ada agenda mewah, hanya misa requiem dan pelukan persaudaraan.
Umat berjumlah dua ratusan berkumpul dalam satu iman, satu tubuh Kristus, mengantar salah satu tokoh mereka dalam Ekaristi dan penguburan yang bermartabat. Kami berbincang dengan kepala desa Uiboa—satu-satunya kepala desa Katolik di Semau. Jalan-jalan masih belum seluruhnya beraspal, seperti dahulu, namun semangat umat tak terbatasi oleh infrastruktur. Ini bukan sekadar soal pembangunan fisik, tetapi pembangunan martabat manusia, yang dalam ajaran sosial Gereja disebut sebagai preferential option for the poor—keberpihakan pada mereka yang kecil, namun bermakna besar di mata Tuhan.
Apologetika dari Tanah yang Tumbuh Sendiri
Bagi banyak orang, iman Katolik di tanah mayoritas Protestan seperti Semau bisa tampak seperti anomali. Namun justru di sanalah kekuatan sejati Kristus hadir: bukan dalam angka mayoritas, tetapi dalam kesetiaan dan kesuburan Roh yang bekerja dalam sunyi. Gereja tidak menaklukkan, tetapi bersaksi. Tidak merebut, tapi merangkul. Di sini, iman bukan sekadar doktrin, tapi keberanian untuk tetap bertahan dalam kasih, meski tak diuntungkan oleh sistem sosial maupun budaya.
Tiga imam dari baptisan GMIT menjadi tanda nyata bahwa rahmat Allah tidak dibatasi oleh batas-batas gerejawi manusiawi. Dalam semangat ekumenis yang dewasa, kita tidak menegaskan perbedaan untuk mencela, tetapi untuk memperkaya pemahaman bersama akan karya Allah yang transenden. Namun pada saat yang sama, kita tidak menyangkal identitas: iman Katolik bukan sekadar salah satu versi Kekristenan, melainkan kepenuhan dari warisan apostolik, yang hidup dan tumbuh bahkan di tanah bebatuan Semau.
Penutup: Semau yang Masih Hijau, Semoga Tak Serakah Terbakar
Ketika kami kembali melalui perahu kecil yang akrab dengan angin sore, kami menyaksikan betapa Semau mulai dilirik dunia luar. Pantai Liman kini mulai terkenal. Tapi ada kekhawatiran: jangan sampai rimbunnya semak belukar, yang menjadi paru-paru dan simbol kelestarian pulau ini, dibabat habis atas nama “kemajuan”.
Gereja Katolik, melalui ajaran sosialnya, mengingatkan bahwa alam adalah anugerah, bukan komoditas semata. Kehadiran Gereja di tempat seperti Semau adalah saksi bukan hanya atas Injil keselamatan, tetapi juga Injil ciptaan. Kita tidak hanya diutus untuk membaptis, tetapi juga untuk menjaga ciptaan sebagai custos seperti Santo Yusuf menjaga Maria dan Yesus.
Salam damai dari Semau. Dari debu, kini tumbuh pohon. Dari hambatan, kini lahir buah.
Dan aku pun kembali ke Seminari dengan semangat baru, membawa cerita lama yang kini berbunga harapan.
0 komentar:
Posting Komentar