Keperawanan Abadi Maria: Antara Misteri Inkarnasi dan Misogini Reformis
Oleh: Seorang Katolik yang (masih) Percaya Inkarnasi
“Karena bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk 1:37).
I. Pendahuluan: Ketika
Rahim Menjadi Bahan Olok-Olok
Bagi sebagian kalangan
Protestan, terutama mereka yang mengidolakan literalitas dan mengidap trauma
terhadap Gereja Katolik, keperawanan Maria—khususnya yang disebut
"perpetual"—bukan hanya sulit diterima, tetapi dianggap mengancam
teologi pernikahan, bahkan tatanan moral itu sendiri. Dalam sebuah tulisan
berjudul “The Perpetual Virginity of Mary: An Attack on the Marriage
Covenant,” Nathan Wright mencoba melawan dogma Katolik ini dengan menyusun
sebuah esai yang campur aduk antara asumsi biologis, kekhawatiran moralistik,
dan kebencian khas anti-Roma.
Artikel ini hendak menjawab,
sekaligus membongkar kerangka berpikir yang cacat secara metafisik, miskin
secara historis, dan dangkal secara teologis.
II. Asumsi Protestan: Seks
sebagai Anugerah atau Keharusan?
Wright menyuguhkan satu
premis sentral: pernikahan yang sah dan benar adalah pernikahan yang
diwujudkan melalui hubungan seksual. Dari sinilah ia menyerang keperawanan
abadi Maria sebagai bentuk pelanggaran terhadap “kontrak” pernikahan ilahi.
Namun ini menunjukkan reduksionisme vulgar: bahwa cinta, kesetiaan, dan
panggilan suci pernikahan tunduk pada logika genital.
Dengan kata lain, menurut
Wright, Yusuf wajib "mengklaim haknya" atas tubuh Maria, karena jika
tidak, perkawinan mereka tidak sah. Ironis, karena dalam upaya membela martabat
pernikahan, ia justru menyamakannya dengan kontrak pemenuhan biologis, bukan
persekutuan spiritual.
Padahal, metafisika Katolik
mengajarkan bahwa tubuh manusia adalah sacramentum—tanda misteri ilahi.
Seks dalam pernikahan bukanlah kewajiban kategoris, melainkan partisipasi dalam
kasih yang bebas dan penuh makna. Tidak adanya hubungan seksual dalam
pernikahan Maria dan Yusuf bukanlah cacat, melainkan eksepsi suci yang
mendalam karena keduanya diberi peran unik dalam misteri keselamatan.
III. Pernikahan dalam
Terang Inkarnasi: Bukan Sekadar Konsumasi
Dogma Perpetual Virginity
bukanlah warisan dari teks apokrif semata sebagaimana dituduhkan. Ia lahir dari
kontemplasi mendalam Gereja akan misteri Inkarnasi: bahwa Maria adalah Theotokos,
Bunda Allah.
Mari kita ulang: Maria mengandung Allah. Ia menjadi Tabut
Perjanjian Baru. Jika Uza tewas hanya karena menyentuh tabut lama (2 Sam
6:6-7), apakah layak dikatakan bahwa Yusuf “wajib” bersatu secara seksual
dengan Maria demi mempertahankan kesakralan pernikahan?
Di sinilah teologi Protestan gagal memahami convenientia—yaitu
kesesuaian teologis dan metafisik antara Maria dan Putranya. Karena Yesus
adalah Kudus, rahim-Nya pun kudus. Keperawanan Maria bukanlah pelarian dari
seksualitas, tetapi manifestasi tertinggi dari penyerahan total kepada Allah. Tubuhnya menjadi altar pertama bagi Sang Sabda.
IV. Logika Gagal: Ketika
“Sampai” Jadi Pembatalan Dogma
Wright dengan tergesa
menyimpulkan bahwa kata “tidak bersetubuh dengan Maria sampai ia melahirkan”
(Mat 1:25) berarti hubungan terjadi sesudahnya. Namun argumen ini adalah bentuk
kekeliruan linguistik klasik (equivocation fallacy). Dalam Kitab Suci,
kata “hingga” (heΓ³s) tidak selalu menyiratkan perubahan status
setelahnya.
Contoh? "Aku akan
menyertai kamu sampai akhir zaman" (Mat 28:20)—apakah berarti
setelah itu Yesus meninggalkan kita?
Gereja memahami bahwa Matius
hanya menegaskan keperawanan Maria pada saat kelahiran Yesus, tanpa
komentar lebih lanjut mengenai sesudahnya. Silence in Scripture is not
affirmation. Yang menafsirkan sebaliknya, sebenarnya hanya memaksakan eisegesis
terhadap teks.
V. Saudara-Saudara Yesus
dan Reduksi Keluarga
Argumen tentang
“saudara-saudara Yesus” sudah lama dijadikan dalih untuk menyangkal keperawanan
Maria. Namun, dalam budaya Semitik, kata “adelphos” mencakup saudara kandung,
sepupu, bahkan kerabat yang tinggal serumah.
Apakah Protestan hari ini
tidak tahu, atau enggan tahu, bahwa dalam Kitab Suci tidak ada kata khusus
untuk “sepupu”? Sama seperti Lot disebut “saudara Abraham” padahal ia
keponakan, demikian pula Yakobus, Yudas, Simon disebut “saudara Yesus”, padahal
secara tradisi kuno—dan disahkan oleh para Bapa Gereja—mereka adalah anak dari
Maria lain (istri Kleopas).
VI. Dogma sebagai Penjaga
Misteri, Bukan Pengganti Akal
Wright menuduh dogma Katolik
sebagai “jalan pintas untuk menghindari pertanggungjawaban teologis.” Namun
yang luput ia pahami adalah bahwa dogma tidak mengganti nalar, tetapi menjaganya
dari kesesatan. Dogma tidak dibentuk untuk "melawan Alkitab",
tetapi untuk membaca Kitab dalam terang Tradisi dan Akal Budi.
Menuduh dogma sebagai gnostik
adalah ironis, sebab justru Protestanisme-lah yang sering terjebak dalam
gnostisisme praktis: memisahkan roh dari tubuh, iman dari perbuatan, kasih dari
pengorbanan, dan dalam kasus ini, memaksa pernikahan tunduk pada fungsi
seksualnya semata.
VII. Penutup: Keperawanan
Maria adalah Ikon Injil
Keperawanan Maria yang abadi
bukanlah ide gila dari Roma, tetapi buah dari kontemplasi mendalam akan misteri
keselamatan. Maria tidak kehilangan apa pun karena tidak bersetubuh. Justru ia
menjadi ikon Gereja: murni, tak terbagi, dan berserah total.
Menolak keperawanan Maria
dengan alasan "martabat perkawinan" justru menghina dua hal
sekaligus: kehormatan Yusuf yang taat, dan kehendak Allah yang suci.
Kalau tubuh Maria terlalu
suci untuk suaminya, itu bukan hinaan, melainkan kehormatan: karena tubuh itu
telah menjadi tabernakel Inkarnasi. Dalam terang itulah, keperawanan Maria
menjadi bukan sekadar keajaiban biologis, tetapi lambang transenden dari sebuah
panggilan: menjadi milik Allah seutuhnya.
π Catatan
Kritis untuk Para Pembaca Protestan:
Jika Anda membaca ini dan merasa “terlalu Romawi,” mungkin itu karena
Anda telah terlalu lama percaya bahwa tubuh adalah milik Anda sendiri, bukan
milik Tuhan. Tapi Maria tahu lebih baik.
Dan ya, Maria tahu… tapi Protestan tampaknya belum tahu.
0 komentar:
Posting Komentar