Kenaikan Yesus ke Surga dalam Perspektif Metafisika Klasik
BAHAN KULIAH TEOLOGI KRISTOLOGI
Topik: Kenaikan Yesus ke Surga dalam Perspektif Metafisika
Klasik
I. PENDAHULUAN
Peristiwa Kenaikan Yesus ke surga (Kis 1:9-11) merupakan
bagian integral dari misteri Paska: tidak hanya kebangkitan tubuh-Nya dari
kematian, tetapi juga pengangkatan kodrat manusiawi-Nya ke dalam kemuliaan
ilahi. Dalam kerangka metafisika klasik—terutama filsafat Aristoteles dan
Thomas Aquinas—kenaikan ini tidak boleh direduksi menjadi simbolisme atau
alegori, tetapi harus dimengerti sebagai perubahan aktual dalam mode keberadaan
Yesus sebagai Tuhan dan manusia.
II. KENAIKAN DAN PERSATUAN HIPOSTATIK
Yesus Kristus adalah satu Pribadi Ilahi (Persona Verbi) yang
memiliki dua kodrat—ilahi dan manusiawi—yang tidak tercampur namun bersatu
secara hipostatik. Ini ditegaskan oleh Konsili Kalcedon (451 M): "unus
et idem Filius, Dominus noster Iesus Christus... in duabus naturis, inconfuse,
immutabiliter, indivise, inseparabiliter".
Dalam Kenaikan, bukan hanya jiwa atau unsur spiritual Kristus
yang naik, melainkan seluruh pribadi-Nya—termasuk tubuh manusiawi yang telah
dimuliakan. Tubuh ini bukan lagi tunduk pada hukum ruang-waktu, tetapi telah
diubah secara eskatologis (glorificatio corporis).
"Kenaikan bukanlah perpisahan, melainkan transformasi
cara kehadiran Kristus dalam dunia dan Gereja." (Paus Benediktus XVI, Homili
Kenaikan Tuhan, 2012)
III. PEMBACAAN METAFISIK: DARI AKTUALITAS MENUJU GLORIFIKASI
1. Potensia dan Actus Purus
Menurut St. Thomas Aquinas, hanya Tuhan yang adalah actus
purus (aktualitas murni), tanpa potensi yang belum terwujud. Kodrat
manusiawi Kristus, meski sempurna, tetap berada dalam keadaan potensial dalam
sejarah (bisa menderita, bisa mati, bisa dibatasi).
Melalui Kebangkitan dan Kenaikan, potensi tubuh manusiawi ini
diwujudkan sepenuhnya: tidak lagi dapat binasa, tidak lagi terbatas, dan kini
berpartisipasi dalam kemuliaan ilahi. Ini sejalan dengan Summa Theologiae
III, q.57 yang menegaskan bahwa Kenaikan adalah tindakan kehendak Kristus
dalam tubuh yang telah dimuliakan.
2. Mode Keberadaan yang Baru
Dalam terminologi metafisika, kita bisa membedakan antara esse
naturale (cara keberadaan alamiah) dan esse gloriosum (cara
keberadaan dalam kemuliaan). Kenaikan menandai transisi dari esse naturale
menuju esse gloriosum, tanpa menghilangkan kodrat manusiawi-Nya.
IV. KONSEKUENSI TEOLOGIS DAN ESKATOLOGIS
1. Meneguhkan Nilai Tubuh
Kenaikan menyangkal segala bentuk dualisme atau gnostisisme
yang meremehkan tubuh. Tubuh manusia—yang sebelumnya sarana
penderitaan—sekarang menjadi sarana partisipasi penuh dalam realitas ilahi.
"Tubuh manusia dalam Kristus kini berada dalam Allah dan
karena itu berada di mana saja Allah hadir." (Joseph Ratzinger, Jesus
of Nazareth: Holy Week)
2. Kehadiran yang Transenden
Kristus tidak lagi hadir secara lokal seperti dalam kehidupan
duniawinya, tetapi secara sakramental dan transenden. Ia hadir
secara substansial dalam Ekaristi, secara spiritual dalam Gereja, dan secara
providensial dalam sejarah.
"Dengan duduk di sebelah kanan Bapa, Kristus tidak
meninggalkan ciptaan, tetapi menjadi Penjaga dan Pengantara abadi bagi umat
manusia." (Katekhismus Gereja Katolik, no. 665–667)
3. Janji Eskatologis bagi Umat Manusia
Kenaikan adalah prototypon bagi kebangkitan dan
pemuliaan umat manusia. Apa yang terjadi pada Kristus akan terjadi juga pada
umat-Nya (lih. 1Kor 15:20-23). Ini mengandung harapan bahwa keseluruhan
eksistensi manusia—tubuh dan jiwa—ditujukan untuk hidup kekal dalam Allah.
V. KESIMPULAN
Kenaikan Kristus adalah realitas metafisik dan historis yang
menegaskan persatuan antara Allah dan manusia. Dalam peristiwa ini, kodrat
manusia tidak dihancurkan, melainkan dimuliakan. Melalui lensa metafisika
klasik, kita memahami bahwa yang naik bukan sekadar roh atau simbol, melainkan
pribadi Kristus secara utuh—sebagai jaminan bahwa keselamatan bersifat total,
mencakup tubuh dan jiwa dalam kesatuan eksistensial.
"Ubi caput, ibi membra: Dimana Kepala berada, di sana
pula tubuh akan berada." — St. Leo Agung
Referensi Tambahan:
- Thomas Aquinas, Summa Theologiae,
III, q.57-59
- Katekismus
Gereja Katolik, no. 659–667
- Joseph
Ratzinger, Introduction to Christianity
- Konsili
Kalcedon (451 M), Definisi Iman
0 komentar:
Posting Komentar