Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Rabu, 28 Mei 2025

Kenaikan Yesus ke Surga dalam Perspektif Metafisika Klasik

 

BAHAN KULIAH TEOLOGI KRISTOLOGI

Topik: Kenaikan Yesus ke Surga dalam Perspektif Metafisika Klasik


I. PENDAHULUAN

Peristiwa Kenaikan Yesus ke surga (Kis 1:9-11) merupakan bagian integral dari misteri Paska: tidak hanya kebangkitan tubuh-Nya dari kematian, tetapi juga pengangkatan kodrat manusiawi-Nya ke dalam kemuliaan ilahi. Dalam kerangka metafisika klasik—terutama filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas—kenaikan ini tidak boleh direduksi menjadi simbolisme atau alegori, tetapi harus dimengerti sebagai perubahan aktual dalam mode keberadaan Yesus sebagai Tuhan dan manusia.


II. KENAIKAN DAN PERSATUAN HIPOSTATIK

Yesus Kristus adalah satu Pribadi Ilahi (Persona Verbi) yang memiliki dua kodrat—ilahi dan manusiawi—yang tidak tercampur namun bersatu secara hipostatik. Ini ditegaskan oleh Konsili Kalcedon (451 M): "unus et idem Filius, Dominus noster Iesus Christus... in duabus naturis, inconfuse, immutabiliter, indivise, inseparabiliter".

Dalam Kenaikan, bukan hanya jiwa atau unsur spiritual Kristus yang naik, melainkan seluruh pribadi-Nya—termasuk tubuh manusiawi yang telah dimuliakan. Tubuh ini bukan lagi tunduk pada hukum ruang-waktu, tetapi telah diubah secara eskatologis (glorificatio corporis).

"Kenaikan bukanlah perpisahan, melainkan transformasi cara kehadiran Kristus dalam dunia dan Gereja." (Paus Benediktus XVI, Homili Kenaikan Tuhan, 2012)


III. PEMBACAAN METAFISIK: DARI AKTUALITAS MENUJU GLORIFIKASI

1. Potensia dan Actus Purus

Menurut St. Thomas Aquinas, hanya Tuhan yang adalah actus purus (aktualitas murni), tanpa potensi yang belum terwujud. Kodrat manusiawi Kristus, meski sempurna, tetap berada dalam keadaan potensial dalam sejarah (bisa menderita, bisa mati, bisa dibatasi).

Melalui Kebangkitan dan Kenaikan, potensi tubuh manusiawi ini diwujudkan sepenuhnya: tidak lagi dapat binasa, tidak lagi terbatas, dan kini berpartisipasi dalam kemuliaan ilahi. Ini sejalan dengan Summa Theologiae III, q.57 yang menegaskan bahwa Kenaikan adalah tindakan kehendak Kristus dalam tubuh yang telah dimuliakan.

2. Mode Keberadaan yang Baru

Dalam terminologi metafisika, kita bisa membedakan antara esse naturale (cara keberadaan alamiah) dan esse gloriosum (cara keberadaan dalam kemuliaan). Kenaikan menandai transisi dari esse naturale menuju esse gloriosum, tanpa menghilangkan kodrat manusiawi-Nya.


IV. KONSEKUENSI TEOLOGIS DAN ESKATOLOGIS

1. Meneguhkan Nilai Tubuh

Kenaikan menyangkal segala bentuk dualisme atau gnostisisme yang meremehkan tubuh. Tubuh manusia—yang sebelumnya sarana penderitaan—sekarang menjadi sarana partisipasi penuh dalam realitas ilahi.

"Tubuh manusia dalam Kristus kini berada dalam Allah dan karena itu berada di mana saja Allah hadir." (Joseph Ratzinger, Jesus of Nazareth: Holy Week)

2. Kehadiran yang Transenden

Kristus tidak lagi hadir secara lokal seperti dalam kehidupan duniawinya, tetapi secara sakramental dan transenden. Ia hadir secara substansial dalam Ekaristi, secara spiritual dalam Gereja, dan secara providensial dalam sejarah.

"Dengan duduk di sebelah kanan Bapa, Kristus tidak meninggalkan ciptaan, tetapi menjadi Penjaga dan Pengantara abadi bagi umat manusia." (Katekhismus Gereja Katolik, no. 665–667)

3. Janji Eskatologis bagi Umat Manusia

Kenaikan adalah prototypon bagi kebangkitan dan pemuliaan umat manusia. Apa yang terjadi pada Kristus akan terjadi juga pada umat-Nya (lih. 1Kor 15:20-23). Ini mengandung harapan bahwa keseluruhan eksistensi manusia—tubuh dan jiwa—ditujukan untuk hidup kekal dalam Allah.


V. KESIMPULAN

Kenaikan Kristus adalah realitas metafisik dan historis yang menegaskan persatuan antara Allah dan manusia. Dalam peristiwa ini, kodrat manusia tidak dihancurkan, melainkan dimuliakan. Melalui lensa metafisika klasik, kita memahami bahwa yang naik bukan sekadar roh atau simbol, melainkan pribadi Kristus secara utuh—sebagai jaminan bahwa keselamatan bersifat total, mencakup tubuh dan jiwa dalam kesatuan eksistensial.

"Ubi caput, ibi membra: Dimana Kepala berada, di sana pula tubuh akan berada." — St. Leo Agung


Referensi Tambahan:

  • Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, q.57-59
  • Katekismus Gereja Katolik, no. 659–667
  • Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity
  • Konsili Kalcedon (451 M), Definisi Iman

 

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive