Dari Protestan Menuju Ateis: Ketika Iman Kehilangan Fondasi
“Saya dulu Protestan. Tapi sekarang saya lebih memilih menjadi agnostik.”
Pernyataan seperti ini semakin sering kita dengar. Mungkin dari teman. Mungkin dari selebriti. Atau bahkan dari mantan pengkhotbah.
Bagi banyak orang, kehilangan iman sering dianggap sebagai tragedi pribadi. Tapi apakah itu benar-benar hanya soal pribadi? Atau… ada sesuatu yang salah dengan struktur iman yang mereka anut sebelumnya?
Dalam tulisan ini, kita akan melihat bahwa transisi dari Protestan ke ateis bukanlah fenomena acak. Ia adalah buah dari fondasi yang rapuh, keretakan epistemologis, dan krisis metafisik yang tak terelakkan dari sebuah sistem kepercayaan yang memutus dirinya dari Tradisi, Otoritas, dan Sakramentalitas.
1. Ketika Segalanya Bisa Ditafsirkan Sendiri
Protestanisme lahir dari semangat pembaruan. Tapi pembaruan itu dibangun di atas satu prinsip yang menggoda namun membahayakan:
Sola Scriptura – hanya Kitab Suci.
Dalam semangat ini, siapa pun boleh menafsir Alkitab sendiri, tanpa Gereja, tanpa Tradisi, tanpa Magisterium.
Dan ketika setiap orang jadi penafsir, siapa yang berani mengklaim kebenaran?
Pluralisme penafsiran tidak berhenti di gereja-gereja kecil. Ia melahirkan ratusan denominasi, lalu ratusan lagi, lalu ribuan. Dan akhirnya, muncul keraguan eksistensial:
“Kalau semua orang bisa salah, siapa yang bisa benar? Kalau begitu, apakah saya percaya karena Tuhan... atau karena saya kebetulan setuju?”
Dari sinilah benih-benih skeptisisme mulai tumbuh. Sola Scriptura membuka pintu bagi relativisme. Dan relativisme, pada akhirnya, tidak tahu harus percaya siapa.
2. Tuhan yang Didegradasi Jadi Perasaan
Ketika gereja-gereja mengganti altar dengan panggung, dan imam dengan motivator,
Tuhan pun berubah.
Bukan lagi Allah yang Mahakudus,
tapi semacam “teman baik di saat sedih”.
Ini bukan relasi. Ini proyeksi.
Dalam banyak versi Protestan modern, Tuhan menjadi figur yang “relevan dengan kebutuhan pribadi”, bukan Tuhan yang memanggil manusia keluar dari dirinya menuju keselamatan sejati. Maka ketika perasaan berubah—Tuhan pun ikut menghilang.
Jika Tuhan hanya hadir saat saya merasa-Nya, lalu saat saya tidak merasa-Nya, apakah Dia masih ada?
3. Keselamatan yang Terlalu Mudah untuk Diteguhkan
Protestan modern mereduksi keselamatan menjadi status hukum: dibenarkan karena iman saja.
Tanpa sakramen.
Tanpa perjuangan.
Tanpa proses penyembuhan.
Yesus berubah dari Penebus eksistensi menjadi sekadar "juru bicara" di hadapan Hakim Surgawi.
Manusia tidak sungguh dipulihkan, hanya dilabeli "selamat".
Apa akibatnya?
Ketika realitas batin tak berubah—iman pun mulai terasa kosong.
Lalu orang bertanya:
“Apakah saya sungguh diselamatkan? Kalau iya, mengapa hidup saya tetap sama?”
4. Dari Jenuh Jadi Ragu, dari Ragu Jadi Ateis
Banyak mantan Protestan bukan meninggalkan Tuhan. Mereka meninggalkan ilusi tentang Tuhan yang tidak mampu menanggung realitas kehidupan.
Ketika gereja tak lagi bisa menjawab pertanyaan,
ketika iman tidak mampu menampung keraguan,
dan ketika tak ada tempat untuk pulang—maka ateisme menjadi “alternatif logis”.
Mereka tidak melawan Tuhan.
Mereka hanya lelah mempercayai sistem yang membuat Tuhan terasa artifisial.
5. Gereja Katolik: Rumah yang Tidak Goyah
Di tengah pusaran relativisme dan kebingungan rohani,
Gereja Katolik berdiri sebagai rumah tua yang tetap kokoh.
Ia tidak menjanjikan “penafsiran bebas”, tapi kebenaran yang dijaga bersama.
Ia tidak menawarkan kenyamanan emosional, tapi pengalaman sakramental yang mentransformasikan.
Dalam Gereja Katolik:
-
Iman dan akal tidak saling meniadakan, tetapi bersahabat.
-
Dosa bukan sekadar status, tapi luka yang perlu disembuhkan.
-
Yesus bukan sekadar jaminan hukum, tapi Allah yang turun dan tinggal dalam Tubuh-Nya.
Penutup: Pulang Sebelum Terlambat
Jika kamu adalah seorang Protestan yang sedang jenuh dan bingung,
atau seorang Katolik yang sempat tergoda untuk “mencari sendiri”—
Mungkin yang perlu kamu tinggalkan bukan Tuhan,
tapi sistem yang membuat Tuhan menjadi sekadar opini pribadi.
Gereja Katolik tidak mengklaim sebagai “pilihan populer”,
tapi ia tetap menjadi rumah kebenaran yang hidup.
Sebelum kamu melangkah terlalu jauh dan kehilangan arah,
ingatlah: ada jalan pulang.
Ada rumah.
Dan rumah itu tidak dibangun di atas tafsir bebas,
melainkan di atas Batu Karang yang tidak berubah.
“Aku percaya akan satu Allah… dan akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik.”
Dan itu bukan sekadar pengakuan iman. Itu adalah peneguhan hidup.
Jika Anda ingin membagikan tulisan ini kepada teman Protestan atau agnostik, silakan. Jangan untuk debat. Tapi untuk mengajak mereka berpikir lebih dalam. Kadang, satu artikel bisa menjadi awal dari perjalanan pulang.
π️
0 komentar:
Posting Komentar