"Kekudusan yang Terpotong dari Sakramentalitas: Tanggapan Katolik atas Pewartaan Mikhana"
1. Pendahuluan
Pewartaan Mikhana menyentuh tema-tema penting seperti pertobatan, kekudusan, dan kritik terhadap kemunafikan religius—topik yang juga sangat dekat dengan tradisi Katolik. Namun, di balik semangat kenabian yang berkobar, perlu diselidiki apakah fondasi teologis dan asumsi metafisis yang ia gunakan selaras dengan iman Katolik. Dalam artikel ini, kita akan memeriksa:
-
Landasan asumsi teologis dan filosofis Mikhana
-
Perbedaan pendekatan Katolik
-
Kelebihan dan kekurangan dari pendekatannya
-
Tanggapan pastoral dan teologis Katolik
2. Asumsi Teologis dan Metafisik Mikhana
a. Pemisahan Total antara Kudus dan Dunia
Mikhana mengasumsikan bahwa kekudusan harus berarti pemisahan total dari dunia—termasuk dari bentuk-bentuk budaya, struktur gerejawi, bahkan ikonografi dan simbol visual. Ia menyamakan semua ekspresi warisan Yunani-Romawi (termasuk nama “Yesus” dan lukisan-lukisan ikonik) sebagai bentuk helenisasi kafir yang mengaburkan kekristenan sejati.
Tanggapan Katolik: Gereja Katolik, sebagaimana ditegaskan oleh Konsili Vatikan II (Gaudium et Spes), tidak menolak apa pun yang benar dan kudus dalam kebudayaan manusia. Inkarnasi sendiri adalah bukti bahwa Sabda menjadi daging dalam konteks historis-budaya tertentu, termasuk dalam bahasa, simbol, dan struktur sosial. Penolakan terhadap “pengaruh Yunani” justru mengimplikasikan penolakan terhadap inkarnasionalitas iman Kristen itu sendiri.
b. Anti-Trinitarianisme dan Kristologi Monarkis
Mikhana menolak Tritunggal Mahakudus dan mengadopsi teologi oneness—Yesua sebagai Elohim dan Bapa itu sendiri. Ia menuduh Tritunggal sebagai hasil pemikiran Tertulianus dan warisan filsafat Yunani kafir.
Tanggapan Katolik: Doktrin Tritunggal bukanlah hasil “ciptaan” Tertulianus, melainkan formulasi reflektif terhadap pengalaman umat akan Allah yang menyelamatkan: Allah yang berbicara melalui para nabi (Bapa), menjelma dalam Putra (Yesus Kristus), dan hadir dalam Gereja melalui Roh Kudus. Gereja hanya menyusun formula dogmatis untuk menghindari kesesatan seperti modalisme atau arianisme. Pemahaman Mikhana gagal membedakan antara substansi dan relasi pribadi dalam diri Allah, dan menyederhanakan relasi intra-Trinitaris ke dalam bentuk unitarianisme yang justru bermasalah secara filosofis.
c. Reduksi Sakramentalitas menjadi Emosi dan Kesalehan Personal
Dalam narasi Mikhana, kehidupan rohani dipandang sebagai pengalaman personal langsung dengan Tuhan, di luar struktur sakramental, liturgi, dan hierarki Gereja. Penekanan pada “mezbah pribadi” menggantikan pentingnya komuni sakramental.
Tanggapan Katolik: Sakramen bukan hanya simbol atau ritual manusia, tetapi tanda efektif kasih karunia, sebagaimana ditegaskan dalam Catechismus Catholicae Ecclesiae (KGK 1116). Reduksi pengalaman iman menjadi hubungan langsung tanpa sakramen melahirkan spiritualitas yang individualistik, dan berisiko menjauhkan umat dari tubuh mistik Kristus, yakni Gereja. Gereja Katolik, sebagai sakramen keselamatan yang kelihatan, menjembatani iman personal dan persekutuan umat dalam Kristus.
3. Evaluasi Filosofis: Ontologi, Epistemologi, dan Hermeneutika
a. Ontologi Sederhana dan Reduktif
Mikhana menyampaikan pemahaman Tuhan secara univokal—seolah Allah hanya bisa dipahami sebagai pribadi tunggal seperti manusia, bukan ipsum esse subsistens (ada itu sendiri) sebagaimana dalam metafisika Tomas Aquinas.
Akibatnya: ia memaksakan kategori manusiawi ke dalam natur Allah yang misterius. Dalam tradisi Katolik, perbedaan antara substansi dan persona dalam Trinitas membantu menjelaskan bahwa Allah adalah satu dalam esensi, tiga dalam relasi pribadi, tanpa kontradiksi logis.
b. Epistemologi Biblikalistik Semu
Mikhana mengklaim hanya mengikuti “kitab suci” namun dengan metode penafsiran yang literalistik dan tidak memperhatikan konteks sejarah, bahasa asli, tradisi Gereja, dan kesatuan seluruh wahyu.
Dalam Katolik, Dei Verbum menegaskan bahwa Kitab Suci harus dibaca dalam terang Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Membaca Alkitab tanpa kerangka hermeneutika yang tepat akan menghasilkan kesimpulan arbitrer dan personalistik, yang ironisnya menjadi dasar sektarianisme.
4. Sikap Terhadap Tradisi: Antara Reformasi dan Fragmentasi
Mikhana tampak memposisikan dirinya sebagai “suara nubuatan murni” di tengah kebobrokan gereja-gereja tradisional. Ia menyerang “Tritunggal” seperti Protestan menyerang Katolik, tapi juga menolak Protestan. Hal ini mengindikasikan upaya membangun otoritas pribadi baru yang paradoksal: ia menolak struktur otoritas, namun meletakkan otoritas absolut pada penafsirannya sendiri.
Gereja Katolik mengakui perlunya pembaruan (reformatio in Ecclesia), namun menolak klaim siapa pun yang mendirikan gereja di luar komunio dengan Petrus (lih. Lumen Gentium 8). Gereja bukan hasil nubuatan individu, tapi tubuh Kristus yang dijaga oleh Roh Kudus dan dibangun di atas para rasul, dengan Petrus sebagai batu penentu (Mat 16:18).
5. Kesimpulan: Kembali ke Kesatuan Iman yang Inkarnatif dan Sakramental
Gagasan-gagasan Mikhana menawarkan kritik yang tajam terhadap kemunafikan dan kemerosotan moral umat beragama—dan di sini Gereja Katolik pun tak menutup diri terhadap kritik serupa. Namun sayangnya, pendekatan Mikhana didasarkan pada asumsi-asumsi teologis dan filosofis yang tidak selaras dengan iman Katolik:
-
Ia menolak misteri Tritunggal dan sakramentalitas
-
Ia mereduksi relasi ilahi ke dalam kategori manusiawi
-
Ia membangun spiritualitas tanpa Gereja
Dari sudut pandang Katolik, solusi atas kemerosotan iman bukanlah “kabur ke tenda sendiri” dengan menolak Tritunggal atau menuduh seluruh sejarah gereja sebagai sesat, melainkan berakar kembali pada Kristus melalui Gereja-Nya yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.
“Di luar Gereja tidak ada keselamatan, bukan karena Gereja menyelamatkan, tapi karena Gereja adalah tubuh Dia yang menyelamatkan.”
— St. Cyprianus dari Kartago
0 komentar:
Posting Komentar