Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Minggu, 08 Juni 2025

πŸ” Logos Menjadi Daging? Membongkar Metafisika Terselubung di Balik Tafsir Anti-Trinitas

 

“Pada mulanya adalah Logos, dan Logos itu bersama-sama dengan Allah, dan Logos itu adalah Allah” (Yoh. 1:1)

Ayat yang agung ini, yang selama dua ribu tahun telah menjadi dasar doktrin inkarnasi dan Trinitas dalam iman Katolik, kini kembali dibaca ulang oleh sebagian teolog modern dengan pendekatan yang disebut “hikmat Yahudi” dan “personifikasi non-literal.” Mereka menolak tafsir Trinitarian dan inkarnasi literal Yesus sebagai Allah yang menjadi manusia. Alasan utama mereka? Karena itu dianggap hasil “metafisika Yunani” yang dipaksakan ke dalam teks Injil Yohanes.

Tapi apakah benar bahwa mereka “bebas dari metafisika”? Atau sebenarnya mereka hanya mengganti satu sistem metafisika dengan sistem yang lain—yang lebih rapuh, lebih sempit, dan lebih inkonsisten?

Mari kita bongkar logikanya.


πŸ›‘ 1. Menolak Metafisika Yunani, Tapi Memakai Metafisika Nominalis

Para penafsir ini mengklaim bahwa istilah Logos dalam Yohanes 1:1 hanyalah bentuk personifikasi sastra dari hikmat Allah, sebagaimana dalam Amsal atau Sirakh. Jadi, ketika dikatakan “Logos menjadi daging,” itu artinya hanyalah “hikmat Allah hadir dalam manusia Yesus,” bukan bahwa Allah benar-benar menjadi manusia.

Ini bukan sekadar tafsir—ini adalah klaim metafisik. Ia bergantung pada suatu paham bahwa:

  • tidak ada realitas adikodrati yang aktual di balik personifikasi,

  • semua yang transenden hanya ada dalam pikiran atau bahasa manusia,

  • dan “praeksistensi” hanyalah konsep, bukan keberadaan nyata.

Itu adalah metafisika nominalis: dunia hanya terdiri dari hal-hal partikular, dan segala sesuatu yang bersifat universal atau adikodrati hanyalah nama atau ide buatan pikiran manusia.

πŸ‘‰ Padahal, tanpa disadari, penafsir ini sedang berpindah dari metafisika Yunani yang realistis kepada metafisika modern yang skeptis dan antirealis. Bukankah lebih jujur mengakui bahwa ia tidak menolak filsafat, tetapi hanya memilih filsafat yang lain?


⚠️ 2. Yesus Sebagai "Blueprint": Fungsionalisme atau Kristologi?

Dalam argumennya, sang penafsir menyamakan Logos dengan blueprint—cetak biru dari pikiran Allah yang kemudian dihidupi oleh Yesus sebagai manusia. Yesus tidak lebih dari arsitek yang berhasil menerjemahkan cetak biru ke dalam bangunan realitas historis.

Namun, ini juga adalah klaim metafisik: bahwa kodrat ilahi tidak pernah sungguh-sungguh hadir dalam diri Yesus, hanya fungsi atau misi Allah-lah yang dihidupi oleh manusia Yesus.

Inilah fungsionalisme teologis: realitas spiritual diukur dari fungsinya, bukan substansinya.

πŸ‘‰ Tapi jika Yesus hanyalah manusia yang berhasil menunaikan blueprint Allah, apa bedanya Ia dengan Musa, Elia, atau bahkan Muhammad? Apakah misi cukup untuk menyelamatkan manusia dari dosa, ataukah keselamatan mengharuskan kehadiran pribadi Allah sendiri?


🧩 3. Inkarnasi: Personifikasi atau Perjumpaan Ontologis?

Gereja sejak abad pertama memahami bahwa Logos menjadi daging bukanlah sekadar metafora atau teknik sastra. Itu adalah pernyataan ontologis: pribadi kedua dari Tritunggal benar-benar mengambil kodrat manusia, tanpa kehilangan kodrat ilahi-Nya. Inilah yang disebut unio hypostatica.

Sebaliknya, dalam tafsir “hikmat Yahudi,” inkarnasi hanya berarti “penghayatan konsep” dalam wujud manusia. Tidak ada transformasi, tidak ada dua kodrat dalam satu pribadi.

Tapi pertanyaannya: bagaimana manusia dapat diselamatkan jika Allah tidak sungguh-sungguh datang menyelamatkan? Bukankah hanya Allah yang dapat menebus dosa yang ditujukan kepada-Nya?

πŸ‘‰ Inkarnasi bukanlah perubahan kodrat, tetapi persatuan pribadi: pribadi yang sama (Logos) kini hadir dalam kodrat manusia tanpa kehilangan kodrat ilahi-Nya. Ini bukan mistisisme kosong, tapi perjumpaan ontologis antara Pencipta dan ciptaan.


⚖️ 4. Monoteisme yang Rapuh: Subordinasianisme Terselubung

Ironisnya, demi menjaga “monoteisme murni,” tafsir ini justru terjerumus pada subordinasianisme, yakni pandangan bahwa Yesus adalah agen atau instrumen yang lebih rendah dari Allah Bapa. Ia adalah “wadah,” bukan Allah sendiri.

Padahal, Gereja menolak subordinasianisme sejak abad ke-4 sebagai bentuk politeisme terselubung: karena hanya yang sehakikat dengan Allah yang dapat melakukan karya Allah.

πŸ‘‰ Jika Yesus bukan Allah, Ia tidak dapat menyelamatkan. Jika Yesus hanya manusia, Ia hanya bisa menunjukkan teladan, bukan menjadi sarana keselamatan. Maka iman Kristen pun runtuh menjadi moralitas Yahudi versi 2.0.


πŸ”š Penutup: Yang Dipermasalahkan Bukan Apakah Ada Metafisika, Tetapi Jenis Metafisikanya

Jangan tertipu oleh retorika “kami menolak filsafat Yunani.” Semua tafsir teologis memakai kerangka metafisik. Yang membedakan adalah: apakah metafisikanya kuat dan konsisten, ataukah cair dan penuh kontradiksi?

Gereja Katolik, dalam kebijaksanaan warisan para Bapa Gereja dan teolog seperti Santo Atanasius dan Santo Tomas Aquinas, tidak asal comot metafisika Yunani, tetapi mengambil yang terbaik dari akal budi manusia, lalu membaptisnya demi pewahyuan.

Karena itu, jangan malu memakai kata-kata seperti ousia, hypostasis, natura, atau persona.

Itu bukan sekadar filsafat. Itu adalah senjata nalar dalam mempertahankan iman dari interpretasi yang melemahkan kebenaran Injil.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive