Mengapa Kebenaran Tak Bisa Ditentukan Sendiri: Saatnya Pulang ke Rumah
“Apakah benar Allah berkata...?” (Kejadian 3:1)
Pertanyaan kuno itu tak pernah benar-benar mati. Ia hanya berubah bentuk.
Dalam kisah Taman Eden, iblis tidak datang dengan pedang atau api. Ia datang dengan sebuah pertanyaan. Satu kalimat yang menggeser fondasi iman: "Apakah benar Allah berkata demikian?" Inilah bibit relativisme spiritual yang kemudian tumbuh subur dalam sejarah manusia, termasuk dalam sejarah Kekristenan itu sendiri.
Ketika gerakan Reformasi Protestan meletakkan prinsip “sola scriptura” (hanya Kitab Suci) sebagai satu-satunya otoritas, mereka tidak sadar bahwa mereka juga membuka pintu bagi subjektivisme yang tak terkendali. Kini, berabad-abad kemudian, kita melihat buah dari keputusan itu: ribuan denominasi, perpecahan teologis, dan keyakinan yang berubah-ubah tergantung selera pribadi.
Protestanisme dan Ilusi Kebebasan
Banyak orang Protestan hari ini, termasuk yang muda dan cerdas, mulai menyadari adanya kekosongan dalam sistem yang mereka warisi. Mereka mencari sakralitas, keagungan liturgi, dan misteri yang otentik. Sayangnya, dalam struktur Protestan, unsur-unsur itu hanyalah ilusi estetika, bukan realitas rohani yang hidup.
Seorang apologet dalam video yang beredar baru-baru ini menyoroti bagaimana bahkan tokoh terkemuka seperti N.T. Wright—seorang uskup dan teolog Anglikan—berani mengusulkan bahwa seseorang tetap bisa disebut Kristen meski tidak percaya akan kebangkitan tubuh Yesus. Lebih dari itu, Wright juga terbuka terhadap aborsi dalam kondisi tertentu. Ini bukan sekadar opini pribadi, melainkan sebuah indikasi: ketika dogma menjadi pilihan, maka iman berubah menjadi opini spiritual yang bisa dinegosiasikan.
Jika seseorang bisa percaya bahwa Yesus hanyalah “terang dunia” tanpa menjadi Tuhan dan Juru Selamat yang bangkit, lalu apa artinya menjadi Kristen? Apakah cukup hanya merasa dekat dengan Yesus, seperti merasa terinspirasi oleh Gandhi atau Nelson Mandela?
Tanpa Otoritas, Semua Orang Jadi Paus
Inti dari masalah ini bukan sekadar perbedaan tafsir, tetapi hilangnya otoritas objektif. Protestanisme memindahkan wewenang dari Gereja ke individu. Maka tak heran jika masing-masing orang merasa berhak menentukan apa itu Injil, apa itu sakramen, bahkan apa itu dosa.
Akibatnya, tidak ada satu suara yang dapat mengajarkan dengan pasti: “Inilah yang benar, dan inilah yang salah.” Dan ketika satu orang Protestan mencoba mengatur ulang sistem dengan dogma baru, pertanyaannya sederhana: “Dengan otoritas siapa?”
Itulah mengapa gereja-gereja Protestan besar hari ini—termasuk Gereja Anglikan dan Lutheran liberal—semakin kehilangan arah dalam isu-isu moral: dari pengesahan pernikahan sejenis, relativisme soal aborsi, hingga pengguguran dogma Kristologis.
Apa yang Dicari Generasi Muda? Yang Hilang di Luar Gereja Katolik
Generasi muda hari ini mencari yang kudus, pasti, dan transenden. Mereka lelah dengan dunia digital yang serba subjektif. Mereka haus akan kebenaran yang bukan hasil polling mayoritas. Mereka ingin menyentuh misteri, bukan sekadar mendengar khotbah motivasional.
Beberapa gereja Reformed mencoba mengakomodasi kerinduan ini dengan membuat liturgi yang khusyuk, memunculkan kembali lagu-lagu Gregorian, bahkan memakai jubah dan dupa. Tapi semua itu hanya tiruan. Mengapa?
Karena tanpa Ekaristi yang sah, semua itu hanya panggung, bukan perjamuan ilahi. Tanpa sakramen yang dikuduskan melalui suksesi apostolik, tak ada kehadiran nyata Kristus. Tanpa Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik—semua upaya hanya bisa menyentuh permukaan, tidak menjangkau kedalaman misteri ilahi.
Ekumenisme Sejati: Undangan untuk Pulang
Ekumenisme bukan sekadar proyek untuk “berdamai.” Ia adalah panggilan kasih. Bukan untuk menyeragamkan secara paksa, melainkan mengajak saudara-saudari terpisah kembali ke rumah asal, ke Gereja yang dijaga Kristus sendiri: “Di mana Aku, di situ hamba-Ku akan ada juga” (Yoh. 12:26).
Bukan Gereja yang membuat Ekaristi menjadi Tubuh Kristus, tetapi karena Kristus sendiri yang memberikan kuasa itu hanya kepada Gereja yang dilindungi Roh Kudus, maka hanya dalam kesatuan dengan Paus dan para Uskup kita dapat berkata dengan pasti: “Ini benar-benar Tubuh-Ku.”
Kesimpulan: Otoritas Menyelamatkan
Bagi dunia modern, otoritas terasa seperti penindasan. Tapi dalam iman, otoritas adalah perlindungan. Kita bukan diselamatkan oleh “perasaan dekat” dengan Yesus, tetapi oleh iman yang ditanamkan melalui ajaran yang benar, hidup sakramental, dan persekutuan Gereja.
“Kebenaran akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:32), bukan opini.
Sudah waktunya berhenti mencari di antara puing-puing. Gereja Katolik bukan sempurna karena umatnya suci semua, tapi karena Tuhan yang menjaganya dalam kebenaran.
Sudah waktunya untuk pulang.
Ingin mendalami lebih lanjut?
Mari ikuti seri katekese dan diskusi apologetik kami. Bagikan artikel ini kepada saudara-saudari kita di luar Gereja.
Karena kasih Kristus tidak membiarkan kita puas dalam kebingungan.
Ia memanggil kita pulang ke rumah yang penuh kepastian: Gereja-Nya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar