Ketika sejarah Gereja kerap dipelintir oleh narasi-narasi modern yang mengaku "murni kembali ke Alkitab", arkeologi diam-diam menggali kebenaran yang telah lama terkubur—secara harfiah. Penemuan reruntuhan kota Koptik kuno di Oasis Kharga, Mesir Barat, pada Juli 2025, bukan sekadar prestasi ilmiah. Ia adalah memento veritatis, pengingat akan kebenaran Gereja yang hidup dan berakar jauh sebelum Reformasi muncul di Eropa.
Di
tengah gurun tandus, para arkeolog menemukan sisa-sisa komunitas Kristen abad
ke-4 hingga ke-7 yang memiliki struktur masyarakat terorganisir: rumah-rumah
bata lumpur, fasilitas penyimpanan, kompleks pemakaman, dan—yang paling
mencolok—dua gereja lengkap dengan basilika, kolom, altar, inskripsi Koptik,
serta mural Kristus yang menyembuhkan orang sakit. Ini bukan bukti sembarang
“komunitas percaya”. Ini adalah fragmen utuh dari Gereja Katolik perdana
yang menjelma dalam arsitektur, ikonografi, dan sakramentalitas hidup umat.
Lebih
dari sekadar membuktikan keberadaan Kekristenan awal di luar Lembah Nil, situs
ini menantang asumsi teologis Protestan modern yang memutlakkan sola scriptura
dan membongkar mitos bahwa Gereja perdana adalah jaringan tak terstruktur dari
pengikut Yesus yang spontan dan anti-liturgi. Justru sebaliknya—apa yang
ditemukan menunjukkan adanya komunitas yang hidup dalam iman yang berakar pada
Tradisi Suci, dengan bentuk ibadah yang ritmis dan seni yang sakral.
Dalam
tulisan ini, kita akan menelusuri signifikansi apologetik dari penemuan kota
Koptik Ain al-Kharab, dengan membedah bagaimana artefak dan arsitektur tersebut
mempertegas doktrin Katolik: sakramentalitas, liturgi, otoritas Gereja, dan
kesatuan iman lintas tempat dan zaman. Dengan batu-batu kuno sebagai saksi,
kita akan menunjukkan bahwa Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik
bukanlah ciptaan Konsili Trente, tetapi kenyataan historis sejak abad-abad awal
Kekristenan.
Bagian
I: Gereja di Padang Gurun — Struktur, Liturgi, dan Sakramentalitas
Penemuan
dua bangunan gereja dalam reruntuhan kota Koptik Ain al-Kharab bukan hanya
temuan arsitektural; itu adalah kesaksian konkret akan keberadaan Gereja
yang hidup, terstruktur, dan berliturgi, jauh sebelum Alkitab dicetak
massal atau sebelum kata “Reformasi” muncul dalam sejarah.
1.1. Struktur Gereja: Lebih
dari Sekadar Kumpul-Kumpul
Salah satu gereja yang ditemukan memiliki denah
basilika klasik—dengan aula utama, dua lorong samping, dan deretan kolom. Ini
bukan desain improvisasi, melainkan rancangan yang mencerminkan teologi tubuh
mistik Gereja (lih. Lumen Gentium 7) dan warisan arsitektur liturgis
sejak abad-abad awal.
Bangunan ini menunjukkan adanya hirarki, tata
liturgi, dan pusat komunitas yang berorientasi pada altar. Gereja bukan sekadar
tempat pertemuan sosial; ia adalah tempat kudus di mana langit dan bumi
bertemu melalui Ekaristi.
1.2. Liturgi Terpahat dalam
Batu
Salah satu mural menggambarkan Kristus sedang
menyembuhkan orang sakit—ikonografi yang berakar dalam Injil dan tradisi visual
Gereja perdana. Ini menunjukkan bahwa liturgi tak hanya diucapkan, tapi juga dihayati
dan divisualkan. Tradisi lukisan dinding seperti ini menjadi bukti bahwa
umat Kristen awal tidak alergi terhadap seni sakral. Justru sebaliknya, mereka
menjadikan seni sebagai bagian dari pewartaan iman dan doa.
Di dinding lain, ditemukan inskripsi dalam
bahasa Koptik—bukan ayat-ayat Alkitabiah yang berdiri sendiri, tapi teks-teks
yang menyatu dengan ruang ibadah, kemungkinan besar bagian dari doa liturgis
atau kutipan patristik. Artinya, iman mereka dihidupi dalam bentuk Tradisi
Suci, bukan semata-mata “kembali ke teks”.
1.3. Sakramentalitas Kehidupan
Umat
Reruntuhan rumah-rumah, oven, tempat
penyimpanan biji-bijian, dan area pemakaman menunjukkan kehidupan komunitas
yang erat dan tertata, dengan gereja sebagai pusatnya. Ini mencerminkan
spiritualitas sakramental: seluruh kehidupan—termasuk makan, mati, dan
berdoa—berpuncak pada altar.
Tradisi ini sangat Katolik: iman bukan sekadar
percaya secara individual, melainkan dihayati bersama dalam tubuh Kristus.
Struktur ini membantah ide Protestan tentang iman yang "tidak butuh
imam", atau komunitas yang bisa dibentuk secara spontan tanpa warisan
apostolik.
📍Refleksi Apologetik
Bukti-bukti
ini mengarahkan kita pada satu simpulan penting:
Gereja yang ditemukan di padang gurun Mesir bukan hasil reformasi,
melainkan lanjutan dari warisan para rasul. Ia hidup dalam ritus, sakramen, dan
penggambaran Kristus sebagai pusat komunitas. Artinya, Gereja Katolik bukan
ciptaan abad pertengahan, tapi warisan yang terus hidup sejak abad-abad awal.
Ketika
Protestan hari ini menuduh Katolik “menyimpang dari iman mula-mula”, maka
batu-batu dari Kharga menjawab: "Ini dia Gereja mula-mula—dan dia
sangat Katolik."
Bagian
II: Tradisi Suci dan Iman Komunitas — Ketika Alkitab Belum Dicetak, Gereja
Tetap Hidup
Salah
satu argumen khas Protestan adalah klaim bahwa "iman sejati" harus
berdiri di atas sola scriptura—hanya Kitab Suci, tanpa Tradisi atau
Magisterium. Namun, penemuan kota Koptik kuno di Oasis Kharga justru
menghancurkan mitos ini. Di tengah gurun, ketika belum ada mesin cetak, belum
ada Alkitab dalam bentuk satu jilid, dan belum ada King James Version, Gereja
tetap hidup—utuh, sakramental, dan terstruktur.
2.1.
Iman yang Diwariskan, Bukan Diciptakan Pribadi
Komunitas
Koptik ini hidup antara abad ke-4 hingga ke-7—jauh sebelum Konsili Trente,
bahkan sebelum Alkitab dikanonisasi secara final dalam bentuk modern. Maka
pertanyaannya sederhana namun menusuk:
Dari mana mereka mendapat iman?
Jawabannya
hanya satu: dari Tradisi Suci yang diwariskan oleh para rasul melalui
para uskup dan imam mereka. Mereka tidak memiliki akses ke seluruh Kitab Suci
dalam satu jilid, tetapi mereka tetap memiliki iman yang hidup karena bersumber
dari Gereja yang apostolik. Ini adalah bukti kuat bahwa sejak awal, Tradisi
dan otoritas Gereja berjalan bersama Kitab Suci, bukan digantikan olehnya.
2.2.
Liturgi sebagai Pewartaan Iman
Situs
ini menunjukkan bahwa iman diajarkan dan diwariskan bukan melalui tafsir
pribadi, melainkan melalui liturgi dan seni. Inskripsi dalam bahasa
Koptik, mural Kristus, serta struktur gereja adalah sarana pewartaan iman
kepada umat yang mungkin tidak semuanya melek huruf atau memiliki Kitab Suci.
Liturgi
adalah Kitab Suci yang dihayati.
Di zaman ketika Alkitab belum bisa dimiliki secara pribadi, Ekaristi, doa,
nyanyian, dan ikon menjadi bentuk pewartaan iman yang konkret dan
transformatif. Inilah sebabnya Gereja Katolik menolak reduksi iman menjadi
sekadar “membaca teks”, dan malah menjadikan seluruh kehidupan umat sebagai lex
orandi, lex credendi—cara berdoa adalah cara percaya.
2.3.
Bantahan terhadap Imajinasi Protestan tentang “Gereja Tak Kelihatan”
Teologi
Protestan sering membayangkan Gereja perdana sebagai komunitas longgar yang
spontan dan tanpa struktur. Tapi realitas arkeologis di Ain al-Kharab membantah
total gambaran ini. Kita melihat komunitas umat yang:
- Hidup dalam pola
liturgi dan sakramen
- Memiliki arsitektur gereja yang terpusat pada altar
- Mengembangkan seni religius yang mengajar iman
- Menyatu dalam komunitas dengan pusat rohani yang jelas
Ini bukan “gereja tak kelihatan”. Ini Gereja
Katolik yang sangat kelihatan, sangat inkarnasional, dan sangat sakramental.
📍Refleksi Apologetik
Jika
Alkitab adalah satu-satunya otoritas iman, maka Gereja di Kharga tidak mungkin
ada. Tapi nyatanya, mereka hidup dalam iman—karena mereka memiliki Tradisi
Suci, Magisterium, dan Ekaristi.
Penemuan
ini menyatakan dengan keras bahwa:
Iman
Kristen tidak pernah lahir dari halaman-halaman kitab, tetapi dari rahim
Gereja.
Dan
jika seseorang masih mengklaim bahwa Gereja mula-mula itu seperti “komsel
modern dengan pemimpin non-ordain yang bergiliran kotbah”, maka batu-batu dari
Ain al-Kharab akan menjawab:
“Maaf,
sejarah tidak mendukung khotbah Anda.”
Bagian III: Universalisme Iman
— Ketika Gereja Melampaui Roma dan Yerusalem
Salah satu kesalahpahaman yang sering
disuarakan oleh teologi Protestan modern adalah bahwa Gereja Katolik hanyalah
institusi Romawi — seolah-olah iman Kristen adalah proyek kekaisaran atau
monopoli Eropa. Namun reruntuhan kota Koptik di Oasis Kharga, ratusan kilometer
dari Lembah Nil dan jauh dari Roma, justru membungkam klaim tersebut. Di tengah
padang gurun Mesir, berdiri bukti konkret bahwa Gereja perdana bersifat katolik,
artinya universal — hadir di segala tempat, mencakup semua bangsa, dan
tidak dibatasi oleh politik atau geografi.
3.1. Kekristenan di Luar Pusat
Kekaisaran
Gereja-gereja di Ain al-Kharab muncul pada abad
ke-4 hingga ke-7, masa ketika Kekristenan masih dalam proses bertumbuh dan
berakar di berbagai wilayah dunia. Mereka dibangun bukan di pusat metropolitan
seperti Roma atau Alexandria, melainkan di wilayah pinggiran, di gurun.
Dan justru di tempat-tempat seperti inilah kita menemukan iman Katolik yang
sama: gereja berbasilika, altar, ikon, doa, dan kesatuan dalam ritus.
Ini
berarti bahwa:
- Iman Katolik bukan
hasil konstruksi budaya Eropa
- Gereja tidak lahir
dari politik Romawi, melainkan dari pewartaan para rasul yang menembus
batas geografis
Gereja
Koptik Mesir adalah bagian dari tubuh yang satu, yang berakar dalam suksesi
apostolik, bersatu dengan Gereja universal sebelum perpecahan pasca-Konsili
Khalkedon (451 M). Dengan kata lain: mereka adalah Katolik — secara
historis, teologis, dan liturgis.
3.2. Iman yang Melintasi
Bahasa dan Budaya
Bahasa liturgi yang ditemukan di situs ini
adalah Koptik, bukan Latin atau Yunani. Namun iman yang mereka hayati
tidak berbeda dari apa yang dihidupi oleh umat Katolik di Antiokhia, Roma, atau
Asia Kecil. Ini membuktikan bahwa kesatuan iman Katolik tidak bergantung
pada bahasa atau budaya, tapi pada ajaran yang satu, sakramen yang sama,
dan kesatuan dalam episkopat.
Sebaliknya, Protestanisme yang mengklaim
“gereja sejati” sering justru terikat pada bahasa tertentu (misalnya King James
Only), atau bentuk ibadah yang seragam bergaya barat modern. Gereja Katolik
sejak awal membuktikan bahwa inkulturasi tidak membatalkan iman,
melainkan memperkaya dan mewujudkan universalitas Injil.
3.3. Sakramen di Padang Gurun
Jika seseorang membayangkan umat Kristen awal
hidup hanya dengan “Alkitab dan iman pribadi”, maka temuan ini menjadi
sanggahan telak. Gereja Koptik kuno ini membangun tempat ibadah permanen,
hidup dari sakramen dan doa bersama, dan menjadikan ritus sebagai
pusat kehidupan komunitas — bukan hanya sekadar tafsir pribadi atas Kitab
Suci.
Dengan kata lain, bahkan di tempat yang jauh
dari pusat kekaisaran, umat tidak membangun “gereja mereka sendiri”. Mereka
menerima, mewarisi, dan melanjutkan bentuk Gereja yang satu dan kudus — yang
berasal dari para rasul, bukan dari ide-ide lokal.
📍Refleksi Apologetik
Kata
“Katolik” berarti “universal”, dan reruntuhan kota ini menegaskan maknanya
secara harfiah. Gereja Katolik adalah iman yang menjangkau segala bangsa,
bukan agama lokal, bukan sekte nasional, dan bukan reaksi Eropa terhadap
penyimpangan.
Jika
iman Protestan mengandalkan "Alkitab dan saya", maka iman Katolik
bertumpu pada Ecclesia — komunitas yang satu, dengan akar apostolik, dan
cabang-cabang yang merentang hingga ke padang gurun.
Bukti
ini berkata: Gereja Katolik tidak lahir di Roma, ia diutus ke seluruh dunia.
Bahkan ketika belum ada pencetak Alkitab, Gereja sudah membangun altar dan
menyanyikan doa dalam bahasa lokal — bukan karena budaya, tetapi karena misi.
Bagian
IV: Apologetik Ikon dan Seni Sakral — Ketika Gambar Menjadi Pewartaan
Salah
satu tuduhan paling klasik dari banyak kalangan Protestan terhadap Gereja
Katolik adalah bahwa Katolik menyembah patung, mengidolakan gambar, dan jatuh
dalam dosa "penyembahan berhala visual". Tuduhan ini berasal dari
pemahaman literalistis terhadap larangan dalam Kitab Keluaran 20:4, tanpa
mempertimbangkan konteks liturgi, inkarnasi, dan sejarah pewartaan iman.
Namun
sekali lagi, batu-batu kuno dari Ain al-Kharab bicara lebih lantang daripada
retorika mimbar. Di dalam gereja Koptik yang ditemukan, terdapat mural
Yesus menyembuhkan orang sakit—ikon yang mengajar, menghibur, dan
memaklumkan Injil dalam bentuk visual. Ini adalah bentuk kerygma
(pewartaan) yang tidak ditulis dengan tinta, tapi digoreskan di dinding-dinding
tempat kudus.
4.1.
Mural Bukan Dekorasi, Tapi Katekese
Gereja
perdana tahu betul: tidak semua orang bisa membaca, tetapi semua bisa melihat.
Maka sejak awal, gambar menjadi pewartaan iman, bukan pengalih iman.
Mural Yesus di Ain al-Kharab bukan sekadar seni, tapi bagian dari kehidupan
liturgi dan pedagogi iman. Ia menunjukkan bahwa:
- Yesus bukan ide
abstrak, tetapi Pribadi yang menjamah dunia
- Penyembuhan Kristus
bukan kenangan usang, tapi realitas hidup yang disampaikan melalui
sakramen
- Iman dapat dibentuk
melalui keindahan, bukan hanya argumen
Ini
adalah Via Pulchritudinis—jalan keindahan—yang telah lama dihayati
Gereja Katolik dalam arsitektur, lukisan, ikon, dan musik. Sesuatu yang ditolak
mentah-mentah oleh ikonoklasme Protestan sejak Reformasi.
4.2.
Tuduhan Ikonoklastik: Siapa yang Sebenarnya Menyimpang?
Jika
para penganut sola scriptura ingin konsisten, mereka harus menuduh umat
Kristen abad ke-4 sebagai penyembah berhala. Tetapi itu akan sangat ironis,
sebab para martir dan santo dari masa itu — seperti St. Athanasius dan para
Bapa Gurun — hidup di dalam konteks iman yang sama dengan komunitas di Kharga:
iman yang berani menggambarkan Kristus karena percaya bahwa Sabda telah
menjadi daging (lih. Yoh 1:14).
Dengan
kata lain, jika Inkarnasi benar, maka menggambarkan Kristus bukan
pelanggaran, melainkan penegasan akan kenyataan bahwa Allah telah menjadi
manusia. Dan sejak Konsili Nicea II (787 M), Gereja menegaskan bahwa penghormatan
terhadap ikon tidak sama dengan penyembahan (latria), melainkan
penghormatan (dulia) yang diarahkan kepada pribadi yang diwakilinya.
4.3.
Seni Sakral sebagai Bukti Kesinambungan Tradisi
Seni
dalam gereja Koptik kuno bukanlah inovasi lokal. Ia adalah bagian dari Tradisi
Suci yang hidup: pewartaan iman melalui rupa, yang berakar dalam praktik
gereja-gereja Timur dan Barat sejak abad-abad awal. Bahkan sampai hari ini,
baik dalam Katolik Roma maupun Katolik Timur (atau Gereja Koptik Ortodoks
sendiri), ikon tetap memainkan peran penting dalam doa dan liturgi.
Maka
siapa yang menyimpang dari tradisi: Gereja Katolik yang mempertahankan ikon dan
mural sejak abad ke-4? Ataukah Protestan yang muncul 1500 tahun kemudian dan
menyapu bersih segala rupa seni sakral sebagai "berhala"?
📍Refleksi Apologetik
Gambar
Kristus di dinding gereja kuno itu bukan hanya lukisan—ia adalah dakwah, doa,
dan dogma. Ia adalah saluran rahmat yang membuka mata umat kepada misteri
yang tidak tertulis di kertas, tetapi terpampang di hadapan mata.
Jika
Protestan hari ini menolak semua bentuk seni religius, maka biarkan
gereja-gereja Koptik kuno menjawab:
"Kami
tidak menyembah gambar. Kami menghormati Dia yang menjadi gambar Allah yang
kelihatan."
(Kolose 1:15)
Bagian
V: Suksesi dan Otoritas — Ketika Gereja Bukan Milik Semua Orang, Tapi Warisan
Para Rasul
Salah
satu mantera khas Protestan adalah ini: "Gereja adalah milik semua orang
percaya. Tidak perlu imam, tidak perlu uskup, cukup Yesus dan Alkitab."
Kalimat yang terdengar indah dan demokratis, tetapi sepenuhnya ahistoris.
Penemuan kota Koptik kuno Ain al-Kharab membuktikan bahwa Gereja bukan hasil crowdsourcing
rohani, melainkan lembaga hidup yang diturunkan dari para rasul melalui
suksesi apostolik.
5.1. Dimana Ada Gereja, Di
Situ Ada Altar
Kedua gereja yang ditemukan di Kharga tidak
dibangun asal-asalan. Satu memiliki struktur basilika besar dengan aula utama
dan lorong-lorong samping yang mengarah ke altar. Yang satu lagi bergaya
persegi panjang, menampilkan denah liturgis khas komunitas Kristen yang hidup
dari sakramen dan otoritas rohani.
Tak ada altar tanpa imam.
Tak ada imam
tanpa tahbisan.
Tak ada tahbisan tanpa suksesi.
Dan tak ada suksesi tanpa Gereja yang apostolik — yakni Katolik.
Jadi, jika ada altar di tengah gurun, berarti ada
imam. Jika ada imam, maka ada uskup. Dan jika ada uskup, maka komunitas itu
bukan gereja swadaya, melainkan bagian dari Tubuh Mistik Kristus yang
hidup dalam suksesi sakramental.
5.2. Gereja Koptik Bukan
Denominasi, Tapi Saudari Tua
Gereja-gereja di Mesir kuno ini bukan entitas
independen. Mereka adalah bagian dari Gereja universal yang satu sebelum
perpecahan. Gereja Koptik sebelum tahun 451 M adalah Katolik — tidak
dalam sensus Romawi sempit, tapi dalam pengertian kesatuan iman, liturgi, dan
otoritas apostolik.
Dengan kata lain, iman yang mereka hayati —
yang diwarisi melalui para uskup, dihidupi dalam sakramen, dan dijaga dalam
komunitas — adalah iman Katolik, bukan reformasi lokal. Maka semua yang
ditemukan di reruntuhan ini membantah gagasan bahwa "gereja yang
sejati" adalah kumpulan bebas orang percaya yang saling menguatkan lewat
tafsir masing-masing.
5.3. Otoritas: Bukan Buatan
Abad Pertengahan
Banyak Protestan menyatakan bahwa hirarki
Gereja hanyalah produk kekuasaan abad pertengahan. Tapi situs ini membuktikan
sebaliknya. Hirarki sudah ada sejak awal. Bahkan di tengah gurun, umat
membangun gereja dengan altar tetap dan struktur ibadah liturgis yang
menunjukkan bahwa mereka mengakui otoritas yang berasal dari Kristus,
diteruskan melalui para rasul.
Mereka tidak bertanya, "Siapa pemimpin
minggu ini?"
Mereka tahu: pemimpin ditahbiskan, bukan dipilih lewat voting.
📍Refleksi Apologetik
Dalam
kota yang terkubur pasir ribuan tahun, kita menemukan bahwa iman sejati
bukan soal pendapat mayoritas, tapi soal warisan yang dijaga. Bukan soal
suara terbanyak, tapi suara yang berasal dari Kristus dan diwariskan secara sah
oleh tangan para rasul.
Di
tengah padang gurun, umat membangun altar.
Di altar itu, mereka menerima sakramen.
Dan sakramen itu diberikan oleh imam yang ditahbiskan.
Bukan oleh siapa saja yang merasa "dipanggil".
Itulah
Gereja: satu, kudus, katolik, dan apostolik.
Dan itu bukan karangan Konsili Trente. Itu terpahat dalam debu Mesir.
Bagian VI: Ketika Batu
Bersaksi — Narasi Reformasi Gagal Total
Reformasi Protestan berdiri di atas satu
gagasan kunci: bahwa Gereja Katolik telah menyimpang dari “iman mula-mula”, dan
bahwa iman sejati harus dikembalikan kepada Alkitab saja (sola scriptura)
dan penafsiran pribadi oleh individu yang “dipenuhi Roh Kudus”. Tetapi
reruntuhan kota Koptik Ain al-Kharab yang digali dari padang gurun Mesir
memberikan kesaksian sebaliknya — bukan berupa wacana, tetapi berupa batu,
lukisan, altar, dan arsitektur hidup.
Apa
yang ditemukan di sana?
- Dua gereja
lengkap dengan struktur basilika dan altar
- Mural Yesus menyembuhkan orang sakit — bukti seni sakral
sejak awal
- Inskripsi dan liturgi
tertulis dalam bahasa Koptik
- Komunitas yang hidup
dalam sakramen dan otoritas rohani, bukan dalam sekte interpretasi
bebas
- Jejak suksesi apostolik dalam struktur dan tata ibadah
- Dan semuanya ini terjadi… empat belas abad sebelum Martin Luther
memalu protesnya di pintu gereja Wittenberg
6.1. Iman Katolik Tidak Diciptakan, Tetapi
Diteruskan
Gereja Katolik tidak lahir dari Konstantinus, Paus
Gregorius, atau Konsili Trente. Ia lahir dari darah para rasul dan warisan yang
tidak pernah terputus. Temuan di Kharga
membuktikan bahwa umat Kristiani perdana:
- Beribadah dalam
liturgi
- Membangun gereja dengan altar tetap
- Menghormati ikon sebagai sarana pewartaan
- Hidup dari sakramen, bukan hanya dari pembacaan teks
- Mengakui otoritas imam dan uskup, bukan
otonomi tafsir pribadi
Semua ini adalah ciri khas Katolik, bukan
Protestanisme.
6.2. Reformasi Tidak Bisa Diklaim sebagai
"Kembali ke Awal"
Kenyataannya, sola scriptura, penolakan
terhadap imam, kebencian terhadap seni religius, dan model “gereja tak
kelihatan” tidak memiliki dasar historis apa pun dalam komunitas Kristen
perdana seperti yang ditemukan di Ain al-Kharab. Apa yang disuarakan para
reformator bukanlah “kembali ke akar”, tapi memotong akar itu sendiri
dan menggantinya dengan konstruksi modern.
Dengan kata lain, reformasi tidak memulihkan
iman Kristen. Reformasi menciptakan agama baru dengan asumsi, struktur, dan
logika sendiri—yang tidak ditemukan baik di Injil, dalam Tradisi Suci, maupun
di batu-batu sejarah.
📍Penutup: Biarkan Batu yang Bicara
Di
saat retorika debat teologis sering berakhir pada relativisme, arkeologi
menghadirkan bukti bisu yang tak bisa dibantah. Batu tidak punya agenda.
Reruntuhan tidak memihak. Mereka hanya mencatat kenyataan apa adanya: bahwa Gereja
mula-mula itu Katolik.
Jadi,
kepada mereka yang masih percaya bahwa Gereja sejati tak punya altar, tak punya
imam, dan tak butuh sakramen — mungkin sudah waktunya berhenti membaca pamflet
reformasi, dan mulai mendengarkan kesaksian para martir dan batu-batu tua di
padang gurun.
Fides
Catholica non est fictio.
Iman Katolik bukan fiksi. Ia berdiri di atas darah, liturgi, dan sejarah.
Bahkan ketika dunia lupa, batu tetap bersaksi.