LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Ain al-Kharab: Kota Koptik yang Bersaksi bagi Gereja Katolik Perdana

 

Ketika sejarah Gereja kerap dipelintir oleh narasi-narasi modern yang mengaku "murni kembali ke Alkitab", arkeologi diam-diam menggali kebenaran yang telah lama terkubur—secara harfiah. Penemuan reruntuhan kota Koptik kuno di Oasis Kharga, Mesir Barat, pada Juli 2025, bukan sekadar prestasi ilmiah. Ia adalah memento veritatis, pengingat akan kebenaran Gereja yang hidup dan berakar jauh sebelum Reformasi muncul di Eropa.

Di tengah gurun tandus, para arkeolog menemukan sisa-sisa komunitas Kristen abad ke-4 hingga ke-7 yang memiliki struktur masyarakat terorganisir: rumah-rumah bata lumpur, fasilitas penyimpanan, kompleks pemakaman, dan—yang paling mencolok—dua gereja lengkap dengan basilika, kolom, altar, inskripsi Koptik, serta mural Kristus yang menyembuhkan orang sakit. Ini bukan bukti sembarang “komunitas percaya”. Ini adalah fragmen utuh dari Gereja Katolik perdana yang menjelma dalam arsitektur, ikonografi, dan sakramentalitas hidup umat.

Lebih dari sekadar membuktikan keberadaan Kekristenan awal di luar Lembah Nil, situs ini menantang asumsi teologis Protestan modern yang memutlakkan sola scriptura dan membongkar mitos bahwa Gereja perdana adalah jaringan tak terstruktur dari pengikut Yesus yang spontan dan anti-liturgi. Justru sebaliknya—apa yang ditemukan menunjukkan adanya komunitas yang hidup dalam iman yang berakar pada Tradisi Suci, dengan bentuk ibadah yang ritmis dan seni yang sakral.

Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri signifikansi apologetik dari penemuan kota Koptik Ain al-Kharab, dengan membedah bagaimana artefak dan arsitektur tersebut mempertegas doktrin Katolik: sakramentalitas, liturgi, otoritas Gereja, dan kesatuan iman lintas tempat dan zaman. Dengan batu-batu kuno sebagai saksi, kita akan menunjukkan bahwa Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik bukanlah ciptaan Konsili Trente, tetapi kenyataan historis sejak abad-abad awal Kekristenan.

 

Bagian I: Gereja di Padang Gurun — Struktur, Liturgi, dan Sakramentalitas

Penemuan dua bangunan gereja dalam reruntuhan kota Koptik Ain al-Kharab bukan hanya temuan arsitektural; itu adalah kesaksian konkret akan keberadaan Gereja yang hidup, terstruktur, dan berliturgi, jauh sebelum Alkitab dicetak massal atau sebelum kata “Reformasi” muncul dalam sejarah.

1.1. Struktur Gereja: Lebih dari Sekadar Kumpul-Kumpul

Salah satu gereja yang ditemukan memiliki denah basilika klasik—dengan aula utama, dua lorong samping, dan deretan kolom. Ini bukan desain improvisasi, melainkan rancangan yang mencerminkan teologi tubuh mistik Gereja (lih. Lumen Gentium 7) dan warisan arsitektur liturgis sejak abad-abad awal.

Bangunan ini menunjukkan adanya hirarki, tata liturgi, dan pusat komunitas yang berorientasi pada altar. Gereja bukan sekadar tempat pertemuan sosial; ia adalah tempat kudus di mana langit dan bumi bertemu melalui Ekaristi.

1.2. Liturgi Terpahat dalam Batu

Salah satu mural menggambarkan Kristus sedang menyembuhkan orang sakit—ikonografi yang berakar dalam Injil dan tradisi visual Gereja perdana. Ini menunjukkan bahwa liturgi tak hanya diucapkan, tapi juga dihayati dan divisualkan. Tradisi lukisan dinding seperti ini menjadi bukti bahwa umat Kristen awal tidak alergi terhadap seni sakral. Justru sebaliknya, mereka menjadikan seni sebagai bagian dari pewartaan iman dan doa.

Di dinding lain, ditemukan inskripsi dalam bahasa Koptik—bukan ayat-ayat Alkitabiah yang berdiri sendiri, tapi teks-teks yang menyatu dengan ruang ibadah, kemungkinan besar bagian dari doa liturgis atau kutipan patristik. Artinya, iman mereka dihidupi dalam bentuk Tradisi Suci, bukan semata-mata “kembali ke teks”.

1.3. Sakramentalitas Kehidupan Umat

Reruntuhan rumah-rumah, oven, tempat penyimpanan biji-bijian, dan area pemakaman menunjukkan kehidupan komunitas yang erat dan tertata, dengan gereja sebagai pusatnya. Ini mencerminkan spiritualitas sakramental: seluruh kehidupan—termasuk makan, mati, dan berdoa—berpuncak pada altar.

Tradisi ini sangat Katolik: iman bukan sekadar percaya secara individual, melainkan dihayati bersama dalam tubuh Kristus. Struktur ini membantah ide Protestan tentang iman yang "tidak butuh imam", atau komunitas yang bisa dibentuk secara spontan tanpa warisan apostolik.

 

📍Refleksi Apologetik

Bukti-bukti ini mengarahkan kita pada satu simpulan penting:
Gereja yang ditemukan di padang gurun Mesir bukan hasil reformasi, melainkan lanjutan dari warisan para rasul. Ia hidup dalam ritus, sakramen, dan penggambaran Kristus sebagai pusat komunitas. Artinya, Gereja Katolik bukan ciptaan abad pertengahan, tapi warisan yang terus hidup sejak abad-abad awal.

Ketika Protestan hari ini menuduh Katolik “menyimpang dari iman mula-mula”, maka batu-batu dari Kharga menjawab: "Ini dia Gereja mula-mula—dan dia sangat Katolik."

 

Bagian II: Tradisi Suci dan Iman Komunitas — Ketika Alkitab Belum Dicetak, Gereja Tetap Hidup

Salah satu argumen khas Protestan adalah klaim bahwa "iman sejati" harus berdiri di atas sola scriptura—hanya Kitab Suci, tanpa Tradisi atau Magisterium. Namun, penemuan kota Koptik kuno di Oasis Kharga justru menghancurkan mitos ini. Di tengah gurun, ketika belum ada mesin cetak, belum ada Alkitab dalam bentuk satu jilid, dan belum ada King James Version, Gereja tetap hidup—utuh, sakramental, dan terstruktur.

2.1. Iman yang Diwariskan, Bukan Diciptakan Pribadi

Komunitas Koptik ini hidup antara abad ke-4 hingga ke-7—jauh sebelum Konsili Trente, bahkan sebelum Alkitab dikanonisasi secara final dalam bentuk modern. Maka pertanyaannya sederhana namun menusuk:
Dari mana mereka mendapat iman?

Jawabannya hanya satu: dari Tradisi Suci yang diwariskan oleh para rasul melalui para uskup dan imam mereka. Mereka tidak memiliki akses ke seluruh Kitab Suci dalam satu jilid, tetapi mereka tetap memiliki iman yang hidup karena bersumber dari Gereja yang apostolik. Ini adalah bukti kuat bahwa sejak awal, Tradisi dan otoritas Gereja berjalan bersama Kitab Suci, bukan digantikan olehnya.

2.2. Liturgi sebagai Pewartaan Iman

Situs ini menunjukkan bahwa iman diajarkan dan diwariskan bukan melalui tafsir pribadi, melainkan melalui liturgi dan seni. Inskripsi dalam bahasa Koptik, mural Kristus, serta struktur gereja adalah sarana pewartaan iman kepada umat yang mungkin tidak semuanya melek huruf atau memiliki Kitab Suci.

Liturgi adalah Kitab Suci yang dihayati.
Di zaman ketika Alkitab belum bisa dimiliki secara pribadi, Ekaristi, doa, nyanyian, dan ikon menjadi bentuk pewartaan iman yang konkret dan transformatif. Inilah sebabnya Gereja Katolik menolak reduksi iman menjadi sekadar “membaca teks”, dan malah menjadikan seluruh kehidupan umat sebagai lex orandi, lex credendi—cara berdoa adalah cara percaya.

2.3. Bantahan terhadap Imajinasi Protestan tentang “Gereja Tak Kelihatan”

Teologi Protestan sering membayangkan Gereja perdana sebagai komunitas longgar yang spontan dan tanpa struktur. Tapi realitas arkeologis di Ain al-Kharab membantah total gambaran ini. Kita melihat komunitas umat yang:

  • Hidup dalam pola liturgi dan sakramen
  • Memiliki arsitektur gereja yang terpusat pada altar
  • Mengembangkan seni religius yang mengajar iman
  • Menyatu dalam komunitas dengan pusat rohani yang jelas

Ini bukan “gereja tak kelihatan”. Ini Gereja Katolik yang sangat kelihatan, sangat inkarnasional, dan sangat sakramental.

 

📍Refleksi Apologetik

Jika Alkitab adalah satu-satunya otoritas iman, maka Gereja di Kharga tidak mungkin ada. Tapi nyatanya, mereka hidup dalam iman—karena mereka memiliki Tradisi Suci, Magisterium, dan Ekaristi.

Penemuan ini menyatakan dengan keras bahwa:

Iman Kristen tidak pernah lahir dari halaman-halaman kitab, tetapi dari rahim Gereja.

Dan jika seseorang masih mengklaim bahwa Gereja mula-mula itu seperti “komsel modern dengan pemimpin non-ordain yang bergiliran kotbah”, maka batu-batu dari Ain al-Kharab akan menjawab:

“Maaf, sejarah tidak mendukung khotbah Anda.”

 

Bagian III: Universalisme Iman — Ketika Gereja Melampaui Roma dan Yerusalem

Salah satu kesalahpahaman yang sering disuarakan oleh teologi Protestan modern adalah bahwa Gereja Katolik hanyalah institusi Romawi — seolah-olah iman Kristen adalah proyek kekaisaran atau monopoli Eropa. Namun reruntuhan kota Koptik di Oasis Kharga, ratusan kilometer dari Lembah Nil dan jauh dari Roma, justru membungkam klaim tersebut. Di tengah padang gurun Mesir, berdiri bukti konkret bahwa Gereja perdana bersifat katolik, artinya universal — hadir di segala tempat, mencakup semua bangsa, dan tidak dibatasi oleh politik atau geografi.

3.1. Kekristenan di Luar Pusat Kekaisaran

Gereja-gereja di Ain al-Kharab muncul pada abad ke-4 hingga ke-7, masa ketika Kekristenan masih dalam proses bertumbuh dan berakar di berbagai wilayah dunia. Mereka dibangun bukan di pusat metropolitan seperti Roma atau Alexandria, melainkan di wilayah pinggiran, di gurun. Dan justru di tempat-tempat seperti inilah kita menemukan iman Katolik yang sama: gereja berbasilika, altar, ikon, doa, dan kesatuan dalam ritus.

Ini berarti bahwa:

  • Iman Katolik bukan hasil konstruksi budaya Eropa
  • Gereja tidak lahir dari politik Romawi, melainkan dari pewartaan para rasul yang menembus batas geografis

Gereja Koptik Mesir adalah bagian dari tubuh yang satu, yang berakar dalam suksesi apostolik, bersatu dengan Gereja universal sebelum perpecahan pasca-Konsili Khalkedon (451 M). Dengan kata lain: mereka adalah Katolik — secara historis, teologis, dan liturgis.

3.2. Iman yang Melintasi Bahasa dan Budaya

Bahasa liturgi yang ditemukan di situs ini adalah Koptik, bukan Latin atau Yunani. Namun iman yang mereka hayati tidak berbeda dari apa yang dihidupi oleh umat Katolik di Antiokhia, Roma, atau Asia Kecil. Ini membuktikan bahwa kesatuan iman Katolik tidak bergantung pada bahasa atau budaya, tapi pada ajaran yang satu, sakramen yang sama, dan kesatuan dalam episkopat.

Sebaliknya, Protestanisme yang mengklaim “gereja sejati” sering justru terikat pada bahasa tertentu (misalnya King James Only), atau bentuk ibadah yang seragam bergaya barat modern. Gereja Katolik sejak awal membuktikan bahwa inkulturasi tidak membatalkan iman, melainkan memperkaya dan mewujudkan universalitas Injil.

3.3. Sakramen di Padang Gurun

Jika seseorang membayangkan umat Kristen awal hidup hanya dengan “Alkitab dan iman pribadi”, maka temuan ini menjadi sanggahan telak. Gereja Koptik kuno ini membangun tempat ibadah permanen, hidup dari sakramen dan doa bersama, dan menjadikan ritus sebagai pusat kehidupan komunitas — bukan hanya sekadar tafsir pribadi atas Kitab Suci.

Dengan kata lain, bahkan di tempat yang jauh dari pusat kekaisaran, umat tidak membangun “gereja mereka sendiri”. Mereka menerima, mewarisi, dan melanjutkan bentuk Gereja yang satu dan kudus — yang berasal dari para rasul, bukan dari ide-ide lokal.

 

📍Refleksi Apologetik

Kata “Katolik” berarti “universal”, dan reruntuhan kota ini menegaskan maknanya secara harfiah. Gereja Katolik adalah iman yang menjangkau segala bangsa, bukan agama lokal, bukan sekte nasional, dan bukan reaksi Eropa terhadap penyimpangan.

Jika iman Protestan mengandalkan "Alkitab dan saya", maka iman Katolik bertumpu pada Ecclesia — komunitas yang satu, dengan akar apostolik, dan cabang-cabang yang merentang hingga ke padang gurun.

Bukti ini berkata: Gereja Katolik tidak lahir di Roma, ia diutus ke seluruh dunia.
Bahkan ketika belum ada pencetak Alkitab, Gereja sudah membangun altar dan menyanyikan doa dalam bahasa lokal — bukan karena budaya, tetapi karena misi.

 

Bagian IV: Apologetik Ikon dan Seni Sakral — Ketika Gambar Menjadi Pewartaan

Salah satu tuduhan paling klasik dari banyak kalangan Protestan terhadap Gereja Katolik adalah bahwa Katolik menyembah patung, mengidolakan gambar, dan jatuh dalam dosa "penyembahan berhala visual". Tuduhan ini berasal dari pemahaman literalistis terhadap larangan dalam Kitab Keluaran 20:4, tanpa mempertimbangkan konteks liturgi, inkarnasi, dan sejarah pewartaan iman.

Namun sekali lagi, batu-batu kuno dari Ain al-Kharab bicara lebih lantang daripada retorika mimbar. Di dalam gereja Koptik yang ditemukan, terdapat mural Yesus menyembuhkan orang sakit—ikon yang mengajar, menghibur, dan memaklumkan Injil dalam bentuk visual. Ini adalah bentuk kerygma (pewartaan) yang tidak ditulis dengan tinta, tapi digoreskan di dinding-dinding tempat kudus.

4.1. Mural Bukan Dekorasi, Tapi Katekese

Gereja perdana tahu betul: tidak semua orang bisa membaca, tetapi semua bisa melihat. Maka sejak awal, gambar menjadi pewartaan iman, bukan pengalih iman. Mural Yesus di Ain al-Kharab bukan sekadar seni, tapi bagian dari kehidupan liturgi dan pedagogi iman. Ia menunjukkan bahwa:

  • Yesus bukan ide abstrak, tetapi Pribadi yang menjamah dunia
  • Penyembuhan Kristus bukan kenangan usang, tapi realitas hidup yang disampaikan melalui sakramen
  • Iman dapat dibentuk melalui keindahan, bukan hanya argumen

Ini adalah Via Pulchritudinis—jalan keindahan—yang telah lama dihayati Gereja Katolik dalam arsitektur, lukisan, ikon, dan musik. Sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh ikonoklasme Protestan sejak Reformasi.

4.2. Tuduhan Ikonoklastik: Siapa yang Sebenarnya Menyimpang?

Jika para penganut sola scriptura ingin konsisten, mereka harus menuduh umat Kristen abad ke-4 sebagai penyembah berhala. Tetapi itu akan sangat ironis, sebab para martir dan santo dari masa itu — seperti St. Athanasius dan para Bapa Gurun — hidup di dalam konteks iman yang sama dengan komunitas di Kharga: iman yang berani menggambarkan Kristus karena percaya bahwa Sabda telah menjadi daging (lih. Yoh 1:14).

Dengan kata lain, jika Inkarnasi benar, maka menggambarkan Kristus bukan pelanggaran, melainkan penegasan akan kenyataan bahwa Allah telah menjadi manusia. Dan sejak Konsili Nicea II (787 M), Gereja menegaskan bahwa penghormatan terhadap ikon tidak sama dengan penyembahan (latria), melainkan penghormatan (dulia) yang diarahkan kepada pribadi yang diwakilinya.

4.3. Seni Sakral sebagai Bukti Kesinambungan Tradisi

Seni dalam gereja Koptik kuno bukanlah inovasi lokal. Ia adalah bagian dari Tradisi Suci yang hidup: pewartaan iman melalui rupa, yang berakar dalam praktik gereja-gereja Timur dan Barat sejak abad-abad awal. Bahkan sampai hari ini, baik dalam Katolik Roma maupun Katolik Timur (atau Gereja Koptik Ortodoks sendiri), ikon tetap memainkan peran penting dalam doa dan liturgi.

Maka siapa yang menyimpang dari tradisi: Gereja Katolik yang mempertahankan ikon dan mural sejak abad ke-4? Ataukah Protestan yang muncul 1500 tahun kemudian dan menyapu bersih segala rupa seni sakral sebagai "berhala"?

 

📍Refleksi Apologetik

Gambar Kristus di dinding gereja kuno itu bukan hanya lukisan—ia adalah dakwah, doa, dan dogma. Ia adalah saluran rahmat yang membuka mata umat kepada misteri yang tidak tertulis di kertas, tetapi terpampang di hadapan mata.

Jika Protestan hari ini menolak semua bentuk seni religius, maka biarkan gereja-gereja Koptik kuno menjawab:

"Kami tidak menyembah gambar. Kami menghormati Dia yang menjadi gambar Allah yang kelihatan."
(Kolose 1:15)

Bagian V: Suksesi dan Otoritas — Ketika Gereja Bukan Milik Semua Orang, Tapi Warisan Para Rasul

Salah satu mantera khas Protestan adalah ini: "Gereja adalah milik semua orang percaya. Tidak perlu imam, tidak perlu uskup, cukup Yesus dan Alkitab." Kalimat yang terdengar indah dan demokratis, tetapi sepenuhnya ahistoris. Penemuan kota Koptik kuno Ain al-Kharab membuktikan bahwa Gereja bukan hasil crowdsourcing rohani, melainkan lembaga hidup yang diturunkan dari para rasul melalui suksesi apostolik.

5.1. Dimana Ada Gereja, Di Situ Ada Altar

Kedua gereja yang ditemukan di Kharga tidak dibangun asal-asalan. Satu memiliki struktur basilika besar dengan aula utama dan lorong-lorong samping yang mengarah ke altar. Yang satu lagi bergaya persegi panjang, menampilkan denah liturgis khas komunitas Kristen yang hidup dari sakramen dan otoritas rohani.

Tak ada altar tanpa imam.
Tak ada imam tanpa tahbisan.
Tak ada tahbisan tanpa suksesi.
Dan tak ada suksesi tanpa Gereja yang apostolik — yakni Katolik.

Jadi, jika ada altar di tengah gurun, berarti ada imam. Jika ada imam, maka ada uskup. Dan jika ada uskup, maka komunitas itu bukan gereja swadaya, melainkan bagian dari Tubuh Mistik Kristus yang hidup dalam suksesi sakramental.

5.2. Gereja Koptik Bukan Denominasi, Tapi Saudari Tua

Gereja-gereja di Mesir kuno ini bukan entitas independen. Mereka adalah bagian dari Gereja universal yang satu sebelum perpecahan. Gereja Koptik sebelum tahun 451 M adalah Katolik — tidak dalam sensus Romawi sempit, tapi dalam pengertian kesatuan iman, liturgi, dan otoritas apostolik.

Dengan kata lain, iman yang mereka hayati — yang diwarisi melalui para uskup, dihidupi dalam sakramen, dan dijaga dalam komunitas — adalah iman Katolik, bukan reformasi lokal. Maka semua yang ditemukan di reruntuhan ini membantah gagasan bahwa "gereja yang sejati" adalah kumpulan bebas orang percaya yang saling menguatkan lewat tafsir masing-masing.

5.3. Otoritas: Bukan Buatan Abad Pertengahan

Banyak Protestan menyatakan bahwa hirarki Gereja hanyalah produk kekuasaan abad pertengahan. Tapi situs ini membuktikan sebaliknya. Hirarki sudah ada sejak awal. Bahkan di tengah gurun, umat membangun gereja dengan altar tetap dan struktur ibadah liturgis yang menunjukkan bahwa mereka mengakui otoritas yang berasal dari Kristus, diteruskan melalui para rasul.

Mereka tidak bertanya, "Siapa pemimpin minggu ini?"
Mereka tahu: pemimpin ditahbiskan, bukan dipilih lewat voting.

 

📍Refleksi Apologetik

Dalam kota yang terkubur pasir ribuan tahun, kita menemukan bahwa iman sejati bukan soal pendapat mayoritas, tapi soal warisan yang dijaga. Bukan soal suara terbanyak, tapi suara yang berasal dari Kristus dan diwariskan secara sah oleh tangan para rasul.

Di tengah padang gurun, umat membangun altar.
Di altar itu, mereka menerima sakramen.
Dan sakramen itu diberikan oleh imam yang ditahbiskan.
Bukan oleh siapa saja yang merasa "dipanggil".

Itulah Gereja: satu, kudus, katolik, dan apostolik.
Dan itu bukan karangan Konsili Trente. Itu terpahat dalam debu Mesir.

 

 

Bagian VI: Ketika Batu Bersaksi — Narasi Reformasi Gagal Total

Reformasi Protestan berdiri di atas satu gagasan kunci: bahwa Gereja Katolik telah menyimpang dari “iman mula-mula”, dan bahwa iman sejati harus dikembalikan kepada Alkitab saja (sola scriptura) dan penafsiran pribadi oleh individu yang “dipenuhi Roh Kudus”. Tetapi reruntuhan kota Koptik Ain al-Kharab yang digali dari padang gurun Mesir memberikan kesaksian sebaliknya — bukan berupa wacana, tetapi berupa batu, lukisan, altar, dan arsitektur hidup.

Apa yang ditemukan di sana?

  • Dua gereja lengkap dengan struktur basilika dan altar
  • Mural Yesus menyembuhkan orang sakit — bukti seni sakral sejak awal
  • Inskripsi dan liturgi tertulis dalam bahasa Koptik
  • Komunitas yang hidup dalam sakramen dan otoritas rohani, bukan dalam sekte interpretasi bebas
  • Jejak suksesi apostolik dalam struktur dan tata ibadah
  • Dan semuanya ini terjadi… empat belas abad sebelum Martin Luther memalu protesnya di pintu gereja Wittenberg

6.1. Iman Katolik Tidak Diciptakan, Tetapi Diteruskan

Gereja Katolik tidak lahir dari Konstantinus, Paus Gregorius, atau Konsili Trente. Ia lahir dari darah para rasul dan warisan yang tidak pernah terputus. Temuan di Kharga membuktikan bahwa umat Kristiani perdana:

  • Beribadah dalam liturgi
  • Membangun gereja dengan altar tetap
  • Menghormati ikon sebagai sarana pewartaan
  • Hidup dari sakramen, bukan hanya dari pembacaan teks
  • Mengakui otoritas imam dan uskup, bukan otonomi tafsir pribadi

Semua ini adalah ciri khas Katolik, bukan Protestanisme.

6.2. Reformasi Tidak Bisa Diklaim sebagai "Kembali ke Awal"

Kenyataannya, sola scriptura, penolakan terhadap imam, kebencian terhadap seni religius, dan model “gereja tak kelihatan” tidak memiliki dasar historis apa pun dalam komunitas Kristen perdana seperti yang ditemukan di Ain al-Kharab. Apa yang disuarakan para reformator bukanlah “kembali ke akar”, tapi memotong akar itu sendiri dan menggantinya dengan konstruksi modern.

Dengan kata lain, reformasi tidak memulihkan iman Kristen. Reformasi menciptakan agama baru dengan asumsi, struktur, dan logika sendiri—yang tidak ditemukan baik di Injil, dalam Tradisi Suci, maupun di batu-batu sejarah.

 

📍Penutup: Biarkan Batu yang Bicara

Di saat retorika debat teologis sering berakhir pada relativisme, arkeologi menghadirkan bukti bisu yang tak bisa dibantah. Batu tidak punya agenda. Reruntuhan tidak memihak. Mereka hanya mencatat kenyataan apa adanya: bahwa Gereja mula-mula itu Katolik.

Jadi, kepada mereka yang masih percaya bahwa Gereja sejati tak punya altar, tak punya imam, dan tak butuh sakramen — mungkin sudah waktunya berhenti membaca pamflet reformasi, dan mulai mendengarkan kesaksian para martir dan batu-batu tua di padang gurun.

Fides Catholica non est fictio.
Iman Katolik bukan fiksi. Ia berdiri di atas darah, liturgi, dan sejarah.
Bahkan ketika dunia lupa, batu tetap bersaksi.

 

Share This Article :
9000568233845443113