ATURAN BUSANA LITURGIS
1. Pendahuluan singkat: Dalam masyarakat, juga dalam perayaan-perayaan, termasuk perayaan liturgis, pakaian khusus mempunyai peranan dan menyampaikan pesan tertentu tentang jati diri pemakainya. Dari pakaian yang dipakai, kita dapat mengenal siapa orang itu. Yang dibahas di sini adalah busana liturgis khusus untuk perayaan Ekaristi, khususnya bagi pelayan khusus.
2. Tinjauan historis:
2.1 Busana jemaat: Rupanya di jaman st. Paulus ada kebiasaan berbusana khusus bagi jemaat, dalam liturgi. (Cf. 1 Kor 11:2.4-5.16). Bahwa kaum pria tidak perlu bertudung kepala, sedangkan wanita sepatutnya bertudung kepala. Tetapi asal usul kebiasaan ini tidak jelas. Kini tidak diberlakukan lagi.
Kemudian tudung kepala itu menjadi tanda pengudusan diri para perawan, yang dilaksanakan dalam upacara liturgis yang disebut velatio.
Suatu kebiasaan lainnya dalam hal busana khusus dalam liturgi ialah pemakaian pakaian putih ketika seorang diinisiaikan dan selama pekan sesudahnya. Karena inisiasi masa itu dilaksanakan pada malam Paskah, maka kebiasaan berpakaian putih ini berlangsung hingga Sabtu sebelum Hari Minggu II Paskah.
2.2 Busana pelayan tertahbis dalam liturgi:
2.2.1 Pada abad-abad pertama: Pada awalnya dalam perayaan Liturgis, tidak jelas adanya ketentuan untuk berbusana khusus bagi para pelayan tertahbis. Tanda pembeda khusus hanya berupa tempat khusus yang diberikan kepada pelayan-pelayan itu. Toh Origenes menyatakan bahwa ketika memimpin inisiasi, uskup mengenakan satu set busana yang berbeda dengan busana untuk mengunjungi umat. Seturut Hironimus dan Hipolitus rupanya dipakai tunika putih, yang mungkin didasarkan pada Imamat 16:4. Sedangkan Theodorus dari Mopsuestia tulis bahwa dalam memimpin inisiasi, hendaknya pakaian uskup berwarna terang dan terbuat dari linen halus. Pakaian diakon yang membantu uskup, hendaknya sesuai dengan tugas yang diemban. Ia mengenakan Orarion (yang kemudian berkembang menjadi stola). St. Ambrosius mencatat bahwa ternyata uskup, imam dan diakon mudah dibedakan dari peserta jemaat yang lain oleh katekumen-katekumen,rupanya karena mereka memakai busana tertentu.Karena itu di abad-abad ini catatan-catatan tentang busana liturgis ada, tetapi tidak terlalu jelas. Di abad ke 4 dan seterusnya, mulai ada perkembangan baru. Penghargaan pemerintah terhadap pejabat-pejabat tingginya, juga diberikan kepada para uskup. Karena itu tanda-tanda penghargaan dalam bentuk busana khas juga diberikan kepada mereka. Sehingga busana-busana liturgis gereja berasal usul sipil seperti tunika, dalmatik, paenula, pallium.
2.2.2 Di abad 8-10 (OR-Ordo Romanus hingga Caeremoniale Episcoporum): Di abad ini busana-busana liturgis semakin mantap tetapi juga semakin berbelit perkembangannya. Saya hanya mencoba menyebutkan beberapa seperti paenula (planeta atau casula), linea dalmatica (dalmatik), analogaium (humerale, amictus-kain bahu), cingulum atau singel. Mappula (dipakai konsul untuk membuka pertandingan, yang dipakai paus untuk memberikan tanda mulainya perayaan liturgi); stola/orarion, orarium; manipel (hiasan bagi mappa), cappa (mantol-pluviale) yang dipakai dalam perarakan). Khusus untuk uskup: tongkat kegembalaan,Mitra, cincin.
2.2.3 Ketentuan masa kini: Sebelum konsili, sudah ada gerakan untuk memperbaharui busana liturgis; konsili mengikutinya, tetapi menyederhanakannya seperti ditulis dalam PUBM 297 - 310. Busana-busana liturgis itu adalah: alba (yang dapat dipakai oleh semua pelayan tertahbis dan tak tertahbis), singel (dipakai kalau alba kebesaran, kalau alba sesuai atau jubah pengganti alba, maka tidak perlu dipakai), stola berwarna sesuai dengan kasula (untuk yang tertahbis: diakon = menyilang dari bahu kiri ke samping kanan; imam dan uskup = dikalungkan pada leher); kasula yang merupakan pakaian luar, sesuai dengan warna tahun liturgi (hanya dipakai imam dan uskup); untuk diakon, ada dalmatik. Khusus untuk uskup ada cincin, mitra dan tongkat.
Singkatnya ada 3 kategori busana liturgis: Yang dikenakan di bagian dalam (alba dan singel); berlaku bagi semua pelayan liturgis; yang dikenakan di bagian luar: sebagai unsur pembeda seperti kasula, dalmatik, pluviale (mantol waktu perarakan); yang melambangkan fungsi atau tugas khusus: stola (imam, uskup), mitra, tongkat (uskup), pallium (uskup agung).
3. Warna pakaian liturgis: Di gereja katolik Latin, warna pakaian liturgis penting; lain halnya di gereja Timur. Busana liturgis yang berwarna tertentu pula, mengungkapkan ciri khas misteri iman yang dirayakan serta alur perkembangan hidup kristiani sepanjang tahun. Pada awalnya hanya ada satu warna pakaian liturgis yakni putih, tetapi di abad ke 9, ditambahkan warna-warna lainnya. Sesuai dengan ketentuan masa kini, warna liturgis adalah putih lambang kesucian, kemuliaan, dan kemuliaan dalam Kristus; Dapat pula dipakai kuning sebagai pengganti putih, tetapi warna ini rupanya kurang dimanfaatkan, juga di Indonesia; Merah lambang RK, darah, api, cinta kasih, pengorbanan (karena itu cocok untuk pesta RK, para martir dan Jumat Besar); Ungu lambang tobat, duka, mati raga (Adven dan Prapaskah); Hitam mempunyai makna yang sama dengan ungu dan kini lebih banyak dipakai warna ungu. Hitam menghilang dari pemakaian; Hijau lambang harapan, syukur dan kesuburan.
4. Makna teologis busana liturgis:
Secara umum: Pakaian merupakan tanda siivilisasi, serta tanda martabat seseorang dalam lingkungan masyarakat tertentu. Ia juga meemperingatkan kita akan bukti kasih Tuhan yang tetap melindungi kita sesudah dosa. Pakaian karung (kitab suci dan tradisi purba) melambangkan sikap tobat umat manusia. Pakaian juga merupakan tanda pengungkap hidup yang telah ditransformasikan dalam Kristus.
4.1 Pakaian spesial (liturgis bagi para pelayan): Busana liturgi mengungkapkan hidup gerja dalam Kristus. Kristus memanggil setiap orang dan setiap orang menanggapinya atas cara yang berbeda. Karena itu ada perbedaan tugas dan fungsi di kalangan umat Allah; Liturgi merupakan suatu perayaan yang menuntut partisipasi sesuai dengan fungsi masing anggota. Hal ini menyata dalam pakaian yang dikenakan selama perayaan liturgi berlangsung. Pelayan-pelayan, terutama pelayan tertahbis biasanya mengenakan busana khusus yang lain dari yang dikenakan jemaat lainnya.
Yang berperanan sebagai pemimpin yang “melayani” biasanya mengenakan busana liturgis khusus; hal ini menandakan bahwa umat Allah yang membentuk jemaat liturgis itu terdiri dari pemimpin dan yang dipimpin (terdiri dari pribadi-pribadi unik); serta Tuhan yang diimani adalah satu dan sama (yang dilambangkan oleh pemimpin). Busana liturgis juga memperlihatkan suasana pesta dari liturgi yang dirayakan; ada keyakinan bahwa liturgi itu suatu pesta (perayaan meriah) sebab liturgi merupakan puncak kehidupan umat (KL 10). Karena itu PUBM no 306 menyatakan bahwa busana liturgis hendaknya indah dan agung.
Di bawah ini saya kemukakan busana-busana liturgis aktual serta maknanya masing-masing:
+ Kasula lambang distinktif tugas seorang imam (dan uskup), yang diemban. Biasanya dipakai dalam perayaan Ekaristi. Asal katanya: Latin, “Casula” yang berarti rumah kecil; Sejarah menyatakan bahwa kasula mempunyai makna simbolis: lambang kuk yang harus dipikul seorang imam. Pakaian liturgis yang berfungsi hampir sama dengan kasula adalah dalmatik untuk diakon; di waktu perarakan, dipakai mantol (pluviale).
+ Stola: menilik asal usulnya, stola berhubungan dengan orarium / orarion yakni handuk yang biasanya dibelitkan di leher sebagai pemanas leher di musim dingin. Dapat juga dipakai untuk melap tangan dan mulut. Diberikan kepada diakon (pelayan pembantu uskup dalam liturgi di dunia) dan kemudian dilihat sebagai sayap para malaikat yang melayani dalam liturgi surgawi. Stola adalah lambang tugas yang diemban sehingga dalam konselebrasi, kalau kasula tidak cukup tersedia, maka diharapkan paling kurang ada stola yang dipakai di atas jubah atau alba. Warnanya sesuai denga kasula yang pada umumnya sesuai dengan masa dalam tahun liturgi. Khusus untuk uskup agung yang membawahi beberapa uskup lain, ada sejenis stola yang disebut pallium.
+ Alba yang biasanya berwarna putih, dapat dipakai semua pelayan tertahbis dan tak tertahbis; Ia melambangkan kemurnian hati dikurniakan dalam sakramen Baptis.
+ Lambang-lambang khusus untuk uskup: mitra (sejenis topi bercabang dua - terbelah di tengah) sebagai lambang tugas uskup dalam membela keadilan, kebenaran; cincin yang dipakai di jari tangam kanan sebagai lambang kesetiaan uskup terhadap gereja; Tongkat lambang tugas kegembalaan uskup.
4.2 Makna pakaian biasa (yang dipakai umat): Pakaian yang dikenakan umat (berbeda-beda dalam bentuk, jenis) mempunyai makna simbolis tersendiri: jemaat yang merayakan liturgi (puncak kehidupan kristiani) adalah umat yang siap untuk diutus guna bersaksi tentang Kristus. Mengenakan pakaian biasa (hendaknya baik, bersih) berarti selalu siap untuk diutus.
5. Kemungkinan inkulturasi:
Teks pendukung: KL 128
Liturgicae instaurationes:
PUBM 304 dan 305.
Dokumen-dokumen itu menjadi dasar inkulturasi busana liturgis. Inkulturasi yang merupakan tugas waligereja setempat. Teks-teks terkait menyebutkan bahwa bentuk dan bahan pembuat busana liturgis itu dapat disesuaikan; sedangkan warna, tidak disebutkan. Karena itu tugas waligereja setempat yang dapat diwakili komisi liturgi keuskupan (wali gereja) adalah mencari bentuk asli busana lokal yang dapat dipakai untuk menginkulturasikan busana liturgis. Yang tengah dibuat di Indonseia, juga di Timor adalah busana liturgis yang bermotif Indonesia, Timor (terbuat dari tenunan), tetapi bentuk dan warna masih bersifat Barat. Manakah bentuk serta warna asli Timor itu yang dapat dipakai sebagai pengungkap misteri liturgi yang dirayakan?
Ada empat aspek yang harus dipedomani dalam membuat inkulturasi busana liturgi (sesuai sidang pleno Komisi Liturgi KWI): lihat halaman: 13.
6. Penutup: Bagaimanapun, busana liturgis itu adalah busana pelayanan demi kepentingan jemaat dan demi kemuliaan Tuhan. Ia adalah sarana simbolis yang tentunya bermakna simbolis pula. Busana liturgis inkulturatip menyatakan bahwa kita hendak memuji dan memuliakan Allah dengan seluruh kemampuan manusiawi kita ketika berliturgi.
0 komentar:
Posting Komentar