KETAATAN DALAM HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN LITURGI
Mendengar kata “taat” atau “ketaatan” dalam hubungan dengan hal-hal liturgis bisa muncul macam-macam reaksi, entah biasa-biasa dan indiferen, atau menolak keras dalam arti sama sekali tidak mau taat, atau menerima dengan catatan kritis tetapi rela melaksanakan apa yang seharusnya, atau menerima lalu melaksanakannya secara buta dan kaku. Mungkin baik kalau kita memahami secara singkat dan menyeluruh apa yang harus ditaati, kepada siapa kita taat, latarbelakang historis singkat mengenai ketaaatan dan gejala-gejala ketidaktaatan serta tujuan atau maksud ketaatan dalam hal-hal liturgis.
APA YANG HARUS DITAATI?
Bila kita tidak mengetahui dengan jelas apa yang seharusnya ditaati maka ada kemungkinan kita akan bersikap “membeo” atau bagai “kerbau dicocok hidung”, sebaliknya bisa saja kita kurang atau sama sekali tidak menghargai ketaatan itu. Maka perlu kita menyadari apa sebetulnya yang kita taati dalam hal-hal yang berhubungan dengan perayaan liturgis. Hal paling utama yang harus ditaati adalah inti misteri iman yang dirayakan dalam liturgi. Ini yang harus ditaati sebagai isi dari setiap perayaan liturgi. Yang dirayakan adalah karya-karya agung Allah yang menyelamatkan yang mencapai puncaknya dalam karya-agung Yesus Kristus atau Misteri Paskah Yesus Kristus. “Karya penebusan manusia dan pemuliaan sempurna Allah ini, telah dimulai dengan karya agung ilahi dalam Perjanjian Lama. Karya ini diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri paskah” (SC, no. 5).
Kehendak Tuhan, Sabda dan hukum-hukum-Nya. Hal ini terungkap dalam Kitab Suci maka kita perlu mencari dan menemukan lalu mentaati kehendak Tuhan yang diwahyukan kepada kita lewat Kitab Suci khususnya mengenai ibadat atau liturgi dan berusaha melaksanakannya dengan setia. Hal ini ditegaskan dalam Liturgicae Instaurationes (Instruksi Pelaksana 3, no. 1 sbb: “Kedayagunaan perayaan liturgis tidak terletak dalam sering mengadakan eksperimen dan mengubah upacara baru atau mencari bentuk yang lebih sederhana, tetapi dalam pemahaman yang semakin mendalam tentang sabda Allah dan misteri yang dirayakan; kehadiran sabda dan misteri ini diteguhkan justru dengan mematuhi upacara-upacara Gereja, bukannya oleh upacara-upacara yang ditentukan oleh seorang imam atas dasar minat pribadi” (SBL 2A no. 183, hal 76-77). Upacara-upacara Gereja harus mematuhi apa yang dikehendaki Kristus. “Gereja sendiri tidak mempunyai kuasa atas hal-hal yang ditetapkan oleh Kristus sendiri dan yang merupakan bagian yang tak berubah dalam Liturgi” (Redemptionis Sacramentum no. 10)
Ajaran Gereja dalam kaitan dengan liturgi (bdk, RS no. 2). Hal-hal ini hampir selalu ditegaskan dalam Peraturan atau Hukum Gereja dan dalam pedoman-pedoman umum atau pedoman khusus yang ditulis sebagai pengantar perayaan-perayaan liturgis dan biasanya ditemukan di bagian awal buku-buku liturgi acuan. “Maklumlah Liturgi Suci berhubungan erat dengan dasar-dasar ajaran iman, sehingga penggunaan teks-teks dan tata cara yang tidak disahkan, dengan sendirinya akan menyebabkan merosotnya ataupun hilangnya hubungan yang mutlak perlu antara lex orandi dan lex credendi” (RS no. 10). Umumnya ajaran Gereja dan peraturan atau hukumnya disusun berdasarkan Kitab Suci (bdk RS no. 9).
Dokumen Gereja yang secara khusus merumuskan ajaran tentang liturgi adalah Konstitusi Liturgi (SC) dan Instruksi Pelaksanaan isi tertentu dari Konstitusi mengenai liturgi seperti instruksi terakhir mengenai liturgi Ekaristi (Redemptionis Sacramentum) yang dikeluarkan oleh Takhta Apostolik 25 Maret 2004. Secara lebih rinci dan praktis ajaran itu dijabarkan dalam Pedoman-pedoman umum (Praenotanda) dan pedoman khusus serta rubrik yang terdapat didalam buku-buku liturgi acuan (bdk. RS, no. 7).
Jadi yang harus ditaati adalah hal-hal yang benar dan tepat sebagai inti hakekat dari liturgi. Ada hal yang jelas diungkapkan sebagai suatu keharusan. Sifatnya normatif. Berarti harus ditaati dan tidak boleh dilanggar. Tetapi ada juga hal-hal yang dirumuskan sebagai alternatif. Dalam hal ini terbuka kemungkinan untuk memilih cara atau bentuk yang lebih cocok. Maka perlu diketahui hal yang benar dan tepat (sama dan tak berubah) yang mau diungkapkan oleh variasi bentuk itu. Dengan demikian ada ketaatan kepada isi/makna dan hakekat liturgi, dan bukan terutama kepada bentuk lahiriah. Ketaatan terhadap bentuk kurang/tidak berarti kalau tidak dibarengi dengan ketaatan kepada isi. Maka sikap taat secara lahiriah harus selaras dengan sikap taat secara batiniah. “Upacara-upacara liturgis, hendaknya dirayakan sesempurna mungkin; untuk itu ... rubrik hendaknya ditaati dengan teliti, dan upacara diselenggarakan dengan khidmat, di bawah pengawasan yang cermat dari para pembesar gerejawi; semua perayaan itu harus dilatih lebih dulu” (Inter Oecumenici [Instruksi Pelaksana I], no. 13.
TAAT KEPADA SIAPA?
Dalam hubungan dengan hal-hal liturgis kita harus taat pertama-tama kepada Tuhan: taat pada rencana dan kehendak Tuhan, pada ajaran Yesus Kristus, pada dorongan Roh Kudus.
Kepada Pimpinan Gereja: taat pada keputusan-keputusan Takhta Apostolik (Paus, Kongregasi Ibadat dan Disiplin Sakramen [plenaria]), Uskup setempat ([Konferensi Wali Gereja Setempat] bdk SC, no. 22, 26, 39-42).
Kepada Umat. Taat melayani umat yang punya hak untuk mengambil bagian dalam liturgi yang tepat dan benar (bdk RS 12). Ketaatan ini dituntut dari semua petugas atau penanggungjawab dalam merencanakan dan melaksanakan liturgi. Khusus kepada seorang imam dituntut ketaatan ini. “Hendaknya disadari bahwa seorang imam yang melancarkan pemugaran pribadi atas upacara-upacara suci merongrong martabat kaum beriman; pun pula ia membuka jalan untuk bentuk-bentuk individual menurut selera pribadi dalam merayakan upacara-upacara kudus yang jelas merupakan wewenang seluruh Gereja. Sebab tugas pelayanan yang disandang oleh setiap imam adalah melayani seluruh Gereja, dan itu hanya dapat diamalkan dalam ketaatan, dalam persekutuan dengan hirarki, dan dalam pelayanan kepada Allah serta serta sesama saudara. Ciri hirarkis dan daya sakramental liturgi serta ketundukan yang harus diberikan kepada jemaat kaum beriman menuntut agar setiap imam menunaikan tugas liturgisnya sebagai seorang ‘hamba setia yang kepadanya dipercayakan rahasia-rahasia Allah’; hendaknya ia tidak menambahkan upacara apa pun yang tidak ditentukan atau disetujui oleh buku-buku liturgi” (Liturgicae Instaurationes, Instruksi Pelaksana 3, no. 1).
Jadi ketaatan kepada Tuhan dan pimpinan Gereja tidak bertentangan dengan ketaatan kepada umat beriman. Karena “menjadi hak sekalian orang beriman bahwa Liturgi, khususnya perayaan Misa Kudus, dilangsungkan sungguh sesuai dengan hasrat Gereja, sesuai dengan ketetapan-ketetapannya seperti digariskan dalam buku-buku liturgi dan dalam hukum-hukum serta peraturan lainnya. Demikian pula, umat Katolik berhak untuk Kurban Misa Kudus yang dirayakan bagi mereka secara utuh, sesuai dengan ajaran Gereja. Dan akhirnya, adalah hak komunitas Katolik bahwa Ekaristi yang Mahakudus itu dilaksanakan baginya sedemikian rupa sehingga sungguh mencolok sebagai sakramen kesatuan, seraya menjauhkan segala cela dan ulah yang dapat menimbulkan perpecahan dalam Gereja” (RS no. 12). Ini tidak berarti semua yang diinginkan oleh umat harus diikuti atau ditaati oleh pemimpin perayaan. Ada keinginan umat yang bertentangan dengan pedoman-instruksi yang ada. Jelas tidak perlu mengikuti keinginan-keinginan seperti ini. Jadi ketaatan itu sebenarnya dituntut dari semua, bari dari para pemimpin dan penanggungjawab dalam hal-hal liturgis maupun dari umat beriman.
SEKILAS PENGALAMAN HISTORIS
Yesus Kristus taat pada peraturan-peraturan ibadat Yahudi tetapi sekaligus menyempurnakannya atau memberi arti baru berdasarkan kesadaran akan diri-Nya sebagai Putera Allah yang adalah jalan, kebenaran dan hidup. Ibadat-Nya (doa, hidup dan karya-Nya) adalah ibadat sejati karena dijalankan sesuai dengan rencana dan kehendak Bapa. Bagi Yesus melaksanakan rencana dan kehendak Allah untuk mengasihi atau hukum kasih mempunyai nilai paling tinggi dibandingkan dengan ketaatan lahairiah pada sebuah peraturan ibadat yang bisa menghalangi orang untuk berbuat baik sebagai wujud dari kasih itu. Tidak heran kalau Yesus berani mengubah sejumlah peraturan Perjanjian Lama dan menggantinya dengan hukum baru seraya menegaskan bahwa aturan ibadat pada hari Sabat dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk hari Sabat. Para pengikut Yesus meneruskan semangat ibadat sejati ini “dalam roh dan kebenaran”. Ketaatan kepada Roh (bimbingan Roh Kudus) dan Kebenaran (Yesus dan ajaran serta contoh hidup-Nya) merupakan jaminan bagi umat Gereja purba dalam menjalankan ibadatnya yang sejati. Ketaatan itu dituntut oleh pimpinan umat (uskup, paus, patriark) terutama pada masa merebaknya kebebasan yang berlebihan dalam menafsirkan ajaran Yesus Kristus dengan akibat munculnya kesesatan-kesesatan.
Dalam sejarah hidup Gereja ada masa (khususnya pada abad-abad pertengahan) di mana ketidaktaatan dalam hal-hal liturgis menjadi sebab perpisahan, perpecahan, meskipun ketidaktaatan itu menyangkut hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Ada masa rubrikisme yang kaku di mana ketaatan dituntut sampai pada hal-hal yang amat kecil. Hal ini mengakibatkan sikap rigoristis dan skrupel dalam menjalankan semua peraturan.
Sejak Konsili Vatikan II, sikap taat yang skrupel ini hendak dihindarkan dan diganti dengan ketaatan dalam kebebasan dan tanggungjawab. Taat bukan karena terpaksa tetapi dengan penuh kesadaran karena tahu dan yakin mengapa demikian. Dalam hal ini dibutuhkan keserasian di antara pemikiran dan kata-kata, di antara sikap lahir dan sikap batin (RS, no. 5). Jadi bukan ketaatan buta.
Namun ketika jendela rumah pembaruan dibuka lebar oleh Konsili Vatikan II, ternyata bukan hanya angin segar-sejuk yang masuk tetapi juga angin ribut dan kencang yang pada saat tertentu memporak-porandakan isi rumah. Ada yang tidak setuju dengan aneka pembaruan dan berusaha mempertahankan tradisi liturgi pra Vatikan II tanpa mengubah sedikitpun (Uskup Lefebre dkk). Ketidaktaatan mereka pada semangat pembaruan Konsili Vatikan II memisahkan mereka dari Gereja Katolik. Tetapi ada juga yang amat progresif dan mulai membuat macam-macam eksperimen sesuka hati tanpa menghiraukan pedoman-pedoman pembaruan/penyesuaian yang telah dikeluarkan oleh Pimpinan Gereja. Ketidaktaatan ini membingungkan banyak umat (terutama yang sederhana dan setia) hingga kehilangan arah yang benar.
GEJALA-GEJALA KETIDAKTAATAN
Ada ketidaktaatan yang dipandang sebagai pelanggaran berat, yaitu yang melawan atau bertentangan dengan inti hakekat liturgi dan bertentangan dengan tradisi serta melawan wewenang pimpinan Gereja (RS, no. 4).
Ada pelanggaran yang mengaburkan iman yang benar dan doktrin Katolik mengenai Sakramen yang agung. Ada yang tidak memupuk rasa hormat yang mendalam terhadap keagungan Tuhan (RS, no. 6). Perayaan-perayaan liturgis lalu menjadi kegiatan yang kurang lebih sama dengan kegiatan profan: pertunjukan, sandiwara, resepsi, rekreasi (bdk RS, no. 78).
Ada pelanggaran yang disebabkan oleh tafsiran berlebihan tentang kebebasan. Kebebasan dimengerti sebagai keinginan untuk melaksanakan apa saja yang dikehendaki. Padahal kebebasan yang dimaksudkan adalah kerelaan untuk melakukan apa yang pantas dan layak (RS no. 7).
Ada praktek Ekaristi ekumenis yang sebenarnya berlawanan dengan pandangan Gereja Katolik tentang Ekaristi (RS no. 8).
Juga ada pelanggaran melawan sifat sakral dan dimensi universal dari Ekaristi (RS, no. 11).
Selain itu ketidaktaatan itu dapat terjadi karena “ketidaktahuan”. Tidak tahu arti dari kegiatan liturgis dan tidak tahu latar belakang historis (RS no. 9).
Jadi ketidaktaatan atau pelanggaran ini bisa terjadi tanpa sadar (lalai, lupa, tidak tahu), tetapi bisa juga terjadi dengan penuh kesadaran (tahu baik yang seharusnya dan dengan sengaja melanggarnya). Ada pelanggaran yang disebut graviora delicta (kejahatan besar), ada yang disebut pelanggaran berat dan ada yang disebut pelanggaran/penyelewengan biasa (bdk RS, no. 172-175).
Berhadapan dengan gejala-gejala ketidaktaatan atau pelanggaran ini kita diajak untuk belajar menjadi taat dalam menjalankan pedoman-pedoman atau instruksi yang ada. Pedoman-pedoman atau instruksi yang dikeluarkan oleh pimpinan Gereja sesudah Konsili Vatikan II sebenarnya mempunyai tujuan yang mulia, bukan terutama untuk membatasi kegiatan umat beriman dengan rubrik-rubrik. Maka baiklah kita melihat lebih jauh apa sebenarnya yang menjadi tujuan utama dari ketaatan orang beriman dalam hal-hal liturgis menurut pedoman atau instruksi yang telah digariskan tentang hal itu.
TUJUAN DARI KETAATAN
Tujuan dari ketaatan itu adalah bukan demi ketaatan itu sendiri, tetapi agar keutuhan misteri yang kudus dapat dialami dan dengan itu seluruh umat dapat mengambil bagian secara aktip dan penuh dalam misteri keselamatan itu. “Oleh karena itu para gembala rohani hendaknya memperhatikan dengan saksama, agar dalam perayaan liturgi tidak hanya hukum-hukumnya ditaati demi sah dan halalnya perayaan, tetapi agar umat berpartisipasi secara sadar, nyata dan penuh makna” (SC, no. 11; SBL 2A, no. 11). Dengan kata lain bila kaidah-kaidah umum yang berlaku dalam liturgi ditaati dengan setia diharapkan “iman para peserta dipupuk dan hati mereka diangkat kepada Allah untuk memberikan penghormatan yang wajar serta menerima rahmat dengan lebih limpah” (SC no. 33).
Ketaatan itu menolong menciptakan kesatuan hati dan budi (bukan terutama kesatuan bentuk lahiriah) sebagai satu kesaksian yang meyakinkan tentang persatuan-persaudaraan dalam Tuhan, dalam roh dan kebenaran (bdk RS, no. 11). Dengan demikian diharapkan bahwa aspek universal dari ibadat dapat dihayati. Maka ketaatan itu membantu umat beriman untuk mengalami unitas yang sejati bukan terutama uniformitas.
Dengan ketaatan ini sifat sakral dari ibadat (Ekaristi) dapat dipelihara dan dialami. “Pemugaran upacara-upacara suci sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang dinamakan ‘deskralisasi’, dan secara bagaimana pun juga tidak mau memberi angin kepada apa yang disebut ‘sekularisasi dunia’. Oleh karena itu ciri-ciri khas upacara-upacara liturgis, yakni luhur, khidmat dan kudus harus tetap dipertahankan” (Liturgicae Instaurationes [Instruksi Pelaksana 3, no. 1).
Ketaatan itu juga akan menjamin keutuhan iman yang dirayakan dan dihayati dalam liturgi sesuai dengan adagium lex orandi, lex credendi (bdk RS, no. 10), yang pada waktunya akan menolong umat beriman untuk taat setia (pada Tuhan dan kehendak serta ajaran-Nya) dalam hidup dan karyanya (lex vivendi).
KESIMPULAN
Ketaatan yang dituntut sebenarnya mempunyai tujuan luhur dan bukan bermaksud untuk mengekang kebebasan umat beriman dalam melaksanakan kegiatan liturgis. Maka perlu mempelajari pedoman-pedoman dan peraturan yang ada dan memahami makna/maksud yang ada di baliknya, serta latarbelakang penyusunan pedoman atau instruksi yang ada (latar belakang biblis, teologis, liturgis, pastoral). Juga perlu menghindarkan sikap rubrikisme, rigoristis, skrupel dan sekaligus mengembangkan sikap taat dalam kebebasan dan tanggungjawab. Dengan semangat ini kiranya kita membaca dan memahami serta melaksanakan instruksi Redemptionis Sacramentum.
Jakarta, Juni 2004.
Rm Bernardus Boli Ujan, SVD
APA YANG HARUS DITAATI?
Bila kita tidak mengetahui dengan jelas apa yang seharusnya ditaati maka ada kemungkinan kita akan bersikap “membeo” atau bagai “kerbau dicocok hidung”, sebaliknya bisa saja kita kurang atau sama sekali tidak menghargai ketaatan itu. Maka perlu kita menyadari apa sebetulnya yang kita taati dalam hal-hal yang berhubungan dengan perayaan liturgis. Hal paling utama yang harus ditaati adalah inti misteri iman yang dirayakan dalam liturgi. Ini yang harus ditaati sebagai isi dari setiap perayaan liturgi. Yang dirayakan adalah karya-karya agung Allah yang menyelamatkan yang mencapai puncaknya dalam karya-agung Yesus Kristus atau Misteri Paskah Yesus Kristus. “Karya penebusan manusia dan pemuliaan sempurna Allah ini, telah dimulai dengan karya agung ilahi dalam Perjanjian Lama. Karya ini diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri paskah” (SC, no. 5).
Kehendak Tuhan, Sabda dan hukum-hukum-Nya. Hal ini terungkap dalam Kitab Suci maka kita perlu mencari dan menemukan lalu mentaati kehendak Tuhan yang diwahyukan kepada kita lewat Kitab Suci khususnya mengenai ibadat atau liturgi dan berusaha melaksanakannya dengan setia. Hal ini ditegaskan dalam Liturgicae Instaurationes (Instruksi Pelaksana 3, no. 1 sbb: “Kedayagunaan perayaan liturgis tidak terletak dalam sering mengadakan eksperimen dan mengubah upacara baru atau mencari bentuk yang lebih sederhana, tetapi dalam pemahaman yang semakin mendalam tentang sabda Allah dan misteri yang dirayakan; kehadiran sabda dan misteri ini diteguhkan justru dengan mematuhi upacara-upacara Gereja, bukannya oleh upacara-upacara yang ditentukan oleh seorang imam atas dasar minat pribadi” (SBL 2A no. 183, hal 76-77). Upacara-upacara Gereja harus mematuhi apa yang dikehendaki Kristus. “Gereja sendiri tidak mempunyai kuasa atas hal-hal yang ditetapkan oleh Kristus sendiri dan yang merupakan bagian yang tak berubah dalam Liturgi” (Redemptionis Sacramentum no. 10)
Ajaran Gereja dalam kaitan dengan liturgi (bdk, RS no. 2). Hal-hal ini hampir selalu ditegaskan dalam Peraturan atau Hukum Gereja dan dalam pedoman-pedoman umum atau pedoman khusus yang ditulis sebagai pengantar perayaan-perayaan liturgis dan biasanya ditemukan di bagian awal buku-buku liturgi acuan. “Maklumlah Liturgi Suci berhubungan erat dengan dasar-dasar ajaran iman, sehingga penggunaan teks-teks dan tata cara yang tidak disahkan, dengan sendirinya akan menyebabkan merosotnya ataupun hilangnya hubungan yang mutlak perlu antara lex orandi dan lex credendi” (RS no. 10). Umumnya ajaran Gereja dan peraturan atau hukumnya disusun berdasarkan Kitab Suci (bdk RS no. 9).
Dokumen Gereja yang secara khusus merumuskan ajaran tentang liturgi adalah Konstitusi Liturgi (SC) dan Instruksi Pelaksanaan isi tertentu dari Konstitusi mengenai liturgi seperti instruksi terakhir mengenai liturgi Ekaristi (Redemptionis Sacramentum) yang dikeluarkan oleh Takhta Apostolik 25 Maret 2004. Secara lebih rinci dan praktis ajaran itu dijabarkan dalam Pedoman-pedoman umum (Praenotanda) dan pedoman khusus serta rubrik yang terdapat didalam buku-buku liturgi acuan (bdk. RS, no. 7).
Jadi yang harus ditaati adalah hal-hal yang benar dan tepat sebagai inti hakekat dari liturgi. Ada hal yang jelas diungkapkan sebagai suatu keharusan. Sifatnya normatif. Berarti harus ditaati dan tidak boleh dilanggar. Tetapi ada juga hal-hal yang dirumuskan sebagai alternatif. Dalam hal ini terbuka kemungkinan untuk memilih cara atau bentuk yang lebih cocok. Maka perlu diketahui hal yang benar dan tepat (sama dan tak berubah) yang mau diungkapkan oleh variasi bentuk itu. Dengan demikian ada ketaatan kepada isi/makna dan hakekat liturgi, dan bukan terutama kepada bentuk lahiriah. Ketaatan terhadap bentuk kurang/tidak berarti kalau tidak dibarengi dengan ketaatan kepada isi. Maka sikap taat secara lahiriah harus selaras dengan sikap taat secara batiniah. “Upacara-upacara liturgis, hendaknya dirayakan sesempurna mungkin; untuk itu ... rubrik hendaknya ditaati dengan teliti, dan upacara diselenggarakan dengan khidmat, di bawah pengawasan yang cermat dari para pembesar gerejawi; semua perayaan itu harus dilatih lebih dulu” (Inter Oecumenici [Instruksi Pelaksana I], no. 13.
TAAT KEPADA SIAPA?
Dalam hubungan dengan hal-hal liturgis kita harus taat pertama-tama kepada Tuhan: taat pada rencana dan kehendak Tuhan, pada ajaran Yesus Kristus, pada dorongan Roh Kudus.
Kepada Pimpinan Gereja: taat pada keputusan-keputusan Takhta Apostolik (Paus, Kongregasi Ibadat dan Disiplin Sakramen [plenaria]), Uskup setempat ([Konferensi Wali Gereja Setempat] bdk SC, no. 22, 26, 39-42).
Kepada Umat. Taat melayani umat yang punya hak untuk mengambil bagian dalam liturgi yang tepat dan benar (bdk RS 12). Ketaatan ini dituntut dari semua petugas atau penanggungjawab dalam merencanakan dan melaksanakan liturgi. Khusus kepada seorang imam dituntut ketaatan ini. “Hendaknya disadari bahwa seorang imam yang melancarkan pemugaran pribadi atas upacara-upacara suci merongrong martabat kaum beriman; pun pula ia membuka jalan untuk bentuk-bentuk individual menurut selera pribadi dalam merayakan upacara-upacara kudus yang jelas merupakan wewenang seluruh Gereja. Sebab tugas pelayanan yang disandang oleh setiap imam adalah melayani seluruh Gereja, dan itu hanya dapat diamalkan dalam ketaatan, dalam persekutuan dengan hirarki, dan dalam pelayanan kepada Allah serta serta sesama saudara. Ciri hirarkis dan daya sakramental liturgi serta ketundukan yang harus diberikan kepada jemaat kaum beriman menuntut agar setiap imam menunaikan tugas liturgisnya sebagai seorang ‘hamba setia yang kepadanya dipercayakan rahasia-rahasia Allah’; hendaknya ia tidak menambahkan upacara apa pun yang tidak ditentukan atau disetujui oleh buku-buku liturgi” (Liturgicae Instaurationes, Instruksi Pelaksana 3, no. 1).
Jadi ketaatan kepada Tuhan dan pimpinan Gereja tidak bertentangan dengan ketaatan kepada umat beriman. Karena “menjadi hak sekalian orang beriman bahwa Liturgi, khususnya perayaan Misa Kudus, dilangsungkan sungguh sesuai dengan hasrat Gereja, sesuai dengan ketetapan-ketetapannya seperti digariskan dalam buku-buku liturgi dan dalam hukum-hukum serta peraturan lainnya. Demikian pula, umat Katolik berhak untuk Kurban Misa Kudus yang dirayakan bagi mereka secara utuh, sesuai dengan ajaran Gereja. Dan akhirnya, adalah hak komunitas Katolik bahwa Ekaristi yang Mahakudus itu dilaksanakan baginya sedemikian rupa sehingga sungguh mencolok sebagai sakramen kesatuan, seraya menjauhkan segala cela dan ulah yang dapat menimbulkan perpecahan dalam Gereja” (RS no. 12). Ini tidak berarti semua yang diinginkan oleh umat harus diikuti atau ditaati oleh pemimpin perayaan. Ada keinginan umat yang bertentangan dengan pedoman-instruksi yang ada. Jelas tidak perlu mengikuti keinginan-keinginan seperti ini. Jadi ketaatan itu sebenarnya dituntut dari semua, bari dari para pemimpin dan penanggungjawab dalam hal-hal liturgis maupun dari umat beriman.
SEKILAS PENGALAMAN HISTORIS
Yesus Kristus taat pada peraturan-peraturan ibadat Yahudi tetapi sekaligus menyempurnakannya atau memberi arti baru berdasarkan kesadaran akan diri-Nya sebagai Putera Allah yang adalah jalan, kebenaran dan hidup. Ibadat-Nya (doa, hidup dan karya-Nya) adalah ibadat sejati karena dijalankan sesuai dengan rencana dan kehendak Bapa. Bagi Yesus melaksanakan rencana dan kehendak Allah untuk mengasihi atau hukum kasih mempunyai nilai paling tinggi dibandingkan dengan ketaatan lahairiah pada sebuah peraturan ibadat yang bisa menghalangi orang untuk berbuat baik sebagai wujud dari kasih itu. Tidak heran kalau Yesus berani mengubah sejumlah peraturan Perjanjian Lama dan menggantinya dengan hukum baru seraya menegaskan bahwa aturan ibadat pada hari Sabat dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk hari Sabat. Para pengikut Yesus meneruskan semangat ibadat sejati ini “dalam roh dan kebenaran”. Ketaatan kepada Roh (bimbingan Roh Kudus) dan Kebenaran (Yesus dan ajaran serta contoh hidup-Nya) merupakan jaminan bagi umat Gereja purba dalam menjalankan ibadatnya yang sejati. Ketaatan itu dituntut oleh pimpinan umat (uskup, paus, patriark) terutama pada masa merebaknya kebebasan yang berlebihan dalam menafsirkan ajaran Yesus Kristus dengan akibat munculnya kesesatan-kesesatan.
Dalam sejarah hidup Gereja ada masa (khususnya pada abad-abad pertengahan) di mana ketidaktaatan dalam hal-hal liturgis menjadi sebab perpisahan, perpecahan, meskipun ketidaktaatan itu menyangkut hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Ada masa rubrikisme yang kaku di mana ketaatan dituntut sampai pada hal-hal yang amat kecil. Hal ini mengakibatkan sikap rigoristis dan skrupel dalam menjalankan semua peraturan.
Sejak Konsili Vatikan II, sikap taat yang skrupel ini hendak dihindarkan dan diganti dengan ketaatan dalam kebebasan dan tanggungjawab. Taat bukan karena terpaksa tetapi dengan penuh kesadaran karena tahu dan yakin mengapa demikian. Dalam hal ini dibutuhkan keserasian di antara pemikiran dan kata-kata, di antara sikap lahir dan sikap batin (RS, no. 5). Jadi bukan ketaatan buta.
Namun ketika jendela rumah pembaruan dibuka lebar oleh Konsili Vatikan II, ternyata bukan hanya angin segar-sejuk yang masuk tetapi juga angin ribut dan kencang yang pada saat tertentu memporak-porandakan isi rumah. Ada yang tidak setuju dengan aneka pembaruan dan berusaha mempertahankan tradisi liturgi pra Vatikan II tanpa mengubah sedikitpun (Uskup Lefebre dkk). Ketidaktaatan mereka pada semangat pembaruan Konsili Vatikan II memisahkan mereka dari Gereja Katolik. Tetapi ada juga yang amat progresif dan mulai membuat macam-macam eksperimen sesuka hati tanpa menghiraukan pedoman-pedoman pembaruan/penyesuaian yang telah dikeluarkan oleh Pimpinan Gereja. Ketidaktaatan ini membingungkan banyak umat (terutama yang sederhana dan setia) hingga kehilangan arah yang benar.
GEJALA-GEJALA KETIDAKTAATAN
Ada ketidaktaatan yang dipandang sebagai pelanggaran berat, yaitu yang melawan atau bertentangan dengan inti hakekat liturgi dan bertentangan dengan tradisi serta melawan wewenang pimpinan Gereja (RS, no. 4).
Ada pelanggaran yang mengaburkan iman yang benar dan doktrin Katolik mengenai Sakramen yang agung. Ada yang tidak memupuk rasa hormat yang mendalam terhadap keagungan Tuhan (RS, no. 6). Perayaan-perayaan liturgis lalu menjadi kegiatan yang kurang lebih sama dengan kegiatan profan: pertunjukan, sandiwara, resepsi, rekreasi (bdk RS, no. 78).
Ada pelanggaran yang disebabkan oleh tafsiran berlebihan tentang kebebasan. Kebebasan dimengerti sebagai keinginan untuk melaksanakan apa saja yang dikehendaki. Padahal kebebasan yang dimaksudkan adalah kerelaan untuk melakukan apa yang pantas dan layak (RS no. 7).
Ada praktek Ekaristi ekumenis yang sebenarnya berlawanan dengan pandangan Gereja Katolik tentang Ekaristi (RS no. 8).
Juga ada pelanggaran melawan sifat sakral dan dimensi universal dari Ekaristi (RS, no. 11).
Selain itu ketidaktaatan itu dapat terjadi karena “ketidaktahuan”. Tidak tahu arti dari kegiatan liturgis dan tidak tahu latar belakang historis (RS no. 9).
Jadi ketidaktaatan atau pelanggaran ini bisa terjadi tanpa sadar (lalai, lupa, tidak tahu), tetapi bisa juga terjadi dengan penuh kesadaran (tahu baik yang seharusnya dan dengan sengaja melanggarnya). Ada pelanggaran yang disebut graviora delicta (kejahatan besar), ada yang disebut pelanggaran berat dan ada yang disebut pelanggaran/penyelewengan biasa (bdk RS, no. 172-175).
Berhadapan dengan gejala-gejala ketidaktaatan atau pelanggaran ini kita diajak untuk belajar menjadi taat dalam menjalankan pedoman-pedoman atau instruksi yang ada. Pedoman-pedoman atau instruksi yang dikeluarkan oleh pimpinan Gereja sesudah Konsili Vatikan II sebenarnya mempunyai tujuan yang mulia, bukan terutama untuk membatasi kegiatan umat beriman dengan rubrik-rubrik. Maka baiklah kita melihat lebih jauh apa sebenarnya yang menjadi tujuan utama dari ketaatan orang beriman dalam hal-hal liturgis menurut pedoman atau instruksi yang telah digariskan tentang hal itu.
TUJUAN DARI KETAATAN
Tujuan dari ketaatan itu adalah bukan demi ketaatan itu sendiri, tetapi agar keutuhan misteri yang kudus dapat dialami dan dengan itu seluruh umat dapat mengambil bagian secara aktip dan penuh dalam misteri keselamatan itu. “Oleh karena itu para gembala rohani hendaknya memperhatikan dengan saksama, agar dalam perayaan liturgi tidak hanya hukum-hukumnya ditaati demi sah dan halalnya perayaan, tetapi agar umat berpartisipasi secara sadar, nyata dan penuh makna” (SC, no. 11; SBL 2A, no. 11). Dengan kata lain bila kaidah-kaidah umum yang berlaku dalam liturgi ditaati dengan setia diharapkan “iman para peserta dipupuk dan hati mereka diangkat kepada Allah untuk memberikan penghormatan yang wajar serta menerima rahmat dengan lebih limpah” (SC no. 33).
Ketaatan itu menolong menciptakan kesatuan hati dan budi (bukan terutama kesatuan bentuk lahiriah) sebagai satu kesaksian yang meyakinkan tentang persatuan-persaudaraan dalam Tuhan, dalam roh dan kebenaran (bdk RS, no. 11). Dengan demikian diharapkan bahwa aspek universal dari ibadat dapat dihayati. Maka ketaatan itu membantu umat beriman untuk mengalami unitas yang sejati bukan terutama uniformitas.
Dengan ketaatan ini sifat sakral dari ibadat (Ekaristi) dapat dipelihara dan dialami. “Pemugaran upacara-upacara suci sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang dinamakan ‘deskralisasi’, dan secara bagaimana pun juga tidak mau memberi angin kepada apa yang disebut ‘sekularisasi dunia’. Oleh karena itu ciri-ciri khas upacara-upacara liturgis, yakni luhur, khidmat dan kudus harus tetap dipertahankan” (Liturgicae Instaurationes [Instruksi Pelaksana 3, no. 1).
Ketaatan itu juga akan menjamin keutuhan iman yang dirayakan dan dihayati dalam liturgi sesuai dengan adagium lex orandi, lex credendi (bdk RS, no. 10), yang pada waktunya akan menolong umat beriman untuk taat setia (pada Tuhan dan kehendak serta ajaran-Nya) dalam hidup dan karyanya (lex vivendi).
KESIMPULAN
Ketaatan yang dituntut sebenarnya mempunyai tujuan luhur dan bukan bermaksud untuk mengekang kebebasan umat beriman dalam melaksanakan kegiatan liturgis. Maka perlu mempelajari pedoman-pedoman dan peraturan yang ada dan memahami makna/maksud yang ada di baliknya, serta latarbelakang penyusunan pedoman atau instruksi yang ada (latar belakang biblis, teologis, liturgis, pastoral). Juga perlu menghindarkan sikap rubrikisme, rigoristis, skrupel dan sekaligus mengembangkan sikap taat dalam kebebasan dan tanggungjawab. Dengan semangat ini kiranya kita membaca dan memahami serta melaksanakan instruksi Redemptionis Sacramentum.
Jakarta, Juni 2004.
Rm Bernardus Boli Ujan, SVD
0 komentar:
Posting Komentar