Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Minggu, 02 Februari 2025

G.K. Chesterton; Protestantism is dead

Dahulu kala, belum lama berselang, Protestantisme berdiri kokoh seperti benteng keyakinan, panji-panjinya berkibar tinggi diterpa angin. Para pengikutnya berpegang teguh pada kredo yang tegas dan khidmat: bahwa iman saja, tanpa perlu perbuatan baik, adalah kunci keselamatan. Selama tiga ratus tahun, kepercayaan ini bukan sekadar doktrin, tetapi garis pemisah, denyut nadi identitas Protestan. Menyarankan hal yang sebaliknya—mengklaim bahwa tindakan kebaikan, memberi makan orang lapar atau memberi pakaian kepada orang miskin, dapat mendekatkan jiwa kepada Tuhan—berarti membawa jejak Roma, dikesampingkan sebagai salah satu umat Katolik dengan lilin-lilin, orang-orang kudus, dan gereja-gereja yang sangat indah.

Namun, waktu punya cara untuk menghapus garis pertempuran, dan sekarang, jika Anda bertanya kepada orang kebanyakan—apakah ia percaya kepada Tuhan atau tidak—apakah iman saja atau perbuatan baik lebih penting, ia akan menjawab tanpa ragu: *Tentu saja, berbuat baik pasti ada artinya.* Ia akan mengatakannya dengan sangat alami, sangat naluriah, sehingga ia akan terkejut mengetahui bahwa, berabad-abad yang lalu, kata-katanya akan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kebenaran Protestan.

Yang lebih mengejutkan lagi, hal-hal yang pernah mendefinisikan Protestanisme—penolakan terhadap keindahan dalam ibadah, ketakutan kaum Puritan terhadap seni dan ornamen—telah memudar ke masa lalu, maknanya hilang dalam pikiran modern. Ada suatu masa ketika gaun putih sederhana dapat membuat seorang ibu rumah tangga Protestan tersinggung, apalagi seorang pendeta yang mengenakan jubah berwarna-warni. Namun, siapa yang mengingatnya sekarang? Siapa, yang melihat dunia saat ini, yang masih akan merasakan kengerian kaum Puritan tua itu terhadap keindahan dalam agama?

Jadi, di ruang pengadilan besar sejarah, tempat Roma pernah diadili, putusan itu telah dibatalkan secara diam-diam. Dunia—berdasarkan naluri, intuisi, dan perputaran waktu yang lambat—telah membebaskannya. Bukan dengan deklarasi besar, bukan dengan membunyikan lonceng, tetapi dengan fakta sederhana bahwa pertengkaran di masa lalu bahkan tidak lagi masuk akal bagi mereka yang hidup di bumi saat ini. Protestantisme, dalam artian yang pernah seperti api yang membakar, kini tidak hanya memudar. Ia dilupakan. Pilihannya adalah maju terus menjadi atheis atau Kembali pulang ke rumah yang nyaman Rome sweet home!

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive