AI, Martabat Manusia, dan Relevansi Veritas Sequitur Esse
Prinsip veritas sequitur esse ("kebenaran mengikuti keberadaan") adalah konsep dasar dalam filsafat Thomistik, menegaskan bahwa kebenaran secara intrinsik terikat dengan realitas. Gagasan ini tetap sangat relevan dalam perdebatan etika kontemporer, terutama mengenai kecerdasan buatan (AI) dan implikasinya terhadap martabat manusia, pengambilan keputusan, pendidikan, dan kreativitas. Ketika sistem AI menjadi semakin terintegrasi ke dalam masyarakat, penting untuk mengevaluasi peran mereka dalam terang prinsip-prinsip moral dan metafisik yang objektif untuk memastikan mereka meningkatkan, daripada merusak, martabat manusia dan integritas etika.
AI,
Martabat Manusia, dan Pengambilan Keputusan Etis
Gagasan
Aquinas bahwa kebenaran berakar pada keberadaan menyiratkan bahwa martabat
manusia tidak bergantung pada kondisi eksternal seperti kecerdasan atau
produktivitas tetapi melekat dalam sifat keberadaan manusia. Sebaliknya, AI,
terlepas dari kemampuannya untuk meniru proses kognitif, tidak memiliki esse
(keberadaan sejati) dan, akibatnya, martabat intrinsik atau nilai moral.
Perbedaan ini sangat penting dalam perdebatan tentang kepribadian dan hak AI.
Meskipun AI dapat memproses data dan menghasilkan output, ia tidak memiliki
kesadaran diri, kehendak bebas, atau tanggung jawab moral. Mengenali perbedaan
ini memastikan bahwa AI tetap menjadi alat untuk kepentingan manusia daripada
subjek pertimbangan etis yang salah tempat.
Prinsip
ini juga berlaku untuk pengambilan keputusan yang digerakkan oleh AI di
bidang-bidang kritis seperti hukum, perawatan kesehatan, dan peperangan. AI
yang etis harus menghormati martabat manusia dengan memperkuat tanggung jawab
moral daripada menggantikan agen manusia. Bias algoritmik dalam kepolisian
prediktif, perekrutan otomatis, dan penilaian kredit menyoroti risiko
mengandalkan AI tanpa perlindungan etika yang tepat. Karena kebenaran mengikuti
keberadaan, sistem AI harus dirancang dengan transparansi dan keadilan agar
selaras dengan prinsip-prinsip moral objektif daripada melanggengkan
ketidakadilan.
AI dan
Pendidikan: Tantangan Pembelajaran Holistik
Pendidikan,
menurut Aquinas, bukan hanya tentang transmisi informasi tetapi juga penanaman
kebijaksanaan dan kebajikan. Alat pembelajaran berbasis AI, meskipun berharga
untuk mempersonalisasi pendidikan, tidak boleh menggantikan guru manusia atau
mengurangi pendidikan menjadi pengoptimalan algoritmik. Belajar pada dasarnya
adalah pengalaman manusia yang melibatkan perjuangan intelektual, dialog, dan
pengembangan pemikiran kritis.
Selain
itu, penilaian berbasis AI dan teknologi pengawasan, jika disalahgunakan,
berisiko memperlakukan siswa sebagai titik data daripada individu yang memiliki
nilai intrinsik. Penilaian algoritmik dan jalur pembelajaran yang
dipersonalisasi harus dikelola dengan hati-hati untuk memastikan mereka
mendukung perkembangan intelektual yang otentik daripada menumbuhkan kepasifan
atau merusak integritas pendidikan. AI harus digunakan untuk memfasilitasi
keterlibatan sejati dengan kebenaran, memperkuat gagasan bahwa pengetahuan
harus berakar pada kenyataan daripada pola yang dihasilkan secara artifisial.
AI dan
Kreativitas: Sastra dan Musik
Salah satu
kekhawatiran paling mendesak mengenai AI adalah dampaknya terhadap kreativitas,
terutama di bidang-bidang seperti sastra dan musik. Kreativitas, dari
perspektif Thomistik, adalah kapasitas unik manusia yang terkait dengan
kecerdasan, imajinasi, dan pencarian makna. Meskipun AI dapat menghasilkan
teks, menggubah musik, dan menghasilkan seni visual, ia tidak terlibat dalam
pemikiran kreatif yang sebenarnya—ia hanya menggabungkan kembali pola yang ada
tanpa wawasan asli atau kedalaman emosional.
Dalam
sastra, cerita dan esai yang dihasilkan AI menantang gagasan tradisional
tentang kepenulisan dan orisinalitas. Meskipun AI dapat membantu penulis dalam
mengatasi hambatan kreatif atau menghasilkan variasi gaya, ketergantungan yang
berlebihan pada konten yang dihasilkan mesin berisiko menipiskan elemen manusia
dalam bercerita—kemampuan untuk menyampaikan pengalaman pribadi, refleksi
moral, dan maksud artistik. Sastra lebih dari sekadar jumlah kata-katanya; itu
adalah media untuk mengekspresikan kompleksitas sifat manusia, sesuatu yang
tidak dapat ditiru secara otentik oleh AI.
Demikian
pula, dalam musik, alat komposisi yang digerakkan oleh AI dapat menghasilkan
simfoni, lagu, dan remix, tetapi tidak memiliki jiwa ekspresi manusia. Musik
sangat terkait dengan emosi, budaya, dan pengalaman hidup, menjadikannya bentuk
seni yang melampaui pengaturan teknis belaka. Meskipun AI dapat menjadi alat
yang berharga bagi musisi, perannya harus dilihat sebagai augmentatif daripada
kreatif itu sendiri. Jika penciptaan musik direduksi menjadi generasi
algoritmik, itu berisiko menjadi formulaik dan terlepas dari dorongan manusia
yang lebih dalam yang membuat seni bermakna.
Kesimpulan
Saat AI
terus membentuk masyarakat, veritas sequitur esse berfungsi sebagai
pengaman filosofis yang penting, mengingatkan kita bahwa kebenaran, martabat,
dan kreativitas harus didasarkan pada realitas keberadaan manusia. AI harus
meningkatkan, bukan menggantikan, kapasitas manusia—baik dalam etika,
pendidikan, atau ekspresi kreatif. Dengan memastikan bahwa teknologi selaras
dengan prinsip-prinsip moral objektif daripada mengikisnya, kita dapat
memanfaatkan AI secara bertanggung jawab untuk melayani umat manusia sambil
melestarikan keunikan kecerdasan, martabat, dan ekspresi artistik manusia.
0 komentar:
Posting Komentar