Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Rabu, 12 Maret 2025

AI, Martabat Manusia, dan Relevansi Veritas Sequitur Esse

Prinsip veritas sequitur esse ("kebenaran mengikuti keberadaan") adalah konsep dasar dalam filsafat Thomistik, menegaskan bahwa kebenaran secara intrinsik terikat dengan realitas. Gagasan ini tetap sangat relevan dalam perdebatan etika kontemporer, terutama mengenai kecerdasan buatan (AI) dan implikasinya terhadap martabat manusia, pengambilan keputusan, pendidikan, dan kreativitas. Ketika sistem AI menjadi semakin terintegrasi ke dalam masyarakat, penting untuk mengevaluasi peran mereka dalam terang prinsip-prinsip moral dan metafisik yang objektif untuk memastikan mereka meningkatkan, daripada merusak, martabat manusia dan integritas etika.

 

AI, Martabat Manusia, dan Pengambilan Keputusan Etis

Gagasan Aquinas bahwa kebenaran berakar pada keberadaan menyiratkan bahwa martabat manusia tidak bergantung pada kondisi eksternal seperti kecerdasan atau produktivitas tetapi melekat dalam sifat keberadaan manusia. Sebaliknya, AI, terlepas dari kemampuannya untuk meniru proses kognitif, tidak memiliki esse (keberadaan sejati) dan, akibatnya, martabat intrinsik atau nilai moral. Perbedaan ini sangat penting dalam perdebatan tentang kepribadian dan hak AI. Meskipun AI dapat memproses data dan menghasilkan output, ia tidak memiliki kesadaran diri, kehendak bebas, atau tanggung jawab moral. Mengenali perbedaan ini memastikan bahwa AI tetap menjadi alat untuk kepentingan manusia daripada subjek pertimbangan etis yang salah tempat.

 

Prinsip ini juga berlaku untuk pengambilan keputusan yang digerakkan oleh AI di bidang-bidang kritis seperti hukum, perawatan kesehatan, dan peperangan. AI yang etis harus menghormati martabat manusia dengan memperkuat tanggung jawab moral daripada menggantikan agen manusia. Bias algoritmik dalam kepolisian prediktif, perekrutan otomatis, dan penilaian kredit menyoroti risiko mengandalkan AI tanpa perlindungan etika yang tepat. Karena kebenaran mengikuti keberadaan, sistem AI harus dirancang dengan transparansi dan keadilan agar selaras dengan prinsip-prinsip moral objektif daripada melanggengkan ketidakadilan.

 

AI dan Pendidikan: Tantangan Pembelajaran Holistik

Pendidikan, menurut Aquinas, bukan hanya tentang transmisi informasi tetapi juga penanaman kebijaksanaan dan kebajikan. Alat pembelajaran berbasis AI, meskipun berharga untuk mempersonalisasi pendidikan, tidak boleh menggantikan guru manusia atau mengurangi pendidikan menjadi pengoptimalan algoritmik. Belajar pada dasarnya adalah pengalaman manusia yang melibatkan perjuangan intelektual, dialog, dan pengembangan pemikiran kritis.

 

Selain itu, penilaian berbasis AI dan teknologi pengawasan, jika disalahgunakan, berisiko memperlakukan siswa sebagai titik data daripada individu yang memiliki nilai intrinsik. Penilaian algoritmik dan jalur pembelajaran yang dipersonalisasi harus dikelola dengan hati-hati untuk memastikan mereka mendukung perkembangan intelektual yang otentik daripada menumbuhkan kepasifan atau merusak integritas pendidikan. AI harus digunakan untuk memfasilitasi keterlibatan sejati dengan kebenaran, memperkuat gagasan bahwa pengetahuan harus berakar pada kenyataan daripada pola yang dihasilkan secara artifisial.

 

AI dan Kreativitas: Sastra dan Musik

Salah satu kekhawatiran paling mendesak mengenai AI adalah dampaknya terhadap kreativitas, terutama di bidang-bidang seperti sastra dan musik. Kreativitas, dari perspektif Thomistik, adalah kapasitas unik manusia yang terkait dengan kecerdasan, imajinasi, dan pencarian makna. Meskipun AI dapat menghasilkan teks, menggubah musik, dan menghasilkan seni visual, ia tidak terlibat dalam pemikiran kreatif yang sebenarnya—ia hanya menggabungkan kembali pola yang ada tanpa wawasan asli atau kedalaman emosional.

 

Dalam sastra, cerita dan esai yang dihasilkan AI menantang gagasan tradisional tentang kepenulisan dan orisinalitas. Meskipun AI dapat membantu penulis dalam mengatasi hambatan kreatif atau menghasilkan variasi gaya, ketergantungan yang berlebihan pada konten yang dihasilkan mesin berisiko menipiskan elemen manusia dalam bercerita—kemampuan untuk menyampaikan pengalaman pribadi, refleksi moral, dan maksud artistik. Sastra lebih dari sekadar jumlah kata-katanya; itu adalah media untuk mengekspresikan kompleksitas sifat manusia, sesuatu yang tidak dapat ditiru secara otentik oleh AI.

Demikian pula, dalam musik, alat komposisi yang digerakkan oleh AI dapat menghasilkan simfoni, lagu, dan remix, tetapi tidak memiliki jiwa ekspresi manusia. Musik sangat terkait dengan emosi, budaya, dan pengalaman hidup, menjadikannya bentuk seni yang melampaui pengaturan teknis belaka. Meskipun AI dapat menjadi alat yang berharga bagi musisi, perannya harus dilihat sebagai augmentatif daripada kreatif itu sendiri. Jika penciptaan musik direduksi menjadi generasi algoritmik, itu berisiko menjadi formulaik dan terlepas dari dorongan manusia yang lebih dalam yang membuat seni bermakna.

 

Kesimpulan

Saat AI terus membentuk masyarakat, veritas sequitur esse berfungsi sebagai pengaman filosofis yang penting, mengingatkan kita bahwa kebenaran, martabat, dan kreativitas harus didasarkan pada realitas keberadaan manusia. AI harus meningkatkan, bukan menggantikan, kapasitas manusia—baik dalam etika, pendidikan, atau ekspresi kreatif. Dengan memastikan bahwa teknologi selaras dengan prinsip-prinsip moral objektif daripada mengikisnya, kita dapat memanfaatkan AI secara bertanggung jawab untuk melayani umat manusia sambil melestarikan keunikan kecerdasan, martabat, dan ekspresi artistik manusia.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive