Konsep Persepuluhan dalam Gereja Katolik Dan bagaimana Dukungan Finansial Gereja Katolik di Indonesia
Pendahuluan
Persepuluhan
adalah praktik memberikan sepersepuluh dari pendapatan kepada Gereja atau
keperluan amal. Kata persepuluhan dalam bahasa Inggrisnya tithe dari teote: a
tenth part of something paid as a voluntary contribution or as a tax especially
for the support of a religious establishment Meskipun sering dikaitkan
dengan ajaran Alkitab dan sejarah Gereja, penerapannya dalam Gereja Katolik di
Indonesia tidak bersifat wajib. Sebaliknya, umat Katolik didorong untuk
mendukung Gereja berdasarkan kemampuan dan keikhlasan. Kita akan membahas
konsep persepuluhan, praktiknya di Indonesia, serta bagaimana gereja lokal
memperoleh dukungan finansial setelah kepergian misionaris asing.
Sejarah dan
Makna Persepuluhan
Dalam
Perjanjian Lama, persepuluhan merupakan bagian dari Hukum Taurat yang mengatur
pemberian sepersepuluh dari hasil panen dan ternak kepada Tuhan.
Persepuluhan juga ditemukan dalam
berbagai budaya kuno sebagai bentuk penghormatan kepada dewa atau pajak kepada
penguasa. Dalam Perjanjian Baru, Yesus dan para rasul menekankan
pentingnya memberi dengan sukarela tanpa persentase tertentu.
Dalam sejarah
Gereja, praktik persepuluhan mulai diberlakukan secara formal di beberapa
wilayah Eropa pada abad ke-6. Konsili Tours (567 M) dan Konsili Macon (585 M)
di Prancis menetapkan persepuluhan sebagai kewajiban bagi umat untuk mendukung
Gereja. Selama Abad Pertengahan, persepuluhan menjadi praktik yang diterapkan
di banyak negara Eropa, dan hasilnya digunakan untuk membiayai kebutuhan
Gereja, termasuk pemeliharaan bangunan, kesejahteraan para imam, dan bantuan
kepada kaum miskin.
Pada masa
Reformasi Protestan (abad ke-16), sistem persepuluhan mengalami perubahan
besar. Di negara-negara yang menjadi Protestan, persepuluhan tetap
dipertahankan sebagai bentuk pajak gerejawi yang dikelola oleh negara.
Sementara itu, di wilayah Katolik, praktik ini semakin fleksibel dan bergantung
pada kebijakan gereja setempat. Setelah Revolusi Prancis (akhir abad ke-18),
banyak negara Eropa menghapus persepuluhan wajib dan menggantinya dengan sistem
sumbangan sukarela.
Dalam Gereja
Katolik modern, terutama setelah Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja
menekankan bahwa dukungan terhadap Gereja bukan lagi dalam bentuk persepuluhan
wajib, melainkan dalam bentuk persembahan sukarela sesuai kemampuan umat.
Prinsip ini diterapkan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Persepuluhan
dalam Gereja Katolik di Indonesia
Gereja
Katolik di Indonesia tidak mewajibkan persepuluhan. Katekismus Gereja Katolik
(No. 2043) menegaskan bahwa umat memiliki kewajiban untuk mendukung Gereja,
tetapi tidak dalam bentuk persentase tetap. “Umat beriman juga berkewajiban
menyumbangkan untuk kebutuhan material Gereja sesuai dengan kemampuannya Bdk.
CIC, can. 222.”
Kan. 222 §1 |
Kaum beriman kristiani terikat
kewajiban untuk membantu memenuhi kebutuhan Gereja, agar tersedia baginya
yang perlu untuk ibadat ilahi, karya kerasulan dan amal-kasih serta
sustentasi yang wajar para pelayan. |
Kan. 222 §2 |
Mereka juga terikat kewajiban untuk
memajukan keadilan sosial dan juga, mengingat perintah Tuhan, membantu
orang-orang miskin dengan penghasilannya sendiri. |
Gereja lebih
menekankan pemberian yang sukarela dan didasarkan pada keikhlasan hati umat.
Praktik
Persepuluhan pada Masa Kolonial Belanda
Selama masa
kolonial Belanda, terutama di bawah kekuasaan VOC, Gereja Katolik mengalami
penindasan dan tidak menerima dukungan resmi dari pemerintah. Gereja Protestan
yang didukung oleh pemerintah kolonial terkadang menerima dana dari pajak
gerejawi. Setelah VOC bubar dan Belanda mengambil alih secara langsung,
kebebasan beragama meningkat, tetapi tidak ada kewajiban persepuluhan bagi umat
Katolik.
Dukungan Finansial bagi Misionaris di
Indonesia
Para misionaris Portugis dan Belanda
mendapatkan dukungan finansial dari berbagai sumber:
1.
Misionaris Portugis: Didukung oleh
sistem Padroado Real, di mana Raja Portugal menyediakan dana untuk misi
Katolik.
2. Misionaris Belanda: Beberapa menerima
bantuan dari pemerintah kolonial, organisasi misionaris, dan sumbangan dari
gereja di Eropa.
3. Kegiatan Sosial: Misionaris juga
mendirikan sekolah dan rumah sakit yang mendapat dukungan dari komunitas
setempat dan kadang dari perusahaan swasta.
Dukungan Finansial Gereja Lokal
setelah Misionaris Pergi
Setelah para misionaris asing
meninggalkan Indonesia, gereja lokal harus mengelola keuangannya sendiri.
Beberapa strategi yang dilakukan antara lain:
1. Pengembangan Kepemimpinan Lokal –
Gereja melatih pemimpin pribumi untuk menggantikan peran misionaris.
2. Kontekstualisasi Ajaran dan Praktik
Gereja – Gereja menyesuaikan ajaran dan liturgi agar lebih relevan dengan
budaya setempat.
3.
Kemandirian Finansial – Gereja
mengandalkan persembahan jemaat, donasi, dan usaha mandiri seperti koperasi.
4.
Pelayanan Sosial dan Pendidikan –
Gereja lokal meneruskan tradisi mendirikan sekolah dan layanan kesehatan untuk
mendukung komunitasnya.
Sumber
Dukungan Finansial Gereja Lokal di Indonesia
Gereja-gereja
lokal mendapatkan dana dari berbagai sumber, antara lain:
- Persembahan Umat – Melalui persembahan
mingguan, persembahan syukur, dan persembahan khusus.
- Persepuluhan
(Opsional) – Beberapa gereja Protestan menerapkan persepuluhan sebagai
sumber dana.
- Donasi dan Sumbangan Lainnya – Dari individu
atau organisasi yang mendukung kegiatan gereja.
- Kegiatan
Usaha – Beberapa gereja mengembangkan bisnis kecil untuk membantu
operasional mereka.
- Kemitraan
dengan Lembaga Kristen – Gereja bekerja sama dengan lembaga lain dalam
program sosial dan ekonomi.
Kesimpulan
Meskipun persepuluhan bukan kewajiban
dalam Gereja Katolik Indonesia, umat tetap memiliki tanggung jawab untuk
mendukung Gereja secara finansial. Setelah para misionaris asing pergi,
gereja-gereja lokal berupaya untuk mandiri dengan mengembangkan kepemimpinan
lokal, menyesuaikan ajaran dengan budaya setempat, dan mengelola keuangan
dengan transparan. Dengan sistem pendanaan yang fleksibel dan berbasis
kontribusi sukarela, Gereja tetap mampu menjalankan misinya di tengah
masyarakat Indonesia.
Meskipun Gereja mengajarkan bahwa memberikan
beberapa bentuk dukungan materi kepada Gereja adalah wajib bagi semua orang
dewasa Katolik yang mampu melakukannya, itu tidak menentukan berapa persen dari
pendapatan seseorang yang harus diberikan. Ingat, persepuluhan adalah kewajiban
Perjanjian Lama yang diwajibkan pada orang Yahudi di bawah Hukum Musa.
Orang-orang Kristen dibebaskan dari kewajiban persepuluhan sepuluh persen dari
pendapatan mereka, tetapi tidak dari kewajiban untuk membantu Gereja.
Kunci untuk memahami bagaimana Allah
ingin kita memberi kepada Gereja ditemukan dalam 1 Korintus 16:2, "Pada
hari pertama minggu [Minggu] masing-masing dari kamu harus menyisihkan apa pun
yang dia mampu," dan dalam 2 Korintus 9:5-8,
Jadi saya pikir perlu untuk mendorong
saudara-saudara untuk pergi ke depan Anda dan mengatur terlebih dahulu untuk
hadiah yang Anda janjikan [sumbangan], sehingga dengan cara ini dapat siap
sebagai hadiah yang berlimpah dan bukan sebagai peruntukan. Pertimbangkan ini:
Siapa pun yang menabur dengan hemat juga akan menuai dengan hemat, dan siapa
pun yang menabur dengan banyak juga akan menuai dengan banyak. Masing-masing
harus melakukan apa yang telah ditentukan tanpa kesedihan atau paksaan, karena
Tuhan mengasihi pemberi yang ceria. Selain itu, Tuhan mampu membuat setiap
kasih karunia berlimpah bagimu, sehingga dalam segala hal, selalu memiliki
semua yang engkau butuhkan, engkau dapat memiliki kelimpahan untuk setiap
pekerjaan yang baik.
Dengan Kata Lain: Tuhan tidak
menuntut jumlah uang yang tetap dari kita; Dia ingin kita memberi dari hati.
Jika orang dipaksa oleh gereja mereka untuk memberikan persentase tertentu dari
pendapatan mereka, itu adalah pemerasan. Jika mereka memberi dengan bebas dan
ceria seberapa jumlah yang kita mampu, itu adalah persembahan, gift hadiah.
0 komentar:
Posting Komentar