Menjawab Kritik Budi Asali dan Loraine Boettner: Klarifikasi Ajaran Iman Katolik
Oleh: Patris Allegro
Pendahuluan
Kritik
terhadap Gereja Katolik seringkali berulang dalam pola dan sumber yang sama,
terutama dari kalangan Reformed. Salah satu sumber favorit adalah buku Roman
Catholicism karya Loraine Boettner, yang oleh para sarjana Katolik maupun
non-Katolik telah lama dikritik sebagai contoh buruk dari penelitian teologis
yang bias dan tidak akurat. Budi Asali, yang menyusun pengajarannya dengan
merujuk pada Boettner, mengulang tuduhan-tuduhan lama dengan kemasan baru:
Gereja Katolik dituduh menambah ajaran Alkitab, menyembah berhala, dan
menyimpang sejak abad ke-4.
Artikel ini
bertujuan untuk membantah klaim-klaim tersebut secara sistematis dan
menunjukkan bahwa ajaran Katolik tidak hanya alkitabiah, tetapi juga berdasar
pada Tradisi Apostolik dan konsisten sepanjang sejarah Gereja.
I. Tentang Sumber dan Metodologi: Kritik terhadap
Boettner dan Budi Asali
Boettner bukan seorang sejarawan Gereja atau teolog Katolik.
Ia menulis Roman Catholicism pada tahun 1962, dan sejak itu bukunya
menjadi semacam "kitab suci" anti-Katolik bagi banyak pengkritik
Protestan. Masalah utamanya adalah penggunaan kutipan yang tidak akurat, logika
simplistik, dan pemahaman yang keliru tentang doktrin Katolik. Budi Asali,
dengan meniru Boettner, mengulangi kesalahan yang sama: menilai doktrin Katolik
hanya dari luar, tanpa merujuk pada dokumen magisterial resmi atau penjelasan
Gereja sendiri.
II. Soal Keselamatan: Apakah Katolik Menolak “Sola Fide”?
Klaim: Gereja Katolik mengajarkan keselamatan melalui
iman plus perbuatan, yang berarti menolak keselamatan karena iman saja (sola
fide).
Tanggapan Katolik:
Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan adalah karunia
murni dari Allah, diterima melalui iman, tetapi iman yang hidup dan bekerja
dalam kasih (lih. Gal 5:6). Yakobus 2:24 menyatakan dengan jelas: “Kamu
lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya
karena iman.” Maka, iman yang menyelamatkan bukanlah iman yang mati atau
hanya deklaratif.
Kesalahpahaman Boettner dan Budi Asali terletak pada
dikotomi palsu antara iman dan perbuatan, seolah keduanya saling meniadakan.
Padahal, iman yang sejati menghasilkan buah, dan itu adalah perbuatan kasih.
Ini bukanlah legalisme, tetapi partisipasi dalam rahmat Kristus.
III.
Otoritas: Alkitab Saja atau Bersama Tradisi dan Magisterium?
Klaim: Gereja Katolik menambahkan sumber
otoritas di luar Alkitab, yaitu tradisi dan Paus.
Tanggapan
Katolik:
Katolik
tidak menolak Alkitab—bahkan Katolik yang menghimpun dan menetapkan kanon
Alkitab. Tetapi Gereja sejak awal hidup dari tiga pilar otoritatif: Kitab
Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium (pengajaran resmi Gereja).
Alkitab
sendiri tidak pernah mengajarkan sola scriptura. Bahkan 2 Tesalonika
2:15 menyatakan, “Sebab itu, berdirilah teguh dan peganglah segala ajaran
yang kamu terima dari kami, baik secara lisan maupun tertulis.” Dengan kata
lain, tradisi lisan dan tertulis memiliki otoritas yang sama.
Paus
bukanlah “pengganti Alkitab,” tetapi pelayan sabda dan pengikat kesatuan
Gereja, sesuai dengan mandat Petrus (lih. Mat 16:18-19, Yoh 21:15-17).
IV.
Maria dan Para Kudus: Apakah Penyembahan atau Penghormatan?
Klaim: Penghormatan Katolik kepada Maria
dan para kudus adalah penyembahan berhala.
Tanggapan
Katolik:
Ini adalah
kesalahan terminologis. Dalam ajaran Katolik, hanya Allah yang disembah (latria).
Maria dan para kudus dihormati (dulia) dan Maria secara istimewa diberi
penghormatan khusus (hyperdulia) karena perannya sebagai Bunda Allah
(Theotokos).
Menghormati
orang kudus bukanlah menyembah mereka, sebagaimana kita menghormati orang tua,
guru, atau pahlawan nasional tanpa menyembah mereka. Kita juga meminta doa mereka, sama seperti
meminta doa dari teman. Apakah meminta teman mendoakan kita berarti kita
menjadikan dia “perantara pengganti Kristus”? Tentu tidak.
V. Api Penyucian: Alkitabiah atau Rekayasa Abad ke-6?
Klaim: Doktrin api penyucian ditemukan tahun 593 dan
tidak alkitabiah.
Tanggapan Katolik:
Doktrin api penyucian berasal dari prinsip kasih dan
keadilan Allah. Orang yang mati dalam rahmat tetapi belum sepenuhnya suci akan
dimurnikan (lih. 1 Kor 3:15). Juga dalam 2 Makabe 12:45 (kitab yang ditolak
oleh kalangan Protestan setelah Reformasi), tertulis bahwa doa bagi orang
mati adalah hal yang baik dan saleh.
Bahkan para Bapa Gereja awal seperti St. Augustine dan St.
Gregory Nyssa sudah menyebutkan api penyucian jauh sebelum 593. Jadi bukan
penemuan, tapi klarifikasi dan perkembangan doktrin.
VI.
Transubstansiasi: Iman Mistik, Bukan Magis
Klaim: Transubstansiasi tidak alkitabiah
dan baru muncul di abad pertengahan.
Tanggapan
Katolik:
Transubstansiasi
adalah istilah filosofis untuk menjelaskan realitas rohani: bahwa roti dan
anggur sungguh menjadi Tubuh dan Darah Kristus (lih. Yoh 6:51-56, Mat
26:26-28). Gereja tidak “menemukan” ini, tetapi menjelaskannya dengan kategori
metafisika Aristotelian.
Istilahnya
memang dipertegas pada Konsili Lateran IV (1215), tetapi iman akan Kehadiran
Nyata Kristus sudah sejak awal Gereja. Lihat tulisan St. Ignatius dari
Antiokhia (abad ke-1) yang menyebut Ekaristi sebagai “daging Yesus Kristus”.
VII.
Bahasa Latin, Sakramen, dan Lain-lain: Apakah Semua Tambahan?
Klaim: Penggunaan bahasa Latin, 7
sakramen, dan doa Rosario adalah penambahan manusiawi.
Tanggapan
Katolik:
Bahasa
Latin bukanlah sarana pengaburan, tetapi simbol kesatuan liturgi. Banyak umat
awam kala itu paham bahasa Latin, dan bahkan kini banyak bagian liturgi sudah
dalam bahasa lokal.
Soal
sakramen, semua 7 memiliki dasar dalam Kitab Suci. Protestan memang
hanya mengakui 2 secara eksplisit, tetapi itu bukan berarti yang lain “tidak
alkitabiah”. Misalnya:
- Pengurapan
orang sakit (lih. Yak 5:14-15),
- Imamat
(lih. Yoh 20:22-23),
- Pernikahan
(lih. Ef 5:31-32),
- Penguatan
(lih. Kis 8:14-17),
- Pengakuan
dosa (lih. Yoh 20:23).
Doa Rosario
bukan mantra, tapi meditasi atas Injil bersama Maria. Ulangan doa
hanyalah bentuk kontemplatif, bukan pemaksaan kepada Tuhan.
Penutup: Siapa yang Menambah-Nambahkan?
Ironisnya, para pengkritik Katolik seperti Boettner dan Budi
Asali sering kali menuduh Gereja menambah-nambahkan ajaran. Namun mereka
sendiri telah menolak Tradisi Apostolik yang menjadi bagian integral dari
pewahyuan Kristen (lih. 2 Tes 2:15), dan membangun gereja-gereja baru di luar
garis historis Gereja yang didirikan Kristus.
Sebagai umat Katolik, kita tidak takut terhadap
pertanyaan—tetapi kita harus menjawab dengan akal budi, kasih, dan kejujuran
sejarah. Gereja Katolik bukanlah gereja buatan manusia, tetapi Tubuh Kristus
yang satu, kudus, katolik, dan apostolik—yang dijaga oleh Roh Kudus sepanjang
zaman.
0 komentar:
Posting Komentar