Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Senin, 07 April 2025

Menjawab Kritik Budi Asali dan Loraine Boettner: Klarifikasi Ajaran Iman Katolik

 Oleh: Patris Allegro

Pendahuluan

Kritik terhadap Gereja Katolik seringkali berulang dalam pola dan sumber yang sama, terutama dari kalangan Reformed. Salah satu sumber favorit adalah buku Roman Catholicism karya Loraine Boettner, yang oleh para sarjana Katolik maupun non-Katolik telah lama dikritik sebagai contoh buruk dari penelitian teologis yang bias dan tidak akurat. Budi Asali, yang menyusun pengajarannya dengan merujuk pada Boettner, mengulang tuduhan-tuduhan lama dengan kemasan baru: Gereja Katolik dituduh menambah ajaran Alkitab, menyembah berhala, dan menyimpang sejak abad ke-4.

Artikel ini bertujuan untuk membantah klaim-klaim tersebut secara sistematis dan menunjukkan bahwa ajaran Katolik tidak hanya alkitabiah, tetapi juga berdasar pada Tradisi Apostolik dan konsisten sepanjang sejarah Gereja.


I. Tentang Sumber dan Metodologi: Kritik terhadap Boettner dan Budi Asali

Boettner bukan seorang sejarawan Gereja atau teolog Katolik. Ia menulis Roman Catholicism pada tahun 1962, dan sejak itu bukunya menjadi semacam "kitab suci" anti-Katolik bagi banyak pengkritik Protestan. Masalah utamanya adalah penggunaan kutipan yang tidak akurat, logika simplistik, dan pemahaman yang keliru tentang doktrin Katolik. Budi Asali, dengan meniru Boettner, mengulangi kesalahan yang sama: menilai doktrin Katolik hanya dari luar, tanpa merujuk pada dokumen magisterial resmi atau penjelasan Gereja sendiri.


II. Soal Keselamatan: Apakah Katolik Menolak “Sola Fide”?

Klaim: Gereja Katolik mengajarkan keselamatan melalui iman plus perbuatan, yang berarti menolak keselamatan karena iman saja (sola fide).

Tanggapan Katolik:

Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan adalah karunia murni dari Allah, diterima melalui iman, tetapi iman yang hidup dan bekerja dalam kasih (lih. Gal 5:6). Yakobus 2:24 menyatakan dengan jelas: “Kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.” Maka, iman yang menyelamatkan bukanlah iman yang mati atau hanya deklaratif.

Kesalahpahaman Boettner dan Budi Asali terletak pada dikotomi palsu antara iman dan perbuatan, seolah keduanya saling meniadakan. Padahal, iman yang sejati menghasilkan buah, dan itu adalah perbuatan kasih. Ini bukanlah legalisme, tetapi partisipasi dalam rahmat Kristus.


III. Otoritas: Alkitab Saja atau Bersama Tradisi dan Magisterium?

Klaim: Gereja Katolik menambahkan sumber otoritas di luar Alkitab, yaitu tradisi dan Paus.

Tanggapan Katolik:

Katolik tidak menolak Alkitab—bahkan Katolik yang menghimpun dan menetapkan kanon Alkitab. Tetapi Gereja sejak awal hidup dari tiga pilar otoritatif: Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium (pengajaran resmi Gereja).

Alkitab sendiri tidak pernah mengajarkan sola scriptura. Bahkan 2 Tesalonika 2:15 menyatakan, “Sebab itu, berdirilah teguh dan peganglah segala ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan maupun tertulis.” Dengan kata lain, tradisi lisan dan tertulis memiliki otoritas yang sama.

Paus bukanlah “pengganti Alkitab,” tetapi pelayan sabda dan pengikat kesatuan Gereja, sesuai dengan mandat Petrus (lih. Mat 16:18-19, Yoh 21:15-17).


IV. Maria dan Para Kudus: Apakah Penyembahan atau Penghormatan?

Klaim: Penghormatan Katolik kepada Maria dan para kudus adalah penyembahan berhala.

Tanggapan Katolik:

Ini adalah kesalahan terminologis. Dalam ajaran Katolik, hanya Allah yang disembah (latria). Maria dan para kudus dihormati (dulia) dan Maria secara istimewa diberi penghormatan khusus (hyperdulia) karena perannya sebagai Bunda Allah (Theotokos).

Menghormati orang kudus bukanlah menyembah mereka, sebagaimana kita menghormati orang tua, guru, atau pahlawan nasional tanpa menyembah mereka. Kita juga meminta doa mereka, sama seperti meminta doa dari teman. Apakah meminta teman mendoakan kita berarti kita menjadikan dia “perantara pengganti Kristus”? Tentu tidak.


V. Api Penyucian: Alkitabiah atau Rekayasa Abad ke-6?

Klaim: Doktrin api penyucian ditemukan tahun 593 dan tidak alkitabiah.

Tanggapan Katolik:

Doktrin api penyucian berasal dari prinsip kasih dan keadilan Allah. Orang yang mati dalam rahmat tetapi belum sepenuhnya suci akan dimurnikan (lih. 1 Kor 3:15). Juga dalam 2 Makabe 12:45 (kitab yang ditolak oleh kalangan Protestan setelah Reformasi), tertulis bahwa doa bagi orang mati adalah hal yang baik dan saleh.

Bahkan para Bapa Gereja awal seperti St. Augustine dan St. Gregory Nyssa sudah menyebutkan api penyucian jauh sebelum 593. Jadi bukan penemuan, tapi klarifikasi dan perkembangan doktrin.


VI. Transubstansiasi: Iman Mistik, Bukan Magis

Klaim: Transubstansiasi tidak alkitabiah dan baru muncul di abad pertengahan.

Tanggapan Katolik:

Transubstansiasi adalah istilah filosofis untuk menjelaskan realitas rohani: bahwa roti dan anggur sungguh menjadi Tubuh dan Darah Kristus (lih. Yoh 6:51-56, Mat 26:26-28). Gereja tidak “menemukan” ini, tetapi menjelaskannya dengan kategori metafisika Aristotelian.

Istilahnya memang dipertegas pada Konsili Lateran IV (1215), tetapi iman akan Kehadiran Nyata Kristus sudah sejak awal Gereja. Lihat tulisan St. Ignatius dari Antiokhia (abad ke-1) yang menyebut Ekaristi sebagai “daging Yesus Kristus”.


VII. Bahasa Latin, Sakramen, dan Lain-lain: Apakah Semua Tambahan?

Klaim: Penggunaan bahasa Latin, 7 sakramen, dan doa Rosario adalah penambahan manusiawi.

Tanggapan Katolik:

Bahasa Latin bukanlah sarana pengaburan, tetapi simbol kesatuan liturgi. Banyak umat awam kala itu paham bahasa Latin, dan bahkan kini banyak bagian liturgi sudah dalam bahasa lokal.

Soal sakramen, semua 7 memiliki dasar dalam Kitab Suci. Protestan memang hanya mengakui 2 secara eksplisit, tetapi itu bukan berarti yang lain “tidak alkitabiah”. Misalnya:

  • Pengurapan orang sakit (lih. Yak 5:14-15),
  • Imamat (lih. Yoh 20:22-23),
  • Pernikahan (lih. Ef 5:31-32),
  • Penguatan (lih. Kis 8:14-17),
  • Pengakuan dosa (lih. Yoh 20:23).

Doa Rosario bukan mantra, tapi meditasi atas Injil bersama Maria. Ulangan doa hanyalah bentuk kontemplatif, bukan pemaksaan kepada Tuhan.


Penutup: Siapa yang Menambah-Nambahkan?

Ironisnya, para pengkritik Katolik seperti Boettner dan Budi Asali sering kali menuduh Gereja menambah-nambahkan ajaran. Namun mereka sendiri telah menolak Tradisi Apostolik yang menjadi bagian integral dari pewahyuan Kristen (lih. 2 Tes 2:15), dan membangun gereja-gereja baru di luar garis historis Gereja yang didirikan Kristus.

Sebagai umat Katolik, kita tidak takut terhadap pertanyaan—tetapi kita harus menjawab dengan akal budi, kasih, dan kejujuran sejarah. Gereja Katolik bukanlah gereja buatan manusia, tetapi Tubuh Kristus yang satu, kudus, katolik, dan apostolik—yang dijaga oleh Roh Kudus sepanjang zaman.

 

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget