Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Minggu, 06 April 2025

Tafsir Pribadi di Luar Gereja: Sebuah Kritik Patristik dan Thomistik terhadap Prinsip Sola Scriptura

Pendahuluan Reformasi Protestan pada abad ke-16 menandai salah satu titik balik dalam sejarah Kekristenan. Prinsip "Sola Scriptura" atau "Kitab Suci saja" menjadi fondasi utama gerakan ini. Dengan prinsip ini, para Reformator menolak otoritas Magisterium Gereja Katolik dan menyerukan agar setiap orang Kristen dapat menafsirkan Kitab Suci secara pribadi. Namun, dari sudut pandang tradisi Patristik dan pemikiran Thomistik, pemisahan antara Kitab Suci dan otoritas Gereja bukanlah langkah yang sah secara teologis maupun historis. Artikel ini mengkaji kritik terhadap prinsip tafsir pribadi berdasarkan warisan para Bapa Gereja dan ajaran Santo Thomas Aquinas.

I. Kitab Suci Lahir dari Gereja, Bukan Sebaliknya Para Bapa Gereja dengan tegas mengajarkan bahwa Kitab Suci tidak berdiri sendiri, melainkan lahir dalam konteks kehidupan liturgis dan tradisi apostolik Gereja. Santo Irenaeus dari Lyon menulis, "Apabila seseorang ingin mengetahui kebenaran, maka ia harus bertanya kepada mereka yang telah menerima pengajaran dari para rasul" (Against Heresies, III.4.1). Demikian pula, Santo Athanasius menegaskan bahwa Kitab Suci hanya dapat dipahami secara benar dalam terang iman Gereja.

Implikasinya jelas: menafsirkan Kitab Suci di luar Gereja berarti memisahkan teks dari konteks hidup yang melahirkannya. Gereja adalah rahim dari mana Kitab Suci dilahirkan dan dijaga.

II. Gereja sebagai Penafsir Sah Kitab Suci Santo Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae menyatakan, "Kepada Gereja lah dipercayakan penafsiran Kitab Suci" (II-II, q.1, a.10). Ia menyadari bahwa akal budi manusia memiliki keterbatasan dalam memahami kebenaran ilahi. Oleh karena itu, akal tidak boleh menjadi ukuran tertinggi dalam menafsirkan wahyu. Wahyu ilahi harus dijelaskan dalam terang otoritas Gereja, yang menerima mandat dari Kristus melalui para rasul.

Dalam pandangan Thomistik, akal budi tunduk kepada iman, dan iman tunduk kepada otoritas Gereja. Penafsiran pribadi yang dilepaskan dari Magisterium menempatkan individu sebagai tolok ukur kebenaran iman, dan hal ini bertentangan dengan sifat Gereja sebagai "tiang penopang dan dasar kebenaran" (1 Tim 3:15).

III. Bahaya Tafsir Pribadi tanpa Gereja Salah satu akibat dari tafsir pribadi yang tidak dikaitkan dengan otoritas Gereja adalah lahirnya ribuan denominasi dengan ajaran dan tafsir yang saling bertentangan. Ini menimbulkan relativisme doktrinal dan membingungkan umat beriman.

Santo Vincentius dari Lérins (abad ke-5) memberikan kriteria iman yang otentik: "Apa yang diimani oleh semua orang, di semua tempat, dan sepanjang waktu." Tafsir pribadi seringkali gagal memenuhi kriteria ini karena cenderung subjektif dan kontekstual.

IV. Kristus Mendirikan Gereja sebagai Otoritas Pengajar Dalam Injil Matius 16:18-19, Kristus berkata kepada Petrus, "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku..." Dan dalam Matius 28:19-20, Ia memberikan Amanat Agung kepada para rasul. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Kristus mendirikan Gereja dan memberikan otoritas pengajaran kepada para rasul dan penerus mereka.

Kristus tidak memberikan Kitab Suci kepada individu untuk ditafsirkan menurut kehendak pribadi, melainkan mempercayakan pewartaan dan penafsiran kepada Gereja yang adalah tubuh-Nya sendiri.

V. Analogi Final: Surat dari Raja Kitab Suci dapat dianalogikan sebagai surat cinta dari Raja kepada umat-Nya. Surat tersebut hanya dapat dijelaskan secara sah oleh para utusan resmi sang Raja. Jika setiap warga merasa berhak menafsirkan surat tersebut sesuka hati, maka maksud asli sang Raja akan hilang dan kekacauan pun terjadi.

Demikianlah, menafsirkan Kitab Suci di luar Gereja berarti membajak surat kerajaan dan menuliskan ulang isinya tanpa otoritas.

Kesimpulan Dalam terang ajaran Patristik dan Thomistik, jelas bahwa Kitab Suci tidak dapat dipisahkan dari Tradisi dan Magisterium Gereja. Gereja adalah penafsir yang sah karena ia menerima mandat langsung dari Kristus dan menjaga kesinambungan ajaran para rasul. Prinsip tafsir pribadi di luar otoritas Gereja bukan hanya keliru secara historis, tetapi juga berisiko besar dalam hal keselamatan iman.

Maka, jalan yang benar bukanlah pemisahan, melainkan pembaruan dalam kesatuan. Gereja selalu terbuka untuk reformasi internal, namun tidak pernah membuka pintu untuk perpecahan otoritas.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget