Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Rabu, 18 Juni 2025

Heretik atau Saudara Terpisah? Menyingkap Konsistensi Ajaran Gereja dalam Semangat Ekumenisme

 

πŸ•Š️ Apakah Konsili Vatikan II benar-benar mengubah cara Gereja memandang umat Protestan? Atau kita hanya salah memahami cara Gereja berbicara kepada dunia yang berubah?


πŸ” Salah Tafsir, Salah Arah

Banyak umat Katolik – bahkan yang tulus dan setia – kadang tanpa sadar terjebak dalam cara berpikir yang keliru tentang Konsili Vatikan II. Mereka mengira bahwa ajaran Gereja telah berubah. Terutama dalam hal ekumenisme, muncul kebingungan: dulu Protestan disebut heretik, sekarang mereka disebut saudara terpisah. Bukankah itu perubahan doktrin?

Ternyata tidak. Ini adalah kasus klasik salah hermeneutika. Dan itulah yang dijelaskan secara tajam oleh Wade St. Onge dalam artikelnya “Continuity & Ecumenism: Heretics or Separated Brethren?”


🧭 Dua Jalan Menafsir: Kontinuitas vs Diskontinuitas

Paus Benediktus XVI pernah memperingatkan kita: ada dua cara orang memahami Vatikan II. Yang satu disebut hermeneutika diskontinuitas dan ruptur – seolah-olah Konsili adalah revolusi yang memutus ajaran sebelumnya. Yang lain adalah hermeneutika kontinuitas dan reformasi, yakni membaca Vatikan II sebagai kelanjutan dari tradisi yang sama, tapi dengan pembaruan pastoral sesuai zaman.

Gereja secara resmi menegaskan: kita harus mengikuti hermeneutika kontinuitas. Apa artinya? Bahwa Vatikan II tidak membatalkan ajaran sebelumnya, melainkan mengungkapkannya dengan cara baru agar lebih bisa dimengerti di dunia modern.


πŸ’¬ Dari “Heretik” ke “Saudara Terpisah”: Retorika atau Dogma?

Sebagian orang seperti Dr. Alan Schreck berpendapat bahwa Vatikan II melakukan pergeseran radikal karena mengubah cara Gereja menyebut Protestan. Dulu mereka disebut heretik, sekarang disebut saudara seiman.

Namun ini bukan soal perubahan doktrin, melainkan perubahan pendekatan komunikasi.

πŸ“˜ Apa itu heretik?

Secara teologis, heretik adalah orang yang secara sadar dan sengaja menolak ajaran iman Katolik. Tapi sejak dulu, Gereja membedakan antara:

  • Formal heresy: dilakukan secara sadar dan disengaja (dosa berat).

  • Material heresy: dilakukan karena ketidaktahuan, tanpa niat jahat (tidak berdosa secara pribadi).

Banyak umat Protestan lahir dalam tradisi mereka. Mereka mewarisi ajaran yang keliru, bukan menolaknya secara sadar. Maka mereka tidak dianggap heretik formal, tapi heretik material.


πŸ›️ Tradisi Tetap, Bahasa Bisa Fleksibel

Faktanya, bahkan sebelum Vatikan II, para Paus sudah mulai memakai istilah saudara terpisah. Misalnya:

  • Paus Pius XI dalam Mortalium Animos (1928) menyebut non-Katolik sebagai “anak-anak terpisah”.

  • Paus Pius XII memakai istilah yang sama dalam Orientalis Ecclesiae.

Artinya, pendekatan lembut itu bukan temuan baru Vatikan II. Konsili hanya melanjutkan tradisi pastoral tersebut, tanpa mengubah kebenaran teologis bahwa ajaran Protestan tetap menyimpang dari kepenuhan iman Katolik.


✋ Tapi Apakah Gereja Menghindari Kata “Heretik”?

Tidak sepenuhnya. Bahkan Paus Yohanes Paulus II pernah menyebut kelompok Protestan tertentu sebagai “sekte” – istilah klasik untuk aliran bidah. Kardinal Ratzinger juga memakai istilah serupa dalam The Ratzinger Report.

Jadi, Gereja tetap mengakui realitas teologis tentang perpecahan. Tapi dalam semangat dialog dan harapan akan persatuan, Gereja memilih kata-kata yang membangun jembatan, bukan membakar.


πŸ“Œ Jadi Apa Yang Salah?

Kesalahan terbesar adalah mengira bahwa perubahan bahasa = perubahan ajaran. Dr. Schreck salah karena:

  1. Tidak membaca Vatikan II dalam terang ajaran sebelumnya.

  2. Tidak memperhatikan catatan kaki yang selalu menghubungkan dokumen konsili dengan sumber Tradisi.

Dengan kata lain, ia memakai hermeneutika ruptur, padahal yang benar adalah hermeneutika kontinuitas.


🧠 Penutup: Bukan Perubahan Iman, Tapi Pendekatan

Ecumenism bukan kompromi. Vatikan II bukan revolusi. Gereja tidak pernah menyebut terang sebagai gelap atau sesat sebagai kebenaran. Tapi Gereja tahu: kebenaran harus diwartakan dengan kasih. Dan kasih kadang mengubah bahasa, bukan isi.

Jadi, jangan mudah tertipu oleh retorika yang menyederhanakan realitas Gereja. Jika kita ingin setia, kita harus belajar menafsirkan dengan ketaatan – bukan dengan prasangka.


✝️ “Ut unum sint” – agar mereka semua menjadi satu. Doa Yesus tetap menjadi visi Gereja. Tapi jalan menuju kesatuan tidak pernah mengorbankan kebenaran.
Patris Allegro, apologetik jalanan dengan roh konsili dan semangat Aquinas.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive