Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Selasa, 17 Juni 2025

Ketika Alkitab Tak Cukup: Mengapa Sola Scriptura Gagal Menyelamatkan Iman

Satu Alkitab, dua tafsir, hasilnya: kebingungan teologis. Itulah realitas yang terus berulang di dunia Protestan—sebuah tradisi yang sejak awal mendeklarasikan “Scriptura sola!” namun justru menelurkan ribuan interpretasi yang saling bertentangan. Debat demi debat, diskusi demi diskusi, semuanya berpusat pada satu pertanyaan: Apakah Kitab Suci cukup sebagai satu-satunya sumber iman yang infalibel?

Ternyata jawabannya: tidak.

πŸ” Dua Kutub, Satu Kitab

Bayangkan dua pendeta dari dua mazhab Protestan:

  • Yang satu meyakini Yesus bukan Tuhan, hanya manusia pilihan yang diangkat sebagai Mesias.

  • Yang lain membela Yesus sebagai Allah sejati, satu dengan Bapa dalam kodrat ilahi.

Keduanya mengklaim berdiri di atas fondasi yang sama: Kitab Suci. Mereka membedah Yohanes 1, Yohanes 4, Kolose 2, Markus 13, dan 1 Timotius 2. Tetapi alih-alih menjawab, teks-teks itu justru menjadi bahan bakar perdebatan, bukan pemecah masalah.

Jika satu teks bisa melahirkan dua kesimpulan yang saling menegasikan, maka teks itu tidak dapat menjadi otoritas final dan satu-satunya. Itulah titik kegagalan Sola Scriptura.

🧠 Logika yang Dihancurkan oleh Premis Sendiri

Sola Scriptura menjanjikan bahwa siapa saja yang membaca Alkitab, dengan terang Roh Kudus, akan sampai pada kebenaran. Tapi sejarah 500 tahun Protestan membuktikan sebaliknya: yang muncul bukan kesatuan iman, tapi fragmentasi doktrinal—dari Injili, Reformed, Baptis, Pentakosta, hingga Arianisme modern yang menyangkal keilahian Kristus.

Jika Alkitab benar-benar cukup dan jelas, mengapa ada perbedaan interpretasi mendasar tentang siapa Yesus itu?

Perhatikan ini:

Ketika Kitab Suci menjadi sumber perpecahan, ia kehilangan kapasitas menjadi solusi perpecahan.

Itulah ironi Sola Scriptura: menggantungkan iman pada sumber yang tidak bisa menyatukan.

πŸ›️ Jalan Katolik: Tripod Kebenaran

Berhadapan dengan kekacauan epistemologis Protestanisme, Gereja Katolik berdiri kokoh di atas tripod epistemologis:

  1. Kitab Suci

  2. Tradisi Suci

  3. Magisterium (otoritas mengajar Gereja)

Ketika ada perdebatan tafsir, Gereja tidak bergantung pada siapa yang lebih fasih berbahasa Yunani atau lebih lihai mengutip ayat. Gereja merujuk pada Tradisi Apostolik yang hidup, diwariskan secara tak terputus sejak para rasul—dan ditafsir secara sah oleh Magisterium.

Itulah mengapa Gereja mampu menjaga kepercayaan yang sama selama dua milenium:

“Apa yang selalu, di mana-mana, dan oleh semua orang telah dipercaya.” (St. Vincent dari LΓ©rins)

⚖️ Tanpa Tripod, Iman Lumpuh

Seorang Protestan bisa membaca Yohanes 1:1 dan berkata, “Yesus adalah Firman, tapi Firman itu hanya kehendak Allah, bukan Allah sendiri.”
Seorang Katolik membaca ayat yang sama dan tahu bahwa “Verbum caro factum est” (Firman itu telah menjadi daging) berarti Allah benar-benar datang sebagai manusia.

Perbedaannya? Tradisi dan Magisterium menjaga kacamata iman.
Tanpa itu, siapa pun bebas menciptakan “kristologinya” sendiri: Yesus sebagai nabi, Yesus sebagai ciptaan, Yesus sebagai manusia yang dijadikan Tuhan oleh Gereja Romawi.
Dan siapa yang berhak membantahnya? Tak ada. Semua punya “Alkitab.”

πŸ”š Penutup: Bukan Masalah Ayat, Tapi Dasar Iman

Masalah Protestan bukan kurangnya ayat, tetapi gagalnya fondasi epistemologis.
Mereka menolak Tradisi dan Magisterium, lalu berharap Alkitab bisa berbicara sendiri. Tapi teks tanpa tafsir resmi hanya menjadi cermin bias pembaca.

Gereja Katolik tidak anti-Alkitab. Gereja justru melahirkan, mengkanonisasi, dan menjaga Alkitab. Namun Gereja tahu:

Kitab Suci bukan buku petunjuk teknis, tapi sakramen yang hidup dalam tubuh mistik Kristus—yaitu Gereja.

Dan di dalam tubuh itu, iman Katolik tetap utuh, sementara suara Protestan terus pecah.


#TripodKebenaran
#SolaScripturaGagal
#GerejaSatuKudusKatolikApostolik

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive