Mengapa Saya Tidak Menjadi Protestan: Sepuluh Alasan dari Lubuk Akal dan Iman
Ada banyak agama di dunia, dan lebih banyak lagi versi Kekristenan. Namun tak satu pun membuat saya lebih enggan menyebut diri pengikutnya selain cabang yang disebut “Protestanisme.”
Bukan karena saya benci. Justru karena saya menghormati martabat akal dan kemuliaan iman terlalu tinggi untuk menyerah pada sistem teologi yang lahir dari reaksi, hidup dari fragmentasi, dan berdiri di atas ilusi “otoritas pribadi.”
Berikut sepuluh alasan mengapa saya tidak (dan tidak akan) menjadi Protestan—karena iman tidak dibangun di atas pasir emosi, tapi pada fondasi logika dan metafisika.
1. Karena Allah bukan Allah Bingung
Jika Allah adalah Kebenaran, maka kebenaran itu harus satu. Maka perhatikan: dari satu Kitab Suci dan satu Roh Kudus, Protestan melahirkan puluhan ribu denominasi. Satu Tuhan, satu Injil, satu Roh—tapi 45.000 versi gereja?
Itu bukan karya Roh Kudus. Itu gejala spiritual dari pluralisme epistemologis.
Atau dalam bahasa biasa: bukti bahwa “sola scriptura” adalah mesin pengganda perpecahan.
2. Karena Tuhan bukan manajer waralaba
Gereja bukan franchise yang bisa dibuka di setiap ruko, dengan pendeta self-made dan tafsir mandiri. Kristus mendirikan satu Gereja, bukan membuka lowongan pendeta bagi siapa pun yang punya mikrofon dan karisma.
Saya tidak percaya Tuhan sepicik itu dalam mengelola keselamatan umat manusia—seolah Wahyu Ilahi bisa dikelola seperti kedai kopi waralaba.
3. Karena Sabda itu menjadi daging, bukan dokumen
Kristus tidak berkata: “Dan Firman menjadi PDF, dan tinggal di antara kamu.” Tapi: “Firman menjadi daging.”
Protestanisme menggantikan misteri inkarnasi dengan misteri tipografi. Kitab Suci dijadikan satu-satunya otoritas, seolah-olah kertas bisa menggantikan Tubuh Mistis Kristus.
Mereka menyembah halaman, tapi melupakan kehadiran.
Mereka punya teks, tapi kehilangan Gereja.
4. Karena Roh Kudus bukan tukang adu tafsir
Bila dua orang Protestan membaca ayat yang sama dan berakhir pada kesimpulan bertolak belakang, mereka berkata: “Kami sama-sama dipimpin Roh Kudus.”
Benarkah? Apakah Roh Kudus berubah pikiran setiap hari?
Atau justru yang terjadi: Anda meminjam nama Roh Kudus untuk melegitimasi egomu sendiri?
Saya percaya Tuhan konsisten. Tapi Protestanisme adalah simfoni tafsir yang tak pernah seirama.
5. Karena Tuhan tidak mungkin gagal mendirikan Gereja
Jika Gereja Katolik sesat sejak abad pertengahan, maka berarti Kristus gagal memelihara Gereja-Nya.
Tapi jika Kristus gagal, Dia bukan Tuhan. Dan jika Kristus Tuhan, maka Gereja-Nya tak mungkin tenggelam.
Maka saya percaya pada janji Kristus, bukan pada frustrasi Luther.
6. Karena keselamatan bukan kupon diskon
“Sola fide”—iman saja cukup.
Kalau begitu, pertobatan batin, pengurbanan diri, kesucian hidup... semua itu hanya opsional?
Maka saya bertanya: Keselamatan itu anugerah atau ilusi pasar bebas?
Jika iman cukup tanpa perbuatan, maka salib Kristus hanyalah penutup transaksi, bukan undangan untuk ikut menderita.
7. Karena tubuh Kristus bukan ilustrasi
Saya tidak bisa bersujud di depan roti dan anggur yang cuma simbol.
Saya ingin menyatu dengan realitas, bukan dengan pengingat.
Karena Yesus tidak berkata: “Ingatlah ini sebagai simbol.” Tapi: “Inilah tubuh-Ku.”
Jika metafisika hilang, sakramen pun lenyap. Dan tanpa sakramen, tinggal teater khotbah.
8. Karena iman bukan karaoke spiritual
Dalam Protestanisme, kalau tak cocok dengan gereja A, tinggal pindah ke B. Tak cocok lagi? Dirikan C.
Itu bukan iman. Itu hiburan rohani.
Saya tidak ingin jadi konsumen spiritual, tapi murid kebenaran.
Dan kebenaran bukan tergantung selera. Ia menuntut pengakuan, bukan preferensi.
9. Karena teologi dendam bukan sumber kebenaran
Banyak Protestan tidak sadar: sistem mereka lahir dari anti-Katolikisme.
Bukan dari wahyu baru, bukan dari sabda surgawi, tapi dari amarah terhadap Gereja.
Dan iman yang lahir dari kemarahan akan selalu menjadikan kritik sebagai altar dan ego sebagai imam.
10. Karena saya lebih ingin menerima iman daripada menciptakannya
Saya tidak ingin menjadi penemu agama.
Saya ingin menjadi pewaris iman.
Saya tidak butuh menulis ulang Injil, saya hanya ingin hidup di dalamnya—sebagaimana diwariskan oleh para rasul, diteruskan oleh para martir, dan dihidupi Gereja Kudus yang satu, kudus, katolik dan apostolik.
Dan hanya Gereja Katolik yang bisa berkata:
“Kami tidak berubah. Kami hanya menjaga.”
Epilog:
Saya tidak menjadi Protestan bukan karena saya benci.
Tapi karena saya terlalu mencintai Tuhan untuk menerima karikatur-Nya.
Saya terlalu mencintai kebenaran untuk menggantinya dengan opini.
Dan saya terlalu mencintai tubuh Kristus untuk menukar-Nya dengan simbol kosong.
Jadi jika ditanya, “Kenapa tetap Katolik?”
Jawab saya sederhana:
Karena saya tidak cukup naif untuk mendirikan gereja sendiri, dan tidak cukup bodoh untuk menyembah tafsirku sendiri.
"Aku percaya kepada Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik."
Dan itu tidak pernah berarti: gereja saya, tafsir saya, selera saya.
0 komentar:
Posting Komentar