Ketika Agama Kehilangan Imajinasi: Kritik terhadap Paradigma Biner Islam Konservatif dan Protestantisme Fundamentalis
"Kebenaran tidak lahir dari teks yang kaku, melainkan dari perjumpaan antara akal, wahyu, dan kehidupan."
Pendahuluan
Dalam zaman yang semakin plural dan kreatif, ironisnya banyak kalangan beragama justru semakin mundur ke dalam gua gelap literalisme. Di dunia Islam konservatif dan Protestantisme fundamentalis, kita melihat kemiripan pola pikir yang menolak kompleksitas, estetika, bahkan kebebasan berpikir, demi apa yang mereka anggap sebagai kesucian hukum Tuhan.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah ini benar cerminan kesalehan? Ataukah ini justru bentuk kemunduran spiritual dan intelektual? Dalam artikel ini, kita akan menunjukkan bahwa paradigma metafisik dan logis yang mendasari dua kelompok ini sama-sama rapuh, dan bagaimana pendekatan Katolik memberikan jalan keluar yang lebih utuh, manusiawi, dan rohani.
1. Paradigma Nominalistik: Ketika Dunia Kehilangan Makna
Islam konservatif dan Protestantisme fundamentalis sama-sama mewarisi paradigma nominalistik: segala sesuatu hanya bernilai sejauh disebut secara eksplisit oleh teks wahyu. Tidak ada makna intrinsik dalam seni, simbol, atau realitas ciptaan.
Dalam Islam konservatif: musik, lukisan, bahkan seni potong rambut bisa diharamkan karena “tidak ada dalil yang membolehkannya.”
Dalam Protestan fundamentalis: patung, salib, dan liturgi dianggap berhala karena “tidak diajarkan secara eksplisit dalam Alkitab.”
Padahal dalam metafisika Katolik, segala ciptaan mengandung jejak Allah (vestigia Dei). Seni, simbol, dan bahkan imajinasi manusia bisa menjadi sarana pewahyuan (via pulchritudinis) yang membawa jiwa kepada Sang Kebenaran.
2. Logika Biner: Halal-Haram, Saved-Damned
Kedua kelompok berpikir dalam pola oposisi kaku:
-
Jika tidak halal, maka haram.
-
Jika tidak diselamatkan, pasti binasa.
-
Jika tidak Alkitabiah, maka sesat.
Inilah yang disebut oleh banyak filsuf sebagai bentuk inferior reasoning, logika kognitif yang belum matang, yang gagal melihat realitas sebagai spektrum. Dalam teologi Katolik, hukum moral tidak bersifat biner, tetapi analogis: kebaikan bisa hadir dalam beragam bentuk, tergantung konteks, maksud, dan akibatnya (actus humanus).
Maka, Katolik bisa mengatakan bahwa musik bisa suci atau berdosa, tergantung pada tujuan dan konteksnya — bukan berdasarkan genre atau dalil tekstual semata.
3. Epistemologi Reduktif: Teks vs Tradisi Hidup
Protestantisme menyandarkan semua pengetahuan teologis pada Sola Scriptura — prinsip yang secara filosofis rapuh karena menggantungkan seluruh sistem keimanan pada dokumen yang justru dibentuk oleh tradisi yang mereka tolak.
Islam konservatif melakukan hal serupa dengan taqlid harfiah terhadap Qur’an dan hadits, memotong relasi antara nalar, sejarah, dan maqashid syariah (tujuan hukum Islam).
Dalam Katolik, Wahyu bukan hanya teks, tetapi tradisi hidup yang berkembang secara organis bersama Magisterium dan akal budi manusia sebagai citra Allah (imago Dei). Inilah epistemologi iman yang dinamis.
4. Konsekuensi: Kemandekan Budaya dan Perpecahan Umat
Dampak langsung dari paradigma biner dan nominalistik ini adalah:
Islam Konservatif | Protestantisme Fundamentalis |
---|---|
Fatwa bertentangan, umat terpecah | Denominasi pecah karena beda tafsir |
Tidak melahirkan seni besar modern | Kehilangan kekayaan liturgi dan estetika |
Sibuk melarang inovasi orang lain | Sibuk mengecam budaya populer |
Produksi hukum tanpa visi kemanusiaan | Produksi doktrin tanpa mistika |
0 komentar:
Posting Komentar