Ketika Roh Saja yang Dianggap Suci: Gnostisisme Merayap ke Mimbar Protestan
Salah satu ironi terbesar dalam sejarah kekristenan modern adalah ini: mereka yang berteriak paling keras bahwa iman mereka adalah "murni alkitabiah" justru sering kali menggemakan bisikan tua dari para bidat abad ke-2. Namanya: Gnostisisme.
Dan jangan salah, ini bukan tuduhan murahan. Ini observasi teologis.
Apakah Protestan Itu Gnostik?
Tentu tidak semua. Tetapi cukup banyak untuk menimbulkan tanda bahaya. Gnostisisme, dalam bentuk aslinya, memandang dunia jasmani sebagai penjara, tubuh sebagai beban, dan keselamatan sebagai "melarikan diri dari daging menuju roh". Dan ketika kita mendengar penceramah Protestan berkata, “kita ini roh yang sedang mengalami tubuh,” kita seakan kembali ke Alexandria abad kedua, bukan ke Yerusalem abad pertama.
Tuhan Menjadi Daging? Terlalu Jasmani, Kata Mereka
Masalah utama Gnostisisme? Ia alergi terhadap inkarnasi. Maka tidak heran, dalam dunia Protestan tertentu, inkarnasi dianggap simbolik. Sakramen? Cuma lambang. Gereja? Tak perlu ada tubuh mistik Kristus—cukup komunitas Zoom. Bahkan kebangkitan tubuh? “Yah, itu metafora rohani saja.” Kalau Anda merasa ini terdengar spiritual, coba cek kembali: Apakah kekristenan historis betul-betul percaya pada metafora tubuh Kristus? Atau pada tubuh sungguhan yang disalib dan bangkit?
Yesus Makan dan Minum, Tapi Spurgeon Menolak Dikunyah
Charles Spurgeon, sang orator ulung dari London, pernah mencemooh gagasan bahwa kita menerima tubuh Kristus secara nyata dalam Ekaristi. Menurutnya, itu tak lebih dari kanibalisme rohani. Ironis, sebab Spurgeon juga percaya dosa pertama masuk lewat… makan. Ya, dosa datang melalui perut Adam, tapi anugerah tak boleh masuk melalui mulut kita? Logika macam apa itu?
Kalau dosa bisa terjadi lewat benda fisik (buah terlarang), mengapa rahmat tak bisa hadir lewat benda fisik (roti dan anggur)? Tampaknya benda jasmani hanya cocok untuk menghantar neraka, tapi terlalu kotor untuk membawa surga. Sekali lagi: suara gnostik dengan gaun Reformasi.
Kita Ini Siapa, Roh atau Daging?
Beberapa Protestan gemar mengutip kutipan palsu dari C.S. Lewis: "You don’t have a soul, you are a soul. You have a body." Nyatanya, Lewis tak pernah mengatakan itu. Justru ia menulis sebaliknya: Tuhan menyukai materi. Ia menciptakan roti dan anggur, lalu memakai keduanya untuk memberi hidup ilahi. Lewis, meskipun bukan Katolik, paham bahwa iman Kristen bukanlah pelarian dari tubuh, tapi pengudusan tubuh.
Sayangnya, Spurgeon dan banyak pewarisnya lebih percaya pada iman yang “batiniah semata.” Liturgi dianggap sia-sia. Ritus sakral ditertawakan. Suksesi apostolik dianggap omong kosong daging. Bagi mereka, tubuh hanya hiasan. Tidak suci. Tidak relevan. Tidak penting. Kecuali, tentu saja, ketika berbicara soal seks. Di situ tiba-tiba tubuh kembali jadi penting—untuk dikutuk.
Antikristus: Tidak Percaya Yesus Datang Dalam Daging
Kitab 2 Yohanes tidak basa-basi: siapa yang menyangkal bahwa Yesus datang dalam daging, dialah penyesat dan Antikristus. Tentu, banyak Protestan tidak menyadari bahwa mereka mendekati wilayah ini. Mereka tidak menolak Yesus secara eksplisit. Mereka hanya mengganti tubuh-Nya dengan metafora. Mereka hanya menertawakan Ekaristi sebagai simbol kosong. Mereka hanya menganggap sakramen sebagai formalitas daging yang “tak berguna.”
Tapi mari jujur: itu adalah jalan menuju Gnostisisme, bukan Kekristenan.
Yang Jasmani Tidak Jahat—Tuhan Sendiri Memakainya
Allah yang menjadi manusia, menyentuh yang sakit, makan bersama orang berdosa, dan memberi Diri-Nya dalam roti dan anggur. Ini bukan ajaran Katolik semata, ini adalah iman Kristiani sejak awal. Maka ketika gereja Protestan mulai meninggalkan tubuh, liturgi, dan sakramen, mereka bukan kembali ke kemurnian alkitabiah. Mereka justru mundur ke dalam dunia bidat kuno yang percaya bahwa keselamatan adalah pelarian dari tubuh, bukan penebusan tubuh.
Penutup: Sadar atau Tidak, Gnostisisme Sudah Berkhotbah
Protestanisme modern, terutama dalam bentuk Evangelikalisme reduktif, perlu bercermin. Jika tubuh dianggap sia-sia, jika ibadah dianggap sah hanya jika “merasakan di hati”, dan jika sakramen dianggap tak lebih dari simbol, maka itu bukan Injil menurut Kristus—itu injil menurut Simon Magus.
Gereja Katolik mungkin dituduh terlalu jasmani, terlalu ritualistik, terlalu sakramental. Tapi bukankah itu justru lebih dekat dengan Tuhan yang menjadi daging, daripada pada dewa-dewa pagan yang hanya menari di angkasa spiritual tanpa tubuh?
0 komentar:
Posting Komentar