Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Senin, 16 Juni 2025

Tritunggal Bukan Sekadar Retorika: Tanggapan Katolik terhadap Kritikus Elia Myron

 


“Tritunggal Mahakudus bukan soal menang debat, tapi tentang bagaimana Allah menyatakan Diri-Nya secara sempurna dalam cinta kekal.”

Dalam video yang beredar luas, seorang penginjil Protestan dengan semangat membongkar ajaran Elia Myron tentang Tritunggal. Ia menampilkan diri sebagai pembela iman sejati, menggunakan ilustrasi les privat, analogi kasih, dan kutipan Tertulianus untuk menunjukkan bahwa Elia salah besar. Tetapi pertanyaannya: apakah ia sendiri sudah benar?

Sebagai seorang Katolik, kita harus mengatakan: tidak juga.

Elia Myron memang menyederhanakan Tritunggal secara berbahaya—menganggap Putra dan Roh sebagai “unsur” dalam diri Bapa, dan menyiratkan bahwa pribadi Yesus baru muncul saat inkarnasi. Itu jelas bertentangan dengan ajaran iman Kristen sejati dan bisa disebut sebagai Sabellianisme atau modalisme. Namun, kritikus Elia pun tidak bebas dari kelemahan mendasar.


1. Retorika Tajam Bukan Pengganti Metafisika

Sang kritikus mengandalkan kekuatan retorika: menyindir, membuat analogi, dan menegaskan bahwa “kalau kamu merasa paham Tritunggal sepenuhnya, pasti itu sesat.” Kalimat itu tampak saleh, namun sebenarnya menutupi kekosongan konseptual.

Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa kita bisa memahami Allah secara sempurna, tetapi kita bisa mengenal Allah secara benar. Misteri Tritunggal tidak berarti absurditas, melainkan kebenaran yang melampaui akal, namun tidak melawan akal.

Dengan kata lain: iman bukan pelarian dari logika, melainkan pemenuhannya.


2. Kutip Bapa Gereja, Abaikan Tradisi Gereja

Sang kritikus menyebut Tertulianus dan Agustinus, tetapi tidak menggunakan buah refleksi para Bapa Gereja yang mendalam: tidak menyebut ousia, hypostasis, relasi asal, atau subsistensi personal. Ia menolak penafsiran Elia atas 1 Kor 8:6, tapi tidak membangun penafsiran menyeluruh dari Kitab Suci.

Ia menegaskan bahwa Allah adalah satu hakikat dalam tiga pribadi—dan itu benar. Tapi kemudian ia tidak menjelaskan:

  • Apa artinya “pribadi” dalam konteks ilahi?

  • Bagaimana tiga pribadi tidak membagi kodrat?

  • Bagaimana hubungan kekal antara Bapa, Putra, dan Roh?

Tanpa menjawab ini, maka apa bedanya dia dengan Elia? Hanya karena dia menyebut “pribadi”, belum tentu ia memahami struktur Tritunggal secara utuh.


3. Tritunggal Bukan Karikatur Populer

Tritunggal tidak bisa dijelaskan lewat telur, air, atau logika ilustratif. Tetapi membuat misteri Tritunggal menjadi sesuatu yang "tidak perlu dijelaskan sama sekali" juga keliru. Iman Katolik berdiri di tengah: tidak menyederhanakan Allah, tetapi juga tidak menyerah pada ketidaktahuan.

Gereja Katolik selama 2000 tahun:

  • Merenungkan Firman Allah dalam terang akal dan tradisi,

  • Menggunakan filsafat bukan untuk memenjarakan wahyu, tapi untuk memperjelasnya,

  • Menyatakan bahwa dalam satu kodrat ilahi, ada tiga pribadi yang saling berelasi secara kekal: Bapa melahirkan Putra, dan Roh Kudus dihembuskan dari Bapa dan Putra.

Ini bukan spekulasi. Ini adalah iman yang diucapkan dalam Syahadat, dihayati dalam liturgi, dan dibela oleh para martir.


4. Katolik Menjaga Misteri Tanpa Merusak Akal

Kritikus Elia memperingatkan agar kita tidak merasa “terlalu mengerti” Tritunggal. Tetapi seharusnya dia juga memperingatkan agar jangan berhenti berpikir.

Gereja tidak mengklaim “memahami” Tritunggal secara total. Tapi dengan kerendahan hati, Gereja menerima apa yang Allah nyatakan tentang Diri-Nya: bahwa Allah adalah komuni kasih sejak kekekalan—Bapa yang mengasihi Putra, Putra yang menerima kasih Bapa, dan Roh Kudus sebagai kasih yang mengikat keduanya.

Ini bukan buatan manusia. Ini adalah wahyu yang tidak bisa diimprovisasi oleh nalar manusia berdosa, tetapi bisa dikenali oleh akal yang dibaptis oleh rahmat.


5. Kesimpulan: Siapa yang Lebih Mendekati Kebenaran?

  • Elia salah karena mengingkari pribadi kekal Yesus dan Roh Kudus.

  • Kritikus Elia benar dalam menolak itu, tapi salah karena tidak menjelaskan secara utuh.

Satu pihak jatuh ke modalisme. Pihak lain terjebak dalam retorika tanpa struktur. Gereja Katolik justru menawarkan keutuhan: misteri Tritunggal yang menggabungkan wahyu, akal, iman, dan tradisi.

Jadi, ketika dunia Protestan bertengkar soal apakah Tritunggal itu seperti pikiran atau relasi, kita cukup mengatakan:

“Kami menyembah Bapa, melalui Putra, dalam Roh Kudus. Tiga pribadi, satu kodrat. Satu Allah yang Mahakudus. Bukan karena kami memahami sepenuhnya, tapi karena Dia sendiri menyatakan Diri-Nya demikian.”


Tritunggal bukan misteri karena gelap, tapi karena terlalu terang untuk ditatap langsung. Dan Gereja Katolik tidak menutup mata terhadap terang itu—ia berjalan di dalamnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive