Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Senin, 16 Juni 2025

πŸ›‘ Toleransi Ilusi: Ketika Tempat Ibadah Dijadikan Pajangan

 

Oleh: Patris Allegro

Ada satu tren menarik akhir-akhir ini di Indonesia. Pemerintah dengan bangga meresmikan kompleks tempat ibadah berbagai agama yang berdampingan rukun. Masjid, gereja, vihara, dan pura ditata dalam satu kawasan. Lengkap dengan taman bunga dan papan “Kawasan Moderasi Beragama”. Instagrammable? Pasti. Teologis? Tidak juga. Ontologis? Jauh.

Mari kita jujur. Apa sebenarnya yang sedang dibangun di sini? Dialog lintas iman? Kesaksian iman? Atau sekadar monumen kebingungan nasional akan arti toleransi itu sendiri?


πŸ—️ Pembangunan yang Indah, Tapi Dangkal

Bangunan-bangunan ini memang rapi. Dari atas drone, tampak seolah-olah Indonesia adalah surga pluralisme. Tapi ketika umatnya pulang ke rumah masing-masing, apakah hati mereka lebih terbuka terhadap iman yang lain? Atau justru lebih sinis karena merasa dipaksa “rukun dalam diam”?

Karena faktanya adalah:
Yang berdampingan itu cuma tembok,
Tapi yang saling curiga tetaplah hati.


πŸ” Asumsi-asumsi Kosong di Balik Bangunan

Proyek ini didorong oleh sederet asumsi yang terlihat indah tapi kosong seperti rumah kardus dicat emas:

1. Semua Agama Sama?

Proyek ini tampaknya dibangun atas dasar keyakinan bahwa semua agama itu sama saja. Masuk mana saja, ujungnya surga.
Oh, maaf. Ini bukan pluralisme. Ini relativisme mentah, yang bahkan tidak berani menyentuh perbedaan doktrin karena takut menyinggung.

2. Simbol Visual = Damai Sosial?

Kesan damai yang diharapkan dari bangunan bersama ini adalah ilusi optik.
Toleransi sejati tidak lahir dari tata letak gedung, tapi dari perjumpaan ontologis—dari hati yang mau mendengar dan bersaksi.

3. Toleransi Harus Membungkam Kebenaran?

Seolah kalau kita mengakui iman kita sebagai kebenaran, kita pasti intoleran. Maka dibuatlah “kawasan damai” yang isinya hanya bisu-bisuan dalam sopan santun palsu.

4. Agama = Budaya?

Model ini mengasumsikan bahwa agama adalah ornamen budaya. Sama seperti rumah adat, pakaian tradisional, dan kuliner daerah.
Maaf, iman Katolik tidak lahir dari kebudayaan manusia, tapi dari wahyu Allah yang masuk ke sejarah dan menuntut respons: bertobat atau menolak.


🧱 Dinding Dekat, Tapi Iman Jauh

Anda bisa tempatkan masjid dan gereja hanya lima meter, tapi jika umatnya tidak pernah berdialog, tidak pernah saling menyatakan iman dengan jujur dan rendah hati, itu bukan toleransi. Itu cuma koeksistensi pasif.

Lebih parah, proyek ini membentuk mentalitas:
πŸŒ€ “Agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku. Tapi jangan bicara iman.”
Singkatnya: pluralisme yang membuat iman menjadi sekadar urusan privat yang tak boleh dibicarakan—sebuah sekularisme model baru dengan baju “moderasi”.


✝️ Sikap Gereja: Bukan Simbol, Tapi Kebenaran

Gereja Katolik menghargai hidup berdampingan. Tapi kami tidak menjual kebenaran hanya demi citra rukun. Seperti dikatakan Paus Benediktus XVI:

“Kasih tanpa kebenaran adalah sentimentalitas. Kebenaran tanpa kasih adalah kekerasan.” (Caritas in Veritate)

Jadi maafkan kami kalau kami lebih memilih berdampingan dengan jujur daripada berpura-pura damai dalam diam.


🧨 Penutup: Relativisme yang Dipoles Marmer

Proyek ini ibarat salib yang dicat pelangi: terlihat ramah, tapi kehilangan maknanya.
Toleransi yang tidak lahir dari perjumpaan ontologis, tidak mengakar dalam kebenaran, dan tidak menghasilkan pertobatan hanyalah:

Monumen pluralisme kosmetik yang lebih cocok jadi latar selfie daripada altar pengudusan.


πŸŽ₯ Jika Proyek Ini Mau Jujur…

…berikan ruang bukan hanya untuk gedung ibadah, tapi juga untuk kesaksian iman, debat teologis sehat, dan pertobatan nyata.
Kalau tidak, kita hanya akan punya kompleks toleransi palsu di mana yang tumbuh subur bukan iman, tapi ketidakpedulian yang ditata apik.


Indonesia tidak butuh gedung yang berdampingan.
Indonesia butuh hati yang terbuka—pada kebenaran, bukan pada kompromi.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive