Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Senin, 16 Juni 2025

🧱 "Membangun di Atas Pasir: Inkonsistensi Fatal dalam Worldview Protestan"

 

Mengapa fondasi Reformasi bukan solusi, tapi sumber kebingungan rohani


"Kami hanya percaya Alkitab!"
"Keselamatan hanya oleh iman!"
"Kami tidak butuh tradisi dan Gereja!"
Begitulah semboyan kebanggaan banyak umat Protestan sejak abad ke-16. Tapi apa jadinya jika slogan-slogan itu, yang tampak saleh dan Alkitabiah, justru menyimpan kontradiksi internal dan konsekuensi logis yang menghancurkan fondasi iman itu sendiri?

Dalam tulisan ini, kita akan bongkar inkohorensi teologis dan worldview rapuh yang terkandung dalam prinsip-prinsip dasar Protestanisme.


πŸ“œ 1. Sola Scriptura – Kitab Suci jadi ajang tafsir bebas

Protestan berkata: “Hanya Alkitab sebagai satu-satunya otoritas iman!”
Tapi siapa yang menafsirkan?
Jawab: masing-masing orang.

Maka yang terjadi bukan kesatuan iman, melainkan fragmentasi tanpa akhir. Ribuan denominasi muncul, semua merasa paling benar, semua merasa “kembali ke Alkitab”. Ironisnya, mereka menolak Magisterium Katolik sebagai “buatan manusia”, namun menjadikan tafsir pribadi mereka sebagai standar mutlak.

πŸ“Œ Ini bukan kembali ke akar, tapi kembali ke Babel.


✝️ 2. Sola Fide – Keselamatan tanpa tanggung jawab?

"Hanya oleh iman, bukan perbuatan!"

Baik, lalu apakah perbuatan kasih, pertobatan, dan kekudusan tidak penting?
Jika keselamatan tidak bisa hilang, mengapa harus hidup suci?
Jika bisa hilang, lalu bagaimana bisa dibilang “hanya iman yang cukup”?

Akhirnya, mereka tetap menuntut etika Kristen tapi tidak punya landasan metafisis yang mengikatnya dengan keselamatan. Iman jadi slogan, bukan jalan kehidupan.

πŸ“Œ Mengajarkan keselamatan tanpa perubahan hidup adalah seperti membaptis orang mati.


πŸ›️ 3. Menolak Tradisi, tapi tetap memakai hasilnya

Protestan menolak Tradisi, tapi tetap memakai kanon Alkitab dari Tradisi Katolik.

Mereka baca Injil Matius, Paulus, Wahyu — tapi lupa bahwa daftar kitab itu dibakukan lewat Konsili Gereja Katolik abad ke-4. Mereka mengklaim Trinitas, merayakan Natal dan Paskah — tapi semua itu tidak eksplisit dalam Alkitab dan hanya dimungkinkan lewat Tradisi dan konsili ekumenis.

πŸ“Œ Seperti menolak tukang roti tapi tetap mencuri roti dari tokonya.


🍞 4. Anti-Sakramental = Anti-Inkarnasi?

Jika roti dan anggur hanya simbol, dan benda-benda suci itu “tidak membawa Allah”, maka Inkarnasi Yesus pun kehilangan makna. Bukankah Allah yang tak kelihatan menjadi terlihat? Bukankah tubuh manusia menjadi alat keselamatan?

Menolak sakramen adalah menolak cara Allah bekerja: melalui dunia nyata, tubuh, air, roti, minyak.

πŸ“Œ Allah masuk ke dunia, tapi mereka tetap ingin iman yang steril dan spiritualistis.


⛪ 5. Gereja? Klub doa biasa

Bagi Protestan, Gereja bukanlah tubuh mistik Kristus, tapi hanya komunitas orang percaya.

Konsekuensinya? Siapa pun bisa membentuk “gereja” baru. Tidak ada kesatuan, tidak ada standar. Hari ini jadi pendeta, besok bisa mendirikan denominasi sendiri — asal punya mic dan kamera.

πŸ“Œ Gereja tidak lagi kudus, katolik, dan apostolik — hanya jadi startup rohani dengan doktrin waralaba.


πŸ” 6. Predestinasi → Allah yang kejam (Calvinisme)

Jika Allah sudah menentukan siapa masuk surga atau neraka tanpa melihat tanggapan manusia, maka:

  • Doa menjadi sia-sia.

  • Pertobatan jadi formalitas.

  • Kasih Allah jadi... kejam?

Tapi mereka tetap khotbah soal pertobatan dan kasih Allah. Di sinilah letak dissonansi teologis: konsep predestinasi yang dingin dipaksa menyatu dengan injil kasih. Tak mungkin bertahan lama.

πŸ“Œ Jika Allah hanya menyelamatkan yang "dipilih", maka yang lainnya cuma figuran dalam teater ilahi yang tragis.


🎯 Kesimpulan:

Protestanisme menjanjikan kesederhanaan, tapi berakhir dalam kekacauan.
Menjanjikan kebenaran, tapi membuka pintu pada ribuan versi kebenaran.
Menolak otoritas Gereja, tapi menaruh iman pada otoritas pribadi masing-masing.

Sementara Gereja Katolik berdiri kokoh, dengan fondasi historis, metafisis, dan spiritual — satu, kudus, katolik, dan apostolik. Tradisi, Kitab Suci, dan Magisterium berjalan bersama, bukan saling bertentangan. Dalam Gereja Katolik, kebenaran bukan hanya diajarkan, tapi juga dijaga, diwariskan, dan dihidupi.


✍️ Penutup:

Kalau kamu percaya Allah bisa menyelamatkan dunia melalui kayu salib,
mengapa susah percaya bahwa Allah juga bisa memakai Gereja-Nya, Tradisi-Nya, dan sakramen-Nya?

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive