“Musik yang Kita Cintai, Jiwa yang Kita Miliki”
Refleksi Katolik tentang Musik, Jiwa, dan Kerinduan akan Surga
“There is a sense in which the music we love reveals how healthy our soul is.”
— Kutipan ini, dalam terang iman Katolik, bukan hanya benar. Ia juga mendalam secara spiritual.
Musik: Cermin Kesehatan Jiwa
Dalam tradisi Katolik, musik bukanlah sekadar hiburan atau pelepas stres. Musik adalah ekspresi terdalam jiwa, bahkan bisa menjadi indikator spiritualitas. Santo Agustinus dengan indah berkata, “Cantare amantis est” — “Bernyanyi adalah milik orang yang mengasihi.” Maka, jenis musik yang kita cintai dapat mengungkapkan apa dan siapa yang kita kasihi: dunia yang fana atau Allah yang kekal?
Seperti halnya makanan mencerminkan selera dan kesehatan tubuh, musik mencerminkan kelaparan dan kesehatan batin. Musik yang baik menumbuhkan ketenangan, mengolah emosi, dan menyuburkan kontemplasi. Sebaliknya, musik yang brutal, kacau, atau dipenuhi hasrat rendah seringkali menegaskan kebingungan jiwa atau bahkan menggiringnya makin jauh dari keheningan rohani.
Ordo dan Keindahan: Jalan Menuju Tuhan
St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa keindahan terdiri atas ordo, claritas, dan integritas — keteraturan, kejelasan, dan keutuhan. Musik klasik, terlebih musik liturgi, mewujudkan ketiganya. Dalam simfoni Bach, dalam harmoni Gregorian, dalam polifoni Palestrina, jiwa manusia disatukan dalam ritme dan rasio, dalam logika dan keheningan, yang semuanya berakar dalam Logos — Sang Sabda Allah.
Musik klasik bukan hanya memperhalus rasa, tapi juga membentuk struktur batin manusia: memperkenalkan kita pada kesabaran, ketelitian, dan kerendahan hati — karena tidak semua keindahan langsung terasa, tetapi harus dialami secara mendalam dan berulang.
Musik Liturgi: Nada-Nada Surgawi
Namun puncak dari segala musik adalah musik liturgis. Di sinilah musik tidak hanya menjadi karya seni, tetapi menjadi doa. Liturgi Katolik adalah perjumpaan dengan Yang Kudus, dan musik dalam liturgi adalah ungkapan dari surga yang menyentuh bumi.
Itulah sebabnya Gereja menetapkan bahwa musik liturgi harus suci (sacred), indah (beautiful), dan universal (universal). Musik pop, dangdut, EDM, atau bentuk profan lainnya yang kadang disusupkan ke dalam Misa — betapapun niatnya baik — tidak akan pernah menyamai ordo sacer musik sakral yang telah berakar dalam tradisi dan spiritualitas Gereja selama berabad-abad.
Karena liturgi bukan soal “selera umat,” melainkan soal kehadiran Allah. Musik liturgi yang sejati mengarahkan jiwa kepada misteri, bukan menggiring emosi ke permukaan.
Kesimpulan: Musik dan Kerinduan akan Surga
Maka kita bisa bertanya pada diri sendiri: musik seperti apa yang aku cintai? Apakah musikku membawa ketenangan? Atau justru mengacaukan pikiranku? Apakah ia menyalakan hasrat yang luhur? Atau menurunkan martabat diriku sebagai gambar Allah?
Dalam dunia yang penuh kebisingan dan polusi audio, menemukan dan mencintai musik yang membentuk jiwa adalah sebuah disiplin rohani. Gereja Katolik memberi warisan besar: musik yang bukan hanya indah, tetapi juga menyucikan. Karena musik sejati bukan hanya didengar, tetapi juga dihayati — seperti doa.
“Beritahu aku musik yang kau cintai, dan aku akan tahu ke mana jiwamu sedang melangkah.”
— Menuju dunia atau menuju surga?
0 komentar:
Posting Komentar