Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Jumat, 20 Juni 2025

Protestan dan Katolik: Ekumenisme di Atas Fondasi Realitas


Di zaman di mana harmoni sering dicari dengan mengorbankan kebenaran, Gereja Katolik berdiri di tengah dunia dengan satu keyakinan tak tergoyahkan: kebenaran itu ada, dapat dikenali, dan memiliki bentuk konkret dalam sejarah dan dalam tubuh umat beriman. Maka ketika berbicara tentang saudara-saudari Protestan, Gereja tidak berbicara dari menara gading superioritas, tetapi dari kedalaman keyakinan bahwa iman bukan sekadar opini, melainkan partisipasi dalam realitas ilahi yang sungguh hadir dalam dunia.

1. Realitas Bukan Relativisme: Kebenaran Bisa Dikenal

Gereja Katolik berakar dalam metafisika realisme: keyakinan bahwa realitas ada di luar pikiran kita, dan kebenaran adalah kesesuaian antara akal dan realitas tersebut. Dalam konteks ini, iman bukan sekadar pengalaman pribadi atau interpretasi bebas atas Kitab Suci, melainkan jawaban manusia kepada wahyu objektif dari Allah, yang memuncak dalam pribadi Yesus Kristus.

Kebenaran ini tidak mengambang di awan, tapi menjelma dalam tubuh sejarah, dalam komunitas, dalam sakramen, dan dalam otoritas yang dijaga oleh Roh Kudus. Di sinilah letak perbedaan mendasar dengan pendekatan Protestan yang cenderung mengandalkan penafsiran individual dan mengabaikan dimensi ontologis Gereja.

2. Saudara Terpisah: Bukan Musuh, Tapi Belum Penuh

Gereja Katolik mengakui bahwa dalam komunitas Protestan terdapat banyak unsur yang sejati: iman kepada Kristus, baptisan yang sah, kasih akan Kitab Suci, bahkan semangat doa dan penginjilan. Namun, semua ini dihayati dalam keterpisahan dari struktur historis dan sakramental Gereja yang didirikan Kristus sendiri.

Maka, ekumenisme Katolik tidak berkata “semua sama saja”, tetapi “kita belum sepenuhnya satu.” Ini bukan arogansi, melainkan konsekuensi dari keyakinan bahwa Gereja memiliki keberadaan yang nyata, bukan sekadar simbolis.

3. Krisis Ontologis dalam Teologi Protestan

Dalam banyak denominasi Protestan, pengertian akan Gereja direduksi menjadi persekutuan rohani orang percaya. Namun bagi iman Katolik, Gereja bukan hanya kumpulan orang percaya, melainkan tubuh rohani dan historis, tempat tinggal Roh Kudus, sakramen keselamatan, dan tiang penopang kebenaran (1 Tim 3:15).

Ini adalah perbedaan ontologis, bukan sekadar organisatoris. Di sinilah kita melihat bagaimana Protestanisme, dalam bentuk ekstremnya, melucuti Gereja dari hakikat metafisiknya, menjadikannya sekadar forum rohani tanpa fondasi ontologis.

4. Kitab Suci dan Tradisi: Bukan Kompetitor, Tapi Simfoni

Salah satu akar dari reformasi Protestan adalah prinsip sola scriptura: hanya Kitab Suci sebagai otoritas tertinggi. Namun, Katolik menyadari bahwa Kitab Suci lahir dalam rahim Gereja, dan dibaca dalam terang Tradisi dan Magisterium. Tanpa Tradisi, teks bisa dimanipulasi. Tanpa Magisterium, interpretasi bisa menjadi anarki.

Bagi realisme Katolik, kebenaran tidak bisa direduksi menjadi teks tanpa konteks hidup. Maka, Tradisi bukan tambahan pada Kitab Suci, tapi cara Gereja hidup dalam dan dari Sabda Allah.

5. Sakramen: Realitas atau Simbol?

Protestanisme, terutama dalam bentuk reformasi radikal, melihat sakramen sebagai lambang semata. Tapi Katolik percaya bahwa sakramen menghadirkan apa yang dilambangkannya: roti menjadi Tubuh Kristus, air pembaptisan menyucikan dari dosa, minyak pengurapan memberi rahmat.

Di sinilah metafisika realisme berperan: tanda lahiriah membawa realitas batiniah karena Allah berkenan bekerja melalui materi. Ini bukan simbolisme, ini adalah partisipasi dalam realitas ilahi yang mengubah.

6. Ekumenisme Bukan Eklektisisme

Di tengah semangat persatuan, ada godaan untuk menyamakan semua perbedaan demi kenyamanan spiritual. Tapi Gereja Katolik menolak jalan pintas ini. Ekumenisme sejati tidak mengorbankan kebenaran, melainkan memanggil semua kepada kepenuhan persekutuan dalam Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.

Ini adalah undangan kasih yang berani: datanglah, lihatlah, dan alami kelimpahan yang diwariskan sejak para rasul.


Penutup: Yang Dipertaruhkan Adalah Realitas Iman

Dialog Katolik dan Protestan bukan sekadar soal tafsir Alkitab atau liturgi. Yang sedang dipertaruhkan adalah cara kita mengalami realitas Allah: apakah Dia sungguh hadir dalam sakramen, dalam Gereja, dalam Tradisi hidup? Ataukah hanya hadir dalam kenangan, dalam simbol, dalam teks?

Gereja Katolik berdiri dengan lembut tapi tegas, mengajak bukan untuk debat tanpa akhir, tetapi untuk pulang ke rumah—ke tempat di mana realitas dan kasih berpadu dalam liturgi, sakramen, dan tubuh Kristus yang satu.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive