Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (Corpus Christi) selalu membawa kita kembali kepada jantung kehidupan Gereja: Ekaristi. Tahun ini saya merayakannya di sebuah tempat yang jauh dari gemerlap kota, tapi dekat sekali dengan denyut hati umat—di Kapela Santo Petrus Batu Karang, Stasi Oepaha, Desa Oel Tua, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang.
Ekaristi di
Tengah Sawah dan Bukit
Kapela ini adalah bagian dari
Paroki Santo Yosef Pekerja Penfui. Meski kecil dan terpencil, kehidupan iman di
sini tidak pernah padam. Umatnya hanya sekitar seratus Kepala Keluarga, dan
pada perayaan ini hadir sekitar empat puluh orang. Banyak dari mereka bekerja
di sawah di daerah NaiBonat, dan Sabtu malam mereka bermalam di sana, sehingga
tidak semua bisa kembali untuk Misa. Namun, justru dalam keterbatasan itulah
iman mereka terasa begitu nyata—tanpa hiasan, tanpa kemewahan, tapi tulus.
Saya berbicara dalam homili
tentang inti iman Ekaristi: transubstansiasi. Bahwa roti dan anggur benar-benar
berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, bukan sekadar lambang atau kenangan
kosong. Maka tak heran, kita berlutut, menyembah, dan beradorasi. Karena di
hadapan kita, bukan lagi makanan biasa, tapi Sang Penebus sendiri hadir secara
nyata.
Dari Pangan
Lokal ke Arsitektur Iman
Sesudah Misa, seperti biasa
para ibu menyiapkan hidangan sederhana. Saya sempat berharap ada kacang rebus,
ubi, atau pisang—pangan lokal yang menyatu dengan budaya dan tanah ini. Tapi
kali ini yang ada adalah kue-kue yang disiapkan sendiri dengan bahan dari kios-kios.
Baik juga untuk meningkatkan perputaran ekonomi. Tak mengapa, cinta mereka
dalam menyajikannya tetap terasa hangat.
Kapel ini sendiri adalah buah
dari kemurahan hati para pengusaha Katolik di Kupang, anggota komunitas PIKAT
(Pengusaha Iman Katolik). Gedungnya baru diresmikan tahun 2018, oleh Uskup
Agung Kupang, dan bagi saya, arsitekturnya sangat inspiratif. Tangga menuju
pintu samping dan lorong menuju sakristi memiliki nilai estetika kontemplatif.
Bahkan bangunan lamanya yang kini dijadikan aula, tetap berfungsi sebagai
tempat kebersamaan umat.
Gereja ini dinamai “Santo
Petrus Batu Karang” bukan tanpa alasan. Tanahnya memang berbatu dan keras,
namun dari batu-batu itu tumbuh sebuah komunitas yang hidup dan bertahan.
Simbol yang pas untuk Gereja yang dibangun di atas batu karang iman Petrus.
Di Balik
Bangunan: Kisah, Harapan, dan Salib
Sambil menyeruput kopi panas
dari tangan para ibu, kami berbincang tentang banyak hal: tentang tanah yang
akan diberi rabat beton, tentang umat yang membeli tanah di sekitar karena
adanya biara dan gereja. Di sini, Gereja menjadi pusat harapan dan magnet
spiritual. Bahkan ada kisah-kisah mistis dan kesaksian spiritual seputar
pembangunan kapel ini—kisah yang akan saya ceritakan lain waktu.
Sesudah perayaan, saya
mengunjungi seorang ibu yang sakit berat, tak bisa hadir di Misa. Saya
membawakannya Komuni Kudus dan mendoakan dia. Di hadapan penderitaan, Ekaristi
menjadi kekuatan. Kristus yang kita sambut bukan hanya raja mulia, tetapi juga
Allah yang menderita. Dan ibu ini, dalam sakitnya, ikut ambil bagian dalam
salib Kristus.
Gereja yang
Hidup dari Hati yang Sederhana
Dari bangku plastik, kopi
gula, dan sapaan ramah umat, saya belajar lagi bahwa Gereja bukan pertama-tama
tentang besar kecil bangunannya, tetapi tentang hati yang terbuka bagi Tuhan
dan sesama. Umat di Oepaha ini mungkin kecil jumlahnya, tapi besar dalam
kesetiaan.
Corpus Christi bukan sekadar
pesta liturgi. Ia adalah momen perjumpaan: Kristus yang hadir di altar, di
tengah umat, dalam penderitaan, dan dalam kehangatan perjamuan sederhana.
Semoga kita pun, di mana pun berada, boleh menjadi tubuh Kristus yang hidup—yang
menyapa, menguatkan, dan membagikan harapan, bahkan dari antara batu karang.
Salve fratres, dan sampai jumpa dalam kisah pastoral
selanjutnya.