LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

“Tubuh Kristus di Antara Batu Karang dan Kacang Rebus”

 

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (Corpus Christi) selalu membawa kita kembali kepada jantung kehidupan Gereja: Ekaristi. Tahun ini saya merayakannya di sebuah tempat yang jauh dari gemerlap kota, tapi dekat sekali dengan denyut hati umat—di Kapela Santo Petrus Batu Karang, Stasi Oepaha, Desa Oel Tua, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang.

Ekaristi di Tengah Sawah dan Bukit

Kapela ini adalah bagian dari Paroki Santo Yosef Pekerja Penfui. Meski kecil dan terpencil, kehidupan iman di sini tidak pernah padam. Umatnya hanya sekitar seratus Kepala Keluarga, dan pada perayaan ini hadir sekitar empat puluh orang. Banyak dari mereka bekerja di sawah di daerah NaiBonat, dan Sabtu malam mereka bermalam di sana, sehingga tidak semua bisa kembali untuk Misa. Namun, justru dalam keterbatasan itulah iman mereka terasa begitu nyata—tanpa hiasan, tanpa kemewahan, tapi tulus.

Saya berbicara dalam homili tentang inti iman Ekaristi: transubstansiasi. Bahwa roti dan anggur benar-benar berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, bukan sekadar lambang atau kenangan kosong. Maka tak heran, kita berlutut, menyembah, dan beradorasi. Karena di hadapan kita, bukan lagi makanan biasa, tapi Sang Penebus sendiri hadir secara nyata.

Dari Pangan Lokal ke Arsitektur Iman

Sesudah Misa, seperti biasa para ibu menyiapkan hidangan sederhana. Saya sempat berharap ada kacang rebus, ubi, atau pisang—pangan lokal yang menyatu dengan budaya dan tanah ini. Tapi kali ini yang ada adalah kue-kue yang disiapkan sendiri dengan bahan dari kios-kios. Baik juga untuk meningkatkan perputaran ekonomi. Tak mengapa, cinta mereka dalam menyajikannya tetap terasa hangat.

Kapel ini sendiri adalah buah dari kemurahan hati para pengusaha Katolik di Kupang, anggota komunitas PIKAT (Pengusaha Iman Katolik). Gedungnya baru diresmikan tahun 2018, oleh Uskup Agung Kupang, dan bagi saya, arsitekturnya sangat inspiratif. Tangga menuju pintu samping dan lorong menuju sakristi memiliki nilai estetika kontemplatif. Bahkan bangunan lamanya yang kini dijadikan aula, tetap berfungsi sebagai tempat kebersamaan umat.

Gereja ini dinamai “Santo Petrus Batu Karang” bukan tanpa alasan. Tanahnya memang berbatu dan keras, namun dari batu-batu itu tumbuh sebuah komunitas yang hidup dan bertahan. Simbol yang pas untuk Gereja yang dibangun di atas batu karang iman Petrus.

Di Balik Bangunan: Kisah, Harapan, dan Salib

Sambil menyeruput kopi panas dari tangan para ibu, kami berbincang tentang banyak hal: tentang tanah yang akan diberi rabat beton, tentang umat yang membeli tanah di sekitar karena adanya biara dan gereja. Di sini, Gereja menjadi pusat harapan dan magnet spiritual. Bahkan ada kisah-kisah mistis dan kesaksian spiritual seputar pembangunan kapel ini—kisah yang akan saya ceritakan lain waktu.

Sesudah perayaan, saya mengunjungi seorang ibu yang sakit berat, tak bisa hadir di Misa. Saya membawakannya Komuni Kudus dan mendoakan dia. Di hadapan penderitaan, Ekaristi menjadi kekuatan. Kristus yang kita sambut bukan hanya raja mulia, tetapi juga Allah yang menderita. Dan ibu ini, dalam sakitnya, ikut ambil bagian dalam salib Kristus.

Gereja yang Hidup dari Hati yang Sederhana

Dari bangku plastik, kopi gula, dan sapaan ramah umat, saya belajar lagi bahwa Gereja bukan pertama-tama tentang besar kecil bangunannya, tetapi tentang hati yang terbuka bagi Tuhan dan sesama. Umat di Oepaha ini mungkin kecil jumlahnya, tapi besar dalam kesetiaan.

Corpus Christi bukan sekadar pesta liturgi. Ia adalah momen perjumpaan: Kristus yang hadir di altar, di tengah umat, dalam penderitaan, dan dalam kehangatan perjamuan sederhana. Semoga kita pun, di mana pun berada, boleh menjadi tubuh Kristus yang hidup—yang menyapa, menguatkan, dan membagikan harapan, bahkan dari antara batu karang.

Salve fratres, dan sampai jumpa dalam kisah pastoral selanjutnya.

 

Share This Article :
9000568233845443113