@patris_allegro
Musyawarah Pastoral Keuskupan Agung Kupang 2025
menjadi ruang yang subur untuk merenungkan arah perjalanan bangsa. Yanuar
Nugroho mengajak kita untuk menengok realitas Indonesia dengan kacamata kritis,
sekaligus penuh tanggung jawab moral. Ia menegaskan bahwa Gereja tidak boleh
puas hanya dengan melihat apa yang tampak di permukaan, melainkan harus
menembus ke akar persoalan, membaca tanda-tanda zaman dan menafsirkannya
dalam terang Injil. Konsili Vatikan II sudah mengingatkan: “Gereja wajib
senantiasa menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil,
sehingga dengan cara yang sesuai dengan tiap generasi, ia dapat menjawab
pertanyaan manusia mengenai arti hidup sekarang ini dan kehidupan yang akan
datang” (GS 4).
Melanjutkan Refleksi Prof. Yanuar
Nugroho dalam Muspas KAK 2025
Tulisan ini melanjutkan butir-butir refleksi yang
dibawakan oleh Prof. Yanuar Nugroho dalam Musyawarah Pastoral Keuskupan Agung
Kupang 2025. Gagasan-gagasannya bukan sekadar paparan akademis, melainkan
undangan moral untuk membaca realitas bangsa secara jujur, mengkritisi
manipulasi kekuasaan, dan menimbang panggilan Gereja sebagai suara profetis.
Maka setiap bagian berikut hendak menelusuri lebih jauh arah pemikirannya,
sambil memperkaya dengan rujukan ajaran sosial Gereja, sehingga menjadi bahan
refleksi bersama bagi umat.
Membaca Realitas sebagai Gunung Es
Sering kali yang kita lihat hanyalah permukaan: aksi
unjuk rasa, tuntutan terhadap DPR, atau kerusuhan kecil di berbagai kota. Itu
semua ibarat puncak gunung es. Namun yang lebih menentukan justru yang
tersembunyi di bawah permukaan: ketidakadilan struktural yang memelihara jurang
antara kaya dan miskin, arogansi elit yang makin jauh dari aspirasi rakyat, dan
konflik kepentingan yang menjadi benang kusut politik kita. Inilah lapisan
realitas yang jarang disentuh media, sebab berita lebih banyak menyorot gejala,
bukan akar masalah. Gereja dipanggil untuk berani mengungkap bagian yang
tersembunyi ini, sebab di sanalah martabat manusia paling sering dilukai.
Distorsi
Data: Statistik versus Kehidupan Nyata
Indonesia
tampak indah dalam angka, tetapi rapuh dalam kenyataan. Pemerintah mengklaim
angka kemiskinan historis terendah, tetapi hal itu hanya karena garis
kemiskinan diturunkan hingga di bawah standar internasional, bahkan lebih
rendah daripada Timor Leste. Di atas kertas, jumlah pengangguran tampak
menurun, padahal seseorang yang bekerja satu jam seminggu pun sudah dihitung
“tidak menganggur.” Kelas menengah, yang selama ini menjadi penyangga
stabilitas sosial, perlahan tergerus: tabungan habis, daya beli merosot, dan
banyak keluarga mulai “makan tabungan” untuk bertahan hidup. Klaim pertumbuhan
ekonomi 5% pun, menurut Nugroho, sebagian besar lahir dari akrobat akuntansi
dan belanja militer, bukan dari produktivitas riil masyarakat. Ensiklik Caritas
in Veritate mengingatkan bahwa pembangunan sejati hanya mungkin “apabila
berpusat pada martabat manusia, bukan pada manipulasi angka atau keuntungan
sesaat” (CV 21). Maka tugas Gereja ialah menimbang data bukan hanya dari
grafik, tetapi juga dari kesaksian umat di paroki-paroki: apakah mereka mampu
membeli beras, apakah pendapatan cukup untuk sekolah anak, apakah ada pekerjaan
yang layak. Di situlah
kebenaran sesungguhnya.
Kemunduran Demokrasi: Dari Substansi
ke Prosedur
Di balik narasi resmi tentang demokrasi, ada gejala
erosi yang mengkhawatirkan. Pilar negara hukum melemah, kritik sering dijawab
dengan represi, sementara masyarakat sipil yang dahulu menjadi motor perubahan
kini tercerai-berai. Perbandingan dengan 1998 terasa jelas: jika dahulu
mahasiswa, buruh, dan aktivis bersatu membawa agenda reformasi, kini protes
terpecah tanpa tuntutan bersama. Demokrasi masih ada, tetapi hanya sebatas
prosedur—pemilu tetap digelar, konsultasi publik diadakan—namun substansi keadilan
dan akuntabilitas hilang. Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti
mengingatkan, “Tanpa kebenaran, emosi dapat menjadi landasan yang memudarkan
institusi demokratis. Apa yang disebut konsensus bisa menjadi manipulasi opini
publik yang dibuat oleh kekuatan yang paling berkuasa” (FT 157). Kata-kata
ini menegaskan bahwa demokrasi tanpa kebenaran hanyalah ilusi yang menutupi
autoritarianisme.
Penyempitan Ruang Sipil
Salah satu tanda zaman paling serius ialah
menyempitnya ruang sipil. Pemerintah menjadi makin antikritik, media ditekan
dengan cara halus, akademisi dan aktivis sering dibungkam lewat kooptasi atau
ancaman, dan meritokrasi birokrasi digantikan oleh politik balas jasa. Situasi
ini membuat keberanian bersuara menjadi langka, terutama di kalangan muda. Gaudium
et Spes (73) menekankan pentingnya kebebasan: “Kebebasan dan tanggung
jawab harus dipelihara dalam kehidupan sosial. Hak-hak pribadi dan kelompok
harus dilindungi dari segala bentuk penindasan.” Karena itu, Gereja tidak
boleh diam ketika ruang sipil dipersempit. Diam berarti menyerahkan nasib
bangsa kepada mekanisme kuasa yang tidak lagi menghormati martabat manusia.
Masa Depan: Skenario yang Suram
Nugroho menawarkan peta skenario: demokrasi bisa kuat
atau lemah, negara bisa kapabel atau gagal. Jika keempat kemungkinan digabung,
ada empat jalan: A (demokrasi kuat, negara kapabel), B (demokrasi kuat, negara
lemah), C (demokrasi lemah, negara kapabel), D (demokrasi lemah, negara lemah).
Sayangnya, realitas Indonesia pasca-2024 hampir pasti jatuh ke C atau D.
Kabinet yang gemuk, birokrasi yang dipenuhi konflik kepentingan, serta
melemahnya kepercayaan publik adalah tanda-tanda bahwa demokrasi hanya tersisa
kulitnya. Dalam terang iman, ini berarti risiko besar bagi martabat manusia,
karena kekuasaan tanpa kontrol akan dengan mudah menindas yang lemah.
Agenda Harapan dan Perlawanan
Meski demikian, jalan harapan tetap terbuka. Tugas
pertama adalah menjaga momentum masyarakat sipil: menyambungkan suara rakyat
kecil dengan percakapan elit, menghubungkan kenyataan sehari-hari dengan wacana
kebijakan. Tugas kedua ialah melawan normalisasi keadaan darurat yang dijadikan
pola pemerintahan. Gereja dapat mengambil peran besar di sini, bukan dengan
menjadi partai politik, melainkan dengan menghadirkan suara moral yang tidak
bisa dibungkam. Evangelii Gaudium menegaskan: “Gereja menghargai
peran masyarakat sipil, yang tidak dapat diganti, karena di dalamnya lahir
bentuk-bentuk partisipasi yang menjaga kebebasan dan martabat manusia” (EG
183). Maka Gereja harus berjalan bersama rakyat, bukan di atas mereka.
Peran Gereja Katolik: Suara Profetis
dan Sahabat Kaum Kecil
Gereja memiliki posisi yang unik. Ia tidak mengejar
kekuasaan politik, tetapi punya tanggung jawab moral untuk menyalakan nurani
bangsa. Pertama, Gereja harus berani membaca tanda-tanda zaman, meski pahit,
dan menafsirkannya dalam terang Injil. Kedua, Gereja dipanggil untuk membentuk
nurani kritis umat, agar orang Katolik tidak mudah tertipu statistik dan
propaganda. Ketiga, Gereja perlu menjadi suara profetis yang tidak takut
berbicara melawan ketidakadilan, meski risiko sosial dan politik tinggi. Keempat,
Gereja harus tetap berpihak kepada kaum kecil, sebab “kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan orang-orang miskin adalah juga kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus” (GS 1). Akhirnya, Gereja
mesti menjaga harapan eskatologis: hanya Allah yang berdaulat, dan karena itu
tidak ada rezim manusia yang kekal. Harapan ini bukan sekadar penghiburan,
melainkan energi yang mendorong kita untuk bertahan dan terus melawan.
Penutup
Refleksi ini adalah alarm moral: Indonesia berada
dalam ancaman serius, baik dari sisi demokrasi yang tergerus, ekonomi yang
dimanipulasi, maupun ruang sipil yang makin menyempit. Namun Gereja dipanggil
untuk tidak berdiam diri. Dengan membaca tanda-tanda zaman, membina nurani
kritis, dan berdiri bersama mereka yang miskin, Gereja dapat menjaga martabat
bangsa. Jika umat beriman berani terlibat, maka kita tidak akan menyerahkan
Indonesia kepada mereka yang mengorbankan kebenaran demi kuasa. Seperti Yohanes
Pembaptis yang menyiapkan jalan bagi Tuhan, Gereja pun dipanggil untuk
menyiapkan jalan bagi kebenaran di tengah bangsa ini.