(Refleksi lanjutan atas pembicaraan Prof. Yanuar Nugroho dalam MUSPAS KAK 2025)
Pendahuluan
Di
tengah derasnya arus politik praktis yang kerap dipandang sinis sebagai
perebutan kekuasaan, Gereja Katolik justru menegaskan politik sebagai pelayanan
luhur demi kebaikan bersama. Pernyataan ini bukan sekadar idealisme kosong,
melainkan tradisi panjang Gereja sejak para Bapa Gereja hingga Magisterium
modern.
Santo
Agustinus, dalam De Civitate Dei, menulis: “Keadilan yang sejati
hanyalah ada dalam kerajaan yang tunduk pada Allah yang sejati” (XIX, 21).
Dengan kata lain, politik yang dipisahkan dari keadilan ilahi berubah menjadi
sekadar alat dominasi. Agustinus menegaskan bahwa civitas terrena (kota
duniawi) hanya menemukan makna jika diarahkan pada civitas Dei (kota
Allah). Inilah dasar teologis mengapa Gereja tidak dapat bersikap netral
terhadap politik, melainkan terpanggil menghadirkan terang Kristus di dalamnya.
Dalam
tradisi modern, Konsili Vatikan II menegaskan: “Kegiatan politik adalah
bidang yang luhur dan berat, yang perlu dijalankan dengan semangat keadilan dan
cinta kasih, demi kesejahteraan bersama” (Gaudium et Spes, 75). Paus
Benediktus XVI mengulanginya dalam ensiklik Deus Caritas Est (2005),
ketika ia menyebut politik sebagai “salah satu bentuk paling konkret dari
kasih, bila dijalankan demi kebenaran dan keadilan”. Paus Fransiskus
menegaskan kembali dalam Fratelli Tutti (180): “Politik yang sejati
adalah bentuk tertinggi dari kasih, jika dijalankan demi kebaikan bersama.”
Refleksi
ini menemukan konteks aktual dalam MUSPAS KAK 2025, di mana Prof. Yanuar
Nugroho menegaskan bahwa masalah bangsa kita bukan sekadar urusan kebijakan
teknis seperti bantuan sosial atau rumah murah, tetapi menyentuh arsitektur
kekuasaan jangka panjang yang membentuk struktur publik. Dalam kerangka
itu, Gereja dipanggil menjadi suara profetik, bukan sekadar komentator sosial.
Di sinilah apologetika Katolik menemukan
momentumnya. Tuduhan dari kalangan Protestan bahwa Gereja “mengkhianati Injil”
dengan masuk ke politik, atau dari kalangan Islam bahwa Gereja “mempolitisasi
iman” demi kepentingan sendiri, harus dijawab secara tegas. Jawaban Gereja
ialah: politik bukan pengkhianatan Injil, melainkan perwujudan kasih Injil
dalam sejarah.
II. Arsitektur Kekuasaan dan Tantangan
Gereja
Dalam refleksinya di MUSPAS KAK 2025,
Prof. Yanuar Nugroho menekankan bahwa masalah bangsa Indonesia bukanlah sekadar
soal kebijakan praktis—seperti makan gratis, rumah murah, atau subsidi
pendidikan—tetapi soal arsitektur kekuasaan jangka panjang. Kebijakan
teknis hanyalah gejala dari struktur kekuasaan yang lebih dalam. Bila Gereja
hanya fokus pada gejala, ia akan gagal melihat penyakit struktural yang
sesungguhnya.
1. Kekuasaan sebagai Struktur Jangka
Panjang
Arsitektur kekuasaan bekerja dalam horizon
panjang: menentukan siapa yang boleh bicara, bagaimana hukum dibentuk, dan apa
yang disebut sah atau tidak sah di ruang publik. Dalam istilah Santo Agustinus, ini adalah ordo
amoris—tatanan cinta yang salah arah. Agustinus mengingatkan bahwa
kejatuhan politik duniawi terjadi ketika cinta kepada kuasa menggantikan cinta
kepada Allah: “Ketika penguasa mencintai kekuasaan lebih daripada kebenaran,
negara itu bukan lagi negara, melainkan sekadar persekutuan perampok” (De
Civitate Dei IV, 4).
Pernyataan Agustinus ini relevan dalam
konteks Indonesia: jika struktur kekuasaan hanya dijalankan untuk melanggengkan
dominasi oligarki, maka kebijakan apa pun—sebaik apa pun di atas kertas—akan
melahirkan ketidakadilan.
2. Kewaspadaan Gereja terhadap Struktur
Maka, Gereja dipanggil tidak hanya untuk
berkhotbah di altar, tetapi juga untuk membangun kewaspadaan kolektif
terhadap struktur kuasa yang timpang. Konsili Vatikan II mengingatkan: “Adalah
hak dan kewajiban umat beriman untuk bekerja sama dalam membangun tatanan
politik yang sejati, sesuai dengan hukum moral dan untuk kebaikan bersama”
(Gaudium et Spes, 75).
Apologetika
di sini menjadi penting.
- Terhadap kalangan Protestan,
     yang cenderung menekankan iman sebagai urusan pribadi, kita tegaskan bahwa
     iman yang hanya privat berisiko membiarkan struktur publik dikendalikan
     oleh mereka yang tidak peduli pada kebaikan bersama. Injil bukan hanya
     berita keselamatan pribadi, tetapi juga daya yang menguduskan sejarah.
- Terhadap kalangan Islam,
     yang sering menuduh Katolik bersekongkol dengan kekuasaan demi kepentingan
     minoritas, kita tunjukkan bahwa keterlibatan Katolik bukan demi privilese
     politik, tetapi demi menegakkan keadilan universal.
3.
Dari Kebijakan ke Arsitektur Moral
Di
sinilah letak keunikan refleksi Katolik. Thomas Aquinas dalam Summa
Theologiae (I-II, q. 90–97) menjelaskan bahwa hukum manusia hanya sah bila
ditopang oleh hukum moral. Bila hukum bertentangan dengan keadilan, ia
kehilangan kekuatan moralnya: “Lex injusta non est lex”—hukum yang tidak
adil bukanlah hukum. Dengan demikian, keterlibatan Gereja dalam politik bukan
soal menambah kuasa duniawi, tetapi soal memastikan bahwa struktur publik tidak
tercerabut dari moralitas.
Apologetika
Katolik menegaskan:
- Gereja tidak memandang politik sekadar sebagai “seni
     kemungkinan” (Machiavelli), melainkan sebagai arena ordo entis—tatanan
     keberadaan—yang harus diarahkan pada kebaikan.
- Jika Protestan menolak struktur politik dengan alasan “dunia
     sudah jahat”, Katolik menegaskan bahwa Kristus datang bukan hanya untuk
     menebus jiwa, tetapi juga untuk memperbarui dunia (Apostolicam
     Actuositatem, 5).
- Jika Islam menuduh Katolik sebagai agama politik, kita jawab:
     Katolik menolak teokrasi; Gereja mengajarkan “sekularisme sehat”, di mana
     iman menjadi sumber etika publik, bukan alat dominasi.
4.
Warga Beriman, Warga Negara
Prof.
Yanuar menekankan identitas ganda orang Katolik: sebagai warga beriman dan
warga negara. Identitas ini tidak boleh dipisahkan. Inilah yang membedakan
politik Katolik dari sekadar politik sekuler. Politik Katolik berakar pada
kasih Kristus, tetapi berbuah dalam keberanian sipil.
Paus
Benediktus XVI dalam pidatonya di Bundestag Jerman (2011) menegaskan: “Tugas
politik adalah bekerja demi keadilan, dan karenanya menciptakan kondisi
mendasar untuk perdamaian. Politik tidak dapat dilepaskan dari etika.”
Pernyataan ini mempertegas bahwa arsitektur kekuasaan yang sehat hanya mungkin
bila Gereja, umat, dan warga sipil membangun kesadaran bersama akan keadilan.
Jika
Bagian II menekankan pada kesadaran Gereja terhadap arsitektur kekuasaan, maka
langkah selanjutnya adalah menegaskan bahwa politik Katolik bukanlah perebutan
kuasa, melainkan pelayanan. Bagian III akan menjawab secara apologetik tuduhan
bahwa politik Katolik adalah kompromi duniawi.
III.
Politik sebagai Pelayanan, Bukan Perebutan Kekuasaan
Banyak
orang—baik dari kalangan Protestan maupun Islam—memahami politik hanya sebagai arena
perebutan kuasa. Dalam logika ini, politik selalu diwarnai intrik, tipu
daya, dan kompromi kotor. Tak heran, sebagian Protestan menganggap Gereja
Katolik “jatuh ke dunia” ketika berbicara tentang politik, dan sebagian Muslim
menuduh Katolik menjadikan iman sebagai alat untuk mempertahankan pengaruh.
Namun,
pandangan Gereja Katolik justru berlawanan. Politik yang sejati bukanlah
medan penaklukan, melainkan pelayanan.
1.
Fondasi Biblis: Kuasa sebagai Pelayanan
Yesus
sendiri menegaskan: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu,
hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mat 20:26). Prinsip ini membalik logika
kuasa duniawi: semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin besar pula tuntutan
pelayanannya.
Santo
Yohanes Krisostomus menafsirkan panggilan ini secara tajam: “Ia yang
memegang kuasa harus memandang dirinya bukan sebagai penguasa, melainkan
sebagai pelayan, sebab ia akan dimintai pertanggungjawaban tidak hanya atas
dirinya, melainkan atas mereka yang dipimpinnya” (Homili In Acta
Apostolorum 11). Di sini jelas bahwa kuasa publik bukan hak istimewa,
melainkan beban tanggung jawab.
2.
Magisterium: Politik sebagai Kasih
Magisterium
Gereja konsisten mengajarkan bahwa politik adalah salah satu bentuk paling
luhur dari kasih.
- Compendium of the Social Doctrine of the Church no. 565: “Pelayanan dalam bidang politik adalah salah
     satu bentuk tertinggi dari kasih.”
- Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti 180: “Politik
     sejati, yang mengutamakan kebaikan bersama, adalah bentuk tertinggi
     kasih.”
Dengan
demikian, politik Katolik tidak bisa dipandang semata-mata sebagai strategi
mempertahankan dominasi. Ia adalah partisipasi dalam kasih Allah yang konkret,
menjangkau dimensi sosial.
3.
Apologetik terhadap Protestan
Di
banyak tradisi Protestan, terdapat kecenderungan untuk menjauh dari politik
dengan alasan dunia ini sudah jatuh dan tidak dapat diperbaiki, sehingga Injil
cukup dipahami sebagai kabar keselamatan pribadi. Namun, logika ini terjebak
dalam dualisme palsu.
Apologetik
Katolik menjawab: Injil tidak hanya menyelamatkan jiwa, melainkan juga
menguduskan sejarah. Konsili Vatikan II menegaskan: “Kegiatan politik adalah
tugas berat kaum beriman, karena di dalamnya mereka dipanggil untuk membawa
terang Injil demi kesejahteraan bangsa” (Gaudium et Spes 75).
Menjauh dari politik berarti menyerahkan ruang publik kepada mereka yang tidak
peduli pada keadilan.
4.
Apologetik terhadap Islam
Dalam
wacana Islam di Indonesia, Katolik sering dicurigai sebagai minoritas yang
berusaha mempolitisasi iman demi kepentingannya sendiri. Apologetika Katolik
menegaskan: Gereja Katolik menolak teokrasi dan tidak pernah menuntut dominasi
politik. Sebaliknya, Gereja mengusung prinsip “sekularisme sehat”
(healthy secularism), sebagaimana ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI: negara
dan agama memiliki peran yang berbeda, namun bekerja sama demi bonum commune.
Dengan
demikian, keterlibatan Katolik dalam politik bukanlah upaya merebut hegemoni,
melainkan menyumbang etika dan spiritualitas bagi arah moral bangsa.
5.
Integritas sebagai Tolak Ukur
Prof.
Yanuar Nugroho, dalam MUSPAS KAK 2025, menekankan bahwa yang membedakan pejabat
Katolik dari yang lain bukanlah label agamanya, melainkan integritas,
kejujuran, dan keberanian moral. Gereja tidak boleh puas hanya dengan
“memiliki orang Katolik di kursi kekuasaan,” tetapi harus memastikan bahwa
mereka hadir dengan hati nurani yang dibentuk oleh iman.
Thomas
Aquinas mengingatkan dalam Summa Theologiae (II-II, q. 58, a. 1): “Justitia
est habitus secundum quem aliquis constanti et perpetua voluntate jus suum
unicuique tribuit” — keadilan adalah kebiasaan memberi kepada setiap orang
apa yang menjadi haknya. Pejabat Katolik yang sejati adalah mereka yang
menghidupi keadilan ini, bukan mereka yang sekadar memanfaatkan simbol
keagamaan.
Jika
Bagian III menegaskan bahwa politik Katolik adalah pelayanan kasih, maka Bagian
IV akan membahas identitas ganda orang Katolik sebagai warga beriman dan
warga negara, serta bagaimana identitas ini menjadi dasar keterlibatan
politik yang profetik.
IV.
Identitas Ganda: Warga Beriman dan Warga Negara
Salah
satu refleksi yang kuat dari Prof. Yanuar Nugroho dalam MUSPAS KAK 2025
adalah bahwa setiap orang Katolik memikul identitas ganda: ia adalah
warga beriman sekaligus warga negara. Dua identitas ini tidak boleh dipisahkan,
melainkan harus saling memperkaya. Seorang Katolik yang mengabaikan tanggung
jawab sipilnya mereduksi imannya menjadi sekadar spiritualitas privat;
sementara seorang Katolik yang mengabaikan imannya ketika memasuki ruang publik
menjadikan politik sekadar arena kompromi tanpa arah moral.
1.
Fondasi Teologis: Iman yang Menjadi Budaya
Santo
Yohanes Paulus II menegaskan dalam pidatonya di UNESCO (1980): “Iman yang
tidak menjadi budaya adalah iman yang tidak sepenuhnya diterima, tidak
sepenuhnya dipikirkan, dan tidak sepenuhnya dihayati.” Dengan kata lain,
iman tidak boleh berhenti di altar atau doa pribadi, melainkan harus mewujud
dalam kebudayaan, pendidikan, dan politik.
Santo
Agustinus menambahkan kerangka filosofis: “Civitas Dei tidak menghancurkan
civitas terrena, tetapi mengarahkannya pada tujuan yang lebih tinggi” (De
Civitate Dei XIX, 17). Artinya, warga beriman bukan dipanggil untuk lari
dari tanggung jawab duniawi, tetapi untuk mengarahkan kehidupan berbangsa
kepada nilai-nilai surgawi.
2.
Warga Negara: Kewajiban Sipil sebagai Ekspresi Iman
Katekismus
Gereja Katolik menegaskan: “Adalah kewajiban warga negara untuk bekerja sama
dengan pihak berwenang demi kebaikan masyarakat” (KGK 1915). Dengan
demikian, menjalankan tugas sipil bukanlah “kompromi dengan dunia”, melainkan
konsekuensi iman. Seorang Katolik yang jujur membayar pajak, menjaga
lingkungan, atau melawan korupsi sedang mewujudkan imannya dalam ruang publik.
3.
Apologetik terhadap Protestan: Menolak Privatisasi Iman
Di
banyak tradisi Protestan, iman cenderung dipahami sebagai hubungan pribadi
dengan Allah, terlepas dari struktur sosial. Akibatnya, politik dianggap
“kotor” dan sebaiknya dijauhi. Apologetika Katolik menegaskan bahwa pemisahan
ini adalah dualisme palsu. Injil menuntut kesaksian sosial: “Kamu adalah
garam dunia… kamu adalah terang dunia” (Mat 5:13-14). Garam dan terang
tidak berfungsi bila disimpan untuk diri sendiri; ia hanya bermakna bila masuk
ke dalam masyarakat.
Dengan
demikian, Gereja Katolik menolak pandangan bahwa iman cukup diwujudkan dalam
doa pribadi atau etika keluarga. Iman harus menjadi daya transformatif yang
memperbarui masyarakat.
4.
Apologetik terhadap Islam: Menolak Tuduhan Politisasi Iman
Dalam
konteks Islam di Indonesia, sering muncul tuduhan bahwa Katolik, sebagai
minoritas, menggunakan iman untuk mempengaruhi kebijakan publik demi keuntungan
kelompoknya. Tuduhan ini keliru. Katolik tidak pernah menuntut dominasi
politik. Paus Benediktus XVI menyebut prinsip “sekularisme sehat”
(healthy secularism), yakni sebuah relasi yang membedakan peran agama dan
negara tanpa saling meniadakan. Negara menjaga ruang publik yang adil,
sementara iman memberi arah moral dan etika.
Dengan
demikian, Gereja Katolik tidak mempolitisasi iman, tetapi menghadirkan iman
sebagai suara profetik yang meneguhkan nilai universal: keadilan, perdamaian,
dan martabat manusia.
5.
Contoh Konkret: Integritas di Ruang Publik
Prof.
Yanuar dalam MUSPAS KAK 2025 menyinggung banyak pejabat Katolik yang baru
“diakui” oleh Gereja setelah mencapai jabatan tertentu, padahal mereka tidak
pernah didampingi. Hal ini menunjukkan bahaya bila identitas ganda tidak
dijaga: seorang Katolik bisa hanyut dalam politik praktis tanpa arah iman, atau
sebaliknya, menjadi umat yang taat secara spiritual tetapi pasif secara sipil.
Maka,
diperlukan pendampingan berjenjang: dari anak SMA, mahasiswa, profesional muda,
hingga pejabat publik. Identitas ganda ini tidak lahir otomatis, melainkan
perlu dibentuk melalui pendidikan iman yang menyatu dengan tanggung jawab
kewarganegaraan.
Jika
identitas ganda menuntut integrasi iman dan kewarganegaraan, maka
konsekuensinya adalah perlunya pendampingan sistematis. Bagian berikut
akan membahas pendampingan sebagai strategi profetik Gereja untuk memastikan
umat Katolik mampu hadir di ruang publik tanpa kehilangan arah iman.
V.
Pendampingan sebagai Strategi Profetik
Salah
satu gagasan kunci Prof. Yanuar Nugroho dalam MUSPAS KAK 2025 adalah
urgensi pendampingan berjenjang. Menurutnya, Gereja tidak cukup hanya
“mengklaim” keberhasilan seorang pejabat Katolik ketika sudah menduduki jabatan
strategis. Gereja harus hadir sejak awal dalam proses formasi mereka: dari
bangku SMA, mahasiswa, profesional muda, ASN, hingga pejabat publik. Tanpa
pendampingan yang intens, Gereja berisiko meninggalkan generasi Katolik di
ruang publik sendirian, rapuh terhadap godaan struktur kuasa yang korup.
1.
Fondasi Teologis: Murid Misioner dalam Segala Bidang
Paus
Fransiskus menegaskan dalam Evangelii Gaudium (102): “Menjadi murid
misioner berarti siap membawa Injil ke setiap bidang kehidupan sosial.” Hal
ini menunjukkan bahwa kehadiran umat Katolik di bidang politik, ekonomi, dan
birokrasi bukanlah kebetulan, tetapi panggilan misioner. Pendampingan Gereja
bertujuan agar umat mampu menghadirkan Injil dalam keputusan konkret, bukan
hanya dalam doa di altar.
Santo
Gregorius Agung dalam Regula Pastoralis mengingatkan: “Gembala harus
mendampingi domba-dombanya tidak hanya dalam doa, tetapi juga dalam perbuatan,
supaya mereka tidak terjerumus oleh beban dunia.” Pendampingan adalah tugas
pastoral yang integral: doa, sakramen, sekaligus pembinaan etis dan sosial.
2.
Pendampingan sebagai Apologetik terhadap Protestan
Banyak
tradisi Protestan menekankan bahwa iman sejati cukup diukur dari relasi pribadi
dengan Kristus, tanpa memerlukan bimbingan institusional yang berkelanjutan.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa tanpa komunitas dan pendampingan, banyak
orang muda mudah terseret arus sekularisme atau politik identitas.
Apologetika
Katolik menegaskan: Gereja, sebagai mater et magistra (ibu dan guru),
memiliki tanggung jawab membentuk umat dalam jangka panjang. Pendampingan bukan
tanda kelemahan iman pribadi, tetapi perwujudan bahwa iman adalah jalan
bersama.
3.
Pendampingan sebagai Apologetik terhadap Islam
Dalam
diskursus Islam, sering kali muncul kesan bahwa Katolik membentuk “elite
politik tertutup” demi kepentingan kelompoknya. Pendampingan Gereja justru
menunjukkan hal yang sebaliknya. Ia bukan mencetak elite eksklusif, tetapi
menyiapkan warga negara Katolik yang berintegritas untuk melayani seluruh
bangsa.
Seperti
ditegaskan Apostolicam Actuositatem (5): “Kaum awam dipanggil untuk
memperbarui dunia dalam terang Injil.” Ini berarti pendampingan diarahkan
bukan untuk memperkuat kelompok Katolik sebagai minoritas, melainkan untuk
menggarami struktur publik dengan nilai keadilan universal.
4.
Pendampingan dan Konteks Indonesia
Prof.
Yanuar menekankan bahwa banyak pejabat Katolik merasa tidak pernah didampingi
oleh Gereja. Mereka baru diakui ketika sudah sukses. Situasi ini harus
dikoreksi.
- Pendampingan tidak boleh sporadis, melainkan terstruktur:
     SMA–Mahasiswa–Profesional–Pejabat.
- Harus ada database kader Katolik yang dipantau dan
     dibina, bukan hanya di level nasional, tetapi juga keuskupan-keuskupan.
- Pendampingan dilakukan secara rutin: misa bersama, diskusi
     kebijakan, pembinaan integritas, hingga komunitas doa.
Tanpa
ini, Gereja berisiko kehilangan pengaruh moral di ruang publik, sementara
umatnya hanyut dalam logika oligarki atau korupsi struktural.
5.
Dimensi Profetik
Pendampingan
bukan sekadar strategi sosial, tetapi panggilan profetik. Nabi Yeremia menegur
umat Israel yang hanya berhenti pada ritual tanpa keadilan sosial: “Jangan
percaya kepada perkataan dusta: Ini bait Tuhan, bait Tuhan…! Jika
sungguh-sungguh kamu memperbaiki tingkah lakumu, jika kamu melaksanakan
keadilan… barulah Aku mau diam bersama-sama kamu” (Yer 7:4-7).
Begitu
pula Gereja: tidak cukup berkhotbah dari altar, tetapi harus menemani umat di
meja kebijakan. Pendampingan yang profetik berarti mengingatkan, menegur,
bahkan menolak kompromi bila umat tergoda kekuasaan.
Jika
pendampingan adalah strategi untuk menjaga umat tetap setia dalam struktur
publik, maka konsekuensinya adalah politik Katolik harus dipahami sebagai kasih
yang profetik: menghadirkan keadilan dan martabat manusia sebagai inti
kesaksian. Bagian berikut akan menegaskan dimensi profetik ini.
VI.
Politik sebagai Kasih yang Profetik
Jika
pendampingan adalah strategi praktis Gereja, maka tujuan akhirnya adalah
menghadirkan politik sebagai kasih yang profetik. Politik Katolik tidak
berhenti pada perhitungan teknis atau distribusi kekuasaan, melainkan menjadi
kesaksian iman yang mengoreksi, membimbing, dan memperbarui struktur publik.
1.
Kasih yang Membentuk Politik
Paus
Fransiskus dalam Fratelli Tutti (180) menyebut: “Politik yang sejati,
yang mengutamakan kebaikan bersama, adalah bentuk tertinggi kasih.”
Pernyataan ini menempatkan politik bukan dalam logika perebutan, tetapi dalam
logika pelayanan kasih. Kasih tidak hanya dalam bentuk amal pribadi (caritas),
melainkan juga dalam perjuangan struktural demi keadilan sosial (iustitia).
Santo
Agustinus menulis: “Kasih tanpa keadilan adalah sentimen kosong; keadilan
tanpa kasih adalah kekerasan buta.” Maka, politik Katolik selalu menuntut
integrasi keduanya: kasih yang membentuk hukum, dan hukum yang mengatur kasih.
2.
Dimensi Profetik
Prof.
Yanuar dalam MUSPAS KAK 2025 menekankan bahwa Gereja harus berani menjadi
suara profetik di tengah arus politik nasional. Suara profetik berarti dua
hal:
- Mengoreksi kekuasaan ketika
     melenceng dari keadilan.
- Mengusulkan jalan alternatif yang berpihak pada martabat manusia.
Tradisi
Gereja meneguhkan hal ini. Nabi Amos berseru: “Hendaklah keadilan
bergulung-gulung seperti air, dan kebenaran seperti sungai yang selalu
mengalir” (Am 5:24). Gereja yang terlibat dalam politik bukan sekadar
pemain tambahan, melainkan nabi yang berbicara di tengah bangsa.
3.
Apologetik terhadap Protestan
Sebagian
kalangan Protestan sering menuduh Katolik “mencairkan Injil” dengan
menjadikannya etika sosial. Namun, hal ini salah kaprah. Injil memang bersifat
personal, tetapi tidak pernah berhenti di sana. Konsili Vatikan II dalam Apostolicam
Actuositatem (5) menegaskan: “Kaum awam dipanggil untuk memperbarui
tatanan temporal, sehingga dijalankan sesuai dengan kebenaran Injil.”
Dengan kata lain, Injil menuntut transformasi sosial, bukan hanya pertobatan
individu.
Apologetik
Katolik menolak dikotomi Protestan antara “iman rohani” dan “politik duniawi”.
Injil adalah daya historis yang memperbarui dunia. Mengabaikan aspek
sosial-politik justru melemahkan kesaksian iman.
4.
Apologetik terhadap Islam
Sebagian
kalangan Islam menuduh Katolik menyalahgunakan iman untuk memuluskan agenda
politik minoritas. Apologetika Katolik menjawab: keterlibatan Katolik tidak
pernah diarahkan pada dominasi, tetapi pada keadilan universal. Paus Benediktus
XVI dalam ensiklik Caritas in Veritate (2009) menegaskan: “Kasih
dalam kebenaran adalah prinsip yang dapat mengarahkan aktivitas sosial,
ekonomi, dan politik menuju pembangunan manusia seutuhnya.”
Dengan
demikian, Katolik tidak hadir untuk mencari keuntungan kelompok, tetapi untuk
menawarkan prinsip-prinsip universal yang dapat diterima semua orang: martabat
manusia, solidaritas, dan subsidiaritas.
5.
Identitas Profetik Gereja di Indonesia
Dalam
konteks Indonesia, politik sebagai kasih profetik berarti menolak ikut arus
politik transaksional, oligarkis, atau berbasis identitas sempit. Gereja
dipanggil menyuarakan keadilan ekologis, keadilan sosial, dan solidaritas
lintas iman. Prof. Yanuar mengingatkan bahwa arsitektur kekuasaan jangka
panjang harus diarahkan pada keadilan, bukan sekadar proyek jangka pendek.
Thomas
Aquinas menegaskan dalam Summa Theologiae (II-II, q. 47, a. 10): “Bonum
commune lebih luhur daripada bonum privatum, sebab kebaikan bersama adalah
tujuan dari hukum.” Maka, politik Katolik tidak boleh melulu berorientasi
pada kepentingan komunitas Katolik saja, melainkan pada kepentingan bangsa
secara keseluruhan.
Jika
politik Katolik adalah kasih yang profetik, maka basisnya harus dibangun sejak
pendidikan. Bagian berikut akan membahas bagaimana pendidikan menjadi fondasi
transformasi sosial-politik Katolik, sebagaimana ditekankan Prof. Yanuar dalam
MUSPAS KAK 2025.
VII.
Pendidikan sebagai Basis Transformasi
Prof.
Yanuar Nugroho dalam MUSPAS KAK 2025 menegaskan bahwa masa depan Gereja
dan bangsa hanya dapat dibangun di atas pendidikan yang kritis, kontekstual,
dan profetik. Pendidikan bukan sekadar mentransfer pengetahuan, melainkan
membentuk hati nurani dan kepemimpinan moral. Dalam konteks politik Katolik,
pendidikan adalah sarana utama membangun generasi yang mampu menghadirkan
politik sebagai pelayanan kasih.
1.
Pendidikan sebagai Misi Gereja
Sejak
awal, Gereja Katolik menyadari pendidikan sebagai bagian dari misinya. Santo
Yohanes Krisostomus menulis: “Tidak ada warisan yang lebih besar yang dapat
diberikan orang tua kepada anak-anak mereka selain pembentukan karakter yang
benar.” Pendidikan bukan hanya soal keterampilan, tetapi pembentukan
manusia seutuhnya.
Magisterium
menegaskan hal ini. Gravissimum Educationis (2): “Pendidikan sejati
bertujuan membentuk pribadi manusia seutuhnya, yang sekaligus berakar dalam
iman dan terbuka bagi dunia.” Dengan demikian, pendidikan Katolik
menyiapkan umat untuk menjadi warga negara yang adil, jujur, dan bertanggung
jawab.
2.
Lima Rekomendasi Pendidikan (Refleksi Prof. Yanuar)
Dalam
konteks Keuskupan Agung Kupang, Prof. Yanuar menawarkan lima pilar pendidikan
transformatif:
- Membangun kompetensi kritis dan profetik – agar umat berani menilai kebijakan dengan nurani yang
     tajam.
- Mengintegrasikan iman dan kewarganegaraan sejak dini – agar anak-anak belajar bahwa menjadi Katolik berarti juga
     menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
- Mengarusutamakan keadilan sosial dan ekologi – menanamkan kesadaran akan keutuhan ciptaan dan martabat
     kaum miskin.
- Mengembangkan keterampilan kontekstual – pertanian lahan kering, energi terbarukan, pariwisata
     berkelanjutan, dan maritim sebagai basis ekonomi lokal.
- Formasi kepemimpinan moral –
     membentuk pemimpin yang berani melawan korupsi dan menyuarakan keadilan.
Kelima
hal ini menunjukkan bahwa pendidikan Katolik bukan sekadar kurikulum akademis,
tetapi strategi pastoral untuk melahirkan generasi profetik.
3.
Apologetik terhadap Protestan
Sebagian
kalangan Protestan menuduh pendidikan Katolik hanyalah alat mempertahankan
tradisi institusional. Apologetika Katolik menjawab: pendidikan Katolik justru
membentuk nurani yang bebas dan kritis. Tanpa pendidikan iman yang kokoh, umat
mudah terjerat pragmatisme politik.
St.
Thomas Aquinas menegaskan dalam Summa Theologiae (I-II, q. 1, a. 8): “Tujuan
akhir manusia adalah kebahagiaan yang sejati, yang hanya tercapai bila akal dan
kehendak diarahkan pada kebaikan.” Pendidikan Katolik adalah jalan
mengarahkan akal dan kehendak pada kebaikan, bukan sekadar pengetahuan duniawi.
4.
Apologetik terhadap Islam
Sebagian
kalangan Islam menuduh sekolah Katolik sebagai alat misionaris terselubung atau
elitisme sosial. Faktanya, pendidikan Katolik di Indonesia terbuka untuk semua,
tanpa diskriminasi iman. Tujuannya adalah membentuk manusia yang bermartabat,
sesuai prinsip universal.
Paus
Fransiskus dalam Laudato Si’ (202) menegaskan pentingnya ecological
education sebagai basis solidaritas universal. Dengan demikian, pendidikan
Katolik bukan mengutamakan kepentingan Katolik semata, tetapi membangun
kesadaran kolektif bangsa.
5.
Pendidikan sebagai Basis Transformasi Sosial
Pendidikan
Katolik tidak hanya menghasilkan profesional, tetapi agen perubahan.
Jika politik Katolik adalah kasih profetik, maka pendidikan Katolik adalah
rahim yang melahirkan nabi-nabi baru: orang muda yang berani berkata benar,
melawan korupsi, menjaga lingkungan, dan membela yang tertindas.
Dalam
konteks Indonesia, ini berarti membentuk generasi yang tidak hanya mengejar
kekuasaan, tetapi juga siap mengorbankan kenyamanan demi keadilan. Inilah wujud
nyata panggilan Gereja untuk mengubah arsitektur kekuasaan melalui formasi
nurani.
Jika
pendidikan adalah fondasi, maka tanggung jawab akhirnya ada pada Gereja sebagai
komunitas profetik. Bagian berikut akan menegaskan peran Gereja sebagai suara
profetik yang menegur, membimbing, dan mengarahkan bangsa pada keadilan.
VIII.
Kesimpulan dan Tanggung Jawab Profetik Gereja
Refleksi
dalam MUSPAS KAK 2025 yang disampaikan Prof. Yanuar Nugroho menegaskan
kembali sebuah kebenaran mendasar: Gereja Katolik tidak bisa bersembunyi dari
politik. Politik, dalam terang Injil, bukanlah perebutan kuasa, melainkan perwujudan
kasih dalam sejarah. Gereja dipanggil untuk membentuk umatnya agar berani
hadir di ruang publik dengan integritas, kejujuran, dan keberanian moral.
1.
Politik sebagai Wujud Kasih
Dari
Yesus yang bersabda “Barangsiapa ingin menjadi besar, hendaklah ia menjadi
pelayan” (Mat 20:26), hingga Paus Fransiskus yang menegaskan dalam Fratelli
Tutti (180) bahwa politik sejati adalah bentuk tertinggi kasih, garis
ajaran Gereja konsisten: politik adalah pelayanan. Kritik Protestan yang
menuduh Gereja “mengkhianati Injil” dengan terlibat politik terpatahkan, sebab
Injil sendiri menuntut transformasi sosial. Begitu pula tuduhan dari sebagian
kalangan Islam bahwa Katolik mempolitisasi iman demi kepentingannya sendiri:
politik Katolik bukan untuk dominasi, melainkan demi kebaikan bersama (bonum
commune).
2.
Identitas Ganda dan Pendidikan
Orang
Katolik tidak bisa melepaskan identitas gandanya sebagai warga beriman dan
warga negara. Iman tanpa tanggung jawab sipil menjadi hampa, sementara politik
tanpa iman kehilangan arah moral. Di sinilah pendidikan Katolik menjadi rahim
yang melahirkan generasi profetik: anak-anak, mahasiswa, profesional muda, dan
pejabat publik yang berakar pada iman sekaligus berkomitmen pada bangsa.
3.
Gereja sebagai Suara Profetik
Gereja
dipanggil bukan untuk menjadi pemain partisan, melainkan nabi yang berani
menegur, mengoreksi, dan menunjukkan jalan keadilan. Santo Agustinus
mengingatkan: “Kerajaan tanpa keadilan hanyalah sekumpulan perampok” (De
Civitate Dei IV, 4). Pernyataan ini tetap relevan di Indonesia hari ini:
Gereja harus berani menegur praktik politik yang melenceng, baik itu korupsi,
oligarki, maupun politik identitas.
4.
Tanggung Jawab Konkret
Refleksi
apologetik ini menyimpulkan bahwa Gereja di Indonesia memiliki tiga tanggung
jawab utama:
- Membangun formasi kader profetik melalui pendidikan berjenjang.
- Menghadirkan kesaksian iman
     dalam ruang publik, bukan hanya di altar.
- Menjadi suara keadilan di tengah
     arsitektur kekuasaan yang kerap timpang.
5.
Apologetik sebagai Kesaksian
Apologetika
Katolik terhadap Protestan dan Islam bukan sekadar bantahan intelektual,
melainkan kesaksian bahwa iman Katolik mampu menghadirkan wajah kasih Allah
dalam ruang politik. Gereja tidak datang untuk menguasai, melainkan untuk
melayani; tidak untuk menutup ruang dialog, melainkan untuk memperkaya bangsa
dengan etika kasih yang profetik.
Penutup
MUSPAS
KAK 2025 menjadi pengingat bahwa Gereja di Indonesia tidak boleh pasif. Jika
Gereja hanya berdiam diri, politik akan dikuasai oleh logika kepentingan dan
kekerasan. Namun, bila Gereja hadir dengan integritas, pendampingan, dan
pendidikan profetik, politik akan menjadi jalan menuju kebaikan bersama.
Inilah
panggilan profetik Gereja: menghadirkan Injil dalam sejarah, sehingga politik
sungguh menjadi caritas in veritate — kasih dalam kebenaran, kasih yang
mengubah bangsa.
@patris_allegro