Pendahuluan
Kasus
pemecatan Kompol Cosmas baru-baru ini menimbulkan perdebatan publik yang tidak
sederhana. Banyak yang melihatnya sekadar sebagai persoalan disiplin aparat,
sebuah tindakan tegas dari Polri untuk menjaga integritas lembaganya. Namun,
jika ditelaah lebih dalam, kasus ini sesungguhnya menyentuh persoalan filosofis
dan etis yang jauh lebih mendasar: benturan antara martabat manusia sebagai
pribadi dan tanggung jawab institusi untuk menjaga keadilan sosial.
Di
satu sisi, Kompol Cosmas adalah seorang individu dengan sejarah pengabdian
panjang, seorang suami, dan seorang ayah. Menguranginya hanya menjadi
“pelanggar disiplin” berisiko meniadakan nilai personal yang melekat padanya.
Personalisme thomistik, yang berakar pada filsafat Thomas Aquinas dan
diteguhkan oleh ajaran magisterial Gereja, menegaskan bahwa manusia adalah imago
Dei—gambar Allah—yang martabatnya tidak dapat dikurangi, bahkan ketika ia
bersalah. Perspektif ini menuntut agar kebijakan hukum maupun institusional
tetap menghormati pribadi manusia secara utuh.
Namun
di sisi lain, Polri sebagai institusi tidak bisa semata-mata mempertimbangkan
sisi personal. Legitimasi moral dan sosialnya bergantung pada kemampuannya
menegakkan hukum secara konsisten, adil, dan transparan. Kontrak sosial dengan
publik mengikat Polri untuk menjaga integritas internal dan memastikan disiplin
berlaku bagi semua anggotanya tanpa pandang bulu. Dalam kerangka thomistik, ini
adalah wujud nyata dari bonum commune—kebaikan bersama—yang hanya bisa
dicapai jika hukum ditegakkan secara tegas.
Tulisan
ini berusaha membaca kasus Cosmas dengan kerangka personalisme thomistik, yang
memadukan penghargaan terhadap martabat manusia dengan tuntutan keadilan
sosial. Pendekatan ini bukan saja memberi kedalaman analisis etis, tetapi juga
membuka kemungkinan solusi yang lebih transparan dan manusiawi bagi institusi
modern. Dengan menempatkan kasus ini sebagai “laboratorium etika”, kita dapat
memahami bahwa dilema antara personalisme dan tanggung jawab institusi bukanlah
kontradiksi mutlak, melainkan tegangan kreatif yang dapat disatukan melalui
kebijaksanaan praktis (prudentia) dan keadilan (iustitia).
Kerangka Teoretis
1. Personalisme Thomistik: Martabat
sebagai Inti
Personalisme lahir sebagai kritik
terhadap reduksionisme modern yang cenderung melihat manusia hanya dari fungsi
biologis, sosial, atau ekonomis. Dalam perspektif personalisme thomistik, yang
berakar pada pemikiran Thomas Aquinas, manusia dipahami sebagai substantia
completa—kesatuan tubuh dan jiwa yang dijiwai akal budi (ratio) dan
kehendak bebas (voluntas).
Martabat manusia tidak berasal dari
status sosial, jabatan, atau perannya dalam institusi, melainkan dari kenyataan
ontologis bahwa ia adalah imago Dei—gambar Allah. Katekismus
Gereja Katolik menegaskan: “Being in the image of God the human individual
possesses the dignity of a person, who is not just something, but someone.”
(CCC 357). Pandangan ini menolak perlakuan manusia sebagai objek atau sekadar
alat untuk kepentingan institusional.
Konsili
Vatikan II dalam Gaudium et Spes (1965) meneguhkan arah ini: “Martabat
manusia adalah sesuatu yang sangat disadari oleh Gereja. Sebab manusia
diciptakan menurut gambar Allah.” (GS 12). Dengan demikian, setiap
kebijakan publik, termasuk pemecatan anggota institusi, tidak boleh menghapus
martabat pribadi yang melekat pada manusia.
Paus
Yohanes Paulus II dalam Redemptor Hominis (1979) menegaskan bahwa
manusia adalah jalan utama Gereja: “Man is the primary and fundamental way
for the Church.” (RH 14). Prinsip ini menuntut agar dalam setiap tindakan
politik maupun institusional, manusia tetap diperlakukan sebagai tujuan, bukan
sarana.
Kerangka
ini membawa konsekuensi etis dalam kasus Cosmas: ia tidak bisa direduksi hanya
sebagai pelanggar, tetapi harus dipandang sebagai pribadi dengan riwayat
pengabdian, keluarga, dan jasa. Personalisme thomistik menegaskan dimensi
relasional manusia—bahwa tindakan terhadap individu memiliki dampak pada
keluarganya, yang martabatnya juga harus dihormati.
2.
Tanggung Jawab Institusi: Bonum Commune sebagai Tujuan
Jika
personalisme menekankan martabat pribadi, maka institusionalisme dalam kerangka
thomistik menegaskan pentingnya bonum commune (kebaikan bersama).
Aquinas memandang masyarakat dan institusi sebagai corpus morale (tubuh
moral) yang keberadaannya ditujukan untuk memungkinkan individu mencapai
kebaikan bersama secara lebih utuh.
Gaudium
et Spes pasal 26 mendefinisikan bonum commune sebagai “jumlah dari
semua kondisi kehidupan sosial yang memungkinkan individu, keluarga, dan
kelompok-kelompok mencapai pemenuhan diri mereka secara lebih penuh dan lebih
mudah.” Maka, lembaga seperti Polri tidak hanya mengurus anggotanya, tetapi
juga memikul tanggung jawab menjaga kepercayaan publik, integritas hukum, dan
disiplin internal.
Dalam kerangka ini, ada tiga dimensi
penting:
- Kontrak Sosial dengan Publik – Polri memiliki legitimasi
karena diberi wewenang oleh masyarakat. Untuk menjaga kepercayaan,
ia harus bertindak tegas dan transparan.
- Integritas
Internal – Sebagai tubuh moral, Polri hanya bisa berfungsi jika
standar disiplin ditegakkan secara konsisten.
- Keadilan
terhadap Anggota Lain – Jika pelanggaran besar tidak ditindak, maka
anggota lain yang setia akan merasa dirugikan. Ini melanggar prinsip
keadilan distributif.
Dengan
demikian, tanggung jawab institusi tidak sekadar administratif, tetapi moral.
Setiap pelanggaran besar yang dibiarkan tanpa sanksi akan merusak bonum
commune dan pada akhirnya merugikan masyarakat luas.
Bagian
kerangka teoretis ini menyiapkan landasan konseptual untuk membaca kasus
Cosmas: sebuah ketegangan antara dignitas personae (martabat pribadi)
dan bonum commune (kebaikan bersama).
Analisis
Kasus Kompol Cosmas
1.
Perspektif Personalisme
Dalam
kacamata personalisme thomistik, tindakan pemecatan terhadap Kompol Cosmas
tidak bisa hanya dilihat sebagai penerapan aturan formal. Ada dimensi manusiawi
yang harus diakui.
Pertama, Cosmas sebagai pribadi
utuh. Ia bukan sekadar aparat yang melakukan pelanggaran, melainkan seorang
manusia dengan riwayat panjang pengabdian, seorang ayah, dan seorang suami.
Menguranginya hanya pada kesalahan terakhirnya berarti melakukan reduksionisme
moral—meniadakan martabat yang lebih dalam sebagai imago Dei.
Kedua, tanggung jawab relasional
terhadap keluarga. Aquinas menekankan bahwa manusia selalu hidup dalam
jaringan relasi. Ketika Cosmas diberhentikan, dampaknya menjalar pada
keluarganya, yang tidak bersalah tetapi ikut menanggung konsekuensi.
Personalisme menuntut adanya mekanisme perlindungan agar martabat keluarga
tetap dihormati—misalnya melalui jaminan pendidikan anak atau perlindungan
dasar.
Ketiga, loyalitas timbal balik.
Cosmas pernah mengabdi bagi negara, bahkan mungkin dalam situasi penuh risiko.
Personalisme memandang hubungan individu dan institusi sebagai relasi etis yang
ditopang keadilan distributif: pengabdian dan loyalitas seorang anggota
semestinya memperoleh bentuk pengakuan, bahkan ketika ia jatuh dalam
pelanggaran. Pemutusan
total, tanpa pengakuan atas jasa sebelumnya, berpotensi melanggar ikatan moral
tersebut.
Dari perspektif ini, pemecatan yang
hanya menonjolkan aspek hukuman dianggap kurang manusiawi. Personalisme
menuntut agar setiap hukuman tetap memperhitungkan narasi hidup, jasa, dan
relasi sosial seorang pribadi.
2. Perspektif Tanggung Jawab
Institusi
Di sisi lain, Polri sebagai
institusi memiliki tugas menjaga bonum commune—kebaikan bersama. Tanggung jawab ini menuntut disiplin
yang jelas, konsisten, dan transparan.
Pertama, tanggung jawab kepada
publik. Kepercayaan masyarakat pada Polri hanya akan terjaga jika hukum
ditegakkan tanpa pandang bulu. Pemecatan yang diumumkan secara terbuka adalah
wujud akuntabilitas moral kepada publik, sesuai kontrak sosial yang mengikat
lembaga dengan masyarakat.
Kedua, menjaga integritas
internal. Institusi adalah corpus morale. Jika pelanggaran besar
dibiarkan, disiplin internal akan runtuh. Dalam kerangka thomistik, hal ini
merusak keadilan legalis, yang menuntut agar aturan ditegakkan secara
konsisten.
Ketiga,
keadilan bagi anggota lain. Ribuan polisi lain yang setia pada aturan
akan kehilangan motivasi jika pelanggaran besar tidak ditindak. Ini melanggar
prinsip keadilan distributif, karena beban moral tidak terbagi adil.
Dengan
demikian, pemecatan bukan hanya langkah administratif, tetapi sebuah sinyal
moral bahwa integritas institusi dijaga. Namun, di sini muncul ketegangan
dengan personalisme, sebab sanksi yang terlalu keras tanpa dimensi kemanusiaan
bisa dipersepsikan sebagai pengabaian martabat pribadi.
3.
Benturan dan Risiko
Kasus
Cosmas menyingkap tegangan etis antara dua nilai fundamental: martabat
manusia (dignitas personae) dan kebaikan bersama (bonum commune).
- Personalisme berkata: “Hormati
narasi hidup, pengabdian, dan keluarganya.”
- Institusi berkata: “Tegakkan
hukum demi disiplin dan kepercayaan publik.”
Dalam
praktiknya, sering muncul solusi kompromistis berupa “kompensasi sunyi” yang
diberikan kepada keluarga. Namun, mekanisme tersembunyi seperti ini menimbulkan
risiko besar: jika terbongkar, publik akan melihat adanya “dua wajah”
hukum—tegas di depan umum, tetapi lunak di balik layar. Ini bisa merusak
legitimasi lebih dalam daripada jika institusi tidak bertindak sama sekali.
Analisis
ini menunjukkan bahwa kasus Cosmas bukan sekadar soal benar atau salah,
melainkan panggilan untuk mencari bentuk keadilan yang lebih utuh—yang tidak
mengorbankan martabat pribadi sekaligus tidak melemahkan integritas institusi.
Benturan
dan Titik Temu
1.
Benturan Nilai
Kasus
Kompol Cosmas memperlihatkan bagaimana dua nilai fundamental dapat saling
menegangkan. Dari sisi personalisme, pemecatan yang keras berisiko melukai
martabat pribadi dan merusak kehidupan keluarganya. Pandangan ini mengingatkan
bahwa individu bukan sekadar fungsi institusi, tetapi seorang pribadi dengan
sejarah, jasa, dan jaringan relasi.
Sebaliknya,
dari sisi institusional, pembiaran atau toleransi terhadap pelanggaran akan
menghancurkan kepercayaan publik dan melemahkan disiplin internal. Polri
sebagai corpus morale memiliki kewajiban menjaga bonum commune,
yang menuntut adanya sanksi yang jelas, konsisten, dan dapat dilihat publik.
Tegangan ini tidak bisa dihindari.
Personalisme menekankan perlindungan individu, sementara institusi menekankan
disiplin kolektif. Pada titik ini, seakan-akan keduanya tidak dapat
dipertemukan: menjaga martabat pribadi berarti melemahkan institusi, sementara
menjaga institusi berarti mengorbankan martabat individu.
2. Potensi Rekonsiliasi
Dalam filsafat Thomistik, benturan
nilai tidak harus berakhir pada pilihan “salah satu.” Aquinas menekankan
prinsip prudentia (kebijaksanaan praktis) yang memungkinkan
penyeimbangan nilai dalam situasi konkret. Prudentia berfungsi sebagai
akal budi praktis yang menuntun tindakan manusia agar tetap selaras dengan
kebaikan moral.
Rekonsiliasi dimungkinkan melalui
langkah-langkah berikut:
- Disiplin
yang Tegas dan Transparan
Pemecatan
tetap dilakukan dan diumumkan secara terbuka sebagai wujud akuntabilitas
publik. Ini menjaga legitimasi institusi dan mengafirmasi keadilan legalis.
- Mekanisme
Perlindungan Kemanusiaan yang Formal
Alih-alih
“kompensasi sunyi”, institusi perlu memiliki regulasi terbuka yang memastikan
keluarga anggota yang diberhentikan tidak kehilangan hak dasar. Misalnya,
dukungan pendidikan anak atau akses kesehatan terbatas. Hal ini menghormati dignitas
personae tanpa melanggar prinsip akuntabilitas.
- Komunikasi
Publik yang Jernih
Institusi
harus menjelaskan bahwa tindakan disiplin tidak menghapus pengakuan atas jasa
masa lalu. Dengan transparansi, publik tidak melihat adanya “hukum dua wajah”,
melainkan keseimbangan antara keadilan dan belas kasih.
3.
Prinsip Etis: Iustitia dan Misericordia
Dalam
tradisi Thomistik, keadilan (iustitia) dan belas kasih (misericordia)
bukanlah lawan, tetapi dua aspek yang harus berjalan bersama. Keadilan menuntut
sanksi demi keteraturan sosial, sementara belas kasih menuntut perlindungan
martabat individu.
Titik
temu hanya dapat dicapai jika kedua prinsip ini diintegrasikan dalam kebijakan
publik yang transparan. Dengan begitu, tindakan Polri tidak lagi tampak sebagai
paradoks antara “drama publik” dan “proteksi internal”, melainkan sebagai
praktik etis yang menyatukan tuntutan personalisme dan tanggung jawab
institusi.
Solusi Normatif
1. Disiplin yang Tegas dan
Transparan
Langkah pertama yang harus
ditegakkan adalah disiplin hukum yang tidak pandang bulu. Dalam kerangka
Thomistik, ini sejalan dengan keadilan legalis—kewajiban institusi untuk
menegakkan aturan demi bonum commune. Pemecatan Kompol Cosmas, jika
memang sudah melalui proses hukum yang sah, tetap harus dilaksanakan secara
terbuka dan diumumkan kepada publik. Dengan cara ini, Polri menunjukkan bahwa
integritas internalnya dijaga dan kepercayaan publik dipelihara.
Namun, ketegasan ini tidak boleh
dijalankan dalam kerangka punitif semata. Transparansi memberi nilai moral
tambahan, karena publik tidak hanya melihat efek disiplin, tetapi juga proses
keadilan yang jernih.
2. Mekanisme Perlindungan
Kemanusiaan yang Formal
Dalam
tradisi personalisme thomistik, martabat manusia tidak pernah hilang, bahkan
dalam kondisi bersalah. Karena itu, sanksi terhadap Cosmas seharusnya tidak
menyeret keluarganya dalam penderitaan tanpa perlindungan.
Alih-alih
“kompensasi sunyi” yang rawan menimbulkan persepsi hipokrisi, Polri dapat
merumuskan mekanisme formal yang dilembagakan. Misalnya:
- Hak
Pendidikan Anak – Mantan anggota yang diberhentikan dengan catatan
pengabdian panjang tetap memperoleh akses pendidikan untuk anak-anaknya.
- Jaminan
Kesehatan Terbatas – Keluarga masih mendapat perlindungan kesehatan
dasar.
- Pengakuan
Pengabdian Masa Lalu – Pencatatan resmi mengenai jasa dan loyalitas
yang telah diberikan sebelum pelanggaran terjadi.
Dengan
mekanisme ini, martabat keluarga tetap dihormati, sementara publik melihat
aturan yang konsisten dan bukan privilese tersembunyi.
3.
Komunikasi Publik yang Jernih
Kebijakan
yang baik dapat kehilangan nilainya bila komunikasi publik lemah. Polri harus
berani menyampaikan pesan ganda yang seimbang:
- “Kami tegas
menegakkan hukum, karena hukum adalah pilar keadilan sosial.”
- “Kami juga
tidak menelantarkan keluarga yang tidak bersalah, karena martabat manusia
tetap kami junjung.”
Komunikasi
seperti ini bukan bentuk kompromi moral, melainkan integrasi nilai keadilan dan
belas kasih. Transparansi ini justru menguatkan legitimasi institusi, karena
publik melihat adanya keseimbangan antara disiplin dan kemanusiaan.
4.
Menyatukan Iustitia dan Misericordia
Dalam
kerangka Thomistik, solusi normatif selalu menuntut kesatuan antara iustitia
(keadilan) dan misericordia (belas kasih). Keadilan tanpa belas kasih
akan menjadi kaku dan dehumanis. Sebaliknya, belas kasih tanpa keadilan akan
melahirkan ketidakadilan struktural.
Kasus
Cosmas menunjukkan bahwa solusi ideal bukanlah memilih salah satu, melainkan
merumuskan mekanisme di mana keduanya berjalan bersama. Pemecatan adalah
keadilan, perlindungan keluarga adalah belas kasih, dan transparansi adalah
jembatan yang menyatukan keduanya.
Apabila
Polri mampu mewujudkan mekanisme ini, maka kasus Cosmas dapat menjadi preseden
etis yang kuat: bahwa institusi modern bisa tetap disiplin sekaligus manusiawi,
tegas sekaligus penuh belas kasih.
Kesimpulan
Kasus
Kompol Cosmas bukan sekadar peristiwa disiplin internal kepolisian, melainkan
sebuah laboratorium etis yang memperlihatkan ketegangan mendasar antara
martabat pribadi (dignitas personae) dan tanggung jawab institusi untuk
menjaga bonum commune. Dari perspektif personalisme thomistik, setiap
manusia adalah imago Dei, pribadi utuh yang tidak boleh direduksi hanya
pada kesalahannya. Sementara itu, dari perspektif institusional, Polri sebagai corpus
morale wajib menegakkan hukum secara konsisten, demi menjaga kepercayaan
publik dan integritas internal.
Benturan
antara dua nilai ini tidak harus berakhir pada pilihan biner—memihak individu
dengan mengorbankan institusi, atau sebaliknya. Jalan tengah yang lebih
berintegritas dapat ditemukan dalam prinsip prudentia (kebijaksanaan
praktis) dan integrasi antara iustitia (keadilan) dan misericordia
(belas kasih). Dengan pemecatan yang tegas dan transparan, mekanisme
perlindungan formal bagi keluarga, serta komunikasi publik yang jernih, Polri
dapat sekaligus menjaga integritasnya dan menghormati martabat manusia.
Di
era keterbukaan, pendekatan “dua wajah”—tegas di depan publik tetapi lunak di
balik layar—semakin kehilangan relevansi. Solusi yang berakar pada personalisme
thomistik menawarkan paradigma baru: bahwa disiplin hukum dan penghormatan
martabat manusia bukanlah dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua sisi
dari satu komitmen etis. Dengan menegakkan keadilan tanpa menghapus belas
kasih, institusi dapat tampil bukan hanya sebagai pelindung hukum, tetapi juga
sebagai penjaga kemanusiaan.
