LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Kajian Kasus Kompol Cosmas: Perspektif Personalisme Thomistik vs. Tanggung Jawab Institusi

 


Pendahuluan

Kasus pemecatan Kompol Cosmas baru-baru ini menimbulkan perdebatan publik yang tidak sederhana. Banyak yang melihatnya sekadar sebagai persoalan disiplin aparat, sebuah tindakan tegas dari Polri untuk menjaga integritas lembaganya. Namun, jika ditelaah lebih dalam, kasus ini sesungguhnya menyentuh persoalan filosofis dan etis yang jauh lebih mendasar: benturan antara martabat manusia sebagai pribadi dan tanggung jawab institusi untuk menjaga keadilan sosial.

Di satu sisi, Kompol Cosmas adalah seorang individu dengan sejarah pengabdian panjang, seorang suami, dan seorang ayah. Menguranginya hanya menjadi “pelanggar disiplin” berisiko meniadakan nilai personal yang melekat padanya. Personalisme thomistik, yang berakar pada filsafat Thomas Aquinas dan diteguhkan oleh ajaran magisterial Gereja, menegaskan bahwa manusia adalah imago Dei—gambar Allah—yang martabatnya tidak dapat dikurangi, bahkan ketika ia bersalah. Perspektif ini menuntut agar kebijakan hukum maupun institusional tetap menghormati pribadi manusia secara utuh.

Namun di sisi lain, Polri sebagai institusi tidak bisa semata-mata mempertimbangkan sisi personal. Legitimasi moral dan sosialnya bergantung pada kemampuannya menegakkan hukum secara konsisten, adil, dan transparan. Kontrak sosial dengan publik mengikat Polri untuk menjaga integritas internal dan memastikan disiplin berlaku bagi semua anggotanya tanpa pandang bulu. Dalam kerangka thomistik, ini adalah wujud nyata dari bonum commune—kebaikan bersama—yang hanya bisa dicapai jika hukum ditegakkan secara tegas.

Tulisan ini berusaha membaca kasus Cosmas dengan kerangka personalisme thomistik, yang memadukan penghargaan terhadap martabat manusia dengan tuntutan keadilan sosial. Pendekatan ini bukan saja memberi kedalaman analisis etis, tetapi juga membuka kemungkinan solusi yang lebih transparan dan manusiawi bagi institusi modern. Dengan menempatkan kasus ini sebagai “laboratorium etika”, kita dapat memahami bahwa dilema antara personalisme dan tanggung jawab institusi bukanlah kontradiksi mutlak, melainkan tegangan kreatif yang dapat disatukan melalui kebijaksanaan praktis (prudentia) dan keadilan (iustitia).

Kerangka Teoretis

1. Personalisme Thomistik: Martabat sebagai Inti

Personalisme lahir sebagai kritik terhadap reduksionisme modern yang cenderung melihat manusia hanya dari fungsi biologis, sosial, atau ekonomis. Dalam perspektif personalisme thomistik, yang berakar pada pemikiran Thomas Aquinas, manusia dipahami sebagai substantia completa—kesatuan tubuh dan jiwa yang dijiwai akal budi (ratio) dan kehendak bebas (voluntas).

Martabat manusia tidak berasal dari status sosial, jabatan, atau perannya dalam institusi, melainkan dari kenyataan ontologis bahwa ia adalah imago Dei—gambar Allah. Katekismus Gereja Katolik menegaskan: “Being in the image of God the human individual possesses the dignity of a person, who is not just something, but someone.” (CCC 357). Pandangan ini menolak perlakuan manusia sebagai objek atau sekadar alat untuk kepentingan institusional.

Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (1965) meneguhkan arah ini: “Martabat manusia adalah sesuatu yang sangat disadari oleh Gereja. Sebab manusia diciptakan menurut gambar Allah.” (GS 12). Dengan demikian, setiap kebijakan publik, termasuk pemecatan anggota institusi, tidak boleh menghapus martabat pribadi yang melekat pada manusia.

Paus Yohanes Paulus II dalam Redemptor Hominis (1979) menegaskan bahwa manusia adalah jalan utama Gereja: “Man is the primary and fundamental way for the Church.” (RH 14). Prinsip ini menuntut agar dalam setiap tindakan politik maupun institusional, manusia tetap diperlakukan sebagai tujuan, bukan sarana.

Kerangka ini membawa konsekuensi etis dalam kasus Cosmas: ia tidak bisa direduksi hanya sebagai pelanggar, tetapi harus dipandang sebagai pribadi dengan riwayat pengabdian, keluarga, dan jasa. Personalisme thomistik menegaskan dimensi relasional manusia—bahwa tindakan terhadap individu memiliki dampak pada keluarganya, yang martabatnya juga harus dihormati.

2. Tanggung Jawab Institusi: Bonum Commune sebagai Tujuan

Jika personalisme menekankan martabat pribadi, maka institusionalisme dalam kerangka thomistik menegaskan pentingnya bonum commune (kebaikan bersama). Aquinas memandang masyarakat dan institusi sebagai corpus morale (tubuh moral) yang keberadaannya ditujukan untuk memungkinkan individu mencapai kebaikan bersama secara lebih utuh.

Gaudium et Spes pasal 26 mendefinisikan bonum commune sebagai “jumlah dari semua kondisi kehidupan sosial yang memungkinkan individu, keluarga, dan kelompok-kelompok mencapai pemenuhan diri mereka secara lebih penuh dan lebih mudah.” Maka, lembaga seperti Polri tidak hanya mengurus anggotanya, tetapi juga memikul tanggung jawab menjaga kepercayaan publik, integritas hukum, dan disiplin internal.

Dalam kerangka ini, ada tiga dimensi penting:

  1. Kontrak Sosial dengan Publik – Polri memiliki legitimasi karena diberi wewenang oleh masyarakat. Untuk menjaga kepercayaan, ia harus bertindak tegas dan transparan.
  2. Integritas Internal – Sebagai tubuh moral, Polri hanya bisa berfungsi jika standar disiplin ditegakkan secara konsisten.
  3. Keadilan terhadap Anggota Lain – Jika pelanggaran besar tidak ditindak, maka anggota lain yang setia akan merasa dirugikan. Ini melanggar prinsip keadilan distributif.

Dengan demikian, tanggung jawab institusi tidak sekadar administratif, tetapi moral. Setiap pelanggaran besar yang dibiarkan tanpa sanksi akan merusak bonum commune dan pada akhirnya merugikan masyarakat luas.

Bagian kerangka teoretis ini menyiapkan landasan konseptual untuk membaca kasus Cosmas: sebuah ketegangan antara dignitas personae (martabat pribadi) dan bonum commune (kebaikan bersama).

Analisis Kasus Kompol Cosmas

1. Perspektif Personalisme

Dalam kacamata personalisme thomistik, tindakan pemecatan terhadap Kompol Cosmas tidak bisa hanya dilihat sebagai penerapan aturan formal. Ada dimensi manusiawi yang harus diakui.

Pertama, Cosmas sebagai pribadi utuh. Ia bukan sekadar aparat yang melakukan pelanggaran, melainkan seorang manusia dengan riwayat panjang pengabdian, seorang ayah, dan seorang suami. Menguranginya hanya pada kesalahan terakhirnya berarti melakukan reduksionisme moral—meniadakan martabat yang lebih dalam sebagai imago Dei.

Kedua, tanggung jawab relasional terhadap keluarga. Aquinas menekankan bahwa manusia selalu hidup dalam jaringan relasi. Ketika Cosmas diberhentikan, dampaknya menjalar pada keluarganya, yang tidak bersalah tetapi ikut menanggung konsekuensi. Personalisme menuntut adanya mekanisme perlindungan agar martabat keluarga tetap dihormati—misalnya melalui jaminan pendidikan anak atau perlindungan dasar.

Ketiga, loyalitas timbal balik. Cosmas pernah mengabdi bagi negara, bahkan mungkin dalam situasi penuh risiko. Personalisme memandang hubungan individu dan institusi sebagai relasi etis yang ditopang keadilan distributif: pengabdian dan loyalitas seorang anggota semestinya memperoleh bentuk pengakuan, bahkan ketika ia jatuh dalam pelanggaran. Pemutusan total, tanpa pengakuan atas jasa sebelumnya, berpotensi melanggar ikatan moral tersebut.

Dari perspektif ini, pemecatan yang hanya menonjolkan aspek hukuman dianggap kurang manusiawi. Personalisme menuntut agar setiap hukuman tetap memperhitungkan narasi hidup, jasa, dan relasi sosial seorang pribadi.

2. Perspektif Tanggung Jawab Institusi

Di sisi lain, Polri sebagai institusi memiliki tugas menjaga bonum commune—kebaikan bersama. Tanggung jawab ini menuntut disiplin yang jelas, konsisten, dan transparan.

Pertama, tanggung jawab kepada publik. Kepercayaan masyarakat pada Polri hanya akan terjaga jika hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Pemecatan yang diumumkan secara terbuka adalah wujud akuntabilitas moral kepada publik, sesuai kontrak sosial yang mengikat lembaga dengan masyarakat.

Kedua, menjaga integritas internal. Institusi adalah corpus morale. Jika pelanggaran besar dibiarkan, disiplin internal akan runtuh. Dalam kerangka thomistik, hal ini merusak keadilan legalis, yang menuntut agar aturan ditegakkan secara konsisten.

Ketiga, keadilan bagi anggota lain. Ribuan polisi lain yang setia pada aturan akan kehilangan motivasi jika pelanggaran besar tidak ditindak. Ini melanggar prinsip keadilan distributif, karena beban moral tidak terbagi adil.

Dengan demikian, pemecatan bukan hanya langkah administratif, tetapi sebuah sinyal moral bahwa integritas institusi dijaga. Namun, di sini muncul ketegangan dengan personalisme, sebab sanksi yang terlalu keras tanpa dimensi kemanusiaan bisa dipersepsikan sebagai pengabaian martabat pribadi.

3. Benturan dan Risiko

Kasus Cosmas menyingkap tegangan etis antara dua nilai fundamental: martabat manusia (dignitas personae) dan kebaikan bersama (bonum commune).

  • Personalisme berkata: “Hormati narasi hidup, pengabdian, dan keluarganya.”
  • Institusi berkata: “Tegakkan hukum demi disiplin dan kepercayaan publik.”

Dalam praktiknya, sering muncul solusi kompromistis berupa “kompensasi sunyi” yang diberikan kepada keluarga. Namun, mekanisme tersembunyi seperti ini menimbulkan risiko besar: jika terbongkar, publik akan melihat adanya “dua wajah” hukum—tegas di depan umum, tetapi lunak di balik layar. Ini bisa merusak legitimasi lebih dalam daripada jika institusi tidak bertindak sama sekali.

Analisis ini menunjukkan bahwa kasus Cosmas bukan sekadar soal benar atau salah, melainkan panggilan untuk mencari bentuk keadilan yang lebih utuh—yang tidak mengorbankan martabat pribadi sekaligus tidak melemahkan integritas institusi.

Benturan dan Titik Temu

1. Benturan Nilai

Kasus Kompol Cosmas memperlihatkan bagaimana dua nilai fundamental dapat saling menegangkan. Dari sisi personalisme, pemecatan yang keras berisiko melukai martabat pribadi dan merusak kehidupan keluarganya. Pandangan ini mengingatkan bahwa individu bukan sekadar fungsi institusi, tetapi seorang pribadi dengan sejarah, jasa, dan jaringan relasi.

Sebaliknya, dari sisi institusional, pembiaran atau toleransi terhadap pelanggaran akan menghancurkan kepercayaan publik dan melemahkan disiplin internal. Polri sebagai corpus morale memiliki kewajiban menjaga bonum commune, yang menuntut adanya sanksi yang jelas, konsisten, dan dapat dilihat publik.

Tegangan ini tidak bisa dihindari. Personalisme menekankan perlindungan individu, sementara institusi menekankan disiplin kolektif. Pada titik ini, seakan-akan keduanya tidak dapat dipertemukan: menjaga martabat pribadi berarti melemahkan institusi, sementara menjaga institusi berarti mengorbankan martabat individu.

2. Potensi Rekonsiliasi

Dalam filsafat Thomistik, benturan nilai tidak harus berakhir pada pilihan “salah satu.” Aquinas menekankan prinsip prudentia (kebijaksanaan praktis) yang memungkinkan penyeimbangan nilai dalam situasi konkret. Prudentia berfungsi sebagai akal budi praktis yang menuntun tindakan manusia agar tetap selaras dengan kebaikan moral.

Rekonsiliasi dimungkinkan melalui langkah-langkah berikut:

  • Disiplin yang Tegas dan Transparan

Pemecatan tetap dilakukan dan diumumkan secara terbuka sebagai wujud akuntabilitas publik. Ini menjaga legitimasi institusi dan mengafirmasi keadilan legalis.

  • Mekanisme Perlindungan Kemanusiaan yang Formal

Alih-alih “kompensasi sunyi”, institusi perlu memiliki regulasi terbuka yang memastikan keluarga anggota yang diberhentikan tidak kehilangan hak dasar. Misalnya, dukungan pendidikan anak atau akses kesehatan terbatas. Hal ini menghormati dignitas personae tanpa melanggar prinsip akuntabilitas.

  • Komunikasi Publik yang Jernih

Institusi harus menjelaskan bahwa tindakan disiplin tidak menghapus pengakuan atas jasa masa lalu. Dengan transparansi, publik tidak melihat adanya “hukum dua wajah”, melainkan keseimbangan antara keadilan dan belas kasih.

3. Prinsip Etis: Iustitia dan Misericordia

Dalam tradisi Thomistik, keadilan (iustitia) dan belas kasih (misericordia) bukanlah lawan, tetapi dua aspek yang harus berjalan bersama. Keadilan menuntut sanksi demi keteraturan sosial, sementara belas kasih menuntut perlindungan martabat individu.

Titik temu hanya dapat dicapai jika kedua prinsip ini diintegrasikan dalam kebijakan publik yang transparan. Dengan begitu, tindakan Polri tidak lagi tampak sebagai paradoks antara “drama publik” dan “proteksi internal”, melainkan sebagai praktik etis yang menyatukan tuntutan personalisme dan tanggung jawab institusi.

Solusi Normatif

1. Disiplin yang Tegas dan Transparan

Langkah pertama yang harus ditegakkan adalah disiplin hukum yang tidak pandang bulu. Dalam kerangka Thomistik, ini sejalan dengan keadilan legalis—kewajiban institusi untuk menegakkan aturan demi bonum commune. Pemecatan Kompol Cosmas, jika memang sudah melalui proses hukum yang sah, tetap harus dilaksanakan secara terbuka dan diumumkan kepada publik. Dengan cara ini, Polri menunjukkan bahwa integritas internalnya dijaga dan kepercayaan publik dipelihara.

Namun, ketegasan ini tidak boleh dijalankan dalam kerangka punitif semata. Transparansi memberi nilai moral tambahan, karena publik tidak hanya melihat efek disiplin, tetapi juga proses keadilan yang jernih.

2. Mekanisme Perlindungan Kemanusiaan yang Formal

Dalam tradisi personalisme thomistik, martabat manusia tidak pernah hilang, bahkan dalam kondisi bersalah. Karena itu, sanksi terhadap Cosmas seharusnya tidak menyeret keluarganya dalam penderitaan tanpa perlindungan.

Alih-alih “kompensasi sunyi” yang rawan menimbulkan persepsi hipokrisi, Polri dapat merumuskan mekanisme formal yang dilembagakan. Misalnya:

  • Hak Pendidikan Anak – Mantan anggota yang diberhentikan dengan catatan pengabdian panjang tetap memperoleh akses pendidikan untuk anak-anaknya.
  • Jaminan Kesehatan Terbatas – Keluarga masih mendapat perlindungan kesehatan dasar.
  • Pengakuan Pengabdian Masa Lalu – Pencatatan resmi mengenai jasa dan loyalitas yang telah diberikan sebelum pelanggaran terjadi.

Dengan mekanisme ini, martabat keluarga tetap dihormati, sementara publik melihat aturan yang konsisten dan bukan privilese tersembunyi.

3. Komunikasi Publik yang Jernih

Kebijakan yang baik dapat kehilangan nilainya bila komunikasi publik lemah. Polri harus berani menyampaikan pesan ganda yang seimbang:

  • “Kami tegas menegakkan hukum, karena hukum adalah pilar keadilan sosial.”
  • “Kami juga tidak menelantarkan keluarga yang tidak bersalah, karena martabat manusia tetap kami junjung.”

Komunikasi seperti ini bukan bentuk kompromi moral, melainkan integrasi nilai keadilan dan belas kasih. Transparansi ini justru menguatkan legitimasi institusi, karena publik melihat adanya keseimbangan antara disiplin dan kemanusiaan.

4. Menyatukan Iustitia dan Misericordia

Dalam kerangka Thomistik, solusi normatif selalu menuntut kesatuan antara iustitia (keadilan) dan misericordia (belas kasih). Keadilan tanpa belas kasih akan menjadi kaku dan dehumanis. Sebaliknya, belas kasih tanpa keadilan akan melahirkan ketidakadilan struktural.

Kasus Cosmas menunjukkan bahwa solusi ideal bukanlah memilih salah satu, melainkan merumuskan mekanisme di mana keduanya berjalan bersama. Pemecatan adalah keadilan, perlindungan keluarga adalah belas kasih, dan transparansi adalah jembatan yang menyatukan keduanya.

Apabila Polri mampu mewujudkan mekanisme ini, maka kasus Cosmas dapat menjadi preseden etis yang kuat: bahwa institusi modern bisa tetap disiplin sekaligus manusiawi, tegas sekaligus penuh belas kasih.

Kesimpulan

Kasus Kompol Cosmas bukan sekadar peristiwa disiplin internal kepolisian, melainkan sebuah laboratorium etis yang memperlihatkan ketegangan mendasar antara martabat pribadi (dignitas personae) dan tanggung jawab institusi untuk menjaga bonum commune. Dari perspektif personalisme thomistik, setiap manusia adalah imago Dei, pribadi utuh yang tidak boleh direduksi hanya pada kesalahannya. Sementara itu, dari perspektif institusional, Polri sebagai corpus morale wajib menegakkan hukum secara konsisten, demi menjaga kepercayaan publik dan integritas internal.

Benturan antara dua nilai ini tidak harus berakhir pada pilihan biner—memihak individu dengan mengorbankan institusi, atau sebaliknya. Jalan tengah yang lebih berintegritas dapat ditemukan dalam prinsip prudentia (kebijaksanaan praktis) dan integrasi antara iustitia (keadilan) dan misericordia (belas kasih). Dengan pemecatan yang tegas dan transparan, mekanisme perlindungan formal bagi keluarga, serta komunikasi publik yang jernih, Polri dapat sekaligus menjaga integritasnya dan menghormati martabat manusia.

Di era keterbukaan, pendekatan “dua wajah”—tegas di depan publik tetapi lunak di balik layar—semakin kehilangan relevansi. Solusi yang berakar pada personalisme thomistik menawarkan paradigma baru: bahwa disiplin hukum dan penghormatan martabat manusia bukanlah dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua sisi dari satu komitmen etis. Dengan menegakkan keadilan tanpa menghapus belas kasih, institusi dapat tampil bukan hanya sebagai pelindung hukum, tetapi juga sebagai penjaga kemanusiaan.

 

Share This Article :
9000568233845443113