LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Reformasi bukanlah kembalinya Injil, melainkan pernikahan gelap antara teologi dan nafsu.

 


 

Pendahuluan

Reformasi Protestan kerap dipromosikan sebagai momen pemurnian Injil, saat Gereja “dibersihkan” dari noda dekadensi Roma. Narasi resmi yang beredar dalam wacana Protestan menggambarkan Martin Luther dan kawan-kawan sebagai nabi moral yang menegakkan firman melawan penyalahgunaan sakramen, simoni, dan kelalaian para klerus. Akan tetapi, sejarah—sang saksi bisu yang tak bisa disuap—menyimpan ironi pahit. Justru di balik pekikan “sola scriptura” dan “sola fide,” tersimpan kompromi moral yang lebih mencolok daripada apa yang mereka tuduhkan pada Roma.

Kasus perkawinan bigami Philip of Hesse pada tahun 1540 menjadi potret telanjang ironi tersebut. Philip, salah seorang pangeran pelindung utama Reformasi, bosan dengan istri sahnya, Christina of Saxony, dan mendambakan perempuan muda bernama Margarethe von der Saale. Ketika nafsu tak dapat diredam, ia mencari legitimasi religius untuk menikahi Margarethe tanpa menceraikan Christina. Di titik ini, seharusnya para reformator menegakkan hukum Injil sebagaimana mereka gembar-gemborkan. Namun yang terjadi justru sebaliknya: Martin Luther, Philip Melanchthon, dan Martin Bucer merumuskan sebuah dispensasi—dengan nada penuh kecanggungan—yang pada intinya memberi izin bagi sang bangsawan untuk mempraktikkan bigami, asalkan dilakukan diam-diam agar publik tidak terkejut.

Di sinilah sinisme akademik menemukan pijakannya. Reformator yang katanya berpegang pada “hanya Kitab Suci” ternyata bisa menundukkan Kitab itu di bawah meja kekuasaan. Abraham dijadikan alasan pembenaran, sementara perkataan Kristus yang meneguhkan kesatuan perkawinan (Mat 19:4–6) dan ajaran Paulus tentang misteri Kristus dan Gereja (Ef 5:31–32) dilipat rapat dalam laci kompromi. Luther dan Melanchthon, yang berulang kali menuduh Roma menggadaikan Injil demi keuntungan duniawi, justru menulis surat resmi yang menggadaikan moral Injil demi kenyamanan politik seorang pangeran.

Perbandingan dengan Gereja Katolik pada periode yang sama memperlihatkan kontras yang mencolok. Henry VIII, penguasa Inggris dengan kuasa jauh lebih besar daripada Philip of Hesse, menuntut agar Roma mengesahkan pernikahannya yang baru. Jawaban Tahta Suci tegas: tidak. Gereja lebih memilih kehilangan kerajaan Inggris daripada mengkhianati integritas sakramen perkawinan. Protestan, di sisi lain, lebih memilih mempertahankan pelindung politik dengan harga murah: moralitas perkawinan ditukar dengan restu bigami.

Artikel ini hendak menelusuri paradoks besar Reformasi Protestan melalui lensa kasus bigami Philip of Hesse. Fokusnya bukan sekadar pada peristiwa skandal, melainkan pada implikasi teologis dan filosofis yang menyertainya: inkonsistensi prinsip sola scriptura, subordinasi teologi pada realpolitik, dan benih relativisme etika perkawinan yang kelak tumbuh menjadi perceraian massal dalam tradisi Protestan modern. Dengan demikian, tulisan ini sekaligus menunjukkan bahwa klaim “pemurnian moral” Reformasi tidak bertumpu pada Injil, melainkan pada pernikahan gelap antara teologi dan nafsu bangsawan.

Bagian I: Konteks Historis

1. Reformasi dan Ketergantungan pada Politik

Reformasi Protestan tidak lahir dalam ruang steril akademia, melainkan dalam pusaran politik Kekaisaran Romawi Suci yang penuh intrik. Martin Luther memang berani menantang Roma, tetapi ia tidak pernah benar-benar berdiri sendiri. Sejak ia dilarang oleh Edik Worms (1521), keberlangsungan hidup Luther sepenuhnya bergantung pada perlindungan para pangeran Jerman, terutama Frederick the Wise dari Saxony dan, kemudian, Philip of Hesse. Tanpa patronase politik, Reformasi bisa saja mati muda seperti gerakan-gerakan bidat abad pertengahan lainnya.

Sinisme sejarah ada di sini: para reformator berteriak “hanya Injil,” tapi realitasnya “hanya perlindungan bangsawan” yang membuat mereka tetap hidup. Luther adalah nabi yang bersuara keras di mimbar, tetapi di balik layar ia tetap seorang klien politik yang harus menyesuaikan diri dengan selera patron. Dengan kata lain, sejak awal Reformasi adalah persekutuan aneh antara teologi dan feodalisme.

2. Figur Philip of Hesse

Philip I dari Hesse (1504–1567), yang dijuluki der Großmütige (Philip yang Murah Hati), adalah salah satu tokoh politik paling berpengaruh di Jerman abad ke-16. Ia dikenal cerdas, energik, sekaligus rakus akan kekuasaan dan kenikmatan. Sejak awal, Philip menampilkan dirinya sebagai “pangeran reformasi” yang melindungi Luther dan para teolog Wittenberg. Di bawah naungannya, Protestanisme memiliki benteng politik yang kuat.

Namun di balik topeng pelindung Injil, Philip adalah manusia biasa yang diperbudak hasrat. Pernikahannya dengan Christina of Saxony segera menjadi beban: Christina digambarkan sakit-sakitan, tidak menarik, dan tidak mampu memuaskan keinginan suaminya. Di sisi lain, Margarethe von der Saale—seorang wanita muda dari keluarga bangsawan kecil—menjadi pusat perhatian dan obsesi Philip. Tidak puas dengan opsi perceraian yang tabu dalam lingkaran Protestan awal, Philip mengajukan solusi “kreatif”: menikahi Margarethe tanpa menceraikan Christina, alias bigami.

3. Permintaan Dispensasi Bigami

Pada tahun 1539–1540, Philip mulai menekan Luther dan Melanchthon untuk mencari legitimasi teologis. Ironisnya, penguasa yang menjadi pelindung Reformasi justru memaksa reformator untuk membenarkan pelanggaran moral paling dasar. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Philip tidak main-main: ia menulis secara resmi, meminta izin agar bisa beristri dua dengan restu rohaniwan Protestan.

Di titik ini, sejarah mencatat sebuah drama yang jauh dari heroik: Luther, Melanchthon, dan Bucer berkumpul, berdiskusi, dan akhirnya menyusun sebuah dokumen rahasia yang memberi lampu hijau bagi bigami, dengan syarat dilakukan diam-diam agar tidak menimbulkan “skandal publik.” Dokumen itu ditandatangani pada 10 Desember 1539, sebuah tanggal yang menjadi epitaf moral Reformasi.

Dengan demikian, konteks historis kasus Philip of Hesse memperlihatkan ketergantungan total Reformasi pada politik feodal. Reformator yang katanya menentang kompromi dengan dunia ternyata justru tunduk pada nafsu duniawi penguasa yang melindungi mereka. Reformasi tidak bisa dilepaskan dari patronase, dan kasus bigami menjadi bukti paling vulgar bahwa ketika Injil berhadapan dengan kuasa dunia, yang dipilih bukan Injil, melainkan kursi dan pedang bangsawan.

Bagian II: Respon Para Reformator

1. Martin Luther: Nabi Injil atau Notaris Bigami?

Luther, sang tokoh besar Reformasi, sering digambarkan sebagai nabi yang menentang “korupsi moral Roma.” Namun dalam kasus Philip of Hesse, ia tampil bukan sebagai nabi, melainkan notaris yang menandatangani dispensasi bigami.

Dalam suratnya tahun 1540, Luther menulis bahwa meskipun perkawinan monogami adalah ideal, “dalam keadaan darurat” seorang pangeran dapat memiliki dua istri. Ia merujuk pada Abraham, Yakub, dan Daud yang beristri banyak dalam Perjanjian Lama. Dalih ini sungguh ironis: orang yang selama bertahun-tahun mencerca “tradisi manusia” justru menghidupkan kembali praktik poligami kuno yang sudah ditolak Gereja perdana.

Luther bahkan menambahkan syarat khas politikus: bigami boleh dilakukan asal “diam-diam.” Artinya, bukan moral yang dikejar, melainkan manajemen citra. Injil dikorbankan, asalkan publik tidak ribut. Sinisnya, Luther di sini tidak lebih dari seorang konsultan PR yang melayani nafsu patronnya.

2. Philip Melanchthon: Sang Teolog yang Menjadi Diplomat

Melanchthon dikenal sebagai “Praeceptor Germaniae,” guru bangsa Jerman, yang tenang dan penuh pertimbangan. Namun dalam kasus ini, reputasinya tercoreng. Melanchthon semula menolak, tetapi akhirnya ikut menandatangani dispensasi. Alasannya jelas: kehilangan Philip berarti kehilangan salah satu pelindung terkuat Reformasi.

Ia menulis dengan getir bahwa praktik ini “bukan ideal,” tetapi harus “ditolerir demi menghindari dosa yang lebih besar.” Retorika klasik kompromi: memilih dosa kecil demi menghindari dosa besar. Namun ironinya, para reformator sering menuduh Roma kompromistis. Dalam kasus ini, Melanchthon membuktikan bahwa Reformasi pun sanggup menulis moralitas dengan pensil politik.

Sinisme akademik: Melanchthon yang seharusnya menjaga kemurnian ajaran berubah menjadi diplomat licin, lebih sibuk menimbang kekuatan militer Hesse daripada firman Kristus.

3. Martin Bucer: Teologi Sebagai Juru Bicara Nafsu

Martin Bucer, reformator dari Strasbourg, memberi justifikasi teologis yang lebih sistematis. Ia menyusun argumen bahwa poligami dapat diterima dalam keadaan khusus, terutama jika istri pertama tidak mampu memenuhi kebutuhan suami. Bucer bahkan menulis bahwa “lebih baik beristri dua daripada jatuh dalam perzinahan.”

Di sinilah terlihat wajah pragmatis Reformasi: alih-alih menuntun manusia menuju kekudusan, teologi berubah menjadi instrumen untuk menjustifikasi kelemahan. Bucer pada dasarnya menurunkan Injil menjadi manual solusi instan bagi libido bangsawan.

4. Dokumen Rahasia 1539

Pada 10 Desember 1539, ketiga reformator menandatangani dokumen rahasia yang menyetujui bigami Philip of Hesse. Dokumen itu disimpan rapat, tetapi akhirnya bocor dan menjadi skandal besar. Gereja Katolik segera menjadikannya senjata polemik: “Lihatlah, mereka yang mencela Roma ternyata lebih rendah moralnya.”

Luther, ketika skandal pecah, berdalih bahwa ia “terpaksa” menandatangani demi menghindari bencana politik. Dengan kata lain, ia mengakui bahwa politik lebih menentukan daripada Injil. Sejarah menyingkap: sola scriptura berhenti di meja makan bangsawan.

Sinisme Akademik

Luther, Melanchthon, dan Bucer—tiga nama besar Reformasi—dalam kasus ini tampil bukan sebagai nabi, melainkan notaris, diplomat, dan juru bicara nafsu. Dokumen bigami Philip of Hesse bukan sekadar catatan hukum, melainkan epitaf moral Reformasi: “Injil untuk publik, kompromi untuk patron.”

Bagian III: Analisis Teologis dan Filosofis

1. Kontradiksi dengan Injil Kristus

Yesus berbicara jelas mengenai perkawinan: “Sejak awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan… keduanya menjadi satu daging… apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:4–6). Paulus menegaskan kembali dalam Efesus 5:31–32 bahwa perkawinan adalah lambang misteri Kristus dan Gereja—suatu kesatuan yang tidak bisa dibagi dua.

Para reformator yang memberi dispensasi bigami seakan-akan lupa bahwa Injil bukanlah manual politik. Dengan merujuk pada Abraham, Yakub, atau Daud, mereka kembali ke tahap sejarah keselamatan yang belum disempurnakan. Gereja perdana justru menolak poligami karena Injil telah menyingkapkan kesatuan monogami sebagai tatanan baru. Ironinya, Luther yang berteriak lantang menolak “tradisi manusia” justru menafsirkan Kitab Suci dengan logika mundur, bukan maju. Injil dilipat menjadi catatan etnografis Israel kuno.

2. Inkonsistensi Sola Scriptura

Prinsip sola scriptura mengklaim Kitab Suci sebagai otoritas tunggal. Namun kasus bigami membuktikan bahwa Kitab itu hanya “tunggal” sejauh tidak mengganggu kenyamanan politik. Luther dan Melanchthon menolak tradisi Gereja, tetapi segera menciptakan tradisi baru: dispensasi rahasia untuk bangsawan. Dengan kata lain, “hanya Kitab Suci” berubah menjadi “hanya Kitab Suci—kecuali bila patron butuh solusi praktis.”

Secara filosofis, ini memperlihatkan bahwa sola scriptura tidak punya daya normatif yang konsisten. Tanpa magisterium, Kitab Suci jadi kertas liat yang dibentuk sesuai kebutuhan. Bigami Philip of Hesse adalah laboratorium awal relativisme Protestan: Alkitab bukan lagi firman yang menuntun, melainkan cermin yang memantulkan kepentingan.

3. Kontras dengan Konsistensi Katolik

Gereja Katolik, pada masa yang sama, menghadapi tuntutan Henry VIII. Berbeda dengan Luther, Roma tidak menyerah pada tekanan politik. Paus menolak melegitimasi pernikahan baru Henry meskipun konsekuensinya kehilangan seluruh kerajaan Inggris. Keputusan ini bukan tanpa luka, tetapi Gereja memilih kehilangan mahkota daripada mengkhianati sakramen.

Perbandingan ini memalukan bagi Reformasi. Yang dituduh dekaden ternyata lebih teguh. Yang mengaku “pemurni Injil” justru melacurkan Injil. Sinisme akademik menemukan klimaksnya: Roma berdiri di atas batu karang prinsip, sementara Wittenberg goyah di atas bantal kenyamanan politik.

4. Implikasi Filosofis: Dari Realisme ke Relativisme

Secara metafisik, perkawinan Katolik dipandang sebagai sakramen, tanda efektif kasih Kristus yang tidak dapat digandakan. Bigami meruntuhkan realisme sakramental ini: kasih Kristus bukan “dua tubuh untuk satu kepala,” melainkan “satu kepala untuk dua tubuh”—sebuah absurditas ontologis.

Reformasi yang menolak metafisika skolastik pun jatuh ke dalam nominalisme moral: aturan hanya berlaku selama tidak bertabrakan dengan kepentingan patron. Dari sini lahir benih relativisme etika Protestan modern: perceraian sah, perkawinan kontraktual, bahkan redefinisi perkawinan di era kontemporer. Semua berakar pada kompromi awal: dispensasi bigami.

notabene

Reformasi mengaku kembali ke Injil, tetapi pada momen ujian paling sederhana—seorang bangsawan yang ingin dua istri—mereka menyerah. Injil ditundukkan, Kitab Suci direlatifkan, dan teologi dijadikan sekretaris nafsu politik. Gereja Katolik, yang dituduh busuk, justru terbukti lebih setia. Maka, kasus bigami bukan sekadar catatan historis, melainkan monumen atas kebangkrutan filosofis dan moral Reformasi.

Bagian IV: Dampak Historis

1. Pembelaan Teologis atas Poligami

Kasus Philip of Hesse tidak berdiri sendiri. Setelah dispensasi rahasia itu bocor, diskusi tentang poligami mulai muncul di lingkaran Protestan. Martin Bucer menulis argumentasi sistematis bahwa poligami dapat diterima sebagai remedium bila istri pertama tidak sanggup melayani suami. Bahkan John Calvin, meskipun lebih berhati-hati, dalam korespondensinya menyatakan bahwa Alkitab tidak secara eksplisit melarang poligami dalam segala kondisi, hanya bahwa “praktik itu tidak cocok bagi masyarakat Kristen.” Dengan kata lain: poligami bukan dosa mutlak, hanya tidak elok.

Di sinilah Reformasi membuka pintu relativisme moral: sesuatu bisa dianggap salah hanya karena “tidak cocok,” bukan karena bertentangan dengan hukum ilahi.

2. Perkawinan dalam Tradisi Protestan: Dari Dispensasi ke Perceraian

Jika bigami adalah awalnya, perceraian menjadi kelanjutan logis. Gereja Katolik memandang perkawinan sebagai sakramen tak terceraikan. Namun di tangan Reformasi, perkawinan direduksi menjadi kontrak yang dapat dibatalkan. Luther sendiri memberi ruang bagi perceraian dalam situasi tertentu. Milton di Inggris kemudian menulis traktat membela perceraian sebagai hak dasar manusia. Dari bigami Philip hingga traktat Milton, jalurnya jelas: ketika perkawinan tak lagi sakramen, ia bisa dinegosiasikan sesuai kebutuhan.

Sinisme akademik: Reformasi yang katanya memperbaiki moral justru meletakkan fondasi bagi “industri perceraian” modern. Dari dispensasi rahasia abad ke-16 lahir perceraian massal abad ke-21.

3. Relativisme Etika Perkawinan di Dunia Modern

Warisan Reformasi terlihat jelas: di banyak denominasi Protestan, perceraian dan pernikahan ulang bukan lagi aib, melainkan praktik biasa. Beberapa aliran bahkan kini merestui definisi perkawinan yang sepenuhnya diputuskan oleh konsensus budaya, bukan oleh wahyu ilahi. Semua ini tidak jatuh dari langit, tetapi berakar pada kompromi awal ketika Injil ditundukkan di meja perundingan dengan Philip of Hesse.

Dalam perspektif filosofis, ini menandai pergeseran dari realisme moral Katolik—yang melihat perkawinan sebagai partisipasi dalam realitas sakramental—ke nominalisme moral Protestan, di mana makna perkawinan ditentukan oleh keputusan komunitas atau individu. Bigami Philip hanyalah pintu gerbang awal menuju relativisme etika modern.

4. Katolik sebagai Kontras Historis

Sementara Protestan membuka ruang untuk bigami, poligami, dan perceraian, Gereja Katolik tetap konsisten menegaskan monogami tak terceraikan. Konsistensi ini dibayar mahal: konflik politik, kehilangan Inggris, bahkan penganiayaan terhadap umat Katolik di negara-negara Reformasi. Namun harga itu adalah tanda kesetiaan. Roma lebih memilih kehilangan kerajaan daripada kehilangan sakramen.

Notabene

Reformasi melahirkan relativisme etika perkawinan bukan karena “roh zaman,” melainkan karena sejak awal mereka memilih kompromi. Philip of Hesse ingin dua istri, Luther menandatangani dispensasi, Melanchthon menutup mata, dan Bucer memberi justifikasi teologis. Dari peristiwa itu, sejarah Protestan membawa jejak noda yang tidak bisa dihapus: moralitas perkawinan dibentuk bukan oleh Injil, melainkan oleh nafsu patron.

Bagian V: Kritik Apologetik

1. Roma vs Reformasi: Siapa yang Konsisten?

Retorika Reformasi selalu menuduh Roma sebagai pusat dekadensi moral. Namun sejarah menunjukkan sebaliknya. Ketika Henry VIII menuntut pembatalan perkawinannya, Roma berkata tegas non possumus—tidak mungkin. Konsistensi Katolik dibayar mahal: kehilangan seluruh Inggris, persekusi berdarah terhadap umat Katolik, dan pecahnya kesatuan Kristen di Eropa Barat. Namun harga itu justru menegaskan integritas Gereja: sakramen bukan barang dagangan.

Bandingkan dengan Luther dan Melanchthon yang menandatangani dispensasi bigami untuk Philip of Hesse. Roma kehilangan mahkota demi prinsip; Wittenberg kehilangan prinsip demi menjaga mahkota patron. Ironi ini begitu mencolok sehingga sulit dipoles dengan retorika.

2. Dampak Filosofis: Relativisme yang Membusuk dari Dalam

Secara filosofis, dispensasi bigami adalah tanda bahwa sola scriptura tidak punya daya normatif objektif. Tanpa Magisterium, Kitab Suci dibaca sesuai kebutuhan politik. Luther mengutip Abraham, Bucer memberi alasan pastoral, Melanchthon berkompromi demi stabilitas. Tidak ada kebenaran objektif; hanya kalkulasi pragmatis.

Dari kompromi ini lahirlah tradisi etika Protestan yang semakin nominalis: perkawinan bukan sakramen yang nyata (res sacramenti), melainkan kontrak yang bisa disesuaikan. Dari situ, perceraian, pernikahan ulang, dan bahkan redefinisi radikal perkawinan di era modern mendapat pijakan teologis. Apa yang di zaman Luther dibungkus sebagai “keadaan darurat” kini menjadi praktik lumrah.

3. Roma dan Realisme Sakramental

Gereja Katolik, meskipun sering digambarkan sebagai lamban, justru teguh menjaga fondasi metafisika sakramen. Perkawinan dipahami sebagai realitas ontologis: satu laki-laki dan satu perempuan yang bersatu tak terceraikan sebagai partisipasi dalam kasih Kristus. Prinsip ini bukan sekadar norma moral, tetapi kenyataan metafisik. Karena itu, bigami bukan hanya “tidak pantas,” melainkan mustahil secara ontologis.

Kontras ini menyingkap wajah asli Reformasi: di saat Katolik mempertahankan realisme sakramental, Protestan merosot ke relativisme pragmatis.

4. Sinisme Akademik: Pernikahan Gelap Teologi dan Nafsu

Sejarah besar kadang ditentukan oleh momen kecil. Reformasi yang katanya lahir demi Injil ternyata dikompromikan oleh hasrat seorang pangeran yang ingin dua istri. Luther menandatangani, Melanchthon mengangguk, Bucer menulis argumen. Dari situ, Reformasi menanam benih relativisme yang kini mekar di ladang etika Protestan modern.

Dengan sinisme akademik, kita bisa menulis epitaf Reformasi:

“Roma dituduh menjual indulgensi, tetapi Reformasi menjual Injil itu sendiri—dengan harga murah, hanya untuk memuaskan patron yang bernafsu.”

Kesimpulan

Kasus bigami Philip of Hesse pada tahun 1540 bukan sekadar anekdot memalukan, melainkan jendela yang menyingkap wajah sejati Reformasi Protestan. Reformasi mengaku sebagai gerakan pemurnian Injil, tetapi justru di ujian moral paling sederhana—seorang bangsawan yang ingin dua istri—para reformator tersungkur. Luther menandatangani dispensasi, Melanchthon berkompromi, Bucer menyusun argumen. Injil yang katanya “murni” direduksi menjadi legitimasi nafsu patron, dan prinsip sola scriptura diperlakukan sebagai tanah liat yang bisa dibentuk sesuai kebutuhan politik.

Di sisi lain, Gereja Katolik yang dituduh dekaden menunjukkan konsistensinya. Roma menolak tuntutan Henry VIII, meski risikonya adalah kehilangan Inggris dan pecahnya kesatuan Kristen. Katolik memilih kehilangan mahkota daripada kehilangan sakramen; Protestan memilih kehilangan sakramen demi mempertahankan mahkota patron. Kontras ini menyingkap paradoks besar: mereka yang paling keras mengutuk kompromi Roma justru menjadi ahli kompromi.

Secara filosofis, dispensasi bigami menandai runtuhnya fondasi realisme moral. Perkawinan tidak lagi dipahami sebagai realitas sakramental yang tak terceraikan, melainkan kontrak pragmatis yang dapat dinegosiasikan. Dari sini lahir warisan etika Protestan yang longgar: perceraian, pernikahan ulang, bahkan redefinisi perkawinan modern. Relativisme moral yang kini melanda dunia Kristen bukanlah kecelakaan belaka, melainkan buah yang matang dari benih yang ditanam pada abad ke-16.

Maka, apologetika Katolik berhak menyimpulkan: Reformasi bukanlah kembalinya Injil, melainkan pernikahan gelap antara teologi dan nafsu. Jika Roma berdiri di atas batu karang prinsip, Wittenberg terperangkap di lumpur kompromi. Dan sejarah tidak menipu: di antara dua kubu yang saling menuduh korupsi, hanya satu yang menolak menjual sakramen—dan itu bukan Luther.

 

Share This Article :
9000568233845443113