Pendahuluan
Reformasi Protestan kerap dipromosikan sebagai momen
pemurnian Injil, saat Gereja “dibersihkan” dari noda dekadensi Roma. Narasi
resmi yang beredar dalam wacana Protestan menggambarkan Martin Luther dan
kawan-kawan sebagai nabi moral yang menegakkan firman melawan penyalahgunaan
sakramen, simoni, dan kelalaian para klerus. Akan tetapi, sejarah—sang saksi
bisu yang tak bisa disuap—menyimpan ironi pahit. Justru di balik pekikan “sola
scriptura” dan “sola fide,” tersimpan kompromi moral yang lebih
mencolok daripada apa yang mereka tuduhkan pada Roma.
Kasus perkawinan bigami Philip of Hesse pada tahun 1540
menjadi potret telanjang ironi tersebut. Philip, salah seorang pangeran
pelindung utama Reformasi, bosan dengan istri sahnya, Christina of Saxony, dan
mendambakan perempuan muda bernama Margarethe von der Saale. Ketika nafsu tak
dapat diredam, ia mencari legitimasi religius untuk menikahi Margarethe tanpa
menceraikan Christina. Di titik ini, seharusnya para reformator menegakkan
hukum Injil sebagaimana mereka gembar-gemborkan. Namun yang terjadi justru
sebaliknya: Martin Luther, Philip Melanchthon, dan Martin Bucer merumuskan
sebuah dispensasi—dengan nada penuh kecanggungan—yang pada intinya memberi izin
bagi sang bangsawan untuk mempraktikkan bigami, asalkan dilakukan diam-diam
agar publik tidak terkejut.
Di sinilah sinisme akademik menemukan pijakannya. Reformator
yang katanya berpegang pada “hanya Kitab Suci” ternyata bisa menundukkan Kitab
itu di bawah meja kekuasaan. Abraham dijadikan alasan pembenaran, sementara
perkataan Kristus yang meneguhkan kesatuan perkawinan (Mat 19:4–6) dan ajaran
Paulus tentang misteri Kristus dan Gereja (Ef 5:31–32) dilipat rapat dalam laci
kompromi. Luther dan Melanchthon, yang berulang kali menuduh Roma menggadaikan
Injil demi keuntungan duniawi, justru menulis surat resmi yang menggadaikan
moral Injil demi kenyamanan politik seorang pangeran.
Perbandingan dengan Gereja Katolik pada periode yang sama
memperlihatkan kontras yang mencolok. Henry VIII, penguasa Inggris dengan kuasa
jauh lebih besar daripada Philip of Hesse, menuntut agar Roma mengesahkan
pernikahannya yang baru. Jawaban Tahta Suci tegas: tidak. Gereja lebih memilih
kehilangan kerajaan Inggris daripada mengkhianati integritas sakramen
perkawinan. Protestan, di sisi lain, lebih memilih mempertahankan pelindung
politik dengan harga murah: moralitas perkawinan ditukar dengan restu bigami.
Artikel ini hendak menelusuri paradoks besar Reformasi
Protestan melalui lensa kasus bigami Philip of Hesse. Fokusnya bukan sekadar
pada peristiwa skandal, melainkan pada implikasi teologis dan filosofis yang
menyertainya: inkonsistensi prinsip sola scriptura, subordinasi teologi
pada realpolitik, dan benih relativisme etika perkawinan yang kelak tumbuh
menjadi perceraian massal dalam tradisi Protestan modern. Dengan demikian,
tulisan ini sekaligus menunjukkan bahwa klaim “pemurnian moral” Reformasi tidak
bertumpu pada Injil, melainkan pada pernikahan gelap antara teologi dan nafsu
bangsawan.
Bagian I: Konteks Historis
1. Reformasi dan Ketergantungan pada Politik
Reformasi Protestan tidak lahir dalam ruang steril akademia,
melainkan dalam pusaran politik Kekaisaran Romawi Suci yang penuh intrik. Martin Luther memang berani menantang Roma, tetapi ia
tidak pernah benar-benar berdiri sendiri. Sejak ia dilarang oleh Edik Worms
(1521), keberlangsungan hidup Luther sepenuhnya bergantung pada perlindungan
para pangeran Jerman, terutama Frederick the Wise dari Saxony dan, kemudian,
Philip of Hesse. Tanpa patronase politik, Reformasi bisa saja mati muda seperti
gerakan-gerakan bidat abad pertengahan lainnya.
Sinisme sejarah ada di
sini: para reformator berteriak “hanya Injil,” tapi realitasnya “hanya
perlindungan bangsawan” yang membuat mereka tetap hidup. Luther adalah nabi
yang bersuara keras di mimbar, tetapi di balik layar ia tetap seorang klien
politik yang harus menyesuaikan diri dengan selera patron. Dengan kata lain,
sejak awal Reformasi adalah persekutuan aneh antara teologi dan feodalisme.
2. Figur Philip of Hesse
Philip I dari Hesse
(1504–1567), yang dijuluki der Großmütige (Philip yang Murah Hati),
adalah salah satu tokoh politik paling berpengaruh di Jerman abad ke-16. Ia
dikenal cerdas, energik, sekaligus rakus akan kekuasaan dan kenikmatan. Sejak
awal, Philip menampilkan dirinya sebagai “pangeran reformasi” yang melindungi
Luther dan para teolog Wittenberg. Di bawah naungannya, Protestanisme memiliki
benteng politik yang kuat.
Namun di balik topeng
pelindung Injil, Philip adalah manusia biasa yang diperbudak hasrat.
Pernikahannya dengan Christina of Saxony segera menjadi beban: Christina
digambarkan sakit-sakitan, tidak menarik, dan tidak mampu memuaskan keinginan
suaminya. Di sisi lain, Margarethe von der Saale—seorang wanita muda dari
keluarga bangsawan kecil—menjadi pusat perhatian dan obsesi Philip. Tidak puas
dengan opsi perceraian yang tabu dalam lingkaran Protestan awal, Philip
mengajukan solusi “kreatif”: menikahi Margarethe tanpa menceraikan Christina,
alias bigami.
3. Permintaan Dispensasi
Bigami
Pada tahun 1539–1540,
Philip mulai menekan Luther dan Melanchthon untuk mencari legitimasi teologis.
Ironisnya, penguasa yang menjadi pelindung Reformasi justru memaksa reformator
untuk membenarkan pelanggaran moral paling dasar. Catatan sejarah menunjukkan
bahwa Philip tidak main-main: ia menulis secara resmi, meminta izin agar bisa
beristri dua dengan restu rohaniwan Protestan.
Di titik ini, sejarah
mencatat sebuah drama yang jauh dari heroik: Luther, Melanchthon, dan Bucer
berkumpul, berdiskusi, dan akhirnya menyusun sebuah dokumen rahasia yang
memberi lampu hijau bagi bigami, dengan syarat dilakukan diam-diam agar tidak
menimbulkan “skandal publik.” Dokumen itu ditandatangani pada 10 Desember 1539,
sebuah tanggal yang menjadi epitaf moral Reformasi.
Dengan demikian, konteks
historis kasus Philip of Hesse memperlihatkan ketergantungan total Reformasi
pada politik feodal. Reformator yang katanya menentang kompromi dengan dunia
ternyata justru tunduk pada nafsu duniawi penguasa yang melindungi mereka. Reformasi
tidak bisa dilepaskan dari patronase, dan kasus bigami menjadi bukti paling
vulgar bahwa ketika Injil berhadapan dengan kuasa dunia, yang dipilih bukan
Injil, melainkan kursi dan pedang bangsawan.
Bagian II: Respon Para
Reformator
1. Martin Luther: Nabi
Injil atau Notaris Bigami?
Luther, sang tokoh besar
Reformasi, sering digambarkan sebagai nabi yang menentang “korupsi moral Roma.”
Namun dalam kasus Philip of Hesse, ia tampil bukan sebagai nabi, melainkan
notaris yang menandatangani dispensasi bigami.
Dalam suratnya tahun
1540, Luther menulis bahwa meskipun perkawinan monogami adalah ideal, “dalam
keadaan darurat” seorang pangeran dapat memiliki dua istri. Ia merujuk pada
Abraham, Yakub, dan Daud yang beristri banyak dalam Perjanjian Lama. Dalih ini
sungguh ironis: orang yang selama bertahun-tahun mencerca “tradisi manusia”
justru menghidupkan kembali praktik poligami kuno yang sudah ditolak Gereja
perdana.
Luther bahkan
menambahkan syarat khas politikus: bigami boleh dilakukan asal “diam-diam.”
Artinya, bukan moral yang dikejar, melainkan manajemen citra. Injil
dikorbankan, asalkan publik tidak ribut. Sinisnya, Luther di sini tidak lebih
dari seorang konsultan PR yang melayani nafsu patronnya.
2. Philip Melanchthon:
Sang Teolog yang Menjadi Diplomat
Melanchthon dikenal
sebagai “Praeceptor Germaniae,” guru bangsa Jerman, yang tenang dan penuh
pertimbangan. Namun dalam kasus ini, reputasinya tercoreng. Melanchthon semula
menolak, tetapi akhirnya ikut menandatangani dispensasi. Alasannya jelas:
kehilangan Philip berarti kehilangan salah satu pelindung terkuat Reformasi.
Ia menulis dengan getir
bahwa praktik ini “bukan ideal,” tetapi harus “ditolerir demi menghindari dosa
yang lebih besar.” Retorika klasik kompromi: memilih dosa kecil demi
menghindari dosa besar. Namun ironinya, para reformator sering menuduh Roma
kompromistis. Dalam kasus ini, Melanchthon membuktikan bahwa Reformasi pun
sanggup menulis moralitas dengan pensil politik.
Sinisme akademik:
Melanchthon yang seharusnya menjaga kemurnian ajaran berubah menjadi diplomat
licin, lebih sibuk menimbang kekuatan militer Hesse daripada firman Kristus.
3. Martin Bucer: Teologi
Sebagai Juru Bicara Nafsu
Martin Bucer, reformator
dari Strasbourg, memberi justifikasi teologis yang lebih sistematis. Ia
menyusun argumen bahwa poligami dapat diterima dalam keadaan khusus, terutama
jika istri pertama tidak mampu memenuhi kebutuhan suami. Bucer bahkan menulis bahwa
“lebih baik beristri dua daripada jatuh dalam perzinahan.”
Di sinilah terlihat
wajah pragmatis Reformasi: alih-alih menuntun manusia menuju kekudusan, teologi
berubah menjadi instrumen untuk menjustifikasi kelemahan. Bucer pada dasarnya
menurunkan Injil menjadi manual solusi instan bagi libido bangsawan.
4. Dokumen Rahasia 1539
Pada 10 Desember 1539,
ketiga reformator menandatangani dokumen rahasia yang menyetujui bigami Philip
of Hesse. Dokumen itu disimpan rapat, tetapi akhirnya bocor dan menjadi skandal
besar. Gereja Katolik segera menjadikannya senjata polemik: “Lihatlah, mereka
yang mencela Roma ternyata lebih rendah moralnya.”
Luther, ketika skandal
pecah, berdalih bahwa ia “terpaksa” menandatangani demi menghindari bencana
politik. Dengan kata lain, ia mengakui bahwa politik lebih menentukan daripada
Injil. Sejarah menyingkap: sola scriptura berhenti di meja makan
bangsawan.
Sinisme Akademik
Luther, Melanchthon, dan
Bucer—tiga nama besar Reformasi—dalam kasus ini tampil bukan sebagai nabi,
melainkan notaris, diplomat, dan juru bicara nafsu. Dokumen bigami Philip of
Hesse bukan sekadar catatan hukum, melainkan epitaf moral Reformasi: “Injil untuk
publik, kompromi untuk patron.”
Bagian III:
Analisis Teologis dan Filosofis
1. Kontradiksi
dengan Injil Kristus
Yesus berbicara jelas
mengenai perkawinan: “Sejak awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki
dan perempuan… keduanya menjadi satu daging… apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:4–6). Paulus menegaskan kembali
dalam Efesus 5:31–32 bahwa perkawinan adalah lambang misteri Kristus dan
Gereja—suatu kesatuan yang tidak bisa dibagi dua.
Para reformator yang
memberi dispensasi bigami seakan-akan lupa bahwa Injil bukanlah manual politik.
Dengan merujuk pada Abraham, Yakub, atau Daud, mereka kembali ke tahap sejarah
keselamatan yang belum disempurnakan. Gereja perdana justru menolak poligami
karena Injil telah menyingkapkan kesatuan monogami sebagai tatanan baru.
Ironinya, Luther yang berteriak lantang menolak “tradisi manusia” justru
menafsirkan Kitab Suci dengan logika mundur, bukan maju. Injil dilipat menjadi
catatan etnografis Israel kuno.
2. Inkonsistensi Sola
Scriptura
Prinsip sola
scriptura mengklaim Kitab Suci sebagai otoritas tunggal. Namun kasus bigami
membuktikan bahwa Kitab itu hanya “tunggal” sejauh tidak mengganggu kenyamanan
politik. Luther dan Melanchthon menolak tradisi Gereja, tetapi segera menciptakan
tradisi baru: dispensasi rahasia untuk bangsawan. Dengan kata lain, “hanya
Kitab Suci” berubah menjadi “hanya Kitab Suci—kecuali bila patron butuh solusi
praktis.”
Secara filosofis, ini
memperlihatkan bahwa sola scriptura tidak punya daya normatif yang
konsisten. Tanpa magisterium, Kitab Suci jadi kertas liat yang dibentuk sesuai
kebutuhan. Bigami Philip of Hesse adalah laboratorium awal relativisme
Protestan: Alkitab bukan lagi firman yang menuntun, melainkan cermin yang
memantulkan kepentingan.
3. Kontras dengan
Konsistensi Katolik
Gereja Katolik, pada
masa yang sama, menghadapi tuntutan Henry VIII. Berbeda dengan Luther, Roma
tidak menyerah pada tekanan politik. Paus menolak melegitimasi pernikahan baru
Henry meskipun konsekuensinya kehilangan seluruh kerajaan Inggris. Keputusan ini
bukan tanpa luka, tetapi Gereja memilih kehilangan mahkota daripada
mengkhianati sakramen.
Perbandingan ini
memalukan bagi Reformasi. Yang dituduh dekaden ternyata lebih teguh. Yang
mengaku “pemurni Injil” justru melacurkan Injil. Sinisme akademik menemukan
klimaksnya: Roma berdiri di atas batu karang prinsip, sementara Wittenberg
goyah di atas bantal kenyamanan politik.
4. Implikasi
Filosofis: Dari Realisme ke Relativisme
Secara metafisik,
perkawinan Katolik dipandang sebagai sakramen, tanda efektif kasih Kristus yang
tidak dapat digandakan. Bigami meruntuhkan realisme sakramental ini: kasih
Kristus bukan “dua tubuh untuk satu kepala,” melainkan “satu kepala untuk dua
tubuh”—sebuah absurditas ontologis.
Reformasi yang menolak
metafisika skolastik pun jatuh ke dalam nominalisme moral: aturan hanya berlaku
selama tidak bertabrakan dengan kepentingan patron. Dari sini lahir benih
relativisme etika Protestan modern: perceraian sah, perkawinan kontraktual, bahkan
redefinisi perkawinan di era kontemporer. Semua berakar pada kompromi awal:
dispensasi bigami.
notabene
Reformasi mengaku
kembali ke Injil, tetapi pada momen ujian paling sederhana—seorang bangsawan
yang ingin dua istri—mereka menyerah. Injil ditundukkan, Kitab Suci
direlatifkan, dan teologi dijadikan sekretaris nafsu politik. Gereja Katolik,
yang dituduh busuk, justru terbukti lebih setia. Maka, kasus bigami bukan
sekadar catatan historis, melainkan monumen atas kebangkrutan filosofis dan
moral Reformasi.
Bagian IV: Dampak
Historis
1. Pembelaan
Teologis atas Poligami
Kasus Philip of Hesse
tidak berdiri sendiri. Setelah dispensasi rahasia itu bocor, diskusi tentang
poligami mulai muncul di lingkaran Protestan. Martin Bucer menulis argumentasi
sistematis bahwa poligami dapat diterima sebagai remedium bila istri
pertama tidak sanggup melayani suami. Bahkan John Calvin, meskipun lebih
berhati-hati, dalam korespondensinya menyatakan bahwa Alkitab tidak secara
eksplisit melarang poligami dalam segala kondisi, hanya bahwa “praktik itu
tidak cocok bagi masyarakat Kristen.” Dengan kata lain: poligami bukan dosa
mutlak, hanya tidak elok.
Di sinilah Reformasi
membuka pintu relativisme moral: sesuatu bisa dianggap salah hanya karena
“tidak cocok,” bukan karena bertentangan dengan hukum ilahi.
2. Perkawinan dalam
Tradisi Protestan: Dari Dispensasi ke Perceraian
Jika bigami adalah
awalnya, perceraian menjadi kelanjutan logis. Gereja Katolik memandang
perkawinan sebagai sakramen tak terceraikan. Namun di tangan Reformasi, perkawinan
direduksi menjadi kontrak yang dapat dibatalkan. Luther sendiri memberi ruang
bagi perceraian dalam situasi tertentu. Milton di Inggris kemudian menulis
traktat membela perceraian sebagai hak dasar manusia. Dari bigami Philip hingga
traktat Milton, jalurnya jelas: ketika perkawinan tak lagi sakramen, ia bisa
dinegosiasikan sesuai kebutuhan.
Sinisme akademik:
Reformasi yang katanya memperbaiki moral justru meletakkan fondasi bagi
“industri perceraian” modern. Dari dispensasi rahasia abad ke-16 lahir
perceraian massal abad ke-21.
3. Relativisme
Etika Perkawinan di Dunia Modern
Warisan Reformasi
terlihat jelas: di banyak denominasi Protestan, perceraian dan pernikahan ulang
bukan lagi aib, melainkan praktik biasa. Beberapa aliran bahkan kini merestui
definisi perkawinan yang sepenuhnya diputuskan oleh konsensus budaya, bukan oleh
wahyu ilahi. Semua ini tidak jatuh dari langit, tetapi berakar pada kompromi
awal ketika Injil ditundukkan di meja perundingan dengan Philip of Hesse.
Dalam perspektif
filosofis, ini menandai pergeseran dari realisme moral Katolik—yang melihat
perkawinan sebagai partisipasi dalam realitas sakramental—ke nominalisme moral
Protestan, di mana makna perkawinan ditentukan oleh keputusan komunitas atau
individu. Bigami Philip hanyalah pintu gerbang awal menuju relativisme etika
modern.
4. Katolik sebagai
Kontras Historis
Sementara Protestan
membuka ruang untuk bigami, poligami, dan perceraian, Gereja Katolik tetap
konsisten menegaskan monogami tak terceraikan. Konsistensi ini dibayar mahal:
konflik politik, kehilangan Inggris, bahkan penganiayaan terhadap umat Katolik
di negara-negara Reformasi. Namun harga itu adalah tanda kesetiaan. Roma lebih
memilih kehilangan kerajaan daripada kehilangan sakramen.
Notabene
Reformasi melahirkan
relativisme etika perkawinan bukan karena “roh zaman,” melainkan karena sejak
awal mereka memilih kompromi. Philip of Hesse ingin dua istri, Luther
menandatangani dispensasi, Melanchthon menutup mata, dan Bucer memberi
justifikasi teologis. Dari peristiwa itu, sejarah Protestan membawa jejak noda
yang tidak bisa dihapus: moralitas perkawinan dibentuk bukan oleh Injil,
melainkan oleh nafsu patron.
Bagian V: Kritik
Apologetik
1. Roma vs
Reformasi: Siapa yang Konsisten?
Retorika Reformasi
selalu menuduh Roma sebagai pusat dekadensi moral. Namun sejarah menunjukkan
sebaliknya. Ketika Henry VIII menuntut pembatalan perkawinannya, Roma berkata
tegas non possumus—tidak mungkin. Konsistensi Katolik dibayar mahal:
kehilangan seluruh Inggris, persekusi berdarah terhadap umat Katolik, dan
pecahnya kesatuan Kristen di Eropa Barat. Namun harga itu justru menegaskan
integritas Gereja: sakramen bukan barang dagangan.
Bandingkan dengan Luther
dan Melanchthon yang menandatangani dispensasi bigami untuk Philip of Hesse.
Roma kehilangan mahkota demi prinsip; Wittenberg kehilangan prinsip demi
menjaga mahkota patron. Ironi ini begitu mencolok sehingga sulit dipoles dengan
retorika.
2. Dampak
Filosofis: Relativisme yang Membusuk dari Dalam
Secara filosofis,
dispensasi bigami adalah tanda bahwa sola scriptura tidak punya daya
normatif objektif. Tanpa Magisterium, Kitab Suci dibaca sesuai kebutuhan
politik. Luther mengutip Abraham, Bucer memberi alasan pastoral, Melanchthon
berkompromi demi stabilitas. Tidak ada kebenaran objektif; hanya kalkulasi
pragmatis.
Dari kompromi ini
lahirlah tradisi etika Protestan yang semakin nominalis: perkawinan bukan
sakramen yang nyata (res sacramenti), melainkan kontrak yang bisa disesuaikan.
Dari situ, perceraian, pernikahan ulang, dan bahkan redefinisi radikal
perkawinan di era modern mendapat pijakan teologis. Apa yang di zaman Luther
dibungkus sebagai “keadaan darurat” kini menjadi praktik lumrah.
3. Roma dan
Realisme Sakramental
Gereja Katolik, meskipun
sering digambarkan sebagai lamban, justru teguh menjaga fondasi metafisika
sakramen. Perkawinan dipahami sebagai realitas ontologis: satu laki-laki dan
satu perempuan yang bersatu tak terceraikan sebagai partisipasi dalam kasih Kristus.
Prinsip ini bukan sekadar norma moral, tetapi kenyataan metafisik. Karena itu,
bigami bukan hanya “tidak pantas,” melainkan mustahil secara ontologis.
Kontras ini menyingkap
wajah asli Reformasi: di saat Katolik mempertahankan realisme sakramental,
Protestan merosot ke relativisme pragmatis.
4. Sinisme Akademik:
Pernikahan Gelap Teologi dan Nafsu
Sejarah besar kadang
ditentukan oleh momen kecil. Reformasi yang katanya lahir demi Injil ternyata
dikompromikan oleh hasrat seorang pangeran yang ingin dua istri. Luther
menandatangani, Melanchthon mengangguk, Bucer menulis argumen. Dari situ,
Reformasi menanam benih relativisme yang kini mekar di ladang etika Protestan
modern.
Dengan sinisme akademik,
kita bisa menulis epitaf Reformasi:
“Roma dituduh menjual
indulgensi, tetapi Reformasi menjual Injil itu sendiri—dengan harga murah,
hanya untuk memuaskan patron yang bernafsu.”
Kesimpulan
Kasus bigami Philip of
Hesse pada tahun 1540 bukan sekadar anekdot memalukan, melainkan jendela yang
menyingkap wajah sejati Reformasi Protestan. Reformasi mengaku sebagai gerakan
pemurnian Injil, tetapi justru di ujian moral paling sederhana—seorang bangsawan
yang ingin dua istri—para reformator tersungkur. Luther menandatangani
dispensasi, Melanchthon berkompromi, Bucer menyusun argumen. Injil yang katanya
“murni” direduksi menjadi legitimasi nafsu patron, dan prinsip sola
scriptura diperlakukan sebagai tanah liat yang bisa dibentuk sesuai
kebutuhan politik.
Di sisi lain, Gereja
Katolik yang dituduh dekaden menunjukkan konsistensinya. Roma menolak tuntutan
Henry VIII, meski risikonya adalah kehilangan Inggris dan pecahnya kesatuan
Kristen. Katolik memilih kehilangan mahkota daripada kehilangan sakramen; Protestan
memilih kehilangan sakramen demi mempertahankan mahkota patron. Kontras ini
menyingkap paradoks besar: mereka yang paling keras mengutuk kompromi Roma
justru menjadi ahli kompromi.
Secara filosofis,
dispensasi bigami menandai runtuhnya fondasi realisme moral. Perkawinan tidak
lagi dipahami sebagai realitas sakramental yang tak terceraikan, melainkan
kontrak pragmatis yang dapat dinegosiasikan. Dari sini lahir warisan etika
Protestan yang longgar: perceraian, pernikahan ulang, bahkan redefinisi
perkawinan modern. Relativisme moral yang kini melanda dunia Kristen bukanlah
kecelakaan belaka, melainkan buah yang matang dari benih yang ditanam pada abad
ke-16.
Maka, apologetika
Katolik berhak menyimpulkan: Reformasi bukanlah kembalinya Injil, melainkan
pernikahan gelap antara teologi dan nafsu. Jika Roma berdiri di atas batu
karang prinsip, Wittenberg terperangkap di lumpur kompromi. Dan sejarah tidak
menipu: di antara dua kubu yang saling menuduh korupsi, hanya satu yang menolak
menjual sakramen—dan itu bukan Luther.
