Pendahuluan
Dalam setiap perdebatan Katolik–Protestan, hampir
selalu ada satu kalimat sakti yang diulang seperti mantra: Sola Scriptura.
Para pengusungnya meyakini bahwa slogan ini adalah benteng terakhir iman,
padahal dalam kenyataan, ia lebih mirip perisai retak yang dibawa dengan penuh
keyakinan. Ironisnya, banyak apologet Katolik sendiri justru melawan slogan ini
dengan senjata yang salah: argumen epistemologis murahan, seakan-akan iman
hanyalah urusan kalkulasi bukti. Hasilnya bisa ditebak—alih-alih memperkuat Katolik,
argumen seperti itu justru menampar wajah Katolik sendiri.
Mari kita lihat masalahnya. Argumen-argumen
epistemologis semacam ini biasanya berbunyi begini: “Kita hanya bisa tahu mana
kitab suci yang benar kalau ada Gereja infalibel yang mendefinisikan kanon.”
Atau: “Tanpa penafsir yang sempurna, Alkitab hanyalah teks mati.” Kedengarannya
garang. Namun, begitu disentuh sedikit saja dengan logika dasar, semuanya
runtuh. Kalau kepastian iman harus selalu bergantung pada bukti absolut, maka
iman Katolik sendiri mustahil ada, sebab bukti absolut tidak pernah tersedia.
Dan jika benar Gereja hanya bisa dipercaya bila ada bukti sempurna yang
mendukung klaimnya, maka dasar iman dalam Gereja sendiri sudah retak sejak
awal. Dengan kata lain, senjata yang dipakai untuk melawan Protestan justru
menembus dada Katolik.
Padahal, tradisi Katolik sendiri sudah lama
mengajarkan hal yang lebih dalam dan lebih elegan: iman adalah kebajikan
supranatural, karunia Allah, yang ditanamkan dalam jiwa lewat rahmat, bukan
hasil kalkulasi matematis. Bukti dan tanda—yang disebut motif kredibilitas—memang
penting: mukjizat, nubuat yang tergenapi, kekudusan para santo, stabilitas
Gereja sepanjang sejarah. Tetapi semua itu hanyalah arah penunjuk, bukan
fondasi. Fondasi iman adalah janji Kristus dan karya Roh Kudus. Siapa yang
melupakannya, siapa yang mencoba menggeser fondasi itu menjadi sekadar bukti
empiris atau logika formal, sudah menyiapkan kursi kosong di ruang pengadilan
Protestanisme.
Karena itu, tugas apologetika Katolik hari ini
bukanlah mengulang-ulang argumen rapuh yang sudah lapuk oleh waktu, tetapi
membedah Sola Scriptura dengan pisau epistemologi Katolik yang tajam.
Pertama-tama dengan menyingkirkan argumen lemah yang justru mempermalukan iman,
lalu mengajukan argumen kuat yang bertumpu pada janji Kristus, kekudusan
Gereja, kuasa sakramen, dan konsistensi moral Katolik sepanjang zaman. Hanya
dengan demikian perdebatan dapat ditarik kembali ke medan yang benar: bukan
soal retorika semu tentang “otoritas teks” melawan “otoritas tradisi”,
melainkan soal realitas ilahi—siapa yang sungguh-sungguh menerima janji Kristus
dan rahmat-Nya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menata ulang kerangka
apologetika Katolik terhadap Sola Scriptura. Kita akan memulai dengan
fondasi epistemologi Katolik tentang iman, lalu menelaah bagaimana Protestan
membangun kepastian mereka tentang Kitab Suci, sebelum membongkar argumen lemah
yang sering dipakai Katolik sendiri. Setelah itu, kita akan menyodorkan argumen
yang sungguh kuat melawan Sola Scriptura: bukan argumen yang
berputar-putar, tetapi argumen yang berakar dalam janji Kristus, kesaksian
sejarah Gereja, dan kuasa ilahi yang tetap bekerja di dalam tubuh mistik
Kristus sepanjang zaman.
Dengan kata lain: bila Sola Scriptura ingin
bertahan, ia harus berhadapan bukan dengan logika murahan, tetapi dengan
realitas Gereja Katolik yang hidup.
Bagian I – Epistemologi Katolik tentang Iman
Pertanyaan pertama yang wajib dijawab: bagaimana seorang
Katolik tahu bahwa imannya benar? Jawaban klasik Gereja sudah jelas—Allah
menyediakan motiva credibilitatis atau “motif kredibilitas”: tanda-tanda
yang menunjukkan bahwa iman Katolik sungguh berasal dari Allah. Kita berbicara
tentang mukjizat yang tidak bisa dipalsukan oleh akal sehat, nubuat yang
tergenapi secara presisi, stabilitas Gereja yang bertahan meski diterpa perang,
bidat, dan skandal, serta kekudusan para santo yang hidupnya melampaui ukuran
manusia biasa. Semua itu memberi landasan rasional bagi iman. Tetapi mari
jujur: bukti itu tidak membuktikan secara absolut.
Inilah pelajaran penting dari Konsili Vatikan I. Iman
tidak diperoleh “karena kebenaran intrinsik dari hal-hal yang diwahyukan telah
dipahami oleh cahaya akal budi alami,” melainkan karena iman adalah kebajikan
supranatural yang ditanamkan oleh rahmat Allah. Dengan kata lain, iman bukan
produk laboratorium logika. Musa di depan semak yang menyala tidak punya bukti
empiris bahwa itu bukan halusinasi. Para murid yang mendengar janji Kristus
tidak punya data saintifik bahwa kebangkitan itu mungkin. Tetapi rahmat Allah
menanamkan kepastian yang melampaui kalkulasi.
Jadi, iman Katolik lahir dari dua tahap. Pertama,
seseorang berjumpa dengan motif kredibilitas—argumen, sejarah, kesaksian
kudus—yang masuk akal dan memberi probabilitas tinggi bahwa Gereja benar. Tahap
ini hanya melahirkan fides humana: iman manusiawi yang rasional, tetapi
masih bisa salah. Tahap kedua terjadi ketika rahmat Allah turun: Roh Kudus
menanamkan fides divina, iman ilahi yang membawa kepastian supranatural
bahwa Gereja sungguh benar. Tanpa tahap kedua, yang ada hanya opini religius,
bukan iman yang menyelamatkan.
Di sinilah kita melihat kelemahan epistemologi palsu yang
sering dipakai dalam debat melawan Protestan. Mereka berkata, “Kita butuh bukti
absolut—tradisi infalibel—supaya bisa yakin.” Logika ini, jika konsisten,
justru membatalkan iman Katolik. Mengapa? Karena jika kita hanya bisa percaya
pada Gereja bila ada bukti absolut, maka kita takkan pernah sampai pada iman
itu sendiri—sebab bukti absolut tidak pernah tersedia bagi makhluk fana. Iman
sejati adalah rahmat, bukan deduksi.
Dengan kata lain, epistemologi Katolik mengakui bahwa
manusia tidak pernah bisa “memegang Tuhan di ujung mikroskop.” Yang kita punya
adalah tanda-tanda yang menunjuk arah, dan rahmat Allah yang menanamkan
kepastian. Jika ada yang tetap bersikeras bahwa tanpa bukti infalibel iman
tidak mungkin lahir, maka ia sudah menukar teologi Katolik dengan sains fiksi:
agama yang hanya hidup di laboratorium hipotesis.
Itulah dasar epistemologi Katolik: bukti mengarahkan,
rahmat menanamkan. Apa jadinya kalau kita lupa prinsip ini? Kita akan berakhir
seperti Protestan yang mengira diri rasional, tetapi sebenarnya berlayar tanpa
jangkar epistemik. Dan lebih tragis lagi, kita akan memalukan Gereja sendiri
dengan argumen-argumen yang menusuk balik dada Katolik.
Bagian II – Bagaimana Protestan Mengetahui Kitab Suci
Pertanyaan yang selalu dilempar Protestan adalah:
“Bagaimana saya bisa yakin Alkitab ini sungguh firman Allah tanpa Gereja?”
Mereka menganggap ini senjata pamungkas yang akan menyingkirkan klaim Katolik.
Ironisnya, banyak Katolik justru ikut-ikutan menertawakan Protestan dengan
argumen yang sama, seakan-akan iman hanya mungkin bila ada stempel infalibel
dari Gereja. Padahal jawaban sejatinya jauh lebih sederhana, sekaligus lebih
menusuk: Protestan tahu Alkitab itu firman Allah dengan cara yang sama seorang Katolik
tahu Gereja itu benar—melalui motif kredibilitas yang diikuti rahmat
Allah. Titik.
Mari kita telanjangi ilusi itu satu per satu. Alkitab
memikul beban pembuktian untuk dirinya sendiri. Dan faktanya, ia memikulnya
dengan gemilang. Kitab-kitab Perjanjian Lama dipenuhi nubuat tentang Mesias
yang digenapi secara detail dalam Kristus. Perjanjian Baru memperlihatkan
kemuliaan moral Kristus, khususnya dalam Khotbah di Bukit, yang mengguncang
nurani manusia sampai sekarang. Sejarah Gereja menunjukkan daya pengudusan
Firman: orang-orang yang membaca Alkitab sungguh berubah hidupnya. Bahkan dari
segi literer dan estetis, keindahan Alkitab tak tertandingi—suara yang menusuk
hati manusia di setiap zaman.
Bukan kebetulan bila teolog Katolik seperti Lawrence
Feingold menegaskan bahwa nubuat, mukjizat, dan kesatuan antara Perjanjian Lama
dan Baru adalah motif kredibilitas utama iman Katolik. Anehnya, beberapa
apologet Katolik lupa bahwa bukti-bukti ini juga berlaku untuk Protestan.
Singkatnya: Alkitab itu sendiri adalah bukti yang cukup kuat, bahkan sebelum
Gereja mengafirmasinya. Justru secara tradisional, Gereja mengutip Alkitab
sebagai motif kredibilitas bagi dirinya.
Di sinilah kita menemukan ironi yang lebih pahit. Banyak
orang beriman kepada Alkitab lebih dahulu, baru kemudian sampai pada Gereja.
Apakah itu salah? Sama sekali tidak. Itulah jalur yang dipakai rahmat Allah
dalam sejarah nyata. Seorang Protestan membaca Injil, terpesona pada Kristus,
lalu perlahan menyadari bahwa janji-janji Kristus tentang Gereja hanya bisa
masuk akal bila Gereja Katolik benar. Jalan itu sahih, sekaligus membongkar
kelemahan argumen epistemologis Katolik yang sempit.
Motif lain bagi Alkitab
pun nyata. Firman itu mengungkapkan kebenaran tentang dunia secara telanjang.
Lihatlah dosa, kejatuhan, kerakusan, dan penyembahan diri manusia modern. Semua
ini sudah dipetakan Alkitab berabad-abad lalu. C. S. Lewis pernah berkata ia
percaya pada Kekristenan sebagaimana ia percaya matahari terbit: bukan hanya
karena ia melihatnya, tetapi karena dengan itu ia melihat segala sesuatu yang
lain. Alkitab bekerja seperti itu: ia menyalakan mata hati untuk membaca
realitas.
Dan yang terpenting: Roh
Kudus sendiri yang bersaksi di hati pembaca bahwa Alkitab adalah firman Allah.
Katolik menyebut ini karunia iman. Protestan menjelaskannya sebagai
kesaksian batin Roh. Nama boleh berbeda, tapi substansinya sama: tanpa rahmat,
Alkitab hanya teks; dengan rahmat, Alkitab menjadi Sabda yang hidup.
Menyebutnya sekadar “perasaan subjektif” sama saja menuduh Allah tak mampu
berbicara. Itu bukan argumen teologis, melainkan bentuk ateisme samar-samar.
Jadi, bagaimana Protestan
tahu Alkitab itu firman Allah? Sama seperti Katolik tahu Gereja itu benar:
bukan dari logika murni, bukan dari bukti absolut, tetapi dari motif
kredibilitas yang mengarah, lalu rahmat Allah yang menanamkan kepastian.
Inilah kebenaran pahit yang membuat argumen epistemologis Katolik yang sempit
menjadi bumerang. Karena jika kita menolak cara ini, kita tidak hanya
membatalkan iman Protestan—kita juga membatalkan iman Katolik.
Bagian
III – Argumen Lemah Melawan Sola Scriptura
Di titik ini, kita perlu
jujur: banyak argumen Katolik melawan Sola Scriptura bukan hanya lemah,
tapi memalukan. Argumen-argumen itu ibarat tombak kayu yang dilempar dengan
penuh percaya diri, hanya untuk patah di udara dan jatuh ke kaki sendiri. Apa
saja argumen tumpul itu? Mari kita bedah.
1.
“Gereja memberi kita Alkitab, maka Gereja pasti infalibel.”
Retorika ini terdengar gagah di podium, tetapi secara
logika rapuh. Bahwa Tuhan memakai Gereja untuk mengumpulkan Kitab Suci tidak
berarti Gereja otomatis kebal salah. Dalam Perjanjian Lama, Allah memakai
bangsa Israel—yang penuh penyembahan berhala—untuk melestarikan Taurat dan
nubuat para nabi. Apakah itu berarti seluruh tradisi rabinik otomatis benar?
Jelas tidak. Mengira bahwa peran instrumental Gereja sama dengan jaminan
infalibilitas adalah kesalahan kategori. Singkatnya: argumen ini tidak membuktikan
apa-apa.
2. “Tanpa deklarasi infalibel, kanon Alkitab mustahil
diketahui.”
Pernyataan ini lebih cocok sebagai dogma fideisme
daripada logika Katolik. Tuhan sanggup membuat umat-Nya mengenali Firman tanpa
prosedur birokrasi infalibel. Buktinya: Israel tidak pernah memiliki kanon yang
difinalisasi, tetapi tetap memiliki Kitab Suci yang hidup. Mengklaim bahwa
kanon hanya mungkin ada karena deklarasi infalibel adalah mengerdilkan
kemahakuasaan Allah menjadi sekadar fungsi administratif Gereja. Itu bukan
argumen, tapi birokratisasi iman.
3. “Tanpa penafsir yang sempurna, Alkitab hanya jadi
interpretasi subjektif.”
Benarkah demikian? Sejauh pembaca hanya mengandalkan
akal dangkalnya, ya, semua bisa jadi subjektif. Tapi inilah poin yang
dilupakan: Roh Kudus juga bekerja di luar ruang rapat Vatikan. Protestan, meski
tanpa Magisterium, tetap bisa memiliki iman ilahi terhadap makna Kitab Suci
ketika Roh memberi terang. Katolik pun, tanpa rahmat itu, hanya punya opini
manusiawi, meskipun bersandar pada Magisterium. Jadi, perbedaan bukan
kualitatif, hanya kuantitatif: Katolik punya lebih banyak klarifikasi, tetapi
tetap tergantung pada rahmat. Menyebut Protestan “sekadar subjektif” sambil
lupa bahwa Katolik pun bisa jatuh dalam subjektivisme tanpa rahmat adalah
bentuk lupa diri.
4. “Konsensus lebih dapat diandalkan daripada opini
individu.”
Kalimat ini terdengar masuk akal sampai kita masukkan
ke dalam Perjanjian Lama. Konsensus para tua-tua Yahudi tentang tradisi cuci
tangan, misalnya, justru dikecam Yesus sebagai “tradisi manusia” yang
membatalkan firman Allah (Mrk 7:13). Jadi, konsensus—bahkan yang dipegang
otoritas religius—tidak otomatis benar. Argumen ini jika konsisten justru
membenarkan farisisme, bukan iman Katolik.
Sindiran Akhir
Mari berhenti mempermalukan diri sendiri dengan
argumen seperti ini. Argumen-argumen di atas mungkin bisa memukau audiens awam,
tetapi di hadapan logika yang dingin, semuanya runtuh. Lebih parah lagi,
argumen-argumen itu menusuk balik iman Katolik: kalau iman hanya bisa lahir
dari deklarasi infalibel atau konsensus manusia, maka iman Katolik sejak awal
mustahil ada.
Singkatnya: argumen lemah melawan Sola Scriptura
bukan sekadar tidak efektif; mereka adalah bumerang yang kembali menghantam
wajah kita sendiri.
Bagian IV – Argumen Kuat Melawan Sola Scriptura
Setelah semua argumen rapuh disapu keluar, kita bisa
kembali ke medan yang sebenarnya. Sola Scriptura pada intinya bukanlah
klaim tentang teks, melainkan klaim tentang Gereja. Doktrin ini berkata:
“Gereja tidak infalibel.” Maka satu-satunya cara menghancurkan Sola
Scriptura adalah menunjukkan kebalikannya—bahwa Gereja memang menerima
jaminan infalibilitas dari Kristus. Bukti ini tidak berputar di ruang
epistemologi abstrak, melainkan berdiri di atas janji, sejarah, dan buah-buah
nyata yang tak bisa dipalsukan.
1. Janji Kristus yang Tidak Bisa Dihapus
Yesus berkata kepada Petrus: “Engkau adalah batu
karang, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan alam
maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18). Ia menambahkan, “Apa yang kau ikat
di bumi akan terikat di surga” (Mat 16:19). Apakah itu hanya retorika puitis?
Jika ya, maka Kristus telah menipu para murid. Jika tidak, maka janji itu
adalah jaminan infalibilitas. Protestan boleh berputar-putar dengan penafsiran,
tetapi mereka tidak bisa menghapus fakta bahwa janji Kristus menempel pada Gereja,
bukan pada teks semata.
2. Kekudusan Para Santo dan Mukjizat yang Tak
Tertandingi
Gereja Katolik melahirkan orang-orang kudus yang
hidupnya melampaui logika dunia: Fransiskus dari Asisi, Teresa dari Avila,
Padre Pio. Mereka hidup, berdoa, melakukan mukjizat, dan menjadi saksi bahwa
rahmat Gereja bukanlah fiksi. Di mana padanannya dalam tradisi Protestan? Di
mana barisan orang kudus yang konsisten, yang berakar pada doa kepada Maria,
devosi pada Ekaristi, dan ketaatan kepada Paus? Protestan bisa melahirkan
tokoh-tokoh rohani, tetapi kesucian yang berakar pada sakramen Gereja tetap tak
tertandingi.
3. Kuasa Sakramen
Ekaristi adalah senjata rahasia Gereja yang tak bisa
ditiru. Di altar Katolik, roti dan anggur sungguh menjadi Tubuh dan Darah
Kristus. Protestan menyebutnya sekadar simbol, dan di situlah tragedinya:
mereka menolak sumber rahmat yang dijanjikan Kristus sendiri dalam Yohanes 6.
Sakramen-sakramen Katolik—dari baptisan hingga pengampunan dosa—membuktikan
kekuatan Gereja yang hidup, bukan sekadar tradisi manusia.
4. Konsistensi Ajaran Moral Katolik
Selama dua ribu tahun, Gereja Katolik menolak aborsi,
menegaskan kesucian perkawinan, membela hidup dari konsepsi sampai mati alami.
Protestanisme, dengan klaim Sola Scriptura-nya, terpecah dalam seribu
tafsiran moral, dari liberalisme etis hingga fundamentalisme sempit. Bila
kebenaran diukur dari buah moral, maka Gereja Katolik berdiri sebagai
satu-satunya tradisi yang memelihara garis konsisten dari awal hingga kini.
5. Ketahanan Gereja di Tengah Skandal
Argumen paling ironis: meski diterpa skandal uskup
korup, Paus lemah, bahkan dosa para imam, Gereja Katolik tetap bertahan. Ia
tidak roboh, justru tetap ada. Bagaimana menjelaskan ini tanpa mengakui tangan
pemeliharaan Allah? Protestanisme, lahir dari protes, terpecah menjadi ribuan
denominasi dalam waktu singkat. Gereja Katolik, meski babak belur, tetap satu
tubuh.
Pisau Menusuk ke Jantung
Inilah argumen yang benar-benar menghancurkan Sola
Scriptura: bukan perdebatan abstrak tentang epistemologi, tetapi bukti
bahwa Gereja Katolik berdiri di atas janji Kristus, diperkuat dengan sakramen,
dikelilingi oleh kekudusan para santo, konsisten dalam moralitas, dan bertahan
sepanjang sejarah.
Dengan kata lain, Sola Scriptura tidak jatuh
karena teks Alkitab tidak cukup. Ia jatuh
karena realitas Gereja Katolik terlalu besar untuk diabaikan. Protestan bisa
terus bersikeras bahwa Gereja hanyalah institusi manusia, tetapi fakta sejarah,
mukjizat, dan janji Kristus sendiri menampar wajah klaim itu.
Bagian V – Sintesis Teologis
Setelah membongkar argumen lemah dan menancapkan pisau
pada titik vital Sola Scriptura, kini saatnya menyingkap sintesis:
bagaimana sebenarnya posisi Alkitab dan Gereja dalam epistemologi Katolik.
1. Alkitab dan Gereja: Dua Pilar, Satu Rahmat
Sering kali Protestan menganggap Katolik menomorduakan
Alkitab demi Gereja. Tuduhan ini tidak lebih dari karikatur. Faktanya, tradisi
Katolik sejak awal mengajarkan bahwa Alkitab sendiri adalah motif
kredibilitas bagi Gereja. Nubuat Mesias, kesaksian para rasul, keindahan
moral Injil—semua ini memberi alasan rasional untuk percaya bahwa Gereja memang
ditegakkan Kristus. Sebaliknya, Gereja menjadi saksi yang menjaga dan
menafsirkan Alkitab. Keduanya bukan musuh, melainkan dua pilar yang saling
menopang.
2. Motif
Kredibilitas: Dari Probabilitas ke Kepastian
Baik Alkitab maupun Gereja
punya motiva credibilitatis masing-masing:
- Alkitab:
     nubuat yang digenapi, harmoni moral, kuasa pengudusan, kesaksian Roh Kudus
     dalam hati pembaca.
- Gereja:
     janji Kristus, kekudusan para santo, mukjizat, konsistensi ajaran,
     ketahanan historis.
Tetapi semua ini hanya
memberi probabilitas, bukan kepastian mutlak. Kepastian iman datang dari rahmat
Allah yang menanamkan fides divina. Katolik tidak butuh bukti absolut;
yang dibutuhkan adalah rahmat yang meneguhkan. Menuntut bukti absolut sama saja
menolak epistemologi Katolik dan jatuh ke lubang skeptisisme Protestan.
3. Ironi Epistemologis Protestan
Di sini ironi menyakitkan muncul. Protestan sering
menuduh Katolik bergantung pada tradisi manusia, sementara mereka mengaku hanya
bersandar pada firman tertulis. Namun, bagaimana mereka tahu Alkitab itu firman
Allah? Jawabannya sama: melalui motif kredibilitas dan rahmat Roh Kudus.
Artinya, Protestan berdiri di tanah epistemik yang sama dengan Katolik—mereka
hanya pura-pura tidak sadar.
Lebih tragis lagi, argumen epistemologis Katolik yang
salah kaprah justru memperkuat Protestan. Dengan berkata “iman butuh bukti
absolut dari tradisi infalibel,” kita tanpa sadar memberi amunisi bagi mereka
untuk menuduh Katolik sama rapuhnya dengan mereka. Padahal, epistemologi
Katolik sejati lebih elegan: iman lahir dari tanda-tanda yang menunjuk, lalu
disempurnakan oleh rahmat.
4. Perbedaan Kualitatif: Janji Kristus
Pada akhirnya, perbedaan Katolik dan Protestan tidak
terletak pada “metode epistemik,” tetapi pada janji Kristus. Gereja Katolik
berani berkata bahwa ia infalibel bukan karena perhitungan manusia, melainkan
karena Kristus sendiri berjanji: “Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai
akhir zaman” (Mat 28:20). Janji ini bukan retorika, melainkan fondasi
metafisik. Protestan menolak infalibilitas Gereja, dan dengan itu mereka
menolak janji Kristus dalam konteksnya yang nyata.
Sintesis Dingin
Dengan demikian, Alkitab dan Gereja bukan dua kubu yang
harus dipertentangkan. Alkitab adalah saksi bagi Gereja, dan Gereja adalah
penjaga Alkitab. Keduanya hidup karena rahmat yang sama. Sola Scriptura
berusaha memisahkan keduanya, dan di situlah ia runtuh.
Jika iman hanya bergantung pada teks tanpa Gereja, maka
iman menjadi buta huruf. Jika iman hanya bergantung pada Gereja tanpa Alkitab,
maka iman menjadi institusionalisme kosong. Tetapi iman Katolik sejati berdiri
di atas keduanya: Firman yang tertulis dan Gereja yang hidup, keduanya
dipelihara oleh rahmat Allah.
Itulah sintesis yang membuat Sola Scriptura bukan
sekadar rapuh, melainkan absurd.
Kesimpulan
Apa yang kita pelajari dari seluruh perjalanan ini?
Bahwa argumen epistemologis yang kerap dipakai untuk menyerang Sola
Scriptura bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya. Mereka menuntut bukti
absolut, seolah iman bisa dipastikan lewat kalkulasi logis. Padahal,
epistemologi Katolik sejati justru mengakui keterbatasan manusia dan
menempatkan kepastian iman pada rahmat Allah. Menuntut bukti absolut sama saja
membunuh iman Katolik dari dalam, meninggalkan kita dengan fideisme steril atau
skeptisisme terselubung.
Motif kredibilitas tetap penting: nubuat yang tergenapi, mukjizat,
kekudusan, stabilitas Gereja, kuasa sakramen. Tetapi semua itu hanya penunjuk
arah. Kepastian iman datang bukan dari logika manusia, melainkan dari Allah
yang menanamkan kebajikan iman ke dalam jiwa. Dan justru di situlah letak
kelemahan Protestan: mereka menolak infalibilitas Gereja, padahal mereka
sendiri bergantung pada metode epistemik yang sama—motif kredibilitas
dan rahmat Roh Kudus—untuk percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah.
Maka pertempuran bukan lagi tentang “apakah teks
cukup” atau “apakah tradisi sempurna.” Pertarungannya adalah ini: siapakah yang
sungguh menerima janji Kristus? Gereja Katolik berdiri dengan berani karena ia
berakar pada janji yang jelas: pintu gerbang maut tidak akan menguasainya.
Protestan, dengan Sola Scriptura, hanya berani berteriak di ruang hampa,
tanpa fondasi ilahi yang bisa menanggung beban klaimnya sendiri.
Dengan demikian, Sola Scriptura Bukan Sekadar
Doktrin Yang Rapuh, Tetapi Doktrin Yang Absurd. Ia memotong cabang di mana ia
sendiri duduk: mengklaim kepastian dari Alkitab, sambil menolak fondasi
epistemik yang memungkinkan kepastian itu. Gereja Katolik, sebaliknya, berdiri
tegak di atas batu karang janji Kristus, disertai rahmat yang menjadikan iman
kepastian, bukan sekadar opini.
Singkatnya: Sola Scriptura adalah slogan kosong
yang hidup dari ilusi. Gereja Katolik adalah realitas hidup yang bertahan dari
abad ke abad. Dan realitas, bukan ilusi, adalah fondasi iman.
