Pendahuluan
Di
jantung Reformasi Protestan berdiri sebuah doktrin yang sederhana namun
revolusioner: sola scriptura. Rumusannya tegas: Kitab Suci saja sudah
cukup menjadi otoritas tertinggi dalam iman dan moral, tanpa perlu sandaran
pada Tradisi Gereja atau Magisterium. Bagi para Reformator, inilah “pembebasan”
dari kuasa lembaga gerejawi, sekaligus jalan kembali pada “kemurnian Injil.”
Namun
kesederhanaan itu menipu. Sejak abad ke-16 hingga kini, doktrin sola
scriptura telah melahirkan ribuan denominasi yang saling bertentangan dalam
ajaran dan penafsiran, semuanya mengklaim “Alkitabiah.” Pertanyaan yang muncul:
bagaimana mungkin satu teks yang sama melahirkan begitu banyak kebenaran yang
berbeda? Jika Kitab Suci memang cukup jelas (perspicuitas scripturae),
mengapa tafsirnya terpecah?
Di
sini filsafat bahasa menawarkan pisau bedah yang tajam. Ludwig
Wittgenstein—filsuf yang menyingkapkan keterbatasan bahasa manusia—memberi
kerangka untuk memahami kelemahan mendasar sola scriptura. Dari fase
awalnya dalam Tractatus Logico-Philosophicus hingga karyanya yang matang
dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein menunjukkan bahwa
bahasa tidak pernah berdiri sendiri, dan makna tidak pernah terlepas dari
komunitas pemakainya.
Artikel
ini hendak menyoroti sola scriptura melalui lensa Wittgenstein. Pertama,
kita akan melihat bagaimana doktrin ini secara implisit terjebak pada asumsi
“bahasa sebagai gambar realitas” yang kaku. Kedua, kita akan membongkar ilusi
bahwa teks Kitab Suci bisa berbicara sendiri tanpa horizon hidup Gereja.
Ketiga, kita akan membahas bagaimana masalah “mengikuti aturan” (rule-following
problem) membuat sola scriptura terjerumus ke relativisme tafsir. Akhirnya,
kita akan menyimpulkan bahwa sola scriptura pada hakikatnya hanyalah
bentuk bahasa privat yang mustahil—sementara iman Kristen selalu hidup
dalam bahasa komunal: Gereja sebagai tubuh Kristus.
Bagian
I. Ontologi Teks dan Keterbatasan Tractatus
Wittgenstein
muda, dalam Tractatus Logico-Philosophicus (1921), mengajukan teori
bahwa bahasa berfungsi sebagai “gambar” (picture theory of meaning).
Kalimat bermakna jika ia merupakan cerminan logis dari suatu fakta di dunia.
Dengan kata lain, makna ditentukan oleh kesesuaian antara struktur bahasa dan
realitas objektif.
Bagi
banyak Protestan, sola scriptura secara implisit berdiri di atas asumsi
serupa. Ayat Kitab Suci diperlakukan seolah-olah langsung memotret realitas
ilahi: perintah Allah, janji keselamatan, kebenaran moral. Maka, cukup dengan
membaca teks—“ada tertulis”—kebenaran otomatis hadir. Seakan-akan bahasa Kitab
Suci adalah peta yang transparan, tanpa kabut tafsir.
Namun,
pendekatan ini menyederhanakan kenyataan. Kitab Suci bukan sekadar kronik
fakta, melainkan kumpulan teks dengan beragam genre: narasi sejarah, nubuat,
puisi, hikmat, perumpamaan, bahkan apokaliptik penuh simbol. Dalam kerangka Tractatus,
kalimat yang tidak mengacu pada “fakta” yang bisa digambar ulang secara logis
akan disebut “nonsense.” Jika sola scriptura konsisten memakai lensa
Wittgenstein awal, sebagian besar Alkitab—terutama bagian liturgis, simbolis,
dan metaforis—harus dianggap tidak bermakna. Itu jelas kontradiksi dengan iman
Kristen yang justru menemukan wahyu Allah dalam teks-teks simbolis dan
sakramental.
Dari
sini terlihat paradoks: sola scriptura ingin menegakkan otoritas
Alkitab, tetapi cara berfilsafat yang dipakai malah berisiko mengebiri Alkitab
sendiri. Jika makna hanya diukur dengan “gambaran fakta,” maka yang tersisa
hanyalah residu rasionalistik—sementara kedalaman wahyu justru hilang.
Dengan
demikian, secara ontologis doktrin sola scriptura melakukan reduksi:
dari wahyu hidup (logos) menjadi huruf yang dianggap cukup menjelaskan
dirinya sendiri. Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam tradisi realisme
metafisik Katolik, teks hanyalah signum (tanda) yang menunjuk pada
realitas yang lebih dalam (res significata). Tanpa horizon interpretasi
yang hidup dalam Gereja, teks berhenti pada dirinya sendiri, menjadi huruf mati
yang mudah dipelintir.
Bagian II. Hermeneutika dan Language
Games
Jika Wittgenstein awal masih menaruh
harapan pada transparansi bahasa, Wittgenstein akhir dalam Philosophical
Investigations menanggalkan ilusi itu. Ia menegaskan bahwa makna sebuah
kata tidak terletak pada definisi abstrak, melainkan pada penggunaannya dalam
praktik bahasa tertentu—dalam language-game (permainan bahasa)—yang
dijalankan dalam suatu form of life (bentuk kehidupan).
Dari perspektif ini, makna Kitab Suci
tidak pernah bisa dipisahkan dari horizon hidup komunitas yang menafsirkannya.
Kitab Suci lahir, dibaca, dan diwartakan dalam Gereja. Liturgi, khotbah,
tradisi penafsiran para Bapa Gereja, dan pengajaran magisterium menjadi form
of life yang membuat teks itu berbicara. Dengan kata lain, ayat-ayat
bukanlah monumen beku, melainkan bagian dari praktik iman yang hidup.
Doktrin
sola scriptura mencoba memutus Kitab Suci dari horizon tersebut. Ia
membayangkan teks suci bisa berdiri sendiri, seperti mesin otoritas yang
berjalan tanpa operator. Namun, upaya ini tidak konsisten. Protestan tetap
bergantung pada tradisi yang mereka tolak: kanon Alkitab ditetapkan oleh
Konsili Gereja abad ke-4; kategori “Perjanjian Lama” dan “Perjanjian Baru”
diwarisi dari tradisi Katolik; bahkan rumusan “Trinitas” yang mereka imani
tidak ditemukan eksplisit dalam teks, melainkan dalam tafsir Gereja.
Mengutip
analogi Wittgenstein, sola scriptura ibarat seseorang yang ingin bermain
catur sambil menyangkal keberadaan papan dan bidak. Mereka menggunakan
peraturan dan simbol warisan Gereja, tetapi menolak mengakui struktur permainan
itu sendiri.
Hermeneutika
Wittgensteinian dengan demikian menelanjangi kelemahan sola scriptura: teks
tanpa komunitas adalah teks yang bisu. Tidak ada kata yang bermakna tanpa
konteks penggunaan. Dan tidak ada Alkitab yang hidup tanpa Gereja yang
menghidupinya.
Bagian
III. Rule-Following Problem
Salah
satu kontribusi besar Wittgenstein akhir adalah analisis tentang apa artinya
“mengikuti aturan.” Pertanyaannya sederhana namun menghantam dasar
epistemologi: bagaimana kita tahu bahwa kita sedang mengikuti sebuah aturan
dengan benar, dan bukan sekadar menyangka demikian?
Wittgenstein
menolak gagasan bahwa ketaatan pada aturan bisa dijamin secara individual.
Sebab, jika makna aturan hanya ditentukan oleh interpretasi pribadi, maka tidak
ada bedanya antara “mengikuti aturan” dan “menyalahgunakannya.” Ia menyebut ini
rule-following problem. Solusinya jelas: aturan hanya memiliki makna
karena ada kriteria publik yang diakui komunitas. Misalnya, kita tahu
bahwa menulis angka “2” itu benar bukan karena saya merasa benar, melainkan
karena komunitas matematika memiliki standar yang dapat diverifikasi bersama.
Ketika
sola scriptura mengklaim “Alkitab cukup, tidak perlu Magisterium,” ia
menempatkan penafsiran Kitab Suci pada ranah privat. Setiap individu, atau
setiap denominasi, merasa Roh Kudus menuntun tafsirnya. Namun tanpa kriteria
publik yang otoritatif, tidak ada cara untuk membedakan tafsir yang sahih dari
yang keliru. Akibatnya, fragmentasi denominasi Protestan menjadi konsekuensi
logis yang tak terhindarkan: dari Luther, Calvin, Zwingli, hingga ribuan
kelompok kontemporer yang saling bertentangan, semua merasa “mengikuti aturan”
yang sama, yaitu Alkitab.
Dalam
kacamata Wittgenstein, ini bukan sekadar masalah praktis, melainkan kegagalan
filosofis. Sebab rule-following menuntut sebuah komunitas dengan
kriteria yang stabil. Tanpa itu, klaim untuk “mengikuti firman” hanyalah ilusi
subjektif. Dengan demikian, sola scriptura pada hakikatnya meniadakan
kriteria publik yang membuat aturan bisa dijalankan. Ia menjadikan wahyu
sebagai bahasa privat: “saya dan Alkitab,” tanpa horizon verifikasi komunal.
Gereja
Katolik justru menyediakan apa yang hilang: Magisterium sebagai kriteria
publik yang menjaga kontinuitas makna Kitab Suci. Sama seperti komunitas
ilmiah yang memastikan standar eksperimen, Gereja memastikan bahwa “aturan”
iman tidak ditafsir seenaknya. Di sinilah sola scriptura terbukti bukan
hanya keliru secara teologis, tetapi juga cacat secara filosofis—ia menolak
kondisi dasar yang membuat aturan bisa bermakna.
Bagian
IV. Ilusi Bahasa Privat dan Iman Kristen
Wittgenstein
menegaskan bahwa bahasa privat mustahil. Bahasa hanya bermakna jika
memiliki kriteria publik—tanda, aturan, dan penggunaan yang dapat diverifikasi
bersama. Jika seseorang berkata “saya punya bahasa pribadi yang hanya saya
mengerti,” maka itu bukan bahasa lagi, melainkan sekadar monolog internal tanpa
jaminan makna.
Di sinilah wajah asli sola
scriptura terbuka. Doktrin ini, dalam praksisnya, mengasumsikan semacam
“bahasa privat iman.” Seorang individu membaca Kitab Suci, merasa dituntun Roh
Kudus, lalu menyimpulkan bahwa tafsirnya sah. Tetapi tanpa komunitas dengan
kriteria publik, klaim itu tak bisa diverifikasi. Yang tersisa hanyalah
subjektivitas—“saya merasa benar”—yang pada akhirnya tidak berbeda dengan
bahasa privat yang ditolak Wittgenstein.
Iman Kristen, sebaliknya, sejak awal
adalah bahasa komunal. Rasul-rasul mewartakan Injil bukan sebagai
individu terisolasi, tetapi sebagai Gereja yang membentuk tubuh Kristus.
Sakramen adalah tanda publik: air baptisan, roti dan anggur, minyak
pengurapan—semuanya memiliki makna karena diterima bersama oleh komunitas iman.
Tradisi adalah horizon makna yang memungkinkan Kitab Suci “berbicara” melampaui
kertas dan tinta.
Dengan demikian, sola scriptura
mereduksi wahyu menjadi pengalaman privat, sementara Katolik meneguhkan wahyu
sebagai bahasa komunal. Kitab Suci dipahami dalam tubuh hidup Gereja, di mana
Roh Kudus bekerja bukan hanya dalam kesunyian pribadi, melainkan dalam
konsensus iman umat berabad-abad.
Paradoksnya, Protestan yang menolak
tradisi justru terus menciptakan tradisi baru. Denominasi, sinode, pengakuan
iman, dan pernyataan doktrinal semuanya adalah usaha membangun kembali apa yang
mereka buang. Seperti orang yang menolak jembatan tapi akhirnya menyeberang
dengan membuat rakit sendiri, mereka tidak bisa lari dari kebutuhan akan
horizon komunal.
Kesimpulannya,
sola scriptura adalah ilusi bahasa privat yang mustahil. Iman Kristen
sejati tidak pernah berdiri di ruang hampa, tetapi berakar dalam form of
life Gereja yang menjamin makna, kontinuitas, dan kesatuan.
Bagian
V. Sintesis Filosofis dan Teologis
Dari
analisis di atas, jelas bahwa doktrin sola scriptura tidak hanya
bermasalah secara teologis, tetapi juga cacat secara filosofis. Mari kita
simpulkan sintesisnya.
1.
Perspektif Filsafat Bahasa
Wittgenstein
menunjukkan tiga kelemahan mendasar:
- Ontologi teks: bahasa bukanlah cermin realitas
     murni; Kitab Suci tidak otomatis berbicara tanpa horizon hidup.
- Hermeneutika: makna selalu bergantung pada language-games
     dan form of life. Sola scriptura keliru karena
     membayangkan teks bisa lepas dari tradisi.
- Rule-following: aturan hanya bermakna dalam
     komunitas. Tanpa Magisterium, penafsiran menjadi subjektif dan
     terfragmentasi.
Dengan kata lain, sola scriptura
berdiri di atas ilusi bahwa bahasa bisa mandiri, padahal bahasa selalu menuntut
komunitas.
2. Perspektif Teologi Katolik
Gereja
Katolik, sebaliknya, konsisten dengan logika bahasa Wittgenstein:
- Kitab Suci adalah teks yang hidup dalam
     tradisi.
- Tradisi adalah form of life
     Gereja yang menjaga kontinuitas iman.
- Magisterium adalah kriteria publik yang
     memastikan “aturan” iman dijalankan dengan benar.
Ketiganya bukan saingan, melainkan
satu kesatuan organis. Tanpa Gereja, Kitab Suci menjadi huruf mati. Tanpa Kitab
Suci, Gereja kehilangan fondasi tertulis. Tanpa Magisterium, keduanya hanyut
dalam relativisme tafsir.
3. Konsekuensi Historis
Filsafat Wittgenstein memberi
kerangka untuk membaca fakta sejarah: fragmentasi Protestan adalah konsekuensi
logis dari ilusi bahasa privat yang mendasari sola scriptura. Sementara itu,
kesatuan Katolik—meskipun penuh luka sejarah—tetap menjadi bukti bahwa iman
Kristen hanya bisa hidup sebagai bahasa komunal dalam tubuh Gereja.
Dengan demikian, sintesis
Wittgensteinian memperlihatkan bahwa sola scriptura adalah bentuk
reduksionisme bahasa, sementara Katolik adalah bentuk realisme komunal. Satu
jatuh ke dalam ilusi privat, yang lain berdiri pada fondasi publik iman.
Kesimpulan
Doktrin sola scriptura sering
dipuji sebagai kesederhanaan Injil: “cukup Alkitab, tidak perlu tambahan.”
Namun ketika diuji dengan pisau filsafat bahasa Wittgenstein, wajah sejatinya
terlihat rapuh.
Dari sudut pandang ontologi teks,
sola scriptura mereduksi wahyu ilahi menjadi huruf mati, seolah-olah teks bisa
berbicara sendiri. Dari sisi hermeneutika, ia gagal memahami bahwa makna
lahir dalam language-games dan form of life Gereja; teks tanpa
komunitas hanyalah tanda yang bisu. Dari problem rule-following, sola
scriptura terperangkap dalam relativisme: tanpa kriteria publik, setiap tafsir
sama-sama mengklaim diri benar, hingga terjadilah fragmentasi denominasi. Dan
pada akhirnya, sola scriptura terbukti hanyalah bentuk bahasa privat,
yang menurut Wittgenstein mustahil.
Sebaliknya, Gereja Katolik lebih
konsisten secara filosofis dan teologis. Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium
bukanlah tiga otoritas yang saling bersaing, melainkan satu kesatuan organis
yang memungkinkan wahyu tetap hidup. Di dalam Gereja, Kitab Suci tidak mati
sebagai huruf, melainkan berbicara dalam liturgi, sakramen, dan kesaksian iman
umat sepanjang zaman.
Dengan demikian, analisis
Wittgenstein memperlihatkan bahwa sola scriptura bukanlah jalan menuju
kejelasan iman, melainkan ilusi bahasa privat yang membawa pada perpecahan.
Sementara itu, Katolik meneguhkan kebenaran sebagai bahasa komunal: logos
yang hidup, dibagikan dalam tubuh Kristus yang adalah Gereja.
Bibliografi Singkat
Sumber Filosofis
- Wittgenstein, Ludwig. Tractatus
     Logico-Philosophicus. London: Routledge & Kegan Paul, 1921.
- Wittgenstein, Ludwig. Philosophical
     Investigations. Oxford: Blackwell, 1953.
Sumber Protestan
- Luther, Martin. On the
     Bondage of the Will. 1525.
- Calvin, John. Institutes of
     the Christian Religion. 1559.
Sumber Katolik
- Konsili Trente. Decretum de
     Canonicis Scripturis. Sesi IV, 8 April 1546.
- Yohanes Paulus II. Fides et
     Ratio. 1998.
- Katekismus Gereja Katolik. Libreria Editrice Vaticana, 1992.
Kajian Sekunder
- Kerr, Fergus. Theology After Wittgenstein. Oxford: Blackwell, 1986.
- Anthony Kenny. Wittgenstein.
     London: Penguin, 1973.
- Matthew Levering. Scripture
     and Tradition: A Catholic Introduction to the Bible. Baker Academic,
     2014.
