LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Kebangkitan Tanpa Fondasi: Analisis Filsafat Rapuh Khotbah Protestan Injili dalam Cahaya Realisme Katolik



Sumber:

Video 1. Mengapa Saya Kristen? (Khotbah KKR | Gereja Basel Malaysia) diupload 13 April 2024 dengan keterangan:

Khotbah: "Mengapa Saya Kristen? (1Kor. 15:48)". Disampaikan dalam Ibadah KKR di Gereja Basel Malaysia, tanggal 10 April 2024.

Video 2. Agama Untuk Siapa? Hanya Reformed Yg Bisa Jawab! Akun Muriwali Yanto Matalu diupload 18 November 2024 tanpa keterangan.

 

Pendahuluan

Khotbah adalah ruang di mana iman dan filsafat tanpa sadar bertemu. Ia bukan hanya sebuah pencerahan rohani, melainkan juga jendela ke dalam cara berpikir yang lebih dalam: bagaimana seorang pengkhotbah memahami realitas, menafsirkan Kitab Suci, dan menata dasar iman. Dua teks khotbah Protestan yang kita analisis di sini—yang satu disampaikan dengan gaya apologetis-retoris oleh Decky, dan yang lain dengan nada pastoral-eksistensial oleh Muriwali—membuka peluang besar untuk membaca ulang fondasi filosofis Protestan Injili.

Sekilas, khotbah mereka tampak kokoh. Keduanya mengulang dengan lantang bahwa kebangkitan Yesus Kristus adalah inti iman Kristen. Decky berusaha meyakinkan jemaat dengan menyinggung filsafat Yunani—Plato yang memandang tubuh sebagai penjara jiwa, atau Epikuros yang menolak kehidupan sesudah mati. Muriwali, dengan gaya sederhana, menantang jemaatnya dengan pertanyaan eksistensial: “Mengapa engkau seorang Kristen?” Jawabannya singkat: “Karena Yesus bangkit.”

Di titik ini, pendengar yang awam mungkin merasa telah menerima jawaban definitif. Siapa yang berani membantah kebangkitan Kristus? Bukankah itu inti iman? Namun, bagi telinga yang terlatih dalam filsafat realis Katolik, pernyataan ini tidak cukup. Ia terlalu cepat, terlalu sempit, bahkan terlalu rapuh. Mengapa? Karena ia menampilkan wajah iman yang tampaknya tegas, tetapi tanpa fondasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara metafisik.

Di sinilah kita menemukan paradoks: para pengkhotbah Protestan ini tampak kokoh justru karena mereka berdiri di atas fondasi yang bukan milik mereka. Mereka menolak filsafat Katolik, menolak tradisi, bahkan menolak otoritas Gereja, tetapi seluruh narasi kebangkitan yang mereka khotbahkan hanya mungkin eksis karena ada Gereja Katolik yang terlebih dahulu menjaga, mengafirmasi, dan mengajarkan kebangkitan itu selama dua ribu tahun.

Pendekatan yang akan kita ambil dalam tulisan ini adalah tiga lapis. Pertama, kita akan menganalisis isi khotbah kedua pendeta ini untuk menemukan pola pikir yang berulang. Kedua, kita akan mengurai fondasi filosofis yang—disadari atau tidak—mengarahkan retorika mereka. Ketiga, kita akan menunjukkan inkonsistensi, inkoherensi, dan kerentanan filsafat yang mereka pakai bila dihadapkan pada realisme metafisik Katolik.

Akhirnya, kita akan sampai pada kesimpulan apologetik yang tak terhindarkan: khotbah Protestan Injili tentang kebangkitan adalah suara yang bergema di ruang yang dibangun Katolik. Tanpa Gereja Katolik, khotbah mereka hanyalah slogan kosong, sekadar gema yang memantul dari dinding sejarah yang mereka tolak tetapi tetap mereka tinggali.

II. Analisis Isi Khotbah

Kedua teks khotbah—yang satu dibawakan oleh Decky, yang lain oleh Muriwali—memberikan gambaran khas wajah Protestan Injili di zaman ini. Dari segi gaya, keduanya berbeda; tetapi dari segi isi, ada kesamaan mendasar yang membuat kita melihat pola berpikir yang sama. Mari kita bedah satu per satu.

A. Decky: Apologetika Retoris dengan Aroma Intelektual

Decky membangun khotbahnya dengan gaya apologetika retoris. Ia ingin tampil meyakinkan, bahkan akademis, dengan cara menyebut nama-nama filsuf Yunani: Plato, Epikuros, Saduki, Farisi. Seakan-akan dengan menyinggung filsafat kuno, argumen tentang kebangkitan Kristus menjadi lebih kokoh.

Namun, apa yang sebenarnya ia lakukan?

  • Pertama, Decky mengajukan kebangkitan Yesus sebagai jawaban terhadap dualisme Platonis yang memandang tubuh sebagai penjara jiwa. Katanya, kebangkitan menegaskan bahwa tubuh tidak menjijikkan, melainkan dimuliakan.
  • Kedua, ia mengontraskan iman Kristen dengan Epikuros, yang berkata tidak ada hidup sesudah mati. Bagi Decky, kebangkitan Kristus membungkam Epikuros, sekaligus menolak ateisme modern.
  • Ketiga, ia membandingkan Yesus dengan tokoh-tokoh agama lain—Buddha, Muhammad, Konfusius—yang tetap terkubur. Argumennya sederhana: hanya Yesus yang bangkit, maka hanya Yesus yang layak diikuti.

Sekilas, argumen ini terdengar kuat. Jemaat yang mendengarnya mungkin merasa telah menerima pembelaan iman yang rasional. Tetapi di balik retorika itu, pola pikir Decky ternyata lebih sederhana daripada yang ia kira: ia hanya mengulang satu kalimat inti—“Kristus bangkit, maka iman benar”—dan melapisinya dengan nama filsuf Yunani agar terlihat canggih.

B. Muriwali: Eksistensialis Pastoral dengan Nada Eksistensial

Muriwali tampil berbeda. Ia tidak banyak bermain dengan filsafat, melainkan langsung menyentuh dimensi eksistensial jemaat. Ia mengajukan pertanyaan provokatif: “Mengapa engkau seorang Kristen? Mengapa engkau tidak menjadi Muslim, Hindu, atau ateis?”

Jawabannya singkat, bahkan brutal dalam kesederhanaannya: “Karena Yesus bangkit.”
Bagi Muriwali, seluruh identitas Kristen bertumpu pada fakta kebangkitan. Jika Yesus tidak bangkit, iman hanyalah sia-sia, dan gereja hanyalah panggung hiburan.

Di sini tampak wajah eksistensialis Injili: iman adalah pilihan radikal. Hidup atau mati, setia atau murtad, semua ditentukan oleh jawaban atas pertanyaan tunggal ini: apakah engkau percaya bahwa Yesus bangkit?

Khotbah Muriwali tidak berusaha meyakinkan lewat filsafat atau sejarah, melainkan lewat retorika pilihan eksistensial. Pesannya jelas: iman Kristen bukan soal argumen panjang, melainkan soal keputusan pribadi untuk tetap berdiri di hadapan kebangkitan.

C. Kesamaan Pola

Meskipun berbeda gaya, keduanya memiliki kesamaan mendasar:

1.     Kristosentrisme Kebangkitan
Kebangkitan Yesus dijadikan inti tunggal, bahkan alasan final, mengapa orang menjadi Kristen.

2.     Biblisisme
Segala klaim kembali pada Alkitab. Tidak ada ruang bagi tradisi, konsili, atau otoritas Gereja. Seolah-olah teks suci bisa berdiri sendiri tanpa saksi hidup yang menjaganya.

3.     Nada Eksistensialis
Iman dipahami sebagai keputusan pribadi yang radikal—“mengikut Yesus atau menyangkal-Nya.”
Tidak ada upaya membangun sintesis rasional, historis, dan tradisional seperti dalam Katolik.

4.     Penolakan Filsafat Non-Kristen
Baik Decky maupun Muriwali sama-sama menampilkan filsafat Yunani sebagai lawan yang harus ditolak. Tetapi ironisnya, mereka tetap memakai kategori-kategori dualistik yang berasal dari filsafat itu.

 

D. Perbedaan Gaya

Namun, ada perbedaan yang jelas antara keduanya:

  • Decky tampil seperti dosen yang ingin menunjukkan bahwa ia tahu sejarah filsafat. Khotbahnya mencoba terlihat akademis, meski akhirnya hanya mengulang-ulang tesis kebangkitan.
  • Muriwali tampil seperti gembala jemaat yang ingin meneguhkan umatnya. Ia tidak peduli dengan filsafat, ia hanya peduli bahwa umat harus memilih Kristus, apa pun harganya.

 

E. Catatan Allegro

Kalau boleh sedikit sinis: Decky berdandan seperti filsuf, tetapi sesungguhnya ia hanya mengutip Plato untuk memoles kebangkitan; Muriwali berdandan sederhana, tetapi sama rapuhnya—karena seluruh teologi mereka berdiri di atas satu kalimat tunggal yang diulang-ulang: “Kristus bangkit.”

Persoalannya: jika itu satu-satunya fondasi, maka apa yang terjadi bila fondasi itu dipertanyakan? Mereka tidak punya cadangan. Tidak ada filsafat realis, tidak ada tradisi Gereja, tidak ada rasionalitas metafisik. Yang ada hanyalah teks yang mengafirmasi dirinya sendiri, dan jemaat yang diminta melompat dalam iman.

Dengan kata lain, baik Decky maupun Muriwali sama-sama sedang membangun rumah di atas pasir—walau satu memakai cat akademis, dan yang lain memakai perabot pastoral.

 

III. Fondasi Filosofis yang Diandaikan

Kedua khotbah yang kita analisis memang tampak sederhana: Yesus bangkit, maka iman benar. Namun, di balik retorika itu, ada fondasi filosofis yang bisa dilacak. Ironisnya, para pengkhotbah ini menolak filsafat secara eksplisit—Plato dianggap terlalu dualistik, Epikuros terlalu ateistik, dan progresivisme modern terlalu liberal. Tetapi justru di balik retorika penolakan itu, mereka tetap meminjam kategori filosofis yang tidak mereka pahami sepenuhnya.

Fondasi filosofis yang menuntun khotbah mereka dapat diringkas dalam tiga hal: biblisisme eksistensialis, dualisme Yunani yang tak sadar, dan eksistensialisme Kierkegaardian yang dipelintir. Mari kita uraikan satu per satu.

 

A. Biblisisme Eksistensialis

Pertama-tama, kita melihat dominasi biblisisme: Kitab Suci dianggap satu-satunya sumber otoritas, dan semua jawaban harus kembali ke teks. Tidak ada ruang untuk tradisi, magisterium, atau filsafat yang rasional.

Biblisisme ini lalu dikawinkan dengan eksistensialisme: iman bukanlah jalan akal, melainkan keputusan radikal. Muriwali bertanya: “Mengapa engkau Kristen?” Jawabannya: “Karena Yesus bangkit,” dan semua persoalan selesai di situ. Decky menegaskan hal yang sama, hanya dengan lapisan filsafat Yunani sebagai hiasan.

Apa problemnya? Biblisisme eksistensialis ini menghasilkan pola pikir reduktif:

  • Iman dikurung dalam teks.
  • Teks dikurung dalam tafsir subjektif.
  • Tafsir dijadikan alasan eksistensial yang tak bisa diuji.

Singkatnya, iman menjadi monolog privat. Tidak ada ruang bagi logos yang menyatukan rasio dan wahyu.

 

B. Dualisme Yunani yang Tak Disadari

Ironis, Decky menolak filsafat Plato dengan berkata bahwa kebangkitan menolak pandangan tubuh sebagai penjara jiwa. Tetapi dalam retorikanya sendiri, ia tetap memakai dikotomi rohani–jasmani. Tubuh dianggap fana, roh dianggap abadi. Dunia materi digambarkan sebagai rapuh, sementara kebangkitan adalah pelarian ke dunia yang lebih tinggi.

Itu bukan kategori Alkitab murni; itu kategori Platonis yang masih hidup. Dengan kata lain, Decky menolak Plato dengan bahasa Plato.

Muriwali pun sama. Ia menekankan kebangkitan sebagai jalan keluar dari kefanaan, sebagai satu-satunya alasan hidup bermakna. Lagi-lagi, tubuh dan dunia ini diturunkan nilainya, sementara realitas kebangkitan diposisikan sebagai pelarian eksistensial. Itu tetap dualistik.

Ironinya semakin jelas: mereka berkoar melawan filsafat Yunani, tapi tetap meminumnya diam-diam seperti obat kuat.

 

C. Eksistensialisme Kierkegaardian

Dimensi ketiga adalah eksistensialisme ala Kierkegaard—yang memandang iman sebagai “lompatan” di hadapan absurditas. “Mengapa engkau Kristen?” Karena engkau memutuskan untuk melompat. “Mengapa Yesus bangkit?” Karena engkau memilih untuk percaya.

Decky mencoba memberikan “argumen objektif” melawan Epikuros, tetapi tetap mengakhiri dengan seruan subjektif: iman berarti menerima kebangkitan sebagai kebenaran. Muriwali lebih terang-terangan: iman bukan argumen, iman adalah keputusan.

Problem filosofisnya jelas:

  • Jika iman hanyalah keputusan subjektif, maka klaim objektif tentang kebangkitan runtuh.
  • Jika kebangkitan adalah fakta objektif, maka harus ada jembatan rasional–metafisik untuk menjelaskannya.

Keduanya tidak punya jembatan itu. Mereka hanya berdiri di tepi jurang, melompat, dan berharap jemaat ikut melompat.

 

D. Kesimpulan Sementara

Fondasi filosofis yang menopang khotbah ini rapuh:

1.     Biblisisme eksistensialis: iman disempitkan jadi tafsir teks dan keputusan pribadi.

2.     Dualisme Yunani: tubuh–roh tetap diperlawankan, meski diklaim ditolak.

3.     Eksistensialisme Kierkegaardian: iman jadi lompatan buta, bukan fides et ratio.

Dengan kata lain, kedua pengkhotbah ini membangun rumah di atas pasir: satu memakai cat akademis, satu memakai perabot pastoral, tetapi pondasinya sama-sama rapuh.

 

IV. Kritik dari Realisme Metafisik Katolik

Jika Protestan Injili hanya mengulang “Kristus bangkit” tanpa fondasi metafisik yang kokoh, maka realisme Katolik justru menawarkan kerangka yang menyatukan iman dan akal, sejarah dan filsafat, wahyu dan realitas. Fides et ratio—iman dan rasio—adalah dua sayap yang membuat manusia terbang menuju kebenaran. Inilah yang tidak dimiliki oleh khotbah-khotbah Injili: mereka ingin terbang hanya dengan satu sayap, dan heran kalau jatuh.

Mari kita tunjukkan secara sistematis mengapa filsafat mereka rapuh bila dihadapkan pada realisme metafisik Katolik.

 

A. Circular Reasoning: Berputar di Lingkaran Teks

Mereka berkata: “Yesus bangkit, maka Alkitab benar. Alkitab benar, maka Yesus bangkit.”
Ini adalah logika sirkular. Tidak ada pijakan eksternal. Tidak ada saksi historis yang bisa diverifikasi. Tidak ada kerangka metafisik yang menjamin koherensi.

Realisme Katolik menolak model ini. Kebenaran iman tidak hanya disandarkan pada teks yang meneguhkan dirinya sendiri, tetapi juga pada ordo entis (tatanan keberadaan). Dalam kerangka Thomistik, Allah adalah ipsum esse subsistens—Ada itu sendiri—yang menjamin keteraturan realitas. Kebangkitan Kristus bukan hanya klaim teks, melainkan peristiwa yang masuk dalam tatanan realitas itu.

Protestan Injili, sayangnya, mengandalkan logika seperti orang yang ingin membuktikan dirinya jenius dengan berkata, “Saya jenius karena saya bilang saya jenius.”

 

B. Reduksi Iman: Semua Telur dalam Satu Keranjang

Bagi kedua pengkhotbah, kebangkitan adalah satu-satunya alasan menjadi Kristen. Kedengarannya heroik, tapi justru rapuh. Jika kebangkitan dipertanyakan, seluruh bangunan iman runtuh.

Katolik justru memandang iman secara integral: kebangkitan adalah puncak, tetapi berdiri di atas fondasi yang lebih luas—penciptaan, inkarnasi, sakramen, tradisi, kesaksian Gereja, dan filsafat realis. Inilah yang membuat iman Katolik kokoh, tidak terguncang hanya karena satu tafsir dipersoalkan.

Protestan Injili sebaliknya: mereka menaruh seluruh telur dalam satu keranjang kecil, lalu berdoa semoga keranjang itu tidak jatuh.

 

C. Inkoherensi terhadap Filsafat

Decky mencaci Plato dan Epikuros, tetapi tetap menggunakan kategori mereka. Tubuh dianggap rapuh, roh dianggap lebih tinggi, dunia materi dianggap sekadar sementara. Itu bukan Alkitab murni, itu bayangan Plato yang masih menempel.

Realisme Katolik berbeda. Dengan hylomorfisme Aristotelian, Aquinas menegaskan bahwa tubuh dan jiwa bukan dua substansi terpisah, melainkan satu kesatuan. Karena itu, kebangkitan bukan sekadar roh kembali ke tubuh, melainkan pemulihan seluruh pribadi manusia dalam integritasnya.

Injili yang anti-filsafat justru jatuh ke dalam filsafat yang mereka kutuk. Ini seperti orang yang berteriak anti-rokok sambil menyembunyikan puntung di sakunya.

 

D. Kontradiksi Eksistensialis

Khotbah mereka sangat eksistensialis: iman adalah keputusan radikal, lompatan pribadi. Tetapi di saat yang sama, mereka menuntut semua orang menerima kebangkitan sebagai fakta objektif.

Ini kontradiksi. Jika iman hanya lompatan subjektif, maka tidak bisa dijadikan klaim objektif universal. Jika kebangkitan adalah fakta objektif, maka harus ada kerangka rasional-metafisik untuk menjelaskannya.

Katolik menawarkan jembatan itu: iman adalah jawaban pribadi atas fakta objektif yang dijaga Gereja dan dijamin oleh struktur realitas. Injili, sebaliknya, berdiri di dua perahu yang berlawanan arah. Tidak heran mereka tercebur.

 

E. Ketidakmampuan Historis

Tanpa Gereja Katolik, klaim kebangkitan hanyalah rumor. Mengapa? Karena hanya Gereja Katoliklah yang menjaga rantai kesaksian dari para rasul, para martir, bapa Gereja, konsili, hingga liturgi Paskah yang terus dihayati.

Protestan menolak tradisi dan otoritas Gereja, tetapi tetap berkhotbah tentang kebangkitan. Itu seperti anak kost yang menolak pemilik rumah, tapi masih tidur di kamarnya, makan di dapurnya, dan pakai listrik dari rumah itu.

 

F. Kesimpulan Kritik

Dilihat dari realisme metafisik Katolik, filsafat yang menopang khotbah Protestan Injili adalah rapuh dan tidak konsisten:

1.     Logikanya sirkular.

2.     Iman direduksi pada satu fakta tunggal.

3.     Menolak filsafat, tapi tetap memakai kategori Yunani.

4.     Subjektif, tapi menuntut klaim objektif.

5.     Mengabaikan sejarah, tapi tetap memanfaatkan hasil sejarah Gereja.

Mereka berdiri di atas fondasi yang bukan milik mereka. Sebenarnya, kebangkitan yang mereka khotbahkan hanya bisa kokoh karena realisme Katolik sudah lebih dulu menopangnya.

 

 

V. Gereja Katolik Sebagai Fondasi yang Mereka Pinjam

Kedua pengkhotbah Injili menampilkan diri seakan berdiri kokoh di atas Alkitab dan kebangkitan Kristus. Namun, bila kita bedah lebih dalam, ternyata semua yang mereka gunakan sebagai dasar berpijak adalah warisan Gereja Katolik. Mereka menolak otoritas Gereja, mencemooh tradisi, bahkan menolak filsafat realis, tetapi justru tanpa itu semua, mereka tidak mungkin bisa berkhotbah seperti sekarang. Ibarat parasit, mereka hidup dengan mengisap darah tubuh yang mereka benci.

Mari kita tunjukkan satu per satu.

 

A. Kanon Alkitab: Kitab yang Mereka Warisi

Khotbah mereka bertumpu pada teks Kitab Suci, khususnya 1 Korintus 15 tentang kebangkitan. Tetapi fakta historisnya jelas:

  • Kanon Perjanjian Baru tidak pernah ditentukan oleh komunitas Protestan, melainkan oleh Gereja Katolik dalam konsili-konsili (Hippo 393, Kartago 397, hingga ditegaskan di Trente 1546).
  • Selama berabad-abad, Gereja Katoliklah yang menjaga, menyalin, dan melestarikan Kitab ini.

Dengan kata lain, setiap kali mereka membuka 1 Korintus dan berkata, “Kristus bangkit,” mereka sebenarnya sedang membaca kitab yang dipilih, disahkan, dan dijaga oleh Gereja Katolik. Tanpa Katolik, mereka tidak tahu mana Injil yang benar dan mana yang apokrif.

Mereka menolak otoritas Katolik, tetapi mengutip Alkitab Katolik. Itu seperti orang yang berteriak anti-negara, tapi masih menggunakan paspor yang diterbitkan negara.

 

B. Tradisi dan Liturgi: Nafas yang Mereka Hirup

Setiap kali mereka berbicara tentang kebangkitan, mereka sedang berdiri di atas tradisi liturgi yang sudah berabad-abad dirawat oleh Gereja Katolik.

  • Perayaan Paskah, nyanyian Alleluia, pengakuan iman (“pada hari ketiga Ia bangkit dari antara orang mati”)—semua itu lahir dari liturgi Katolik, bukan dari Alkitab yang berdiri sendiri.
  • Gereja Katolik menjaga peringatan kebangkitan sebagai saksi hidup, bukan hanya catatan di atas kertas.

Ironis sekali: Protestan menolak tradisi sebagai “buatan manusia,” tetapi justru seluruh bahasa iman yang mereka gunakan adalah hasil tradisi Katolik yang hidup. Tanpa tradisi itu, khotbah mereka hanya berbunyi: “Yesus bangkit… katanya.”

 

C. Filsafat Realisme: Kerangka yang Mereka Abaikan tapi Gunakan

Bagaimana mungkin kebangkitan tubuh dipahami tanpa filsafat realis?

  • Hylomorfisme Aristotelian–Thomistik menjelaskan bahwa manusia adalah kesatuan tubuh dan jiwa. Kebangkitan bukan roh yang melayang kembali ke tubuh, melainkan pemulihan penuh seluruh pribadi manusia.
  • Tanpa realisme Katolik, kebangkitan mudah jatuh menjadi mitos rohani atau kiasan moral.

Decky dan Muriwali tidak pernah bisa menjelaskan kebangkitan secara metafisik. Mereka hanya berkata: “Yesus bangkit, maka iman benar.” Tetapi agar klaim itu masuk akal dan koheren, mereka tetap bergantung pada kategori realis yang sejak awal ditawarkan Katolik. Mereka mencaci filsafat, tapi tanpa sadar menumpang di atas kerangka filsafat Katolik.

 

D. Kesaksian Historis Gereja: Rantai yang Mereka Warisi

Siapa yang menjaga klaim kebangkitan selama dua ribu tahun? Bukan Decky. Bukan Muriwali. Bukan Protestan Injili yang baru muncul abad ke-16.

  • Para rasul, para martir, para bapa Gereja—semua adalah saksi Katolik yang mempertahankan iman kebangkitan.
  • Suksesi apostolik menjaga rantai historis tanpa putus, sehingga iman tentang kebangkitan tetap sampai hari ini.
  • Tanpa Gereja Katolik, klaim kebangkitan hanyalah rumor yang sudah lama lenyap dalam kabut sejarah.

Singkatnya: Protestan Injili hanya bisa berteriak “Kristus bangkit” karena Gereja Katolik lebih dulu menjaga teriakan itu selama dua milenium.

 

E. Ironi yang Tak Terhindarkan

Maka jelas:

  • Mereka mengutip Kitab Katolik, tapi menolak Gereja Katolik.
  • Mereka menghidupi liturgi Katolik, tapi mencaci tradisi Katolik.
  • Mereka memakai kerangka realis Katolik, tapi berpura-pura anti-filsafat.
  • Mereka mewarisi kesaksian Katolik, tapi menolak saksi Katolik.

Khotbah mereka hanyalah gema kosong yang dipantulkan oleh dinding Gereja Katolik. Tanpa Gereja Katolik, suara itu lenyap.

 

 

VI. Kesimpulan: Parasitisme Intelektual Protestan

Analisis atas khotbah Decky dan Muriwali memperlihatkan satu pola jelas: Protestan Injili membangun seluruh retorika mereka di atas fondasi yang bukan milik mereka. Mereka berteriak lantang: “Kristus bangkit, maka iman benar!” Namun, teriakan itu hanyalah gema yang dipantulkan oleh dinding Gereja Katolik. Tanpa Gereja Katolik, gema itu akan tenggelam dalam hampa.

Mari kita simpulkan poin-poin kunci:

1.     Fondasi Filosofis Rapuh

o    Biblisisme eksistensialis menjadikan iman sempit, hanya teks dan keputusan pribadi.

o    Dualisme Yunani tetap dipakai meski ditolak, memperlihatkan inkoherensi.

o    Eksistensialisme Kierkegaardian membuat iman jadi lompatan subjektif, tapi ironisnya ditawarkan sebagai klaim objektif.

2.     Inkoherensi Logis dan Historis

o    Logika sirkular: Alkitab benar karena Yesus bangkit, Yesus bangkit karena Alkitab benar.

o    Reduksi iman: semua telur ditaruh dalam satu keranjang kebangkitan.

o    Ketidakmampuan historis: tanpa saksi Gereja, klaim kebangkitan hanyalah rumor yang tak bisa diverifikasi.

3.     Ketergantungan pada Gereja Katolik

o    Kanon Alkitab disusun, dipelihara, dan disahkan oleh Gereja Katolik.

o    Tradisi liturgi Katolik menjaga kebangkitan sebagai pengalaman hidup, bukan sekadar teks.

o    Filsafat realisme Katolik menjelaskan kebangkitan secara metafisik, sehingga tidak jatuh ke mitos.

o    Kesaksian historis Gereja menjaga klaim kebangkitan tetap nyata dan kontinu.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Protestan Injili hidup sebagai parasit intelektual. Mereka menyusu dari tubuh Katolik sambil mencaci tubuh itu. Mereka menolak Gereja Katolik, tapi tidak bisa berkhotbah tanpa Gereja Katolik. Mereka mengaku anti-tradisi, tapi seluruh bahasa mereka tentang kebangkitan berasal dari tradisi Katolik.

 

Penutup Allegro

Maka, jika hari ini Protestan Injili masih bisa berdiri di mimbar dan berkata “Kristus bangkit”, itu bukan karena kekuatan Protestanisme, melainkan karena Gereja Katolik lebih dulu menjadi saksi yang setia, menjaga api iman agar tidak padam selama dua ribu tahun.

Protestan adalah penyewa kamar yang sombong: mereka menolak pemilik rumah, tapi tetap tidur di ranjangnya, makan di dapurnya, dan memakai listriknya. Tanpa Gereja Katolik, mereka hanyalah pengembara tanpa alamat, bersuara keras tapi kosong, seperti kaleng berkarat yang dipukul di jalanan.

Kristus memang bangkit. Tetapi hanya Gereja Katolik yang memastikan bahwa kebangkitan itu bukan rumor, melainkan fakta yang disangga oleh realisme metafisik, tradisi apostolik, dan kesaksian hidup yang tak terputus.

 

Tambahan Kutipan Otoritatif

1. Aquinas – Realisme Metafisik

Dalam Summa Theologiae (III, q. 53, a. 1), Aquinas menulis:

“Conveniens fuit Christum resurgere… quia hoc pertinet ad divinam iustitiam, ut qui propter obedientiam et reverentiam Dei mortem sustinuit, ab ipso Deus exaltaretur.”
(“Patutlah Kristus bangkit… sebab ini termasuk keadilan ilahi: Ia yang menderita kematian demi ketaatan dan hormat kepada Allah, ditinggikan kembali oleh Allah sendiri.”)

Kutipan ini menunjukkan bahwa kebangkitan bukan sekadar “peristiwa ajaib,” tetapi selaras dengan ordo iustitiae (tatanan keadilan ilahi) dalam struktur realitas. Inilah realisme metafisik Katolik yang tak dimiliki Protestan Injili: kebangkitan dipahami bukan hanya klaim iman, melainkan fakta yang berakar pada struktur keberadaan.

 

2. Konsili Trente – Kanon Kitab Suci

Dekret tentang Kitab Suci (Trente, 1546):

“…quos autem synodus ipsa sacros et canonicos esse recipit et veneratur, non quia sola humana industria sunt conscripti, sed quia Spiritu Sancto inspirante conscripti Deum habent auctorem…”
(“…kitab-kitab yang diterima oleh sinode ini sebagai suci dan kanonik, tidak karena ditulis semata oleh upaya manusia, melainkan karena ditulis oleh ilham Roh Kudus dan memiliki Allah sebagai pengarangnya…”)

Dengan ini, jelaslah: Alkitab yang mereka kutip dalam khotbah hanya sahih karena ada otoritas Gereja Katolik yang menetapkan kanon. Tanpa Trente dan tradisi sebelumnya, khotbah mereka hanyalah membaca teks kuno yang statusnya kabur.

 

3. Konsili Vatikan II – Dei Verbum

Dei Verbum (DV 9):

“Sacra Traditio et Sacra Scriptura unum sacrum verbi Dei constituunt… utrumque pari pietatis affectu et reverentia suscipi et venerari debet.”
(“Tradisi Suci dan Kitab Suci membentuk satu kesatuan kudus dari Sabda Allah… keduanya harus diterima dan dihormati dengan rasa bakti dan hormat yang sama.”)

Inilah letak pemisah utama. Protestan Injili hanya mengambil satu sisi (Scriptura) dan menolak sisi lain (Traditio). Padahal Gereja Katolik menegaskan: kebenaran hanya kokoh bila keduanya bersatu. Inilah sebab mengapa khotbah Protestan rapuh: mereka mencoba bernapas hanya dengan satu paru-paru.

 

Penegasan Akhir

Dengan dukungan otoritatif dari Aquinas, Konsili Trente, dan Dei Verbum, semakin jelaslah bahwa:

  • Realisme metafisik Katolik memberi koherensi metafisik pada kebangkitan.
  • Kanon Kitab Suci Katolik memberi dasar historis yang sah untuk teks yang mereka khotbahkan.
  • Tradisi Katolik menjaga agar kebangkitan bukan rumor, tetapi pengalaman iman yang hidup.

Protestan Injili yang menolak Katolik tetapi tetap berkhotbah tentang kebangkitan, pada hakikatnya sedang meminjam fondasi yang bukan milik mereka. Tanpa Katolik, suara mereka hilang. Dengan Katolik, kebangkitan menjadi terang iman yang kokoh.

 


Share This Article :
9000568233845443113