Pendahuluan
Sejak abad-abad awal, Gereja Katolik
menegaskan empat ciri yang tak terpisahkan dari dirinya: una, sancta,
catholica et apostolica (satu, kudus, katolik, dan apostolik). Dari keempatnya,
“apostolik” sering disalahpahami hanya sebagai sikap setia kepada ajaran para
Rasul. Padahal, menurut tradisi Katolik, “apostolik” berarti juga kontinuitas
nyata melalui suksesi apostolik: garis historis dan ontologis dari para Rasul
ke para uskup.
St. Irenaeus dari Lyon (†202)
menulis: “Kita harus menaati para presbiter yang berada dalam suksesi dari
para Rasul, yang bersama dengan pewarisan jabatan mereka, telah menerima
karunia kebenaran yang pasti, sesuai dengan kehendak Bapa” (Adversus
Haereses, IV, 26,2). Kutipan ini menegaskan bahwa suksesi bukanlah ide
belakangan, melainkan prinsip yang sudah dihayati sejak Gereja perdana.
Namun, apa
dasar filosofis dari klaim ini? Mengapa suksesi apostolik begitu penting? 
Diskursus
mengenai suksesi apostolik sering kali ditinjau dari perspektif biblis. Para
apologet dan teolog Kitab Suci telah banyak menyoroti teks-teks seperti Matius
16:18–19, Yohanes 21:15–17, atau Kisah Para Rasul 1:15–26 sebagai dasar bagi
otoritas dan penerusan pelayanan dalam Gereja. Namun, kajian yang bersifat
biblis tersebut bukanlah fokus pembahasan ini.
Tulisan ini
hendak menempuh jalur lain: perspektif filosofis. Kita bertanya, bukan “ayat
mana yang mendukung suksesi apostolik,” melainkan “mengapa secara filosofis
suksesi itu penting dan niscaya?” Dengan kata lain, ini bukan pertanyaan
tentang exegesis, tetapi tentang rasionalitas dan koherensi konsep.
Suksesi
apostolik di sini akan dianalisis sebagai realitas ontologis, epistemologis,
personalistik, metafisis, politis, dan eskatologis. Dengan cara ini, kita dapat
menunjukkan bahwa suksesi apostolik bukan sekadar kepercayaan teologis, tetapi
juga suatu tuntutan filosofis yang menjaga identitas, kesinambungan, dan
validitas Gereja.
Bagian I. Ontologi Gereja: Rantai
Sebab yang Tak Terputus
Dalam filsafat Aristoteles, segala
realitas memiliki causa efficiens (sebab penggerak) dan causa
formalis (sebab bentuk).^1 Gereja sebagai realitas historis dan rohani
memiliki penggeraknya: Kristus sendiri. Namun Kristus meneruskan misi-Nya
melalui para Rasul. Dari Rasul kepada penerus, keberadaan Gereja dipelihara.
Thomas Aquinas menegaskan bahwa
rahmat tidak bekerja di luar tatanan alamiah yang ditetapkan Allah: gratia
supponit naturam.^2 Artinya, rahmat yang mengalir dalam Gereja mensyaratkan
ada struktur historis dan konkret. Tanpa suksesi, Gereja kehilangan causa
efficiens-nya dan berubah menjadi asosiasi religius baru yang terputus dari
identitas asal.
Dengan kata lain: suksesi apostolik
adalah jaminan ontologis bahwa Gereja sekarang identik dengan Gereja para
Rasul. Ia bukan “gereja baru”, melainkan organisme rohani-historis yang sama.
Bagian II. Epistemologi: Menjaga
Kebenaran dari Relativisme
Epistemologi adalah soal bagaimana
manusia mengetahui kebenaran. Dalam iman, pertanyaannya adalah: bagaimana kita
tahu bahwa ajaran yang kita imani hari ini sama dengan yang diajarkan Kristus
dan para Rasul?
Tanpa suksesi apostolik, kebenaran
iman akan bergantung pada komunitas yang berubah-ubah, sehingga rentan jatuh ke
relativisme. Inilah problem sola scriptura: setiap orang bebas
menafsirkan Kitab Suci, lalu lahirlah ribuan denominasi.
St. Vincentius dari Lérins (abad
ke-5) memberi prinsip: “Quod ubique, quod semper, quod ab omnibus creditum
est” — iman yang benar adalah yang diimani di mana-mana, sepanjang masa,
oleh semua orang.^3 Prinsip ini hanya bisa bertahan jika ada mekanisme historis
yang menjamin kesinambungan. Suksesi apostolik adalah mekanisme itu.
Filosofisnya, ini menyangkut teori
korespondensi kebenaran: klaim iman sekarang hanya benar bila sesuai dengan
ajaran asli Kristus. Suksesi adalah “rantai epistemologis” yang menjaga
korespondensi itu.
Bagian III. Personalistik:
Gereja Sebagai Komuni Vertikal dan Horizontal
Karol
Wojtyła, dalam Person and Act, menegaskan bahwa manusia menemukan
dirinya dalam relasi dengan orang lain, yakni komuni.^4 Gereja adalah
komuni umat Allah, tapi bukan hanya horizontal (umat dengan umat), melainkan
juga vertikal (umat dengan Kristus).
Suksesi
apostolik menjamin bahwa komuni ini memiliki poros historis: Kristus → Rasul →
Uskup → umat. Tanpa suksesi, komuni berubah menjadi klub horizontal tanpa akar
vertikal.
Di sini
filsafat personalistik bertemu teologi: Gereja bukan sekadar kumpulan individu
yang beriman, melainkan “Tubuh Kristus.” Tubuh memerlukan organ vital; suksesi
apostolik adalah organ yang menjaga kehidupan Tubuh itu tetap sama dengan Sang
Kepala.
Bagian IV. Metafisika Tanda:
Validitas Sakramen
Dalam sakramen, kita berhadapan
dengan metafisika tanda. Aristoteles membedakan antara substance
(hakikat) dan accidents (sifat lahiriah).^5 Thomas menerapkan ini dalam
sakramen: tindakan lahiriah (accidents) hanya sah bila terkait pada substansi
rahmat yang dijanjikan Kristus.
Tahbisan imam dan uskup hanya sah
bila ada kesinambungan penumpangan tangan dari para Rasul. Inilah hukum
identitas dalam metafisika: A = A. Imam yang sah adalah yang ditahbiskan
dalam garis suksesi itu. Tanpa itu, ritus tahbisan hanyalah simbol kosong.
Filosofisnya, ini pertanyaan
ontologis: apakah tindakan sakramental benar-benar “menghadirkan” realitas
rahmat, atau hanya drama simbolis? Suksesi memastikan realitas, bukan ilusi.
Bagian V. Politik Filosofis: Otoritas
yang Sah
Dalam filsafat politik, legitimasi
otoritas lahir bukan dari klaim personal, melainkan dari prinsip historis dan
legal. Gereja, sebagai polis spiritualis, tidak bisa
didasarkan pada klaim individu semata.
St. Cyprianus
dari Kartago (†258) menulis: “Kamu harus tahu bahwa uskup berada dalam
Gereja dan Gereja dalam uskup; dan jika seseorang tidak bersama uskup, ia tidak
berada dalam Gereja.”^6
Pernyataan
ini bukan sekadar teologis, tetapi politis-filosofis: otoritas Gereja bukan
demokrasi, melainkan struktur historis yang diturunkan. Tanpa suksesi, Gereja
terjerumus dalam anarki otoritas, di mana siapa saja bisa mendirikan “gereja
baru.” Inilah sebab ribuan denominasi Protestan muncul:
karena prinsip suksesi ditolak.
Bagian
VI. Eskatologi: Janji Kristus yang Konkret
Janji Kristus
dalam Matius 28:20 — “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman”
— hanya masuk akal bila ada struktur historis yang memelihara kehadiran itu.
Jika janji Kristus diinterpretasikan hanya secara spiritual atau psikologis,
janji itu kehilangan kepastian objektif.
Suksesi
apostolik adalah cara janji itu diwujudkan dalam sejarah. Kristus tetap hadir
melalui para gembala sah yang berakar pada garis pewarisan para Rasul. Tanpa
suksesi, janji itu hanyalah retorika puitis tanpa sarana nyata.
Kesimpulan
Suksesi apostolik, jika dianalisis
secara filosofis, adalah kunci bagi identitas Gereja.
- Ontologis: menjaga prinsip kausalitas
     Gereja.
- Epistemologis:
     menjamin kesinambungan kebenaran.
- Personalistik: memastikan Gereja sebagai
     komuni vertikal dan horizontal.
- Metafisis:
     menjamin validitas sakramen.
- Politis: menegakkan otoritas yang sah.
- Eskatologis:
     mewujudkan janji Kristus dalam sejarah.
St. Irenaeus menyebut suksesi sebagai
“karunia kebenaran yang pasti.”^7 Thomas Aquinas menjelaskan bahwa rahmat
berjalan melalui tatanan alamiah yang ditetapkan Allah. Wojtyła menekankan
dimensi komuni yang menemukan bentuk historisnya dalam Gereja yang apostolik.
Dengan demikian, suksesi apostolik
bukan sekadar doktrin internal Katolik, melainkan realitas filosofis yang
menjaga agar Gereja tetap Gereja. Tanpanya, iman hanya tinggal serpihan
subjektif tanpa pijakan. Dengannya, Gereja berdiri sebagai organisme hidup yang
benar-benar satu, kudus, katolik, dan apostolik.
Catatan Kaki
1.     Aristoteles, Metaphysics,
trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), VII.
2.    
Thomas Aquinas, Summa Theologiae,
I, q.1, a.8.
3.     Vincentius dari Lérins, Commonitorium,
II,6.
4.     Karol Wojtyła, Person and Act,
trans. Andrzej Potocki (Dordrecht: Springer, 1979).
5.    
Aristoteles, Categories dan Metaphysics,
VII.
6.     St. Cyprianus, Epistulae,
66,8.
7.     St. Irenaeus, Adversus Haereses,
IV, 26,2.
Daftar Pustaka (Chicago Style)
- Aquinas, Thomas. Summa Theologiae.
     Roma: Leonine Edition, 1882–.
- Aristoteles.
     Metaphysics. Translated by W.D. Ross. Oxford: Clarendon Press,
     1924.
- Aristoteles.
     Categories. In The Complete Works of Aristotle, edited by
     Jonathan Barnes. Princeton: Princeton University Press, 1984.
- Cyprianus,
     St. Epistulae. Corpus Christianorum Series Latina, vol. 3.
     Turnhout: Brepols, 1972.
- Irenaeus
     of Lyons. Adversus Haereses. Sources Chrétiennes 100–153. Paris:
     Cerf, 1965.
- Vincentius
     of Lérins. Commonitorium. Edited by R. Roques. Sources Chrétiennes
     53. Paris: Cerf, 1958.
- Wojtyła,
     Karol. Person and Act. Translated by Andrzej Potocki. Dordrecht:
     Springer, 1979.
