LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Kristus dan Maria dalam Kejadian 3:15: Sebuah Apologi Katolik

 


Pendahuluan

Kejadian 3:15 sering disebut sebagai protoevangelium, yakni Injil yang pertama kali diwartakan setelah kejatuhan manusia. Ayat ini bukan sekadar kutukan bagi ular, tetapi pengumuman janji keselamatan melalui “perempuan” dan “keturunannya”. Pertanyaan apologetik yang muncul adalah: siapakah perempuan itu? Apakah hanya simbol Israel, figur abstrak, atau menunjuk secara konkrit kepada Perawan Maria dalam relasinya dengan Kristus?

Bagi Protestan, jawaban biasanya dibatasi: antara Kristus saja atau Israel saja. Gereja Katolik sejak awal mengajarkan keterpaduan Kristus dan Maria—Yesus sebagai Penebus dan Maria sebagai Hawa Baru yang ikut serta dalam karyanya. Artikel ini menegaskan dasar Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium untuk menyingkap peran Maria dalam nubuat Kejadian 3:15.


I. Konteks Biblis dan Terjemahan

Kejadian 3:15 berbunyi dalam Vulgata: “Inimicitias ponam inter te et mulierem, et semen tuum et semen illius: ipsa conteret caput tuum, et tu insidiaberis calcaneo ejus.” Terjemahan Douay-Rheims menegaskan: “She shall crush thy head.”

Perbedaan terjemahan sering dijadikan dalih oleh Protestan untuk menyingkirkan peran Maria. Namun, Gereja melalui Konsili Trente meneguhkan Vulgata sebagai teks otentik dalam liturgi dan ajaran. Dari sini, Maria jelas tampil sebagai pribadi yang aktif, bersama Kristus, melawan ular.


II. Tradisi Patristik: Adam Baru dan Hawa Baru

Para Bapa Gereja secara konsisten menafsirkan nubuat ini dalam terang tipologi: Kristus sebagai Adam Baru dan Maria sebagai Hawa Baru.

  • St. Irenaeus: “Benih yang datang untuk menginjak kepala ular dilahirkan dari Maria.”

  • St. Cyprianus: mengaitkan nubuat Yesaya 7:14 dengan Kejadian 3:15: sang Perawan melahirkan Anak Allah yang mengalahkan iblis.

  • St. Justinus Martir dan St. Ireneus: membandingkan ketaatan Maria dengan ketidaktaatan Hawa; simpul dosa Hawa dilepaskan oleh fiat Maria.

Tradisi patristik ini menegaskan konsistensi: kemenangan atas ular tidak mungkin dipisahkan dari relasi Kristus-Maria.


III. Magisterium Gereja

Magisterium berulang kali mengafirmasi interpretasi Mariologis Kejadian 3:15:

  • Pius IX, Ineffabilis Deus: Maria, yang dipersatukan erat dengan Kristus, menjadi musuh abadi ular dan turut menghancurkan kepalanya.

  • Pius XII, Munificentissimus Deus: Maria ditegaskan sebagai Hawa Baru, erat kaitannya dengan Kristus dalam perjuangan melawan iblis.

  • Yohanes Paulus II: Maria adalah perempuan dalam Kejadian 3:15; benihnya adalah Kristus yang menang melalui misteri Paskah.

Dengan demikian, nubuat Kejadian 3:15 berfungsi sebagai dasar Kitab Suci dogma Maria: Dikandung Tak Bernoda, Pengangkatan, dan peran Maria sebagai Coredemptrix.


IV. Liturgi dan Devosi

Lex orandi, lex credendi—hukum doa adalah hukum iman. Gereja dalam liturginya meneguhkan tafsir Mariologis:

  • Bacaan Kejadian 3:15 dipilih pada Pesta Dikandung Tanpa Noda.

  • Antifon Magnificat menegaskan: “Hari ini Maria meremukkan kepala ular tua.”

  • Ikonografi Kristen, dari medali ajaib sampai seni sakral, menggambarkan Maria menginjak kepala ular.

Hal ini menunjukkan bukan sekadar teori akademis, melainkan iman yang hidup dalam doa Gereja.


V. Dimensi Filosofis dan Teologis

Secara filosofis, keterlibatan Maria menyingkap prinsip partisipasi: Kristus adalah Penebus utama, Maria berpartisipasi sebagai rekan yang tunduk pada-Nya. Sama seperti dosa masuk melalui relasi Adam-Hawa, demikian pula keselamatan hadir melalui Kristus-Maria.

Prinsip analogia entis (kesesuaian dalam ketidaksetaraan) menjelaskan: karya Kristus tak terbatas, sementara Maria berpartisipasi secara unik namun tetap terbatas. Inilah dasar konsistensi teologis mengapa Maria dapat disebut Coredemptrix, tanpa mengaburkan keutamaan Kristus sebagai satu-satunya Penebus.


VI. Kesimpulan

Kejadian 3:15 bukan hanya nubuat Mesianik, melainkan juga Mariologis. Dalam terang Tradisi, Magisterium, liturgi, dan refleksi teologis, jelas bahwa nubuat ini mengungkapkan Yesus sebagai Penebus dan Maria sebagai Hawa Baru yang turut berperan.

Dengan demikian, keberatan Protestan yang menolak peran Maria bersandar pada penolakan terhadap prinsip partisipasi dan tradisi apostolik. Gereja Katolik, sebaliknya, membaca Kitab Suci secara utuh: Novum Testamentum in Vetere latet, et in Novo Vetus patet—Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Lama menjadi jelas dalam Perjanjian Baru.

Maria dan Kristus tidak dipisahkan dalam sejarah keselamatan; keduanya hadir sebagai jawaban Bapa atas tragedi Eden.

Share This Article :
9000568233845443113