LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Pengakuan Iman Belanda: Dokumen Pembelaan Bidat atau Kesaksian Iman Sejati?


Pendahuluan

Sejarah Gereja tidak pernah sunyi dari suara-suara sumbang yang mencoba menyaingi nyanyian abadi Sang Mempelai. Abad ke-16 menjadi panggung paling gaduh: Luther di Jerman, Zwingli di Swiss, dan Calvin di Prancis membawa panji “Reformasi,” padahal yang mereka lakukan lebih tepat disebut deformasi—pengrusakan wajah Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.

Di tengah gejolak itu, Guido de Brès, murid Calvin, merasa perlu menyusun sebuah dokumen untuk meyakinkan Raja Katolik Spanyol, Philip II, bahwa kaum Calvinis bukanlah pemberontak atau bidat, melainkan “orang Kristen sejati.” Lahirlah Confessio Belgica atau Pengakuan Iman Belanda (1561). Ironinya? Dokumen yang dimaksudkan untuk membantah tuduhan bidat justru meneguhkan hakikat kebidatan itu sendiri: memisahkan diri dari Gereja induk dan membangun otoritas baru yang berlawanan dengan Magisterium.

Reformasi mengklaim diri berpegang pada prinsip sola gratia (hanya oleh rahmat) dan sola fide (hanya oleh iman). Roma, kata mereka, menekankan perbuatan manusia dan merampas kemurnian Injil. Klaim ini terdengar gagah, namun hampa ketika ditimbang dengan Kitab Suci, tradisi apostolik, dan kesaksian sejarah. Gereja Katolik sejak Konsili Orange (529) sudah menegaskan bahwa keselamatan adalah murni rahmat Allah; tidak ada manusia bisa selamat tanpa anugerah ilahi. Tetapi rahmat itu tidak bekerja di ruang hampa: ia menuntut jawaban manusia melalui iman yang hidup, diwujudkan dalam kasih dan perbuatan.

Maka dari awal, Confessio Belgica bukanlah tanda kemurnian Injil, melainkan bukti betapa Reformasi lahir dari distorsi dan polemik, bukan dari Roh Kudus yang menjaga kesatuan. Ia bukan nyanyian iman Gereja, melainkan brosur pembelaan diri—semacam surat permohonan ampun bidat yang hendak meyakinkan penguasa bahwa mereka “masih Kristen.”

Artikel ini hendak menelanjangi klaim Reformasi dengan membaca kembali Pengakuan Iman Belanda dalam terang teologi Katolik, Konsili Trente, dan suara Bapa Gereja. Dengan pendekatan historis-teologis dan sedikit bumbu sinisme yang diperlukan, kita akan melihat bahwa:

  1. Prinsip sola fide dan sola gratia bukanlah penemuan baru, melainkan mutilasi parsial terhadap doktrin Katolik.
  2. Reformator terjebak pada retorika manipulatif, menjadikan Anabaptis sebagai kambing hitam untuk menutupi konflik internal mereka.
  3. Gereja Katolik tetap kokoh sebagai “pilar dan dasar kebenaran” (1 Tim 3:15), sementara hasil Reformasi hanyalah fragmentasi denominasi yang terus berkembang biak tanpa kesatuan.

Dengan demikian, kritik Katolik terhadap Reformasi bukan sekadar nostalgia historis, melainkan pengingat: ketika iman dipotong-potong menjadi slogan, ia kehilangan kepenuhan misterinya.

 

Bagian I: Latar Historis dan Konteks Pengakuan Iman Belanda

Pengakuan Iman Belanda (Confessio Belgica, 1561) lahir di tengah Eropa yang diguncang pertikaian iman, politik, dan ambisi pribadi para reformator. Guido de Brès (1522–1567), seorang pendeta Calvinis, murid John Calvin, Theodore Beza, dan Pierre Viret, menyusun dokumen ini untuk menjawab tuduhan Raja Philip II dari Spanyol: bahwa kaum Reformasi adalah pemberontak, perusuh, dan bidat.

De Brès ingin meyakinkan raja Katolik bahwa para Calvinis bukanlah ancaman politik, melainkan orang-orang Kristen sejati yang hanya ingin memurnikan Injil. Tetapi di sinilah ironi itu lahir: mereka berusaha membuktikan kesetiaan Kristen dengan jalan memutuskan diri dari Gereja yang sejak awal menjadi ibu dan fondasi iman. Tindakan itu sama absurdnya dengan seorang anak yang menulis surat: “Saya anak kandung, tapi saya tinggalkan ibu saya karena saya lebih tahu cara menjadi keluarga sejati.”

1. Reformasi: Deformasi yang Dipoles

Abad ke-16 dikenal sebagai zaman pergeseran besar: semangat Renaisans, pergulatan politik antara raja dan Paus, serta keresahan sosial akibat penyalahgunaan otoritas Gereja. Semua ini menjadi pupuk subur bagi lahirnya Reformasi. Luther di Jerman memproklamirkan sola fide, Zwingli di Swiss menolak Ekaristi sebagai tubuh Kristus, Calvin di Prancis menegakkan sistem predestinasi yang kaku.

Di tengah keriuhan itu, dokumen pengakuan iman berfungsi sebagai “piagam eksistensi” bagi komunitas yang baru terbentuk. Confessio Gallicana (Prancis, 1559) lebih dulu menjadi model; de Brès lalu menyesuaikannya untuk Belanda, memangkasnya dari 40 pasal menjadi 37. Pemangkasan ini mencerminkan semangat Reformasi: semakin ringkas, semakin “murni.” Padahal, realitasnya, semakin dipangkas semakin kehilangan kepenuhan iman apostolik.

2. Retorika Anabaptis sebagai Kambing Hitam

De Brès dengan lihai menuding kaum Anabaptis sebagai penyebab kerusuhan. Calvinis, katanya, tidak memberontak; yang suka bikin rusuh itu Anabaptis. Taktik ini jelas manipulatif: membela diri dengan mengorbankan kelompok lain, seolah Reformasi bersih dari noda darah. Faktanya, Genewa di bawah Calvin justru dikenal sebagai “Roma Protestan” yang penuh pengadilan agama dan hukuman mati.

3. Roma sebagai Musuh Abadi

Titik berat Confessio Belgica adalah perlawanan teologis terhadap Roma. Dalam narasi Reformasi, Gereja Katolik digambarkan sebagai monster otoritarian yang mengekang iman pribadi. Padahal, Gereja justru menjadi “mater et magistra” (ibu dan guru) yang menjaga warisan iman sejak para rasul. Reformasi memosisikan diri sebagai pembebas, tetapi hasilnya adalah pecahan-pecahan komunitas yang tidak pernah kembali menyatu.

Dengan demikian, lahirnya Pengakuan Iman Belanda tidak bisa dipisahkan dari politik identitas Reformasi: sebuah dokumen apologetik defensif, bukan pengakuan iman yang berakar pada kesatuan apostolik. Ia adalah bukti betapa Reformasi sejak awal terjebak pada posisi “membenarkan diri,” bukan “menghidupi iman.”

 

Bagian II: Kritik Teologis – Sola Fide sebagai Karikatur

Reformasi membangun seluruh gedung teologinya di atas satu slogan: sola fide—manusia dibenarkan hanya oleh iman. Slogan ini terdengar puitis, tetapi justru rapuh secara biblis dan filosofis.

1. Roma Tidak Pernah Menolak Anugerah

Reformator selalu memulai dengan tuduhan: Gereja Katolik mengajarkan manusia bisa menyelamatkan diri dengan perbuatan. Tuduhan ini adalah karikatur, bukan kenyataan. Konsili Orange (529) sudah menegaskan: “Tidak ada manusia yang dapat mencapai keselamatan tanpa rahmat Allah.” Santo Agustinus pun menulis: “Rahmat bukan diberikan karena kita berbuat baik, melainkan agar kita mampu berbuat baik.” Jadi, Katolik sejak awal menolak gagasan keselamatan lewat jasa manusia.

2. Sola Fide Menabrak Kitab Suci

Para reformator mengutip Paulus, khususnya Roma 3:28: “Manusia dibenarkan karena iman, bukan karena perbuatan hukum Taurat.” Namun, mereka memotong teks dari konteks. Paulus jelas berbicara tentang “perbuatan hukum Taurat” (ritual Yahudi seperti sunat dan makanan halal), bukan perbuatan kasih yang lahir dari iman.

Yakobus, yang tak bisa disangkal, menegur kebutaan ini: “Kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.” (Yak 2:24). Bagi Katolik, ini bukan kontradiksi, melainkan harmoni: Paulus menolak legalisme Yahudi, Yakobus menolak iman mati.

3. Iman Katolik: Hidup dan Berinkarnasi

Iman sejati bukan sekadar pikiran “saya percaya,” melainkan respons total manusia kepada Allah: pikiran, hati, dan tindakan. Santo Paulus sendiri menulis: “Iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Gereja Katolik menegaskan iman itu seperti pohon: akar adalah rahmat Allah, batang adalah iman, dan buahnya adalah perbuatan kasih. Reformasi memotong buahnya dan mengaku masih punya pohon yang sehat. Hasilnya? Iman yang kering dan mati.

4. Konsili Trente Meluruskan Distorsi

Konsili Trente (1547) menjawab langsung kebingungan Reformasi. Dalam Dekret tentang Pembenaran (Decree on Justification), Trente menegaskan:

  • Iman adalah permulaan keselamatan, dasar, dan akar.
  • Namun, iman itu harus “dibentuk oleh kasih” (fides caritate formata).
  • Menolak iman tanpa kasih cukup untuk pembenaran (DS 1562).

Artinya, sola fide bukanlah pemurnian Injil, melainkan mutilasi iman apostolik.

5. Logika yang Gagal

Secara filosofis, sola fide juga gagal. Ia memisahkan aspek eksistensi manusia: pikiran percaya tanpa keterlibatan tubuh. Ini mirip dengan dualisme platonis yang sudah dikoreksi Gereja sejak awal. Manusia bukan jiwa yang percaya sambil membiarkan tubuh malas, melainkan makhluk yang berinkarnasi—seluruh hidupnya adalah respons iman.

 

Dengan demikian, doktrin sola fide bukanlah cahaya Injil, melainkan bayangan yang dibesar-besarkan. Ia berakar bukan pada harmoni Kitab Suci, melainkan pada distorsi retoris yang menjadikan iman sekadar slogan.

 

Bagian III: Manipulasi Retorika – Anabaptis sebagai Kambing Hitam

Guido de Brès dan para reformator sadar bahwa gerakan mereka menimbulkan keresahan politik. Maka untuk menyelamatkan muka, mereka mencari kambing hitam. Pilihan jatuh pada kaum Anabaptis—kelompok radikal yang menolak baptisan bayi, mengusung komunalitas ekstrem, bahkan kadang melakukan pemberontakan sosial. Dalam Confessio Belgica, de Brès menekankan bahwa Calvinis berbeda: mereka bukan pemberontak, bukan pengacau, dan tidak punya ambisi politik. Semua kerusuhan, katanya, ulah Anabaptis.

1. Retorika Klasik: Menyalahkan yang Lain

Strategi ini sudah tua: kalau tuduhan terlalu berat, arahkan jari ke pihak lain. Dengan begitu, Calvinis tampil sebagai kelompok moderat yang “taat hukum” di mata Raja Philip II. Tetapi sejarah tidak pernah bisa dimanipulasi sepenuhnya. Genewa di bawah Calvin terkenal dengan pengadilan agama yang ketat, hukuman mati bagi “bidat” seperti Michael Servetus, dan kontrol sosial yang nyaris totaliter. Sulit menyebutnya sekadar “gereja damai.”

2. Menyucikan Diri dengan Membandingkan

Calvinis berusaha tampil lebih baik dengan membandingkan diri dengan kelompok yang lebih radikal. Itu seperti pencuri yang berkata: “Jangan salah paham, saya bukan perampok. Saya hanya copet kecil.” Membandingkan diri dengan yang lebih buruk bukan pembelaan moral, melainkan pengakuan terselubung atas kelemahan sendiri.

3. Efek Psikologis: Sindrom Anak Tiri

Di balik retorika ini, tersembunyi alasan psikologis. Reformasi sadar bahwa posisinya rapuh: mereka ingin dianggap sah sebagai “gereja,” tetapi sudah kehilangan garis apostolik. Mereka takut dicap bidat, maka dibuatlah “narasi kesucian diri” dengan cara menyingkirkan kelompok lain. Inilah sindrom anak tiri: ingin diakui bagian dari keluarga, tetapi sekaligus menjelek-jelekkan saudara yang lain agar diri sendiri terlihat lebih baik.

4. Fakta Historis: Kekerasan Tetap Ada

Meski menuding Anabaptis sebagai biang kerok, faktanya Calvinisme juga punya catatan kelam: pengusiran, penganiayaan, dan konflik yang justru memperkuat citra mereka sebagai pemberontak. Jika benar mereka tidak haus darah, mengapa Servetus harus dibakar hidup-hidup di Genewa pada 1553? Bukankah itu juga kerusuhan teologis yang meledak menjadi tragedi kemanusiaan?

 

Dengan demikian, retorika de Brès bukanlah klarifikasi tulus, melainkan strategi manipulatif untuk memutihkan citra Reformasi di hadapan penguasa. Ia memperlihatkan kelemahan mendasar: Reformasi sejak awal tidak bisa berdiri sendiri sebagai Gereja sejati, maka selalu perlu musuh bayangan agar tampak murni.

 

Bagian IV: Politik Pecahan – Dari Prancis ke Belanda

Pengakuan Iman Belanda (Confessio Belgica) tidak lahir dalam ruang hampa. Ia adalah anak kandung Confessio Gallicana (Pengakuan Iman Prancis, 1559) yang disusun di bawah pengaruh langsung Calvin. Bedanya, Confessio Gallicana terdiri dari 40 pasal, sementara versi Belanda dipangkas menjadi 37 pasal. Sekilas perbedaan kecil, tetapi di baliknya terdapat pola besar Reformasi: iman selalu dipangkas, disederhanakan, dikurangi—hingga yang tersisa hanya kerangka kering tanpa daging Katolik.

1. Tradisi Pemangkasan

Reformasi sejak awal adalah proyek amputasi rohani:

  • Kitab Suci dipangkas, kitab Deuterokanonika disingkirkan.
  • Sakramen dipangkas, dari tujuh menjadi dua (Baptis dan Perjamuan).
  • Otoritas Gereja dipangkas, Paus dan Magisterium ditolak.
  • Spiritualitas dipangkas, devosi kepada Bunda Maria dan para kudus dicap sebagai “berhala.”

Pemangkasan ini tidak membuat iman lebih murni, justru lebih miskin. Gereja Katolik ibarat simfoni orkestra lengkap, sementara Reformasi memutuskan untuk bermain dengan tiga instrumen dan menyebutnya “musik sejati.”

2. Politik Identitas Melawan Roma

Di Prancis, Belanda, Jerman, dan Swiss, pengakuan iman Reformasi bukanlah deklarasi universal iman Kristen, melainkan manifesto politik. Ia diciptakan untuk membedakan diri dari Roma. Identitas Reformasi lahir bukan dari kesatuan positif dalam Roh Kudus, melainkan dari negasi: “Kami bukan Katolik.” Dengan kata lain, eksistensinya parasit—hanya ada karena Roma sudah lebih dulu ada.

3. Fragmentasi yang Tak Terhindarkan

Semakin banyak pemangkasan, semakin besar perpecahan. Dari Lutheran ke Calvinis, dari Calvinis ke Zwinglian, dari Zwinglian ke Anabaptis, dari Anabaptis ke Mennonit, lalu melahirkan gelombang baru seperti Baptis, Metodis, Pentakosta, hingga ratusan aliran modern. Apa yang awalnya dimaksud sebagai pemurnian Injil justru berbuah dalam ribuan variasi “Injil pribadi.”

4. Belanda: Dari Roma ke Republik

Konteks politik Belanda menambah bumbu pahit. Reformasi menjadi senjata perlawanan terhadap dominasi Spanyol Katolik. Confessio Belgica bukan hanya teks iman, tetapi juga deklarasi identitas politik. Gereja dijadikan bendera perlawanan. Inilah perbedaan mendasar: Gereja Katolik melintasi bangsa, bahasa, dan kerajaan; Reformasi terjebak menjadi gereja-gereja nasional, bahkan lokal, yang tak pernah lagi menemukan kesatuan universal.

 

Dengan demikian, Pengakuan Iman Belanda adalah bukti bahwa Reformasi bukanlah jalan menuju kemurnian, melainkan jalan menuju fragmentasi. Dari Prancis ke Belanda, dari Calvin ke de Brès, kita melihat pola yang sama: iman dipangkas, otoritas diabaikan, kesatuan dihancurkan.

 

Bagian V: Konsili Trente dan Jawaban Katolik

Reformasi sering membanggakan diri seolah merekalah penemu Injil kasih karunia. Katolik, kata mereka, hanyalah agama kerja dan tradisi manusia. Namun, sejarah mencatat Konsili Trente (1545–1563) justru menjadi jawaban sistematis Gereja terhadap distorsi ini. Alih-alih menolak kasih karunia, Trente meneguhkan bahwa seluruh pembenaran berakar pada rahmat Allah yang mendahului, menyertai, dan menguatkan manusia.

1. Rahmat Sebagai Dasar Mutlak

Konsili Trente menegaskan: “Jika ada yang berkata bahwa manusia dapat dibenarkan di hadapan Allah dengan perbuatan yang dilakukan oleh kekuatan alamiah manusia atau oleh ajaran hukum, tanpa rahmat Allah yang diperoleh melalui Kristus Yesus, terkutuklah dia” (Decretum de iustificatione, kan. 1; DS 1551).
Artinya, Gereja mengutuk Pelagianisme sama tegasnya dengan Reformasi. Tidak ada keselamatan tanpa rahmat.

2. Iman yang Dihidupi oleh Kasih

Trente menolak pemisahan iman dari kasih. Kanon 9 menyatakan: “Jika ada yang berkata bahwa manusia dibenarkan hanya oleh iman, sehingga tidak perlu kerja sama manusia untuk menerima rahmat, dan bahwa ia sama sekali tidak perlu dipersiapkan atau bergerak oleh kebebasan kehendak, terkutuklah dia.” (DS 1559).
Dengan kata lain, iman sejati adalah fides caritate formata—iman yang dibentuk oleh kasih. Iman yang mandul tanpa kasih adalah iman mati.

3. Kehendak yang Dibebaskan oleh Anugerah

Trente juga menolak tuduhan Reformasi bahwa Katolik mengajarkan “keselamatan karena usaha manusia.” Justru, konsili menekankan bahwa kehendak manusia dibebaskan oleh rahmat, sehingga mampu bekerja sama dengan Allah. Inilah sinergi yang indah: Allah sebagai penyebab utama, manusia sebagai penyebab instrumental.

4. Perbuatan Bukan Rival, Melainkan Buah

Roma tidak pernah mengajarkan “perbuatan menyelamatkan” dalam arti mekanis. Perbuatan adalah buah dari rahmat. Sama seperti pohon yang sehat pasti berbuah, iman yang hidup pasti melahirkan karya kasih. Reformasi salah kaprah dengan menempatkan iman dan perbuatan sebagai dua rival, padahal keduanya adalah satu tarikan napas iman.

5. Konsili Trente Melampaui Polemik

Trente tidak hanya membantah Reformasi, tetapi juga membangun sistem teologi yang konsisten. Ia mengintegrasikan suara Kitab Suci, Bapa Gereja, dan tradisi skolastik. Dari Agustinus hingga Thomas Aquinas, dari Yakobus hingga Paulus, semua dirangkum dalam harmoni yang indah. Inilah orkestra iman Katolik: bukan solo instrumen yang bising, melainkan simfoni utuh yang dipimpin Roh Kudus.

 

Dengan demikian, Konsili Trente adalah titik balik: ia menolak simplifikasi sola fide dan sola gratia, sekaligus memperlihatkan bahwa Katolik tidak anti-rahmat, melainkan justru penjaga rahmat sejati. Reformasi mungkin berteriak “kasih karunia,” tetapi Gereja menunjukkan kasih karunia itu bekerja nyata dalam iman, kasih, dan sakramen.

 

Bagian VI: Fakta Historis – Gereja yang Tetap Teguh

Reformasi sering menyebut diri sebagai “kembali ke gereja mula-mula.” Namun jika dilihat dari hasil sejarah, justru Gereja Katoliklah yang tetap teguh berdiri, sementara Reformasi melahirkan fragmentasi tanpa akhir.

1. Kesatuan Katolik yang Tidak Tergoyahkan

Sejak abad pertama, Gereja Katolik menjaga kesatuan iman melalui tiga pilar: Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium. Inilah yang ditegaskan 1 Timotius 3:15: “Gereja adalah tiang penopang dan dasar kebenaran.” Selama dua ribu tahun, meski diguncang skandal, perang, bahkan perpecahan internal, Katolik tetap memiliki satu iman, satu sakramen, satu Paus sebagai pusat kesatuan.

Bandingkan dengan Reformasi. Luther dan Calvin sepakat melawan Roma, tetapi tidak pernah sepakat satu sama lain. Zwingli berbeda dengan Luther soal Ekaristi, Anabaptis menolak baptisan bayi, lalu muncullah gelombang demi gelombang denominasi baru.

2. Reformasi = Mesin Pecah Belah

Hari ini, dunia menyaksikan lebih dari 30.000 denominasi Protestan, masing-masing mengklaim berpegang pada Alkitab, masing-masing menyebut diri “gereja sejati.” Tetapi siapa yang berhak menentukan kanon Kitab Suci? Siapa yang punya otoritas akhir menafsir ayat? Jawabannya kosong. Protestan menyerahkan kebenaran pada tafsir pribadi, dan hasilnya adalah Babel rohani: suara saling bertentangan, satu sama lain menuding sesat.

3. Katolik sebagai Rumah yang Tetap Penuh

Sementara itu, Katolik tetap mempertahankan kepenuhan iman: tujuh sakramen, devosi kepada Bunda Maria dan para kudus, serta kesatuan liturgi yang melintasi benua. Di Roma, di Meksiko, di Timor, di Afrika, umat Katolik berdoa dengan Credo yang sama, merayakan Ekaristi yang sama, tunduk pada ajaran yang sama. Kesatuan ini bukan kebetulan, melainkan buah dari janji Kristus: “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat 16:18).

4. Ironi Reformasi

Ironinya, Reformasi dimulai dengan klaim pemurnian. Tetapi hasil akhirnya bukan kemurnian, melainkan fragmentasi. Mereka ingin membuang “beban tradisi,” tetapi yang lahir adalah beban baru: pluralitas tanpa dasar. Mereka ingin membebaskan diri dari Roma, tetapi berakhir dengan ribuan “Roma mini” dalam bentuk sinode, dewan, dan gereja independen.

 

Dengan demikian, fakta historis berbicara lebih keras daripada slogan teologis. Gereja Katolik tetap teguh sebagai rumah yang kokoh, sementara Reformasi terus membelah diri seperti kaca retak yang tak bisa disatukan kembali.

 

Bagian VII: Kesimpulan – Museum Dokumen Bidat

Confessio Belgica disusun dengan niat mulia menurut kacamata Calvinis: membuktikan bahwa mereka bukan bidat, melainkan Kristen sejati. Namun justru di situlah tragedinya: semakin mereka berusaha meyakinkan, semakin jelas bahwa mereka telah tercerabut dari akar apostolik.

Secara historis, dokumen ini lahir bukan dari konsensus universal Gereja, melainkan dari politik identitas melawan Roma. Secara teologis, ia berdiri di atas fondasi rapuh: sola fide dan sola gratia yang dipelintir dari Kitab Suci. Secara retoris, ia menutupi luka Reformasi dengan menuding Anabaptis sebagai kambing hitam. Dan secara praktis, ia hanyalah satu batu kecil di jalan panjang fragmentasi Protestan yang melahirkan ribuan denominasi.

Bandingkan dengan Gereja Katolik yang tetap teguh: satu Credo, satu Magisterium, satu kepenuhan sakramen, dan kesatuan iman yang melintasi waktu dan tempat. Konsili Trente sudah menegaskan, Gereja Katolik tidak pernah menolak rahmat, melainkan menolak mutilasi iman. Sementara Reformasi mengibarkan slogan, Roma menegakkan struktur kebenaran yang utuh.

Pada akhirnya, Pengakuan Iman Belanda hanyalah artefak sejarah—semacam brosur pembelaan diri dari kelompok bidat yang ingin diakui sah. Ia kini menghuni museum dokumen teologi Reformed, dibacakan oleh segelintir komunitas, sementara Gereja Katolik tetap berdiri sebagai tubuh Kristus yang hidup, berdenyut dalam sakramen dan doa.

Reformasi boleh terus berteriak “sola fide” di atas reruntuhan kesatuan, tetapi Gereja Katolik tetap menggemakan Injil penuh: iman yang bekerja dalam kasih, rahmat yang sungguh-sungguh mengubah, dan Kristus yang hadir nyata dalam tubuh Gereja-Nya.

Dengan sinis kita bisa berkata: Confessio Belgica adalah epitaf paling jujur Reformasi—dokumen yang dimaksudkan untuk menyangkal kebidatan, tetapi akhirnya membuktikan betapa Reformasi memang lahir sebagai kebidatan.

 

Share This Article :
9000568233845443113