I. Pendahuluan: Tanda Cinta dalam Zaman yang Letih
Pada pagi 4 Oktober 2025, di perpustakaan pribadi Istana Apostolik, Paus Leo XIV menandatangani seruan apostolik pertamanya: Dilexi te — “Aku telah mengasihi kamu.” Tanggal itu bukan kebetulan: bertepatan dengan pesta Santo Fransiskus dari Asisi, simbol cinta yang bersahaja terhadap yang miskin dan ciptaan. Ada keheningan sakral dalam peristiwa itu: bukan sekadar pena yang bergerak, melainkan kontinuitas Gereja yang berbicara dari kedalaman sejarah ke dunia modern yang lapar makna.
Seruan ini menandai kesinambungan magisterium antara Paus Fransiskus dan penerusnya, Leo XIV. Seperti Lumen Fidei dahulu melanjutkan rancangan Benediktus XVI, Dilexi te meneguhkan bahwa Gereja tidak berganti wajah setiap kali berganti paus; ia hanya menyalakan kembali pelita yang sama dengan minyak baru dari Roh Kudus.
II. Hakikat Seruan Apostolik: Suara Gembala, Nafas Tradisi
Seruan apostolik bukanlah definisi dogmatis, melainkan penegasan pastoral. Namun dalam tatanan magisterial, pastoral bukan berarti sekunder; justru di sanalah iman turun menyentuh tanah. Konsili Vatikan II menggeser paradigma ini: Gereja harus berbicara kepada dunia dengan bahasa hati, bukan hanya bahasa hukum.
Sejak Evangelii nuntiandi (Paulus VI) hingga Evangelii gaudium (Fransiskus), seruan-seruan apostolik menjadi jembatan antara doktrin dan praksis. Seperti dinyatakan dalam Catechesi tradendae (Yohanes Paulus II) dan Verbum Domini (Benediktus XVI), tugas magisterium adalah menjaga agar sabda yang sama tetap hidup di tengah perubahan zaman. Inilah prinsip kontinuitas: Gereja tidak menolak masa lalu, tetapi menafsirnya kembali dalam terang kasih yang abadi.
III. Kontinuitas Kasih dan Pewartaan
Paulus VI berbicara tentang Gereja yang “keluar dari dirinya” untuk mewartakan Injil (Evangelii nuntiandi). Fransiskus menyebutnya missionary transformation—transformasi misioner seluruh Gereja. Leo XIV, melalui Dilexi te, meneruskan nada yang sama, namun dengan aksen yang lembut dan manusiawi: kasih bukan hanya tugas moral, tetapi identitas ontologis Gereja.
Dalam bahasa filsafat personalistik, kasih bukan emosi, melainkan partisipasi dalam keberadaan Allah sendiri—esse caritatis, keberadaan yang mengasihi. Maka, “Aku telah mengasihi kamu” bukan sekadar kutipan Injil (Yoh 15:9), tetapi definisi Gereja itu sendiri.
IV. Warisan Sosial: Dari Rerum Novarum ke Dilexi te
Ketika Paus Leo XIII menulis Rerum novarum (1891), dunia sedang dilanda revolusi industri. Kini, Leo XIV menulis di tengah revolusi digital dan krisis antropologis. Namun benang merahnya sama: martabat manusia di atas mesin.
Seperti Leo XIII berbicara melawan eksploitasi buruh, demikian pula Leo XIV akan berbicara melawan eksploitasi algoritma—menegaskan bahwa manusia tidak boleh direduksi menjadi data atau metrik. Dilexi te tampaknya menyiapkan landasan bagi ensiklik pertama yang akan datang, kemungkinan besar tentang antropologi digital dan etika kecerdasan buatan.
V. Dimensi Moral dan Pastoral
Setiap seruan apostolik, dari Humanae vitae hingga Amoris laetitia, menunjukkan konsistensi moral Gereja: kasih bukan sentimentalitas, tetapi kebenaran yang menuntut pengorbanan. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa semua ajaran magisterium—bahkan yang tidak “definitif”—menuntut ketaatan hati, sebab Roh Kudus menyertai Gereja bukan hanya saat berbicara dengan suara petir, tetapi juga ketika berbisik melalui hati seorang gembala.
Leo XIV, dengan gaya sederhana dan akademis, melanjutkan warisan ini: pastoral yang cerdas, moral yang hangat, dan teologi yang tidak kehilangan sentuhan manusia.
VI. Kesinambungan dan Harapan
Apologi sejati terhadap Gereja bukanlah argumen defensif, melainkan kesaksian tentang koherensi yang tak tergoyahkan. Dari Paulus VI hingga Leo XIV, garis kontinuitas magisterial menunjukkan bahwa Gereja bukan institusi nostalgia, melainkan organisme yang hidup dari kasih.
Dilexi te adalah pengingat bahwa kasih yang diwariskan Kristus tetap menjadi jantung setiap pembaruan: kasih yang meneguhkan kemiskinan Injili, mengangkat martabat manusia, dan menantang ideologi zaman yang menuhankan teknologi namun melupakan jiwa.
VII. Penutup: Gereja yang Mengasihi
Dalam setiap zaman, Gereja harus menulis kembali Injil dengan tinta baru namun dari pena yang sama. Dilexi te menegaskan bahwa cinta bukan strategi, melainkan sakramen hidup Gereja.
Di tengah dunia yang mudah sinis, kata “Aku telah mengasihi kamu” terdengar nyaris subversif. Ia menentang reduksi cinta menjadi sekadar transaksi, dan menegaskan bahwa kasih sejati selalu bersumber dari Salib.
Dengan nada yang lembut namun tajam, Leo XIV mengingatkan dunia: iman tanpa kasih adalah retorika kosong, dan kasih tanpa kebenaran adalah ilusi sentimental.
Dalam terang itu, Dilexi te bukan sekadar dokumen baru. Ia adalah gema abadi dari Kristus sendiri—Suara yang dari abad ke abad masih berbisik: “Aku telah mengasihi kamu.”
Share This Article :
